Menepuk anak, dengan ringan
Tujuannya, untuk menertibkan
Agar shalat, tidak dipermainkan
Jauh dari, bahaya kerusakan.
Penulis
tertarik dengan apa yang diungkapkan Vera Farah Bararah - detikHealth
Orangtua disarankan tidak mendidik anak dengan
cara kekerasan fisik karena mental dan fisiknya masih lemah yang bisa berakibat
buruk. Anak-anak harus dilindungi bagaimana pun susahnya dia didik. Jika diberi
tahu lewat kata-kata saja tidak cukup, ada cara yang dibolehkan untuk
memukulnya tapi bukan sembarang memukul.
Dalam Children's Act 2004 ada
batasan-batasan yang diperjelas bagi orangtua jika ingin memukul anaknya, yaitu
tidak boleh menimbulkan bekas atau luka, tidak memukul dengan keras dan tidak
boleh menyebabkan masalah kesehatan mental dalam jangka waktu panjang.
"Orangtua
tidak boleh memukul anaknya dengan sembarangan apalagi jika menggunakan
alat," ujar Marjorie Gunnoe, seorang profesor psikologi di Calvin College,
Grand Rapids, Michigan, seperti dikutip dari Telegraph, Senin (4/1/2010).
Bagaimana
memukul yang diperbolehkan? Gunnoe menjelaskan sebuah tepukan ringan seringkali
menjadi cara paling efektif untuk mengajarkannya agar tidak melakukan sesuatu
yang berbahaya atau merugikan orang lain. Pukulan ringan itu pun hanya berlaku
sampai usianya 6 tahun.
Berdasarkan
hasil penelitiannya, anak yang dipukul hingga usia 6 tahun memiliki sifat
positif yang lebih baik diantaranya dalam hal akademis dan optimisme, dan tidak
memiliki sifat negatif yang buruk. Tapi anak yang masih sering dipukul hingga
usia 11 tahun memiliki sifat negatif seperti terlibat dalam perkelahian.
Penelitian
itu juga menunjukkan anak yang dipukul ringan oleh orangtuanya hingga usia 6
tahun akan memiliki prestasi sekolah yang lebih baik dan lebih optimis.
Anak-anak ini nantinya akan lebih bersemangat dalam hal belajar, mengejar
cita-citanya untuk masuk universitas terkemuka serta membantunya lebih optimis
dalam hal meraih mimpinya dibandingkan dengan anak yang tidak pernah dipukul
sama sekali oleh orangtuanya.
Penelitian ini melibatkan 179 remaja
yang ditanya mengenai seberapa sering mereka dipukul saat masih anak-anak dan
pada usia berapa terakhir kali orangtua memukulnya. Jawaban yang didapat
dibandingkan dengan perilakunya termasuk kelakuan negatif seperti anti sosial,
aktivitas seksual yang lebih dini, kekerasan, depresi serta kelakuan positif
lainnya. Hal yang boleh dilakukan oleh orangtua adalah hanya melakukan tepukan
ringan, sementara jika lebih dari itu sudah termasuk dalam kekerasan dan
merupakan cara mendidik anak yang salah.
Cara mendidik dengan memberikan tepukan
ringan jika anak melakukan kesalahan sebaiknya juga diiringi dengan kata-kata
positif agar anak tahu apa kesalahannya. Jika tepukan ringan tersebut dilakukan
dengan bijaksana dan penuh kasih sayang, maka anak akan lebih mengerti dan juga
membantunya untuk berprestasi disekolah serta lebih optimis.
Tapi
orangtua tidak boleh memukul anak di daerah wajah atau dengan menggunakan alat,
karena bisa mengembangkan masalah-masalah perilaku atau mental seperti menjadi
agresif.
Persoalan seputar Qadhiyyah Mashiriyyah
menjadi topik diskusi yang menarik sepanjang sejarah manusia. Istilah qadhiyyah
mashiriyyah menunjuk suatu realitas problem utama yang pastinya menuntut untuk
diselesaikan walaupun dalam rangka hal itu dihadapkan pada pilihan antara hidup
dan mati. Bagi seorang istri maka perjuangannya dalam rangka mengandung dan
melahirkan anak merupakan qadhiyyah mashiriyyah. Untuk
mencapai harapan mempunyai keturunan, Ibu berjuang dengan bersusah payah untuk
melahirkan anaknya walaupun dalam rangka itu harus mengorbankan nyawanya
sendiri. Pantas kemudian jika Islam menempatkan posisi Ibu terhormat di mata
putra-putrinya. Berbeda lagi dengan seorang bapak/suami.
Bekerja membanting tulang demi
tercukupinya kebutuhan hidup orang-orang yang menjadi tanggungannya menjadi
persoalan utama bagi seorang bapak/suami. Seorang bapak akan siap menerjang
semua halangan, rintangan dalam bekerja. Hujan lebat, teriknya matahari,
bersimbahnya badan dengan cucuran peluh dan keringat, bahkan terkadang rasa
lapar, haus dan dahaga tidak dihiraukan demi bisa mendapatkan sejumlah materi
yang bisa ia bawa pulang guna kebutuhan hidup keluarganya.Begitu pula, seorang
pelajar mempunyai sudut pandang tentang qadhiyyah mashiriyyahnya bahwa belajar
dan mendapatkan hasil memuaskan pada nilai akhir saat ujian akan ditempuh
dengan bersungguh-sungguh hingga rela untuk bersakit-sakit. Ada pelajar yang
ketika menghadapi ujian maka ia belajar dengan sungguh-sungguh walaupun pada
akhir waktu ujian ia merasa kecapekan, bahkan ada yang sampai jatuh sakit.
Lebih dari itu, hanya karena tidak bisa membeli sarana belajar yang memadai
sebagaimana teman-temannya satu kelas dikarenakan keterbatasan kemampuan
ekonomi orang tuanya, pelajar ini sampai bisa berbuat nekat bunuh diri.
