MELETAKKAN HAM DI
ATAS QUR’AN DAN SUNNAH
Drs.Muhammad
Rakib,S.H.,M.Ag
Upaya untuk meletakkan HAM di atas
Al-Quran dan Sunnah, akan selalu ditolak oleh umat Islam. Umat Islam lazimnya
melihat HAM, demokrasi, kesetaraan gender, dan berbagai paham atau gagasan baru
dengan kacamata Al-Quran dan Sunnah. Kaum sekuler, akan berpikir sebaliknya.
Mereka melihat Al-Quran dan Sunnah dengan kacamata HAM. Padahal, jika
dicermati, konsep HAM itu sendiri masih merupakan konsep yang bermasalah. Ada
yang bisa diterima dalam Islam, dan ada yang tidak bisa diterima. Prinsip Islam
itu akan berbeda dengan orang sekuler yang menjadikan DUHAM sebagai kitab
sucinya. Bagi mereka – sebagaimana ditegaskan dalam pasal 2 DUHAM – bahwa
setiap orang mempunyai hak dan kebebasan tanpa perbedaan apa pun, seperti
perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, termasuk agama.
Maka, dunia Islam tentu saja menolak prinsip
seperti itu. Disamping soal pernikahan, Deklarasi Kairo juga menolak konsep
kebebasan beragama ala DUHAM, sebagaimana tercantum dalam pasal 18:
“Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion;
this right includes freedom to change his religion or belief, and freedom,
either alone or in community with others and in public or private, to
manifest his religion or belief in teaching, practice, worship and observance.”
(Setiap orang mempunyai hak untuk bebas berpikir, berkeyakinan, dan beragama;
hak ini mencakup hak untuk berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan
– baik sendiri atau di tengah masyarakat, baik di tempat umum atau
tersendiri – untuk menyatakan agama atau kepercayaannya, dengan mengajarkannya,
mempraktikkannya, beribadah atau mengamalkannya). Jadi, DUHAM menjamin hak
untuk pindah agama (hak untuk murtad).
Freud
:Ilmuwan Jerman.Menurut Freud yang suhu dari ilmu Psikoanalisa, masa 0-5
tahun adalah masa krusial terbentuknya kepribadian anak. Sehingga segala bentuk
kekerasan atau tindakan yang mengakibatkan trauma pada masa itu bisa
menyebabkan dampak pada masa perkembangan anak. Beberapa studi mengatakan bahwa
anak-anak korban kekerasan biasanya akan menunjukkan self esteem yang rendah, depresi, memendam
perasaan bersalah, sulit memercayai orang lain, gangguan pola makan, kesepian
bahkan bisa menjadi sangat agresif.
Fenomena:
rangkaian peristiwa serta bentuk keadaan yang dapat diamati
dan dinilai lewat kaca mata ilmiah atau lewat disiplin ilmu tertentu. Fenomena
terjadi di semua tempat yang bisa diamati oleh manusia. Fenomena berasal
dari bahasa Yunani; phainomenon, "apa yang terlihat", fenomena juga
bisa berarti:
1. Gejala, misalkan gejala alam
2. Hal-hal yang dirasakan dengan pancaindra
3. Hal-hal mistik atau klenik
4. Fakta, kenyataan, kejadian
Kata turunan adjektif, fenomenal, berarti: "sesuatu yang luar biasa".
1. Gejala, misalkan gejala alam
2. Hal-hal yang dirasakan dengan pancaindra
3. Hal-hal mistik atau klenik
4. Fakta, kenyataan, kejadian
Kata turunan adjektif, fenomenal, berarti: "sesuatu yang luar biasa".
Gannoe
: Teori baru yang menyatakan, anak
yang dipukul ringan oleh orangtuanya hingga usia 6 tahun akan memiliki prestasi
sekolah yang lebih baik dan lebih optimis. Anak-anak ini nantinya akan lebih
bersemangat dalam hal belajar, mengejar cita-citanya untuk masuk universitas
terkemuka serta mem bantunya lebih optimis dalam hal meraih mimpinya
dibandingkan dengan anak yang tidak pernah dipukul sama sekali oleh orang
tuanya. Penelitian ini melibatkan 179 remaja yang ditanya mengenai seberapa
sering mereka dipukul saat masih anak-anak dan pada usia berapa terakhir kali
orangtua memukulnya. Jawaban yang didapat dibandingkan dengan perilakunya
termasuk kelakuan negatif seperti anti sosial, aktivitas seksual yang lebih
dini, kekerasan, depresi serta kelakuan positif lainnya.
