ZINA DILAKUKAN, SUKA SAMA SUKA
TETAP DIKUTUK, OLEH ALLAH
MANUSIA TINGGI, MARTABATNYA
BUKAN BINATANG, BISA SEMAUNYA.
Hikmah di Balik Syariat
ZINA SUKA SAMA SUKA TETAP DILARANG
Drs.Muhammad Rakib,S.H.,M.Ag
بسم الله
الرحمن الرحيم
Yang jadi fikiran penulis, apa hikmahnya pengharaman zina, sekalipun suka samasuka.
ZINA DILAKUKAN, SUKA SAMA SUKA
TETAP DIKUTUK, OLEH ALLAH
MANUSIA TINGGI, MARTABATNYA
BUKAN BINATANG, BISA SEMAUNYA.
HIKMAHNYA AGAR TERBUKA POLIGAMI
BANYAK WANITA BISA, TERAYOMI
JANDA-JANDA, TERLINDUNGI
KETURUNAN BERSIH, DIRIDOI ILAHI
Solusi
Islam
Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, yakni
kemenangan atau kesuksesan Iblis dalam menggelitik potensi kepenasaran seksual
manusia, maka Islam pun memberikan tuntunan-tuntunan mengenai interaksi antara
pria dan wanita. Tuntunan-tuntunan tersebut membentuk suatu pola pergaulan yang
khas Islam, yang jika dicermati, merupakan suatu pola pergaulan yang elegan dan
modern, beradab dan estetis. Kesan ini hanya bisa dirasakan oleh mereka yang
mempunyai hikmah, kebijaksanaan.
JANGAN-janganlah
kita heran mengapa hukuman zina bagi yang
masih lajang terlihat lebih ringan daripada bagi yang sudah menikah. Tentu
saja, yang demikian itu karena Islam memahami bahwa rasa penasaran seorang lajang tentu jauh lebih besar
daripada yang sudah menikah, sehingga godaannya pun lebih besar. Itulah sebabnya mengapa Nabi mengatakan,”Menikahlah
kalian, karena menikah itu bisa menjaga pandangan dan menjaga kemaluan”.Tidak
lupa pula, kita mesti sering mendengar pada khutbah walimatul-‘urus bahwa Nabi berkata,”Apabila
seorang suami melihat seorang wanita di jalanan yang menarik hatinya, maka
hendaknya ia segera pulang karena ia akan mendapati apa yang menarik hatinya
itu pada diri isterinya”. Singkatnya,
seorang yang sudah menikah tentunya lebih terjaga. Karena itu, jika dalam
kondisinya seperti itu, dia masih juga berzina maka tidaklah aneh jika
hukumannya pun lebih berat, dirajam sampai mati.
Satu kesimpulan yang bisa kita petik dari
rangkaian kalimat diatas ialah bahwa godaan seksual pada diri seseorang yang
masih lajang amatlah hebat dan dahsyat. Wajar saja, jika Nabi menjadi khawatir
dan berkata,”Wahai sekalian pemuda, siapapun diantara kalian yang telah
mampu menikah maka menikahlah karena menikah itu bisa menjaga pandangan dan
menjaga kemaluan. Jika kalian belum mampu maka banyak-banyaklah berpuasa,
karena puasa itu perisai (terhadap syahwat)”.
Selanjutnya, marilah kita renungi mengapa zina
dilarang oleh Islam. Bukankah jika perbuatan itu dilakukan oleh dua orang yang
suka sama suka [apalagi jika orangtua dari kedua belah pihak juga sama-sama
rela atau bahkan senang] maka bukankah kelihatannya hal itu tidak merugikan
siapa pun juga ? Bahkan kelihatannya saling memberikan kenikmatan dan keuntungan
?
Mengapa Zina Dilarang?