Walhasil semua orang sebagai individu mempunyai sudut pandang yang berbeda atas
sekian banyak persoalan dalam hidupnya yang menjadi qadhiyyah mashiriyyah
baginya.
Pada sisi yang lain,
semua bangsa dan umat mempunyai sekian banyak persoalan yang mesti mendapatkan
alternatif solusi. Hanya saja dari sekian banyak persoalan, ada persoalan utama
yang menjadi qadhiyyah mashiriyyah mereka. Bangsa maupun umat akan memandang
suatu persoalan sebagai qadhiyyah mashiriyyah ketika mereka memandnag persoalan
tersebut menjadi taruhan akan eksistensi mereka. Di saat mereka mampu
menyelesaikan qadhiyyah mashiriyyahnya, maka sudah ada jaminan akan eksistensi
mereka. Ketika mereka sudah bisa berdiri kokoh untuk eksis dalam kehidupan,
tinggal bagaimana memikirkan langkah berikutnya untuk dapat memberi sumbangan
berarti dan mewarnai sejarah kehidupan manusia pada umumnya.
Hanya saja proses suatu
bangsa dan umat dapat memahami persoalan yang menjadi qadhiyah mashiriyyahnya
tidak serta merta terwujud pada diri bangsa dan umat tersebut. Bangsa dan umat
tidak akan mampu memahami sesuatu yang menjadi qadhiyyah mashiriyyahnya tanpa
ada individu yang berusaha memahami, menyadari dan mengemban qadhiyyah
masiriyyah bangsa dan umat, kemudian terciptalah qadhiyyah mashiriyyah individu
tersebut menjadi qadhiyyah mashiriyyah umat. Manusia mempunyai dua dimensi yang
berbeda dan saling melengkapi. Manusia mempunyai dimensi individual dengan
segala dinamikanya, pada satu sisi. Juga manusia mempunyai dimensi sosial pada
sisi yang lain. Sebagai individu, manusia mempunyai tolak ukur dan standar yang
bersifat privasi yang digunakannya menilai setiap permasalahan yang ditemuinya.
Dari sekian banyak masalah yang ditemui individu, maka individu akan melakukan
kajian terhadap setiap maslah yang dihadapinya lalu menentukan persoalan utama
yang menjadi qadhiyyah mashiriyyahnya.
Dengan menemukan qadhiyyah mashiriyyah itu, individu akan selalu berusaha
menjamin kondisinya selalu berada pada koridornya. Pertimbangannya, dengan
qadhiyyah mashiriyyah ini individu menyandarkan setiap permasalahannya dan
solusi yang diputuskannya sesuai dengan persoalan yang dipandangnya sebagai
qadhiyyah mashiriyyah. Dengan demikian, individu akan selalu menjaga persoalan
yang menjadi qadhiyyah mashiriyyahnya, agar selalu mendapat perhatian utama
dalam hidupnya. Keberadaan solusi bagi qadhiyyah mashiriyah individu akan menjamin
keberlangsungan kepentingan dan kebutuhan yang lain. Sebagai contoh, bagi
seorang kepala rumah tangga mendapatkan pekerjaan sehingga bisa menafkahi
keluarganya merupakan qadhiyyah mashiriyyah. Setiap kebutuhan dan kepentingan
keluarga bersandar pada ada tidaknya penghasilan yang diperoleh. Kebutuhan akan
sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan bagi anak-anak, rekreasi dan
lain-lain disandarkan pada penghasilan dari kepala rumah tangga. Demikian
halnya, manusia sebagai makhluk sosial. Manusia tidak akan bisa memnuhi setiap
kebutuhannya tanpa bekerjasama dengan orang lain. Dengan demikian, setiap orang
mempunyai kepentingan bersama guna terciptanya kondisi masyarakat yang stabil
dan tenteram demi terciptanya kondisi yang menunjang terpenuhinya kebutuhan
setiap individu. Artinya; terciptanya kondisi masyarakat yang stabil
dipengaruhi oleh adanya kesamaan kepentingan. Kesmaan kepentingan dipengaruhi
kesamaan pemikiran, perasaan dan peraturan hukum yang diterapkan di masyarakat.
Sebuah komunitas akan mengambil kesepakatan-kesepakatan yang nantinya
dirumuskan menjadi sebuah aturan yang menjadi standar bersma dalam menilai
segala sesuatu. Kesepakatan-kesepakatan inilah yang menjadi qadhiyyah
mashiriyyah masyarakat.
Terbentuknya bangsa dan
umat berasal dari individu-individu yang menetap di suatu daerah tertentu. Di
antara mereka terjadi interaksi terus-menerus guna mewujudkan
kepentingan-kepentinagn bersama. Adapun aturan yang dirumuskan baik yang
tertulis maupun yang tidak tertulis lahir dari persepsi yang sama terhadap
kehidupan mereka. Persepsi-persepsi ini dipengaruhi oleh
kepercayaan-keprcayaan, aqidah dan ideologi yang dianutnya. Jika pada suatu
masyarakat tertentu persepsi dan aturannya dijiwai oleh aqidah dan ideologi
tertentu, naka disebut sebagai masyarakat yang khas. Sedangkan jika pada suatu
masyarakat persepsi dan aturannya dijiwai oleh beberapa aqidah dan keyakinan
maka disebut sebagai masyarakat yang tidak khas. Masyarakat Amerika adalah
masyarakat yang khas. Setiap persepsi dan aturan yang dibuatnya dilandaskan
pada Ideologi Kapitalisme. Berbeda halnya dengan masyarakat Indonesia,
misalnya. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat tidak khas, atau bisa disebut
dengan masyarakat gado-gado. Sehingga
bila dikatakan Indonesia bercorak Kapitalisme, juga sah-sah saja di satu sisi.