Hajiyat : ialah hal yang diperlukan
karena memberi kesenangan kepada
kehidupan dan mengelakkan, kesempitan yang pada kebiasaannya membawa kepada kesusahan dan
keserbasalahan dalam hidup, ketiadaannya
tidaklah membawa kepincangan kepada kehidupan
manusia
sebagaimana sekiranya ketiadaan hal dharuriyat.
Hak-hak anak.
Undang-undang
RI Nomor 23, tahun 2002 secara tegas, bahwa guru dan siapapun lainnya di
sekolah dilarang untuk memberikan hukuman fisik kepada anak-anak. Kemudian
diperkuat oleh konvensi PBB untuk hak-hak Anak, menyatakan dalam artikel 37 bahwa: ”Tak seorang anakpun boleh mendapatkan
hukuman, yang merendahkan martabat kemanusiaan. Tetapi hukum Islam mempunyai
ketentuan lain.
Hazing
: Pengertian perilaku bullying masih menjadi perdebatan dan ... dengan istilah mobbing
atau mobbning. Istilah aslinya ... lain untuk bullying
adalah peer victimization dan hazing.
Meskipun seperti telah banyak
dikatakan persoalan partikularitas HAM telah dianggap final baik secara teoritis
ataupun praksisnya. Tapi benturan itu terus saja terjadi, tidak terkecuali
antara Islam melawan Barat. Seperti yang telah dilakukan oleh An Naim dan
sahabat-sahabatya dalam menjelaskan konsep HAM korelasinya dengan Islam.
Kontribusi itu adalah sebuah upaya membangun reinterpretasi (reunderstanding)
terhadap ajaran Islam itu.
Diakui atau tidak bahwa agama manapun
tentu mempunyai nilai-nilai ajaran yang luhur yang sangat humanis dan
berkeadilan. Hanya saja terkadang, dalam melakukan proses interpretasi itu
tidak jarang terjadi ketegangan (tention) antara apa seharusnya dan apa yang terjadi atau meminjam
istilah Arkoun mana unthought dan mana
yang untikable.
Seperti yang dijelaskan an Naim bahwa
di dalam Islam ada banyak interpretasi
yang deskriminasi dan jelas melanggar konsep HAM standar internasional itu,
terutama yang menyangkut persoalan perbudakan dan diskriminasi gender dan
agama. Bagi an Naim, sebenarnya tidak ada persoalan mengenai konsep HAM yang
tercetus dalam declaration of human rights itu dengan ajaran syariah,
seandainya interpretasi yang dilakukan
tepat dan kontekstual. Dengan mengikuti pendapat ustaznya, Mahmoud Mohammad
Taha, bahwa konsep HAM itu harus dilakukan pada dua elemen yaitu kehendak untuk
hidup dan kehendak untuk bebas. Dua elemen inilah yang harus dijadikan
standarisasi dalam melakukan resiprositas untuk membangun dasar-dasar lintas
bagi universalitas hak asasi manusia.
Karena hak asasi manusia adalah cita-cita ideal dan merupakan
suatu yang inheren dalam diri manusia, maka isu-isu awal yang berkembang dalam
Islam seperti perbudakan minoritas ataupun juga diskriminasi gender adalah isu
yang terutama dua yang terakhir mendapat porsi yang luar biasa dalam setiap
wacana. Di dalam Islam dikenal konsep tentang dhimmah bagi non muslim. Sistem
ini, menurut sumber syariah otoritatif merupakan sistem yang mentolerir
komunitas non muslim menurut sumber di negara Islam dengan adanya jaminan
perlindungan atas diri dan hartanya, hak untuk mengamalkan agamanya, dan
mendapatkan otonomi komunal tertentu.
Sebagai ganjarannya mereka harus membayar jizyah. Menurut sistem dhimmah, non muslim
tidak diperbolehkan bertugas dalam angkatan bersenjata sebuah negara Islam.
Dalam administrasi peradilan pidana, kesaksian seorang saksi non musli tidak diterima,
dan kompensasinya uang yang dibayarkan atas pembunuhan yang melawan hukum atas
korban yang non muslim lebih kecil dari
pada kompensasi atas pembunuhan yang korbannya muslim.