Zina ma’qubat
(yang bisa dikenai hadd) ialah perbuatan dimana seorang laki-laki dan
perempuan yang jelas-jelas tidak diikat oleh pernikahan yang sah (menurut
syariat Islam), melakukan hubungan kelamin sedemikian sehingga hasyafah si laki-laki masuk kedalam farj si wanita, tidak peduli apakah terjadi
orgasme ataukah tidak. Dalam hal ini, pelaku-pelaku harus berada dalam kondisi
terikat taklif. Mereka yang terbebas dari taklif adalah:
- Yang tidak berakal: belum baligh, gila, tidur.
- Yang dipaksa (mukrah).
- Yang terpaksa (mudhtarir).
Disamping itu, ‘uqubat (hukuman, hadd) baru bisa dijatuhkan
apabila tidak ada syubhat.
Zina dengan definisi diatas itulah yang akan
dikenai sanksi (‘uqubat)
duniawi. ‘Uqubat duniawi ini merupakan aspek zhahiriyah
yang diatur oleh syariat. Fungsi ‘uqubat tersebut adalah untuk memberikan
pelajaran kepada masyarakat dan juga kepada pelaku. Sementara itu, aspek
batiniyah merupakan urusan antara pelaku dan Allah.
- Jika secara batin ia bertaubat dan ditunjukkan dengan kesediaannya
di-hadd maka
Insya Allah ia diampuni oleh Allah.
- Jika ia di-hadd karena dipaksa oleh kondisi (yakni akibat divonis
berzina atas dasar persaksian
orang lain) sedangkan secara batin ia tidak mau bertaubat maka ia masih
punya urusan dengan Allah.
- Jika secara batin ia bertaubat namun tidak bersedia di-hadd (karena takut atau malu misalnya)
maka:
- Taubatnya patut diragukan, barangkali belum mencapai taubat nasuha.
- Jika rasa takut atau malunya merupakan perasaan kemanusiaan yang
berlebihan dalam dirinya, sehingga ia tidak bersedia mengakui perbuatannya
(yang berakibat ia bisa di-hadd), maka urusannya terserah
Allah saja.
- Jika ia harus di-hadd karena vonis yang diakibatkan
oleh persaksian yang benar dari orang lain, maka tidak ada jalan lain
baginya kecuali memenuhi panggilan hukuman. Jika ia melarikan diri, wajib
bagi pemerintah untuk mengejarnya, sebab ia telah melakukan tindak melawan
hukum, yang berarti melawan syariat, yang berarti pula melawan Allah dan
rasul-Nya.
Adapun pengertian zina yang hakiki, tidaklah terkait dengan
bisa jatuhnya hadd atau tidak. Setiap bentuk hubungan kelamin antara dua orang
berlainan jenis yang tidak diikat dalam pernikahan yang sah (menurut syariat
Islam) adalah zina, tidak peduli terjadi orgasme ataukah tidak, dan tidak
peduli apakah perbuatan itu jelas di mata hakim atau tidak (dalam rangka
menjatuhkan hadd). Tetapi keterikatan terhadap taklif tetap merupakan prasyarat
bahwa perbuatan yang sedemikian itu bisa disebut sebagai zina. Sebagai contoh,
jika dua orang berlainan jenis yang tidak diikat oleh pernikahan yang sah
melakukan hubungan kelamin secara sengaja maka keduanya dikatakan telah berzina
secara hakiki, meskipun keduanya tidak mengaku atau tidak ada kesaksian yang
cukup dari orang lain atas perbuatan mereka, sehingga hakim tidak bisa
menjatuhkan hadd.
Sementara itu, berbagai bentuk perbuatan yang mengarah kepada
zina hakiki (yakni berupa hubungan kelamin) termasuk dalam kategori mendekati
zina, dan hukumnya adalah haram berdasarkan hukum Al-Qur’an. Contohnya adalah
berbagai bentuk hubungan badan tanpa hubungan kelamin, bercengkerama yang
mengarah kepada zina, berdua-duaan, pergaulan bebas, dan segala hal yang
terangkum dalam apa yang biasa dikenal sebagai berpacaran, adalah haram karena
tergolong mendekati zina, yang mana hal itu telah jelas-jelas diharamkan oleh
Allah melalui Al-Qur’an.