Tetapi pada sisi yang lain, Indonesia bisa disebut bercorak nasionalis, Komunis
dan juga Agamis. Oleh karena itu, bisa kita pahami pada masa Soekarno terdapat
sebutan NASAKOM (Nasionalis, Agamis dan Komunis). Di satu sisi, masyarakat
Indonesia yang mayoritas muslim ini memluk aqidah islam. Tapi pada sisi yang
lain, bertentangan secara diametral pola berpikirnya dengan Islam. Secara
I’tiqodi, masyarakat muslim di Indonesia mengakui haramnya perzinaan. Akan
tetapi, yang bisa kita saksikan di lapangan justru berkebalikan seratus persen.
Banyak panti-panti pijat yang berdiri dan legal disamping memberikan layanan
pijat juga layanan plus penuh aroma syahwat, prostitusi dilegalkan berdiri,
pergaulan bebas menjadi budaya, perempuan-perempuan yang tidak risih lagi
mengumbar auratnya, seolah-olah mereka mendapatkan legitimasi dengan adanya HAM
(Hak Asasi Manusia) yang mendapat payung hukum di negeri ini. Ketika ditanyakan
kepada masyarakat mengapa ini semua terjadi bukankah mereka semua kebanyakan
Muslim. Maka jawaban yang sering terdengar adalah bahwa sebagai muslim di saat
ibadah mengahadap Allah.Tetapi, kita juga tidak boleh kuper ketinggalan
kemajuan jaman. Pergaulan bebas, pacaran, night club dan budaya-budaya barat
adalah simbol kemoderenan. Inilah standar ganda yang digunakan dalam menilai
segala sesuatu. Standar ganda ini akan dipertahankan dan menjadi qadhiyyah
mashiriyyahnya. Mereka siap membela mati-matian hal ini. Bahkan
pernyataan-pernyataan sebagian Tokoh Nasional yang menggambarkan pembelaannya
terhadap pemikiran-pemikiran liberal bisa kita sebutkan misalnya Soekarno yang
menyatakan jika ia adalah pengemar Che Guevara (Pahlawan Revolusi Sosialis
Kuba), atau bahkan Gusdur yang selama kehidupan beliau pemikran dan perilakunya
menunjukkan pandangan Pluralismenya. Begitu pula Nurcholis Madjid dengan
Paramadinanya dan Ulil Abshar dengan JIL (Jaringan Islam Liberal)nya. Demikian
secuplik gambaran masyarakat Indonesia yang menjadikan pemikiran Barat baik itu
Demokrasi-Liberal maupun Demokrasi-Sosialisme di satu sisi sementara di sisi
lain mayoritas mengklaim diri mereka sebagai Muslim. Bahkan, Penguasa Negeri
ini mengamini dengan memberi label ‘Teroris’ terhadap siapa saja yang berusaha
memperjuangkan kondisi umat Islam di Indonesia untuk kembali kepada Islam
secara kaffah (menyeluruh).
Umat Islam sebagai
sebuah entitas juga memiliki qadhiyyah mashiriyyah. Individu-individu Muslim
yang membentuk sebuah masyarakat muslim pastinya memiliki kesamaan persepsi dan
aturan yang lahir dari aqidahnya. Hal ini selanjutnya akan mengarahkan standar
bagi masyarakat muslim tersebut. Berikut ini beberapa hal yang menjadi
qadhiyyah mashiriyyah(persoalan utama) yang wajib dipahami dan diperjuangkan
oleh umat Islam. Adapun penentuan qadhiyyah mashiriyyah bagi muslim itu hanya
didasarkan pada nash-nash syara’ bukan didasarkan pada akal, nafsu dan
kepentingan.
Sabda Rasul SAW yang
menyatakan:
Artinya: “ Aku diutus
untuk memerangi manusia sehingga mereka mengucapkan Syahadat Laa Ilaha Illallah
wa anna Muhammadan Rasulullah, Apabila mereka mengatakannya maka terjaga dariku
harta dan jiwa mereka kecuali dengan haq yang ditentukan Islam”.
Rasul SAW diutus Allah
SWT dengan membawa Islam dalam rangka membebaskan manusia dari penghambaan
kepada makhluk menuju penghambaan kepada Al-Khaliq, Allah SWT dengan pernyataan
syahadat. Dakwah ditetapkan oleh as-Syari’ (Allah SWT) sebagai metode baku
dalam rangka mengemban Islam ke seluruh dunia. Setiap muslim wajib menjadikan
setiap aktivitas dalam kehidupannya berporos kepada dakwah. Bahkan sampai
diancam akan dibunuh tidak akan menjadikan seorang muslim gentar dalam memegang
teguh Islam dan menyuarakannya pada semua situasi dan kondisi yang
melingkupinya. Apatah lagi, bila terdapat penghinaan terhadap Islam dan umatnya
oleh orang-orang kafir durjana, seorang muslim tidak akan tinggal diam selain
akan memberikan pengorbanan yang terbaik untuk membela kemuliaan islam dan
umatnya. Sebagai contoh, ketika Nabi Muhammad SAW dilecehkan dengan beredarnya
karikatur beliau di media cetak Jilland Posten, dengan lantang seorang muslim
akan menuntut kepada penguasa dua pilihan yang harus diberikan kepada sang
kartunis, Geert Wilders; bahwa ia masuk Islam atau dibunuh. Inilah adalah
hukuman setimpal yang ditentukan syara’ bagi mereka yang melanggar kehormatan
Allah dan rasul-Nya. Apabila ia seorang muslim maka hukumannya adalah dibunuh,
sedangkan jika sang penghina Allah dan Rasul-Nya tersebut adalah seorang kafir
maka diberi pilihan jika tidak mau menjadi muslim maka dibunuh. Adapun
eksekutor dari sangsi ini adalah Penguasa Daulah islam yakni Khalifah. Hanya
seorang Khalifah yang akan taat terhadap setiap ketentuan Syara’ karena ia
diangkat dalam rangka untuk menerapkan aturan Islam. Berbeda halnya penguasa
sekuler saat ini banyak sekali hukum Islam yang diabaikan bahkan mereka berani
mencemo’ohnya dengan sebutan-sebutan yang tak layak. Sedangkan tuntutan kepada
penguasa agar mereka mau tunduk dengan segenap ketentuan syara’ termasuk di
dalamnya adalah pelaksaan hukuman bagi sang Penghina Nabi SAW. Secara otomatis
di dalam tuntutan ini terdapat tuntutan yang lebih urgen adalah supaya penguasa
menegakkan sistem khilafah dan menerapkan Islam.
