Jangan kasari sumimu
Jangan menuntut belanja lebih dari mapunya
Suami akan tersakiti
Jangan mainta cerai dengan tujuan memeras kantongnya
Malaikat mencatat
Tuhan mencabut berkat
Nikmatilah rintik rintik hujan, semuanya terasa jadi indah
jika di jalani dengan penuh ke iklasan ketulusan tanpa kemunafikan.
Seperti Cahaya Kau Muncul
Lembut sentuhan dan suara ketulusan
Ku pikir cinta tak akan pernah datang dengan Caraku
Tapi itu semua seimbang dengan menunggu saat yang istimewa
Sekarang aku tahu sapa saja yang memisahkan kita
Jiwaku terkunci dan kaulah pengunci hatiku
Aku bersumpah tidak akan pernah memikirkan gadis lain
Tidak ada pilihan lain , kaulah pemilik kontrol penuh hidupku
Setiap inginmu itu juga perintahku
Kita bersama jalan ke Surga
Ambilah tanganku
Aku akan membawamu ke perjalanan yang lebih indah
Labih baik dari sekedar mimpi
Satu satunya lelaki yang kau dambakan
Dialah aku suamimu
Jika cinta itu perang, maka aku menyerah saja
Aku milikmu , tanpa basa basi
Aku hanya ingin membuat kau bahagia
Bahagia sepanjang masa
Aku suaminmu .
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Tidaklah seorang istri menyakiti
suaminya di dunia kecuali berkata hurun `in (bidadari-bidadari surga) yang
menjadi istri si suami di surga: “Jangan engkau menyakitinya… (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah no. 204. Berkata
penulis Bahjatun Nazhirin: Sanad hadits ini shahih, 1/372)
Kekufuran Istri Berbuah Petaka
Merupakan satu anugerah dari Allah, ketika seorang
wanita dipertemukan dengan pasangan hidupnya dalam satu jalinan kasih yang
suci. Hal ini sebagai satu tanda dari tanda-tanda kekuasaan Sang Khaliq.
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجاً
لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي
ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُوْنَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia
menciptakan untuk kalian pasangan hidup dari jenis kalian sendiri, supaya
kalian cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara
kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (Ar-Rum: 21)
Apatah lagi bila pendamping hidup itu seorang yang
shalih, yang akan memuliakan istrinya bila bersemi cinta di hatinya, namun
kalau toh cinta itu tak kunjung datang maka ia tak akan menghinakan istrinya.
Merajut dan menjalin tali pernikahan agar selalu
berjalan baik tidak bisa dikatakan mudah bak membalik kedua telapak tangan,
karena dibutuhkan ilmu dan ketakwaan untuk menjalaninya. Seorang suami butuh
bekal ilmu agar ia tahu bagaimana menahkodai rumah tangganya. Istripun
demikian, ia harus tahu bagaimana menjadi seorang istri yang baik dan bagaimana
kedudukan seorang suami dalam syariat ini. Masing-masing punya hak dan
kewajiban yang harus ditunaikan agar jalinan itu tidak goncang ataupun
terputus.
Syariat menetapkan seorang suami memiliki hak yang
sangat besar terhadap istrinya, sampai-sampai bila diperkenankan oleh Allah,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan memerintahkan seorang istri sujud
kepada suaminya.