Dalam hukum Barat, dua orang yang berzina atas dasar suka
sama suka tidaklah dikategorikan melanggar hukum. Atau, jika tidak ada tuntutan
kepada lembaga peradilan maka masalah ini bukanlah perkara hukum. Namun secara
adat, sebagian besar masyarakat (termasuk non muslim) masih menganggap zina
sebagai perbuatan tercela (aib). Anggapan ini tidak lain berasal dari fitrah
kemanusiaan mereka. Buktinya, binatang tidak pernah menganggap perbuatan
semacam itu sebagai perbuatan tercela.
Dalam Islam, justeru yang dilakukan secara suka
sama suka itulah yang dinamakan dengan zina. Jika dilakukan secara paksa (yakni
memperkosa) maka pemerkosa telah dikategorikan melakukan tindak hirabah, bukan lagi
zina. Sementara yang diperkosa tidak dihukum, karena ia dipaksa. Hanya saja
perlu dicatat bahwa‘uqubat zina
tidak akan jatuh apabila tidak ada pengakuan dari pelaku atau tidak ada
tuntutan kepada pelaku (melalui persaksian yang memenuhi syarat).
Jadi, karena hukum Barat tidak mempunyai sandaran
transendental, namun sekedar atas dasar humanisme (anthropo-sentris),
maka sesuatu yang dilakukan atas dasar rela sama rela (tidak dipermasalahkan di
kalangan manusia) – meskipun sebetulnya keji menurut agama, seperti perkara
zina - sama sekali tidak diatur ketentuannya. Artinya, tidak dianggap sebagai
bentuk pelanggaran hukum. Namun hukum Islam tidaklah demikian. Ia bersifat
Ilahiyah (transendental). Meskipun seluruh manusia rela (ridha) namun Allah
tidak ridha maka itu sudah termasuk pelanggaran hukum. Barangkali konsep ini
akan lebih mudah dimengerti apabila dibahas dalam terminologi haqq Allah dan haqq
al-Adamiy. Dalam hal ini, meskipun suatu pelanggaran hukum hanya berkaitan
dengan haqq Allah maka itu sudah dikatakan sebagai
pelanggaran hukum (yang bisa mendatangkan hukuman). Dan apabila diteliti secara
amat mendalam, pada setiap bentuk pelanggaran hukum yang menyangkut haqq Allah saja sekalipun, mesti mengandung
hikmah bagi kemaslahatan manusia.
Jadi, zina dilarang oleh Islam, bukanlah atas
dasar seseorang yang berzina akan merugikan sesamanya (baik pasangan zinanya
ataupun masyarakat). Namun, zina dilarang sebagai suatu hudud Allah (batasan-batasan Ilahiyah).
“Tilka hudud
al-Lah fa la taqrabuha (Yang demikian itu merupakan hudud Allah maka janganlah
kalian mendekatinya)”.
“Wa la
taqrabu al-zina (Janganlah kalian mendekati zina)”.
Permasalahan yang hampir sama adalah larangan
Allah kepada Adam agar tidak mendekati sebuah pohon di surga. Allah melarang
Adam tanpa memberikan penjelasan yang memuaskan kecuali hanya “fa takuna min al-zhalimin
(sehingga kalian berdua akan termasuk kedalam golongan orang-orang yang
aniaya)”.
Demikian juga dengan zina. Allah tidak memberikan
penjelasan panjang lebar kecuali hanya “innahu
kana fahisyat wa sa’ sabil(a)”. Dari
ungkapan tersebut, kita tahu bahwa Allah melarang zina karena zina itu:
1. Fahisyat (keji)
2. Sabil al-su’ (jalan yang buruk)
Secara umum, Allah memang melarang segala bentuk fahisyat (Jmk: fahsya’). “Inna al-Lah ya’murukum bi al-‘adl
wa al-ihsan wa
yanhay ‘an al-fahsya’ wa
al-munkar wa al-baghy”.