Sistem Khilafah yang wajib untuk
diperjuangkan umat islam agar bisa tegak yang akan menerapkan Islam baik di
dalam negeri maupun di luar negeri. Khilafah akan menyebarkan Islam ke luar
negeri dengan dakwah dan jihad. Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh sabda
Rasul SAW setiap ketika melepaskan ekspedisi pasukan Islam dengan
pernayataannya:
Artinya:” …. Serulah
mereka dengan Islam, jika mereka menerima maka terimalah keislamannya, dan
cukuplah bagi kalian. Sementara jika mereka menolak, maka serulah agar tunduk
kepada pemerintahan Islam. Bila mereka menerima, maka terimalah dan sampaikan
kepada mereka bahwa Allah dan rasul-Nya telah mewajibkan atas mereka membayar
jizyah. Jika mereka menolak, maka berlindunglah kepada Allah SWT lalu perangi
mereka.”
Seruan dalam hadits
tersebut merupakan seruan yang penuh dengan kemuliaan. Seruan yang sarat dengan
nilai keimanan dan ketawakkallan yang mencerminkan ketinggian ruhiyah. Inilah
seruan Islam kepada semua manusia di muka bumi. Sebuah seruan yang menantang
kekufuran. Sebuah seruan yang akan meluluhlantakkan kekufuran dan
kemaksiatan.Sebuah seruan yang akan tetap menerangi wajah kebenaran sehingga
semakin bersinar dan menghinakan semua bentuk kemungkaran, kebatilan dan
kekufuran. Kaum muslimin dengan penuh keyakinan akan datangnya janji Allah yang
akan memberi kemenangan gemilang kepada Islam selama mereka masih mau mengemban
dakwah dan jihad di bawah komando seorang Khalifah. Oleh karena itu keberadaan
Khalifah dijadikan sandaran bagi terlaksananya hukum-hukum Islam. Sedangkan
aktivitas untuk menegakkannya kembali adalah kewajiban terbesar dalam islam.
Ibnu Taimiyah dalam siyasah as-syar’iyyah menyatakan:
Artinya: “ ketahuilah
bahwa pengurusan urusan umat adalah sebagai kewajiban terbesar dalam agama ini,
dan tidak akan tegak agama tanpa keberadaannya (waliyyul amri)”.
Imam Al-Ghazali dalam
kitab al-Iqtshad fi al-I’tiqad menyatakan “addinu ussun wa sulthonuhu haritsun.
Addinu ma la haritsa lahu fahuwa mahdumun.As-sulthonu ma la ussun lahu fahuwa
fadhoifun.(Agama(Islam) adalah pondasi dan kekuasaan adalah penjaganya. Jika
agama tanpa ada penjaga maka agama itu akan hilang/rusak. Sedangkan jika
kekuasaan tanpa ada asas maka menjadi lemah). Di samping itu pula bisa kita
simak pernyataan Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim-nya pada juz 12 halaman
205, sebagai berikut: bahwa seluruh Imam Madzhab sepakat akan wajibnya
menegakkan Khilafah. Kami kira cukuplah beberapa nukilan pendapat para Imam
umat ini akan wajibnya aktivitas menegakkan Khilafah. Bahkan sebagai kewajiban
terbesar dalam Islam. Semua pelaksanaan hukum syara disandarkan pada tegaknya
pemerintahan Islam, yaitu sistem Khilafah. Allah SWT dalam firman-Nya surat
al-Maidah ayat 44, 45 dan 47 dengan tegas menyatakan bagi siapa saja yang tidak
mau berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah SWT maka orang tersebut adalah
orang fasik, dholim dan kafir. Bahkan
ketika Beliau SAW menyaksikan sekelompok Yahudi yang memanipulasi hukum
Allah bagi pezina muhson dengan mencoreng wajah pelaku dikarenakan pelaku
adalah bangsawan menyatakan bahwa sesuatu yang menyebabkan kebinasaan pada
suatu kaum adalah ketika yang bersalah adalah para pejabat, tokoh dan orang
yang terpandang mereka meninggalkannya. Akan tetapi disaat yang bersalah adalah
rakyat kecil maka mereka segera menghukumnya. Kemudian Rasul SAW menegaskan
dalam sabdanya:
Artinya:” Demi Allah
yang jiwa Muhammad berada di dalam genggamanNya. Seandainya Fatimah binti
Muhammad mencuri maka akan aku potong tangannya”.
Perintah Allah SWT
kepada umat Islam agar menghukumi setiap perkara dengan hukum yang diturunkan
Allah SWT adalah kewajiban yang itu tidak akan bisa sempurna tanpa tegaknya
institusi pelaksana Syari’ah yakni Khilafah. Walhasil para Ulama Ushul Fiqh
membuat kaidah yang menyatakan:
Artinya: “Tidak akan
terlaksana suatu kewajiban tanpa sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain tadi
hukumnya adalah wajib”.
Banyak hukum-hukum
Syara’ yang tidak cukup hanya sebatas individu yang melaksanakannya. Kebijakan
politik-pemerintahan, pendidikan, peradilan, pertahanan keamanan dan lain-lain
memerlukan peran Negara sebagai pelaksana dan penjaga.