Abdullah ibnu Abi Aufa bertutur: Tatkala Mu’adz datang
ke negeri Yaman atau Syam, ia melihat orang-orang Nashrani bersujud kepada para
panglima dan petinggi gereja mereka. Maka ia memandang dan memastikan dalam
hatinya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah yang paling berhak
untuk diagungkan seperti itu. Ketika ia kembali ke hadapan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, ia berkata: “Ya Rasulullah, aku melihat
orang-orang Nashrani bersujud kepada para panglima dan petinggi gereja mereka,
maka aku memandang dan memastikan dalam hatiku bahwa engkaulah yang paling
berhak untuk diagungkan seperti itu.” Mendengar ucapan Mu’adz ini, bersabdalah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
لَوْ كُنْتُ آمُرُ أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ َأنْ
تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا وَلاَ تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ الله عَزَّ وَجَلَّ
عَلَيْهَا كُلَّهُ حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا عَلَيْهَا كُلَّهَا حَتَّى
لَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَىظَهْرِ قَتَبٍ لأَعْطَتْهُ إِيَّاهُ
“Seandainya aku boleh memerintahkan
seseorang untuk sujud kepada orang lain (sesama makhluk) niscaya aku
perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya. Dan tidaklah seorang
istri dapat menunaikan seluruh hak Allah Azza wa Jalla terhadapnya hingga ia
menunaikan seluruh hak suaminya terhadapnya. Sampai-sampai jika suaminya
meminta dirinya (mengajaknya bersenggama) sementara ia sedang berada di atas
pelana (yang dipasang di atas unta) maka ia harus memberikannya (tidak boleh
menolak).” (HR. Ahmad 4/381. Dihasankan Asy-Syaikh Albani dalam
Ash-Shahihul Jami’ no. 5295 dan Irwa Al-Ghalil no. 1998)
Satu dari sekian hak suami terhadap istrinya adalah
disyukuri akan kebaikan yang diperbuatnya dan tidak dilupakan keutamaannya.
Namun disayangkan, di kalangan para istri banyak yang melupakan atau tidak
tahu hak yang satu ini, hingga kita dapatkan mereka sering mengeluhkan
suaminya, melupakan kebaikan yang telah diberikan dan tidak ingat akan
keutamaannya. Yang lebih disayangkan, ucapan dan penilaian miring terhadap
suami ini kadang menjadi bahan obrolan di antara para wanita dan menjadi bahan
keluhan sesama mereka. Padahal perbuatan seperti ini menghadapkan si istri
kepada kemurkaan Allah dan adzab yang pedih.
Perbuatan tidak tahu syukur ini merupakan satu sebab
wanita menjadi mayoritas penghuni neraka, sebagaimana diberitakan Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam seselesainya beliau dari Shalat Kusuf (Shalat
Gerhana):
أُرِيْتُ النَّارُ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ يَكْفُرْنَ. قِيْلَ:
أَ يَكْفُرْنَ بِاللهِ؟ قَالَ: يَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ وَيَكْفُرْنَ الإِحْسَانَ,
لَوْ أَََحْسَنْتَ إِلىَ إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا
قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ
“Diperlihatkan neraka kepadaku. Ternyata mayoritas
penghuninya adalah para wanita yang kufur .” Ada yang bertanya kepada beliau:
“Apakah para wanita itu kufur kepada Allah?” Beliau menjawab: “(Tidak,
melainkan) mereka kufur kepada suami dan mengkufuri kebaikan (suami).
Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang dari mereka satu masa,
kemudian suatu saat ia melihat darimu ada sesuatu (yang tidak berkenan di
hatinya) niscaya ia akan berkata: Aku sama sekali belum pernah melihat kebaikan
darimu.” (HR. Al-Bukhari no. 29 dan Muslim no. 907)
Al-Qadhi Ibnul ‘Arabi rahimahullah berkata: “Dalam
hadits ini disebutkan secara khusus dosa kufur/ingkar terhadap suami di antara
sekian dosa lainnya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyatakan:
Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain
(sesama makluk) niscaya aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada
suaminya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menggandengkan hak suami terhadap
istri dengan hak Allah, maka bila seorang istri mengkufuri/mengingkari hak
suaminya, sementara hak suami terhadapnya telah mencapai puncak yang sedemikian
besar, hal itu sebagai bukti istri tersebut meremehkan hak Allah. Karena itulah
diberikan istilah kufur terhadap perbuatannya akan tetapi kufurnya tidak sampai
mengeluarkan dari agama.” (Fathul Bari, 1/106)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga
mengisahkan:
قُمْتُ عَلَى بَابِ الْجَنَّةِ فَكَانَ عَامَّةُ مَنْ دَخَلَهَا
الْمَسَاكِيْنُ وَأَصْحَابُ الْجَدِّ مَحْبُوْسُوْنَ غَيْرَ أَنَّ أَصْحَابَ
النَّارِ قَدْ أُمِرَ بِهِمْ إِلَى النَّارِ فَإِذَا عَامَّةُ مَنْ دَخَلَهَا
النِّسَاءُ
“Aku berdiri di depan pintu surga, ternyata kebanyakan
yang masuk ke dalamnya adalah orang-orang miskin, sementara orang kaya lagi
terpandang masih tertahan (untuk dihisab) namun penghuni neraka telah
diperintah untuk masuk ke dalam neraka , ternyata mayoritas yang masuk ke dalam
neraka adalah kaum wanita.” (HR. Al-Bukhari no. 5196 dan
Muslim no. 2736)
Pada hari Idul Adha atau Idul Fithri, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam keluar menuju lapangan untuk melaksanakan shalat.