Dalam sebuah kamus disebutkan:
Al-fuhsy: al-qabih min al-qaul aw al-fi’l.
Al-fahisy
(Muannats: al-fahisyat): al-qabih.
Jadi secara lughawi, fahisyat berarti segala yang buruk dan tercela,
baik perkataan maupun perbuatan. Karena itu sudah cukup tepat kiranya jika fahisyat diterjemahkan sebagai “perbuatan
keji”. Hanya saja permasalahannya kemudian adalah buruk atau keji menurut
siapa? Jawabannya adalah buruk menurut Allah (karena Dia sendiri telah
menyatakan demikian dalam Al-Qur’an) dan juga buruk menurut fitrah kemanusiaan
(sebelum fitrah itu terkotori).
Sekarang kita membahas tentang zina sebagai sabil al-su’ (jalan yang buruk). Sabil (jalan) ialah suatu sarana
untuk mengarahkan sesuatu kepada tujuan (target). Zina merupakan sarana yang
mengantarkan manusia kepada kesengsaraan dan kehinaan. Dalam hal ini yang jelas
adalah kesengsaraan dan kehinaan di akhirat. Apakah zina juga akan
mengakibatkan kesengsaraan dan kehinaan di dunia? Ya. Kalaupun sepintas lalu
terlihat tidak demikian, ketahuilah bahwa secara hakiki (minimal di mata
Allah) zina akan
menyebabkan kesengsaraan dan kehinaan di dunia ini. Jalan ke Surabaya tidak
akan mengantarkan orang ke Madiun. Perumpamaan ini menggambarkan bahwa zina
sekali-kali tidak akan pernah mengantarkan pelakunya kepada kebaikan yang
hakiki. Tidak akan pernah!
Kalau ada sabil
al-su’ maka tentunya juga
ada sabil al-khair, yang
dalam hal ini adalah “al-ladzina
hum li furujihim hafizhun illa ‘ala azwajihim aw ma malakat aimanuhum fainnahum
ghairu malumin, fa man ibtaghay wara’a dzalika fa ulaika hum al-‘adun” (yakni
orang-orang yang menjaga kemaluannya kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau
budak-budak mereka. Mereka itu bukanlah orang yang tercela. Adapun barangsiapa
menempuh jalan selain itu maka mereka adalah orang-orang yang melampaui batas).
Dari nash-nash yang ada, dapat dilakukan istiqra’ (inferensi induktif) bahwa zina
dilarang dalam rangka daf’
al-mafasid wa jalb al-mashalih (mencegah
kerusakan dan mendatangkan kemaslahatan). Secara lebih khusus, pelarangan zina
merupakan penjagaan terhadap al-‘irdh (kehormatan) atau al-nasl (keturunan), yang mana hal ini
termasuk kedalam al-dharuriyyat
al-mu’tabarat.
Berangkat dari pemahaman bahwa dilarangnya zina merupakan hudud Allah maka implikasinya adalah bahwa
kegagalan manusia dalam menyingkap hikmah-hikmahnya tidaklah akan bisa
membatalkan pelarangan zina. Lagipula, berhasil tidaknya usaha-usaha menyingkap
hikmah amat bergantung pada kemampuan akal manusia. Padahal, akal manusia
bersifat terbatas.
Baiklah, mari kita mencoba mencari hikmah dibalik pelarangan
zina:
- Apabila zina dibiarkan berkembang marak maka lembaga pernikahan
(keluarga yang sah) akan rusak. Lahirlah anak-anak hasil zina tanpa ayah,
yang akan tersia-siakan dan terlantar. Anak tersebut tidak mempunyai nasab
yang jelas (ibnu man). Dalam Islam, nasab yang diakui adalah nasab patrilinier
hasil pernikahan yang sah.