Rasul SAW bersabda:
Artinya: Tidak halal
darah seorang muslim terhadap muslim lainnya kecuali dalam 4 hal berikut ini:
Orang tua yang berzina (pezina muhson), orang yang membunuh jiwa tanpa alasan
yang hak, orang yang meninggalkan agamanya(murtad) dan yang berpisah dari jama’ah.( )
Hadits tersebut telah
menyebutkan dengan jelas beberapa hal yang tidak mungkin dalam pelaksanaan
hukumnya tanpa ada peran Negara. Bisa dibayangkan jika pelaksanaan eksekusi
tersebut dilakukan oleh individu-individu, maka masalah tidak
terselesaikan.Terjadinya rasa tidak puas keluarga atau ahli waris dari pelaku
kemaksiatan yang dieksekusi tersebut bisa menjurus kepada konflik sosial.
Dengan demikian, tidak bisa dipisahkan peran Negara dengan pelaksanaan hukum.
Di samping itu, dari hadits tersebut dapat dipahami bahwa keempat pelanggaran
yaitu pezina muhson, membunuh dengan sengaja tanpa alasan yang hak, murtad dan
berpisah kesatuan jama’ah umat (baca: Khilafah-penulis) bila dilakukan
seseorang maka status orang itu dihalalkan darahnya. Hanya saja yang perlu
dipahami bahwa dalam rinciannya masing-masing pelanggaran tersebut mempunyai
hukum-hukum tersendiri. Untuk pembuktian perzinaan maka ada dua hal yang
mestinya dilakukan, yaitu adanya empat (4) orang saksi laki-laki yang adil dan
pembuktian terjadinya zina harus dengan jalan hissiyah (penginderaan) yaitu
keempat saksi itu harus melihat langsung proses perzinaan tersebut ibarat
melihat timba yang dimasukkan ke dalam sumur. Artinya qath’i terjadi zina
dengan dibuktikan dengan adanya proses penetrasi hasyafah laki-laki ke dalam
farji wanita. Ditambah lagi pelaku itu sudah menikah atau belum. Begitu pula
pembunuhan. Selama tidak ada pema’afan dari keluarga korban maka pelaku tetap
terkena hukum bunuh. Bagi kemaksiatan berupa murtadnya seseorang dari Islam,
maka selama proses penyadaran dengan meluruskan kembali persepsi-persepsi yang
bengkok tentang Islam sudah tidak bisa diharapkan lagi kembalinya orang
tersebut ke pangkauan islam. Maka pelaku murtad terkena hukuman mati. Perlakuan
yang sama juga akan dilakukan terhadap orang atau sekelompok orang yang
berpisah dari jama’ah baik karena bughat (memberontak kepada Khilafah) atau
sengaja untuk memecah belah kesatuan umat. Bagi para pelaku bughat Islam
menghruskan untuk diajak dialog guna meluruskan kembali pemahaman-pemahaman
yang dimungkinkan ada rasa tidak percaya kepada penguasa. Apabila pada batas
waktu yang ditentukan tidak menjadikan mereka bersatu dengan jama’ah, maka
mereka harus diperangi. Hanya saja perang melawan pelaku bughat dalam rangka
at-ta’dib (perang dalam rangka mendidik). Sama halnya bagi orang atau
sekelompok orang yang merongrong dan memcahbelah umat Islam dengan menyuarakan
ide nasionalisme, Liberalisme, Demokrasi dan lain-lain. Kepada mereka diberi
peringatan untuk kembali ke Islam jika mereka muslim. Jika tidak mau kembali
maka Kholifah menerapkan sanksi ta’zir sesuai dengan kadar perpecahan yang
diakibatkan propagandanya selama ini. Hingga dirasa membahayakan maka ta’zir
yang diberikan adalah hukuman mati. Sebagaimana Rasul SAW bersabda:
Artinya: Siapa saja
yang datang kepada kalian sedangkan urusan kalian semua ditangani oleh satu
orang. Orang yang datang itu hendak memecah belah kesepakatan kalian, atau mau
menceraiberaikan kesatuan kalian, maka bunuhlah ia. (HR. Muslim dalam
shahihnya).
Bahkan kesatuan
kepemimpinan ini diisyaratkan dengan penunjukkan yang pasti dalam suatu hadits
dari Rasul SAW:
“Apabila diba’iat dua
orang Khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya”.(HR Muslim).
Pernah diriwayatkan
dari Imam Ali karramallahu wajhah bahwa beliau didatangi sekelompok manusia
yang mengatakan kepada beliau jika mereka telah menuhankan Ali. Imam Ali dengan
keras menyatakan bahwa mereka semua telah murtad dan berhak untuk dihukum mati.
Setelah terjadi dialog yang cukup lama, mereka masih bersikukuh dengan
pandangannya tersebut. Maka Imam Ali memutuskan akan menghukum mati mereka
dengan cara dibakar. Mendengar ancaman dari Imam Ali ini mereka semakin teguh
memegang keyakinannya. Pernyataan yang mereka lontarkan kepada beliau adalah
tidak ada seorang yang menghukum manusia dengan membakar jika bukan tuhan.
Akhirnya oleh Imam Ali hukum membakar ini pun dilaksanakan walaupun mendapat
banyak kecaman dari para shahabat radhiyallahu anhum.(lihat kitab Kaifa Hudimat
al-Khilafah, Syekh Abdul Qadim Zallum).
Perkara penting lain
yang wajib diperhatikan adalah berkaitan disyari’atkannya jihad. Lafadz jihad
adalah makna syar’ie yang berarti mengerahkan segenap kemampuan, dana, waktu
dalam rangka memerangi orang kafir dengan tujuan untuk menegakkan kalimat Allah
SWT. Jihad disebut sebagai mercusuar Islam. Dengan aktifitas jihad maka seluruh
manusia dapat menyaksikan kerahmatan Islam. Dengan dilakukannya jihad maka
kehormatan dan kedaulatan Islam dan umatnya terjaga. Dilalaikannyaaktifitas
jihad maka kondisi umat Islam menjadi hina dipermainkan oleh orang-orang kafir.