Setelahnya beliau berkhutbah dan ketika melewati para wanita beliau bersabda:
“Wahai sekalian wanita, bersedekahlah kalian dan perbanyaklah istighfar
(meminta ampun) karena sungguh diperlihatkan kepadaku mayoritas kalian adalah
penghuni neraka.” Berkata salah seorang wanita yang cerdas: “Apa sebabnya kami
menjadi mayoritas penghuni neraka, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Kalian
banyak melaknat dan mengkufuri kebaikan suami. Aku belum pernah melihat orang
yang kurang akal dan agamanya namun dapat menundukkan lelaki yang memiliki akal
yang sempurna daripada kalian.” Wanita itu bertanya lagi: “Ya Rasulullah, apa
yang dimaksud dengan kurang akal dan kurang agama?”. “Adapun kurangnya akal
wanita ditunjukkan dengan persaksian dua orang wanita sama dengan persaksian
seorang lelaki. Sementara kurangnya agama wanita ditunjukkan dengan ia tidak
mengerjakan shalat dan meninggalkan puasa di bulan Ramadhan selama beberapa
malam (yakni saat ditimpa haidh).” (HR. Al-Bukhari no.
304 dan Muslim no. 79)
Karena mayoritas kaum wanita adalah ahlun nar
(penghuni neraka) maka mereka menjadi jumlah yang minoritas dari ahlul jannah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam nyatakan hal ini dalam sabdanya:
إِنَّ أَقَلُّ سَاكِنِي الْجَنَّة النِّسَاءُ
“Minoritas penghuni surga adalah kaum
wanita.” (HR. Muslim no. 2738)
Bila demikian adanya tidak pantas bagi seorang wanita
yang mencari keselamatan dari adzab untuk menyelisihi suaminya dengan
mengkufuri kenikmatan dan kebaikan yang telah banyak ia curahkan ataupun banyak
mengeluh hanya karena sebab sepele yang tak sebanding dengan apa yang telah ia
persembahkan untuk anak dan istrinya. Sepatutnya bila seorang istri melihat
dari suaminya sesuatu yang tidak ia sukai atau tidak pantas dilakukan maka ia
jangan mengkufuri dan melupakan seluruh kebaikannya. Sungguh, bila seorang
istri tidak mau bersyukur kepada suami, sementara suaminya adalah orang yang
paling banyak dan paling sering berbuat kebaikan kepadanya, maka ia pun tidak
akan pandai bersyukur kepada Allah ta`ala, Dzat yang terus mencurahkan
kenikmatan dan menetapkan sebab-sebab tersampaikannya kenikmatan pada setiap
hamba.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menyampaikan sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
مَنْ لاَ يَشْكُرِ النَّاسَ لاَ يَشْكُرِ اللهَ
“Siapa yang tidak bersyukur (berterima
kasih) kepada manusia maka ia tidak akan bersyukur kepada Allah.”
(HR. Abu Dawud no. 4177 dan At-Tirmidzi no. 2020, dishahihkan oleh Asy-Syaikh
Muqbil di atas syarat Muslim, dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/338)
Al-Khaththabi berkata: “Hadits ini dapat
dipahami dari dua sisi.
Pertama: orang yang tabiat dan kebiasaannya
suka mengingkari kenikmatan yang diberikan kepadanya dan enggan untuk
mensyukuri kebaikan mereka maka menjadi kebiasaannya pula mengkufuri nikmat
Allah ta`ala dan tidak mau bersyukur kepada-Nya.