- Karena tidak mempunyai ayah yang sah maka hak-haknya untuk mendapat
warisan menjadi rusak. Apabila anak tersebut seorang wanita, ia akan
kehilangan kewalian seorang ayah. Tanpa ayah, seorang anak juga akan
kehilangan pendidikan yang seharusnya bisa diperoleh dari seorang ayah (fatherly
guide and advice). Disamping itu, anak akan merasa merana (mengalami
beban psikologis) karena dipandang secara negatif oleh masyarakat. Anjuran
Islam untuk memperhatikan nasab dalam memilih jodoh, akan menjadikannya
tersisihkan. Beban-beban psikologis ini sangat potensial menimbulkan
pesimisme, apatisme, dan berbagai kondisi psikologis yang fatal. Kondisi
ini dalam batas tertentu sangat mudah mendorong si anak menjadi penjahat
dan berbuat nekat.
- Karena hak mewarisi pada si anak menjadi rusak maka lembaga ‘aqilah (penanggung) juga ikut rusak.
- Meskipun pada dasarnya setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah,
namun kondisi ayah dan ibunya juga akan turut menentukan kondisi
(kepribadian) si anak. Bagaimana jika ayah dan ibunya adalah pezina?
- Apabila si ibu meninggalkan anak tersebut, sehingga si anak hanya
tinggal bersama ayahnya misalnya, maka si anak akan kehilangan
kasih-sayang, pemeliharaan, dan pendidikan dari seorang ibu. Padahal,
peran ibu amatlah penting bagi seorang anak.
- Pelarangan zina akan menjaga martabat kemanusiaan. Dengan
menghindari zina, seorang manusia akan menjadi berbeda dengan binatang
(yang bersenggama tanpa harus ada akad nikahnya dulu).
- Pelarangan zina akan mendidik sifat dan sikap bertanggung jawab.
Seseorang yang ingin melampiaskan kebutuhan biologisnya (seksual),
diharuskan menikah terlebih dulu, yang mana didalam pernikahan itu akan
ada tanggung jawab yang harus diemban. Apabila belum mempunyai istitha’ah, seseorang
dianjurkan menahan diri terlebih dulu sembari mempersiapkan diri sebaik-baiknya
untuk mencapai istitha’ah.
Ini semua mendidik rasa tanggung jawab. Lain halnya dengan seorang pezina.
Untuk melampiaskan nafsu seksualnya ia melakukan zina, yang tidak menuntut
tanggung jawab dan tidak meninggalkan beban-beban yang harus diemban sesudah
melakukannya.
- Kasus-kasus zina terbukti telah menaikkan angka aborsi. Sementara
aborsi sendiri adalah suatu dosa besar, disamping juga membahayakan
kesehatan si ibu. Bahkan, seringkali terdengar berita seorang ibu
mencincang-cincang bayi yang baru dilahirkannya akibat zina, kemudian
dimasukkan kedalam plastik dan dibuang ke tempat sampah. Na’udzubillah. Kalaupun
tidak begitu, biasanya seorang wanita pezina akan merasa malu tidak
kepalang begitu melahirkan bayinya, sehingga dengan pikiran yang bingung
ia pun membunuh bayinya.
- Kasus-kasus selingkuh (zina yang dilakukan oleh orang yang telah
berkeluarga) akan menumbuhkan perasaan saling mencurigai, saling membenci,
dan saling mendendam. Hal ini akan menumbuhkan permusuhan dan dendam dalam
masyarakat. Bahkan fenomena ini juga kerap terjadi akibat zina pasangan
muda-mudi (ghairu muhshan). Bagaimana berangnya keluarga si gadis
begitu mengetahui anak gadisnya digauli secara tidak sah!
- Zina akan menumbuhsuburkan berkembangnya penyakit-penyakit kelamin.
Yang paling menghebohkan sampai saat ini adalah HIV/AIDS.
- Hubungan bebas antara laki-laki dan perempuan - yang bisa mengarah kepada zina
- seringkali
menumbuhkan permusuhan dan dendam. Alangkah seringnya terjadi kasus
perkelahian - bahkan
pembunuhan – diantara dua pemuda hanya gara-gara gadis pujaannya dipacari
oleh pemuda lain. Sebaliknya, Islam mencegah fenomena semacam ini. Seorang
muslim dilarang meng-khitbah seorang wanita yang sudah di-khitbah oleh
saudaranya (muslim yang lain).