Umat Islam menjadi santapan empuk bangsa-bangsa kafir untuk kemudian
dikerat-kerat menjadi potongan-potongan kecil yang tidak punya daya kekuatan
sehingga mudah dijajah dan dieksploitasi seperti saat ini ketika hukum kufur
Demokrasi diterapkan. Jihad tetap berlangsung hingga hari kiamat baik bersama
dengan Khalifah maupun tidak bersama Khalifah. Jihad tetap wajib dilaksanakan
baik bersama penguasa yang adil maupun bersama penguasa yang fajir(fasik dan
dholim). Aktifitas jihad diwajibkan agar umat Islam tidak dikuasai oleh
orang-orang kafir. Hal ini diisyaratkan Allah dalam firman-Nya:
Artinya:”Allah
sekali-kali tidak akan menjadikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai
orang-orang Islam”.
Patut disadari pula
bahwa wacana yang dikembangkan penguasa sekuler sesuai dengan arahan dan
kenario penjajah adalah menjauhkan spirit jihad ini di tengah umat Islam. Entri
poin yang mereka inginkan dari program wacana Terorisme adalah umat membenci
ajaran Islam dengan menggunakan jihad sebagai titik tolaknya. Artinya jika umat
sudah alergi dengan istilah jihad maka diharapkan umat juga membenci ajaran
Islam yang terkait dengan aktifitas ri’ayatus syu’un (pengurusan urusan umat)
dalam kancah kehidupan ini. Sungguh, ajaran Islam itu sudah tercakup dalam
suatu frase yang singkat dan padat ini yakni, istilah Syari’ah dan Khilafah.
Frase Syari’ah dan Khilafah adalah penggambaran ajaran Islam yang mampu
menjawab dan meyelesaikan semua masalah bidang kehidupan manusia. Pendek kata,
frase Syari’ah dan Khilafah merupakan wujud proklamasi Islam sebagai Ideologi
satu-satunya yang berhak mengatur dan memimpin manusia menuju kehidupan yang
sejahtera. Hal ini menjadi sasaran bidik utama penjajah mengarahkan wacana
Terorisme. Propaganda War on Terorism sebagai strategi untuk menghilangkan
embrio Islam Ideologi. Penampakan di masyarakat secara faktual adanya
Islamophobia. Banyak sekali pernyataan-pernyataan yang menggambarkan hal itu.
“Jangan bicara Negara Islam”, “Islam itu suci, politik itu kotor. Jadi jangan
campurkan Islam dengan Politik”, dan pernyataan-pernyataan lain yang senada
dengan itu. Semuanya mencerminkan ketakutan Barat akan bangkitnya Islam
Ideologi yang akan mengakhiri setiap kepentingan penjajahan mereka. Walhasil,
kita bisa memahami mengapa terjadi dikotomi di kalangan Umat Islam dengan
adanya label ini kalangan Islam Fundamentalis, Islam Eksklusif, Islam
tekstualis, dan Islam strukturalis. Sedangkan pada kubu yang lain terdapat
label Islam moderat, Islam inklusif, Islam kulturalis dan Islam substansi.
Sesungguhnya umat Islam
akan kembali mencapai kejayaan dan kemuliaannya ketika mereka melepaskan diri
dari belenggu penjajahan dan dominasi Barat. Mereka mencampakkan kacamata Barat
yang selama ini dipakai untuk melihat dan menilai Islam. Mereka segera memakai
kacamata keimanan dan kesadaran akan pentingnya terikat dengan semua hukum
islam dan menerapkannya. Mereka segera berjuang bahu-membahu untuk menegakkan
Khilafah Islamiyah yang menjadi tonggak kemuliaan mereka. Mereka segera
mengambil aset-aset yang merupakan milik umat Islam dari tangan penjajah.
Mereka segera mengusir penjajah dari bumi kaum muslimin. Mereka segera
mencampakkan perundang-undangan kufur yang selama ini menyengsarakan mereka.
Mereka segera membuang Demokrasi, Kapitalisme, Liberalisme, Toleransi anatar
Agama, Sosialisme, Hedonisme dan isme-isme bejat yang lain ke tempat sampah.
Kini umat Islam mulai bangkit bersatu merapatkan barisan menyongsong fajar
kebangkitan Islam. Mereka sadar betul bahwa untuk bisa menjaga Islam dan
kehidupan ini adalah dikembalikannya lagi pemerintahan Islam (Khilafah). Mereka
paham betul akan makna yang dikandung dalam sabda Rasul SAW berikut:
Artinya: “ Sungguh akan
runtuh bangunan kemuliaan islam, tahap demi tahap. Ketika satu bagian runtuh
maka akan menarik bagian berikutnya. Dan
yang pertama runtuh adalah pemerintahan dan yang terakhir runtuh adalah
shalat” (HR. Imam Ahmad dari Abu Umamah al-Bahili, al-Musnad juz 5 hal 251).