Terhadap persoalan gender, hak-hak
perempuan dalam partisipasinya di wilayah publik, kebebasan ruang gerak dan
kebebasan berorganisasi sangat dibatasi melalui kombinasi prinsip syariah
mengenai qawwama (perlindungan
laki-laki atas perempuan), hijab dan pemisahan laki-laki dan perempuan.
Perempuan juga didiskriminasikan dalam administrasi peradilan. Sebagai contoh, kesaksian yudisial perempuan
direndahkan menjadi separuh dari nilai kesaksian laki-laki, dan banyak lagi.
Meskipun seperti telah
banyak dikatakan persoalan partikularitas HAM telah dianggap final baik secara
teoritis ataupun praksisnya. Tapi benturan itu terus saja terjadi, tidak
terkecuali antara Islam melawan Barat. Seperti yang telah dilakukan oleh An
Naim dan sahabat-sahabatya dalam menjelaskan konsep HAM korelasinya dengan
Islam. Kontribusi itu adalah sebuah upaya membangun reinterpretasi
(reunderstanding) terhadap ajaran Islam itu.
Diakui atau tidak bahwa
agama manapun tentu mempunyai nilai-nilai ajaran yang luhur yang sangat humanis
dan berkeadilan. Hanya saja terkadang, dalam melakukan proses interpretasi itu
tidak jarang terjadi ketegangan (tention) antara apa seharusnya dan apa yang terjadi atau meminjam
istilah Arkoun mana unthought dan mana
yang untikable.
Seperti yang dijelaskan
an Naim bahwa di dalam Islam ada banyak
interpretasi yang deskriminasi dan jelas melanggar konsep HAM standar
internasional itu, terutama yang menyangkut persoalan perbudakan dan
diskriminasi gender dan agama. Bagi an Naim, sebenarnya tidak ada persoalan
mengenai konsep HAM yang tercetus dalam declaration of human rights itu dengan
ajaran syariah, seandainya interpretasi
yang dilakukan tepat dan kontekstual. Dengan mengikuti pendapat ustaznya,
Mahmoud Mohammad Taha, bahwa konsep HAM itu harus dilakukan pada dua elemen
yaitu kehendak untuk hidup dan kehendak untuk bebas. Dua elemen inilah yang
harus dijadikan standarisasi dalam melakukan resiprositas untuk membangun
dasar-dasar lintas bagi universalitas hak asasi manusia.
Karena hak asasi manusia adalah cita-cita ideal dan merupakan
suatu yang inheren dalam diri manusia, maka isu-isu awal yang berkembang dalam
Islam seperti perbudakan minoritas ataupun juga diskriminasi gender adalah isu
yang terutama dua yang terakhir mendapat porsi yang luar biasa dalam setiap
wacana. Di dalam Islam dikenal konsep tentang dhimmah bagi non muslim. Sistem
ini, menurut sumber syariah otoritatif merupakan sistem yang mentolerir
komunitas non muslim menurut sumber di negara Islam dengan adanya jaminan
perlindungan atas diri dan hartanya, hak untuk mengamalkan agamanya, dan
mendapatkan otonomi komunal tertentu, dan sebagai ganjarannya mereka harus
membayar jizyah. Menurut sistem dhimmah,
non muslim tidak diperbolehkan bertugas dalam angkatan bersenjata sebuah negara
Islam. Dalam administrasi peradilan pidana, kesaksian seorang saksi non musli
tidak diterima, dan kompensasinya uang yang dibayarkan atas pembunuhan yang
melawan hukum atas korban yang non
muslim lebih kecil dari pada kompensasi atas pembunuhan yang korbannya muslim.
Terhadap persoalan
gender, hak-hak perempuan dalam partisipasinya di wilayah publik, kebebasan
ruang gerak dan kebebasan berorganisasi sangat dibatasi melalui kombinasi
prinsip syariah mengenai qawwama (perlindungan laki-laki atas perempuan), hijab
dan pemisahan laki-laki dan perempuan. Perempuan juga didiskriminasikan dalam administrasi
peradilan. Sebagai contoh, kesaksian
yudisial perempuan direndahkan menjadi separuh dari nilai kesaksian laki-laki,
dan banyak lagi.
No comments:
Post a Comment