- Kasus-kasus aborsi akibat zina ataupun teknologi pencegahan
kehamilan yang dimanfaatkan oleh para pezina, akan berdampak pada
penurunan angka kelahiran. Apabila hal ini terjadi di kalangan umat Islam,
maka jumlah generasi muslim akan berkurang. Hal ini berlawanan dengan
tuntutan syariat dan akan menghambat laju kebangkitan Islam.
- Pelarangan zina akan melatih seseorang untuk pandai mengendalikan
dirinya.
- Secara mental-spiritual, orang yang gemar berzina akan kehilangan
kebijaksanaan (kearifan) dan cahaya hati.
Setelah kita merenungi hikmah dilarangnya zina,
marilah sekarang memikirkan makna firman Allah “wa la taqrabu al-zina”. Teks ayat tersebut menunjukkan
larangan mendekati zina (shighat nahy). Larangan
mendekati disini bermakna sadd
dzari’ah (prevensi) atau ihtiyath (kehati-hatian). Kalau mendekati saja
tidak boleh, apalagi melakukannya (qiyas aula).
Mengapa zina tidak boleh didekati? Logika yang
paling mungkin adalah karena Allah tahu bahwa orang yang mendekati zina tidak
akan bisa selamat dari zina – kecuali atas perlindungan dari Allah, sebagaimana
kasus Yusuf as.
Dalam kondisi seseorang dekat dengan zina, godaan
untuk melakukan zina akan dapat mengalahkan dzikir dan rasa takutnya kepada
Allah (baca: lupa diri). Mengapa demikian? Jawabannya adalah karena hebatnya
tipu daya syaithan dan juga karena kelemahan manusia itu sendiri. Diantara
kelemahan manusia adalah
tergesa-gesa, yakni cenderung berpikir pendek dan sulit berpikir jauh ke depan.
Demikianlah, mengapa mendekati zina itu dilarang.
Terminologi “mendekati zina” bersifat relatif,
karena ukuran dekat itu relatif. Yang jelas, semakin dekat suatu perbuatan
kepada terjadinya zina maka semakin besar larangan terhadapnya dan tentu saja
semakin besar dosanya. Jadi, derajat larangan terhadap perbuatan-perbuatan yang
bisa mengarah kepada zina itu berbeda-beda, tergantung pada seberapa dekatnya
kepada terjadinya zina. Semakin jauh seseorang mengambil jarak terhadap
kemungkinan terjadinya zina, berarti dia semakin berhati-hati, aman, dan
terjaga kehormatannya.
Marilah kita renungkan sebuah hadits Nabi yang
menyatakan bahwa Allah telah menetapkan bagi setiap manusia bagiannya dari
zina.
- Zina mata : melihat hal-hal yang diharamkan oleh Allah dalam
melihatnya.
- Zina telinga : mendengarkan hal-hal yang diharamkan
mendengarkannya.
- Zina tangan :
menyentuh lawan jenis yang bukan haknya.
- Zina hati :
mengkhayalkan perbuatan zina.
Sedangkan yang akan membenarkan atau
mendustakannya adalah kelaminnya (yakni terjadinya zina yang hakiki, dalam
bentuk hubungan kelamin).
Dari hadits diatas, dapat dipahami bahwa zina
mata, zina telinga, zina tangan, dan zina hati merupakan perbuatan-perbuatan
mendekati zina. Perbuatan-perbuatan tersebut dilarang berdasarkan firman Allah “wa la taqrabu al-zina”.
Islam juga mengharuskan usaha-usaha untuk
menghilangkan iklim yang kondusif bagi tumbuhnya zina, misalnya tradisi
berpakaian yang mengumbar aurat di hadapan orang asing / umum dan beredarnya
berbagai bentuk pornografi. Hal ini mutlak dalam rangka penegakan syariat
Islam. Selagi iklim suatu masyarakat masih sangat kondusif bagi tumbuh suburnya
zina, maka hadd zina belum boleh diterapkan. Jika
tidak begitu, alangkah banyaknya orang yang mesti dicambuk dan dirajam!