Terkait dengan hadits tersebut, bisa kita
simak pernyataan dari Lord Curzon beberapa saat setelah mereka, Inggris dan
anteknya Musthofa Kemal Laknatullah alaih meruntuhkan Khilafah Utsmaniyah pada
3 Maret 1924 M atau bertepatan dengan 28 Rajab 1342 H, bahwa ia mengatakan kita
(Ingris) berhasil menghancurkan pusat kekuatan Islam yaitu Khilafah. Tinggal permasalahan kita adalah
berupaya dengan segala cara menjauhkan Islam dari umatnya bahkan kita buat mereka
benci terhadap ajaran agamanya sendiri. Inilah agenda terselubung yang belum
terungkap dengan gamblang di tengah-tengah umat. Walaupun sebagian dari umat
sudah mengetahui agenda ini mereka masih belum bisa memahami bahaya dari
strategi yang penjajah berusaha untuk mewujudkannya. Umat Islam kebanyakan
belum bisa menggambarkan dengan jelas dan jernih bentuk dan sistem Khilafah
dalam benaknya hingga disebut bahwa Khilafah adalah simbol kekuatan dan
kemuliaan umat. Bahkan kebanyakan umat islam akan mengatakan bahwa perjuangan
untuk menegakkan pemerintahan Islam adalah pekerjaan orang-orang yang belum
bangun dari mimpi-mimpi indahnya. Wajar jika sebagian besar umat Islam ini
belum bisa mendapatkan gambaran riil bangunan pemerintahan Islam itu, karena
selama ini bahkan semenjak mereka dilahirkan pranata kehidupan yang ditemui
sudah diatur oleh Kapitlisme-Sekuler dengan Demokrasi sebagai sistem politik
dan pemerintahannya. Akan tetapi, di balik kebingungan dan ketidaktahuan umat
akan gambaran sistem Khilafah, terdapat segolongan umat Islam yang mempunyai
kesadaran yang tinggi akan pentingnya perjuangan bagi tegaknya Khilafah. Mereka
adalah orang-orang yang memahami bahwa keterpurukan Islam dan umatnya saat ini
karena umat Islam tidak memahami qadhiyyah mashiriyyahnya. Sesungguhnya
tegaknya Khilafah menjadi sandaran utama bagi pelaksanaan hukum-hukum Islam
secara riil dalam kehidupa, merupakan qadhiyyah mashiriyyah umat Islam yang
wajib diperjuangkan siang dan malam. Kelompok sadar di tengah-tengah umat
berusaha terus-menerus secara masif menyadarkan umat akan pentingnya menegakkan
pemrintahan Islam yaitu Khilafah sebagai sandaran utama dalam penerapan hukum
Syara’. Siang dan malam tanpa mengenal lelah kelompok sadar ini berusaha
memberikan gambaran yang utuh tentang Khilafah kepada umat dengan harapan timbul
kerinduan dalam diri umat untuk segera memperjuangkannya dan hidup di dalam
naungannya. Kelompok sadar ini bergerak dan bergerak terus di tengah-tengah
umat untuk menjadikan qadhiyyah mashiriyyah kelompok menjadi qadhiyyah
mashiriyyah umat Islam. Menjadikan Syari’ah dan Khilafah sebagai persoalan
utama umat Islam yang wajib diperjuangkan walaupun dengan pilihan antara hidup
dan mati. Tegaknya Syari’ah dan Khilafah ini menjadikan eksisnya ajaran Islam
sehingga menjadi mercusuar dunia hingga manusia di bumi merasakan sentuhan
rahmatnya. Kelompok sadar ini terus maju hingga pertolongan Allah SWT datang
kepada mereka. Hingga Allah mencatat mereka sebagai orang-orang yang ikhlash
dalam perjuangan Syari’ah dan Khilafah. Mereka hanya berharap pahala di sisi Allah
SWT dan pertolonganNya untuk segera mewujudkan janji-Nya yaitu tegaknya
Syari’ah dan Khilafah.
Jika kita melihat ke
belakang yakni rentangan sejarah yang menampilkan tragedi penghancuran Khilafah
oleh Barat dan antek-anteknya, kita akan mengerti sampai seberapa mendasar dan
urgen bagi umat Islam untuk memahami persoalan-persoalan yang menjadi qadhiyyah
mashiriyyahnya. Pemahaman terhadap qadhiyyah mashiryyah ini menentukan hiudp
dan matinya sebuah bangsa, umat dan sebuah peradaban manusia. Eksisnya sebuah
peradaban bangsa dan umat ditentukan sampai sejauh mana kesadarannya terhadap
persoalan yang menjadi qadhiyyah mashiriyyahnya. Begitu juga sebaliknya,
hilangnya sebuah peradaban manusia dipengaruhi oleh smapai sejauh mana
kesadarannya terhadap persoalan yang menjadi qadhiyyah mashiriyyahnya. Sungguh
sesaat pasca diruntuhkannya Khilafah Utsmaniyah, umat telah memahami bahwa
Khilafah mereka telah diabolish. Majelis umat saat itu sudah menyatakan
ketidaksetujuannya pada upaya dari Mushthofa Kemal untuk menghapus institusi
ke-Khilafahan. Hanya saja mereka semua hanya sebatas mengecam. Mereka hanya
sebatas menolak. Mereka hanya sebatas memperbincangkannya. Mereka hanya sebatas
beretorika. Mereka tidak melakukan aksi nyata penolakan. Mereka tidak melakukan
aksi nyata pemboikotan. Mereka tidak melakukan aksi nyata mengangkat senjata
bersama umat untuk melengserkan penguasa yang sudah menampakkan kufron bawahan
(Kekufuran yang nyata). Upaya penghapusan Khilafah dan menggantinya dengan
Republik Turki dan sekuler merupakan kekufuran yang nyata. Wajib bagi umat
Islam keseluruhannya mengangkat senjata menggulingkan penguasa kufur seperti
ini. Saat itu mereka menyaksikan tragedi memilukan ini. Akan tetapi mereka
tidak mengangkat senjata. Sementara itu, Mushthofa Kemal dan antek-antek
Inggris yang lain dengan berani dan kurang ajar melakukan aksi-aksi brutal
untuk memaksakan agenda tuannya. Anjing-anjing Inggris ini selalu menggonggong
kepada setiap orang yang tidak sepakat dengan rencana penghapusan Khilafah.
Cara-cara keji dilakukannya demi memuluskan jalan menuju terhapusnya Khilafah.
Penculikan, pembunuhan, tekanan senjata dan pembunuhan karakter dilakukan.