Sisi kedua: Allah tidak menerima rasa syukur
seorang hamba atas kebaikan yang Dia curahkan apabila hamba tersebut tidak mau
bersyukur (berterima kasih) terhadap kebaikan manusia dan mengingkari kebaikan
mereka, karena berkaitannya dua perkara ini.” (‘Aunul Ma’bud, 13/114)
Adapun Al-Qadhi mengatakan tentang hadits ini: “(Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan demikian) bisa jadi karena mensyukuri
Allah ta`ala hanya bisa sempurna dengan patuh kepada-Nya dan melaksanakan
perintah-Nya. Sementara di antara perkara yang Dia perintahkan adalah berterima
kasih kepada manusia yang menjadi perantara tersampaikannya nikmat-nikmat Allah
kepadanya. Maka orang yang tidak patuh kepada Allah dalam hal ini, ia tidak
menunaikan kesyukuran atas kenikmatan-Nya. Atau bisa pula maknanya, orang yang tidak
berterima kasih kepada manusia yang telah memberikan dan menyampaikan
kenikmatan kepadanya, padahal ia tahu sifat manusia itu sangat senang
mendapatkan pujian, ia menyakiti si pemberi kebaikan dengan berpaling dan
mengingkari apa yang telah diberikan, maka orang seperti ini akan lebih berani
meremehkan sikap syukur kepada Allah, yang sebenarnya sama saja bagi-Nya antara
kesyukuran dan kekufuran .” (Tuhfatul Ahwadzi,
6/74).
Sepantasnya bagi seorang istri yang mencari
keselamatan dari adzab Allah untuk mencurahkan seluruh kemampuannya dalam
menunaikan hak-hak suami, karena suaminya adalah jembatan untuk meraih
kenikmatan surga atau malah sebaliknya membawa dirinya ke jurang neraka.
Al-Hushain bin Mihshan radliallahu anhu menceritakan bahwa bibinya pernah
datang ke tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena satu keperluan dan
setelah selesai dari keperluan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bertanya kepadanya:
أَ ذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟
قَالَتْ: مَا آلُوْهُ إِلاَّ مَا عَجزْتُ عَنْهُ. قَالَ: فَانْظُرِيْ أينَ أَنْتِ
مِنْهُ فَإنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنارُكِ
“Apakah engkau sudah bersuami?” Bibi Al-Hushain
menjawab: “Sudah.” “Bagaimana (sikap) engkau terhadap suamimu?” tanya
Rasulullah lagi. Ia menjawab: “Aku tidak pernah mengurangi haknya kecuali dalam
perkara yang aku tidak mampu.” Rasulullah bersabda: “Lihatlah di mana
keberadaanmu saat bergaul dengan suamimu, karena suamimu adalah surga dan
nerakamu.” (HR. Ahmad 4/341. Berkata penulis Jami’ Ahkamin Nisa:
hadits ini hasan, 3/430)
Saudariku, janganlah engkau sakiti suamimu dengan
tidak mensyukuri apa yang telah diberikannya. Ingatlah, suamimu hanya sementara
waktu menemanimu di dunia, kemudian dia akan berpisah denganmu dan berkumpul
dengan para bidadari surga yang murka kala engkau menyakitinya. Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan hal ini dalam sabdanya:
لاَ تُؤْذِي امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ قَالَتْ زَوْجَتُهَا
مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ: لاَ تُؤْذِيهِ قَاتَلَكِ اللهُ, فَإِنَّمَا هُوَ
عِنْدَكِ دَخِيْلٌ, يُوْشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا
“Tidaklah seorang istri menyakiti
suaminya di dunia kecuali berkata hurun `in (bidadari-bidadari surga) yang
menjadi istri si suami di surga: “Jangan engkau menyakitinya
qatalakillah , karena dia di sisimu hanyalah sebagai tamu dan sekedar singgah,
hampir-hampir dia akan berpisah denganmu untuk bertemu dengan kami.”
(HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah no. 204. Berkata penulis Bahjatun Nazhirin: Sanad
hadits ini shahih, 1/372)
terima kasih, sangat mencerahkan
ReplyDeleteLike (y)
ReplyDeleteJazakillah khaironm..wa barakallahu fiikum..