Padahal, tujuan hadd bukanlah untuk menyakiti an sich, akan tetapi untuk
mendidik. Iklim yang bebas dari pornografi dan menjamurnya tempat-tempat mesum
merupakan prasyarat bagi pemberlakuan hadd.
Jika iklim positif sudah terbentuk, saat itulah penguasa harus menerapkan hadd.
Selanjutnya, mari kita menyimak apa yang ingin dikatakan oleh
Al-Qur’an.
“Dan
janganlah kalian mendekati zina. Sesungguhnya zina itu keji
(fahisyat) dan jalan yang buruk”
“Dan apabila
kalian meminta sesuatu kepada mereka (istri-istri Nabi) maka mintalah kepada
mereka dari balik hijab. Yang demikian itu lebih
suci bagi hati kalian dan hati mereka”.
Dari ayat pertama kita bisa memahami bahwa Allah
melarang segala bentuk perbuatan yang bisa mendekatkan manusia kepada zina.
Sementara dari ayat kedua, kita bisa memahami bahwa Allah memerintahkan manusia
agar menjaga kesucian hatinya. Dua kata kunci, tidak mendekati zina dan menjaga
kesucian hati, merupakan landasan kita dalam membahas masalah etika
interaksi antara pria dan wanita.
Banyak hikmah di belakang syariat berqurban yang mengingatkan seorang hamba
kepada Allah ‘Azza
wa Jalladan hari akhirat.( Al Ustadz Dzulqarnain)
Di antara hikmah tersebut adalah:
1. Menegakkan peribadahan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Allah Subhânahû wa Ta’âlâ menjelaskan ibadah qurban sebagai salah satu bentuk
penegakan perintah dan penyerahan diri kepada-Nya sebagaimana dalam firman-Nya,
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ
الْعَالَمِينَ. لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ
الْمُسْلِمِينَ
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya shalatku, sembelihanku,
hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu
bagi-Nya, demikian itulah yang diperintahkan kepadaku, dan saya adalah orang
yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).’.” [Al-An’âm:
162-163]
Allah Subhânahû wa Ta’âlâ juga menjelaskan bahwa berqurban adalah ibadah yang agung
bila disertai dengan takwa dan keikhlasan sebagaimana firman Allah ‘Azza
wa Jalla,
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ
التَّقْوَى مِنْكُمْ
“Daging-daging dan darah (unta) itu sekali-kali tidak
dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kalianlah yang dapat
mencapainya.” [Al-Hajj: 37]
2. Sebagai
lambang kesyukuran seorang hamba terhadap nikmat Allah Subhânahû wa Ta’âlâ.
Allah Subhânahû wa Ta’âlâ berfirman,
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذَلِكَ
سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang
yang rela dengan sesuatu yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang
yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kalian,
mudah-mudahan kalian bersyukur.” [Al-Hajj:
36]
3. Menghidupkan
sunnah Nabi Ibrahim ‘alaihis
salâm.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي
الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ
مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ. فَلَمَّا
أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ. وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ. قَدْ
صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ. إِنَّ هَذَا
لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ. وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup)
berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, ‘Wahai anakku, sesungguhnya
saya melihat dalam mimpi bahwa saya menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa
pendapatmu!’ (Anaknya) menjawab, ‘Wahai ayahku, kerjakanlah sesuatu yang
diperintahkan kepadamu. Insya Allah, engkau akan mendapatiku termasuk ke dalam
golongan orang-orang yang sabar.’ Tatkala keduanya telah berserah diri dan
(Ibrahim) membaringkan (anak)nya di atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran
keduanya). Dan Kami panggillah dia, ‘Wahai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah
membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada
orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang
nyata. Dan Kami menebus (anak itu) dengan seekor sembelihan yang besar.” [Ash-Shaffât:
102-107]
Sementara itu, Allah Subhânahû wa Ta’âlâ telah memerintah Nabi Muhammad shallallâhu
‘alaihi wa sallam dan umat beliau untuk
mengikuti agama Nabi Ibrahim ‘alaihis salâm sebagaimana dalam firman-Nya,
ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا
وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Kemudian Kami mewahyukan kepadamu (Muhammad),
‘Ikutilah agama Ibrahim dengan hanif (lurus, condong kepada tauhid),’ dan dia
tidaklah termasuk ke dalam golongan orang-orang musyrikin.” [An-Nahl:
123]
Seorang muslim, bila mengingat kesabaran Nabi
Ibrahim dan Nabi Ismail ‘alaihis
salâm, akan mencontoh kesabaran mereka
berdua dalam hal menjalankan perintah Allah ‘Azza wa Jalla, dan selalu mengingat bahwa mendahulukan perintah
Allah di atas segala hal adalah lebih baik baginya.