Akhirnya perjanjian Lausanne pun ditandatangani antara Inggris dan Mushthofa
Kemal yang berisi 4 (empat) poin yaitu: Penghapusan institusi Khilafah,
Pengusiran Kholifah Sultan Abdul Majid II dan keluarga, Penyitaan semua harta
Khalifah, dan dibentuknya Negara Sekuler Turki. Pada selanjutnya, Mushthofa
sebagai Presiden pertama turki Sekuler dengan mulus nyaris tanpa rintangan
menggulirkan agenda-agenda sekulerisasi Turki. Pelarangan adzan dengan bahasa
Arab tapi wajib menggunakan bahasa Turki, pelarangan sholat dengan bahasa Arab
tetapi wajib menggunakan bahasa turki, pelarangan pemakian busana muslimah
(khimar dan jilbab) bahkan kebiasaan Mushthofa selama berkuasa adalah
berfoya-foya dan bermaksiat. Hingga dalam kematiannya, ia mengalami penyakit
kelamin. Ironisnya, jenazah Mushthofa kemal disholati dengan menggunakan bahasa
Turki. Itulah kehinaan yang ditimpakan Allah SWT kepada Sang Konspirator
penghapus Khilafah.
Memang ada upaya
membangkitkan umat dengan kesadaran umtuk mengembalikan ke-Khilafahan lagi.
Pada tahun yang sama beberapa bulan setelah Khilafah diabolish, ada suatu
momentum bersejarah yakni konferensi Hijaz
yang menghasilkan petisi hijaz yang isinya adalah bagaimana seluruh
Ulama berupaya untuk mengembalikan Khilafah Islamiyah. Ulama dari Indonesia
juga menjadi delegasi dalam konferensi akbar itu, salah satunya KH. Wahab
Hasbullah. Hasilnya sebagai tindak lanjut dari petisi Hijaz tersebut di
Indonesia didirikanlah Organisasi Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Masyumi,
Persis dan lain-lainnya. Begitu pula di timur Tengah bermunculanlah
harakah-harakah Islam. Baik itu Ikhwanul Muslimin, Jama’ah Tabligh, Tandhimul
Jihad, Hizbut Tahrir al-Islami dan lainnya. Semua Gerakan dan Kelompok Dakwah
itu dijiwai satu semangat kesadaran akan pentingnya kehidupan Islam yang
merupakan suatu kehidupan dengan diterapkannya Syari’at Islam di bawah naungan
Khilafah.
Umat Islam dalam
perjalanan sejarahnya semenjak Khilafah diruntuhkan orang Kafir, selalu
berjalan dalam upaya menyongsong tewujudnya Janji Allah SWT dan Rasul-Nya akan
tegaknya Khilafah jilid II. Banyak sekali nash dari Al-Qur;an dan Hadits yang
menyatakan janji tersebut. Mereka berupaya memiliki sikap positif sebagaimana
sikap positif yang ditunjukkan oleh para Shahabat ridhwanullahi alaihim dalam
rangka menyambut datangnya janji Allah SWT dan Rasul-Nya. Sikap positif itu
ditunjukkan dengan adanya upaya yang sunguh-sungguh tidak mengenal lelah untuk
selalu mendakwahkan Islam sehingga Islam menjadi masalah utama umat. Jika umat
Islam sudah menjadikan Syari’ah dan Khilafah sebagai masalah utama mereka, maka
perjuangan ini sudah dekat dengan pertolongan Allah SWT dan terwujudnya janji
Allah SWT dan Rasul-Nya.
Berikut ini beberapa
nash yang menunjukkan kepada kita akan janji Allah SWT dan Rasul-Nya. Allah SWT
berfirman dalam surat An-Nur ayat 55 yang menyatakan:
Artinya:” Allah telah
berjanji kepada orang-orang beriman dan yang beramal sholeh di antara kamu,
bahwa Allah sungguh-sungguh akan menjadikan kamu berkuasa di muka bumi
sebagaimana umat-umat terdahulu telah berkuasa. Allah sungguh-sungguh akan
meneguhkan agama yang diridhoi-Nya, dan sungguh-sungguh Allah akan mengganti
keadaan mereka yang diliputi ketakutan dengan keadaan yang aman sentausa.
Mereka menyembah-Ku dan tidak mempersekutukan-Ku dengan yang lain. Dan barang
siapa yang ingkar setelah janji ini maka ia adalah orang fasik”.
Dalam hadits Rasul SAW
juga disebutkan:
Artinya:” Urusan agama
ini akan menjadi sempurna hingga orang yang berjalan sendiri dari kota Shan’a
ke Hadramaut merasa aman. Hanya saja kamu terkadang bersikap isti’jal
(tergesa-gesa).
Artinya: “ Nanti akan
ditaklukan dua kota yaitu Konstantinopel dan Roma. Shahabat bertanya: Manakah
yang akan ditaklukan lebih dulu ya Rasul SAW? Konstantinopel kota Heraklius
yang akan ditaklukan pertama kali kemudian baru Roma”.
Sungguh-sungguh berita
gembira dari Allah SWT dan Rasul-Nya dalam nash-nash tersebut sarat dengan
kemuliaan. Penaklukan yang dilakukan oleh umat Islam menggambarkan kebangkitan
umat yang mengemban dakwah ke seluruh alam. Kalimat Allah menjadi tinggi dan
mulia. Dan kalimat kekufuran menjadi hina dina. Inilah gambaran kebangkitan
Islam. Kebangkitan Islam hanya akan bisa diraih ketika Syari’at Islam menempati
kedaulatan tertinggi dengan penerapannya di bawah naungan Khilafah islamiyah.
Rasul SAW bersabda
dalam sebuah hadits:
Artinya: “
………..kemudian akan tegak kembali Khilafah di atas manhaj kenabian”. (HR. Ahmad
dalam Musnadnya).
Demikianlah beberapa
hal yang menjadi qadhiyah mashiriyah umat Islam berdasarkan A-Qur’an dan
as-Sunnah. Wahai umat Islam sadarilah bahwa hanya dengan penerapan Syari’at
Islam yang berasal dari Allah SWT di bawah naungan institusi yang
direkomendasikan Allah SWT dan Rasul-Nya
yaitu Khifah Islamiyah yang akan menjamin ketentraman dan kesejahteraan
hidup.
No comments:
Post a Comment