4. Memperkuat tali persaudaraan dan kecintaan
antara sesama muslim.
Hal ini sangat tampak dari beberapa syariat
dalam berqurban, seperti memberi sebagian daging qurban kepada tetangga dan
fakir miskin serta pembolehan kepada tujuh orang untuk berserikat dalam
penyembelihan.
5. Pengagungan terhadap simbol Allah Subhânahû wa Ta’âlâ.
Tidak diragukan bahwa ibadah qurban adalah salah
satu simbol Allah yang sangat agung. Menegakkan simbol tersebut merupakan buah
ketakwaan. Allah Subhânahû
wa Ta’âlâ berfirman,
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى
الْقُلُوبِ
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa yang
mengagungkan syiar-syiar Allah, sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” [Al-Hajj:
32]
6. Mendulang
kebaikan dari pelaksanaan ibadah qurban.
Allah Subhânahû wa Ta’âlâ berfirman,
وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ
“Dan telah Kami jadikan untuk kalian unta-unta itu
sebagian dari syiar Allah agar kalian memperoleh kebaikan yang banyak padanya.” [Al-Hajj:
36]
Ketika menafsirkan ayat di atas, Ibnu Katsîr rahimahullâh berkata, “Sesungguhnya sebagian salaf ada yang
berutang untuk menggiring unta. Oleh karena itu, dikatakan kepadanya,
‘(Mengapa) engkau berutang untuk menggiring unta?’ Dia menjawab, ‘Saya
mendengar Allah berfirman, ‘Untuk kalian memperoleh kebaikan
yang banyak padanya.’.’.”
7. Memberi kelapangan kepada anak, keluarga, dan
tetangga pada hari ‘Id.
Allah Subhânahû wa Ta’âlâ berfirman,
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ
“Maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang
yang rela dengan sesuatu yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang
yang meminta.” [Al-Hajj: 36]
Dari Al-Barâ` bin Azib radhiyallâhu ‘anhumâ, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
إِنَّ أَوَّلَ مَا نَبْدَأُ بِهِ فِى يَوْمِنَا هَذَا نُصَلِّى ثُمَّ نَرْجِعُ
فَنَنْحَرُ فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ أَصَابَ سُنَّتَنَا وَمَنْ ذَبَحَ
فَإِنَّمَا هُوَ لَحْمٌ قَدَّمَهُ لأَهْلِهِ لَيْسَ مِنَ النُّسُكِ فِى شَىْءٍ.
“Sesungguhnya permulaan, yang kita mulai pada hari kita ini, adalah
shalat. Setelah itu, kita kembali lalu menyembelih. Barangsiapa yang
mengerjakan hal tersebut, sesungguhnya ia telah mencocoki sunnah kami, dan
barangsiapa yang menyembelih sebelum pelaksanaan shalat (‘Id), sesungguhnya
(sembelihan) itu hanyalah daging yang dia peruntukkan untuk keluarganya, tidak
terhitung sebagai nusuk (sembelihan) sama sekali.” [1]
Sumber: Dzulqarnain.net
No comments:
Post a Comment