PAMERAN AURAT
SUNGGUH MENARIK, PAMERAN AURAT,
BERHASIL DALAM, BANGKITKAN SYAHWAT
GHASWULFIKRI, DATANG DARI BARAT
MEMBUAT DUNIA,GEMAR MAKSIAT.
PAMERAN AURAT
SUNGGUH
MENARIK, PAMERAN AURAT,
BERHASIL
DALAM, BANGKITKAN SYAHWAT
GHASWULFIKRI,
DATANG DARI BARAT
MEMBUAT
DUNIA,GEMAR MAKSIAT
Yang
menjadi sasaran ghazwul Fikri adalah
pola pikir dan akhlaq. Apabila seseorang sering menerima pola pikir sekuler, akan
berprilaku ala sekuler. Bila seseorang sering didoktrin paham komunis ,
materialis, fasis, marksis, liberalis, kapitalis atau yang lainnya, merekapun akan berpikir dari sudut pandang
paham komunis. Sementara itu dalam hal akhlaq, boleh jadi pada awalnya
seseorang menolak terhadap suatu tata cara kehidupan tertentu, namun karena
tiap kali ia selalu mengkonsumsi tata cara tersebut, akan timbul perubahan
dalam dirinya. Seperti contohnya adanya pergaulan bebas antara wanita dan pria
yang bukan muhrim, seperti terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian alat Ghazwul
Fikri ialah:
1) Membius pandangan mata, dengan
banyaknya disuguhkan wanita-wanita dari
kalangan artis. Mereka menjadikan ruang redaksi bagaikan rumah bordil yang
menggelar zina mata massal.
2) Pameran aurat di saluran televisi
yang berlomba-lomba menyajikan artis-artis, baik dengan pakaian biasa, ketat,
pakaian renang, sampai yang telanjang. Penonton diajak untuk tidak punya rasa
malu, hilang iman, mengikuti panggilan nafsu, dan menghidupkan dunia mimpi.[1]
3) Membudayakan ikhtilat. Sekumpulan laki-laki dan wanita yang bukan muhrim, biasa
bergumul jadi satu tanpa batas. Tayangan semacam ini memang mendekati zina,
bahkan membuka transaksi zina.[2]
4) Membudayakan khalwat. Kisah-kisah
percintaan bertebaran di berbagai acara. Frekuensi suguhan kisah-kisah pacaran
dan kencan makin melegitimasi budaya khalwat.
5) Membudayakan tabarruj. Banyak pelaku di layar kaca yang mempertontonkan bagian
tubuhnya yang seharusnya ditutupi, untuk dinikmati para pemirsa.
Demikianlah bahaya ghazwul fikri. Ia akan menyeret
seseorang ke dalam jurang kesesatan dan kekafiran tanpa terasa. Ibaratnya
seutas rambut yang dicelupkan ke dalam adonan roti, kemudian ditarik dari
adonan tersebut. Tak akan ada sedikitpun adonan roti yang menempel pada rambut.
Rambut itu keluar dari adonan dengan halus sekali tanpa terasa. Demikianlah,
seseorang hanya tahu bahwa ternyata dirinya sudah berada dalam kesesatan, tanpa
terasa! Apakah seorang ibu yang meninggalkan anaknya begitu saja dan tidak
merawat, dengan kasih sayang disebut kasih sepanjang jalan? Apakah orang tua
yang menjadi germo bagi anaknya disebut orang tua yang mencintai dan paling
tahu kebutuhan anaknya? Apakah orang tua yang mengurung anaknya di rumah dan
tidak boleh bermain hanya boleh belajar dalam kamar disebut orang tua yang
memahami anak?.
Ketika murid
beberapa kali mendapat hukuman dari guru, saat ini bisa merupakan bentuk
penganiayaan. Hukuman diberikan karena memang murid salah. Apapun kesalahan,
pasti mendapatkan hukuman. Itulah yang berlaku saat itu. Ketika pelajaran
menggambar, beberapa murid lupa membawa
pengaris, lalu disuruh maju ke depan kelas, menyodorkan tangan, guru
menghantamkan penggaris kayu besar (panjang sekitar 1 meter dengan ketebalan
sekitar 1 cm) mendarat di punggung dan telapak tangan siswa, penggaris hancur.
Ada murid perempuan sampai menangis, sedangkan
yang laki-laki hanya bisa meringis. Hasil hukuman hari itu bukan hanya tangan
memar, tapi hari itu murid tidak bisa menulis. Itulah contoh kekeran yang
diancam oleh UU Nomor 23 tahun 2002.
Untuk
jenis hukuman “tempeleng,” sudah menjadi
kebiasaan sebelum berlakunya UU No.23 tersebut, seringkali guru menempeleng murid
untuk kategori pelanggaran ringan. Pernah yang ditempeleng dengan jari guru mengenai mata. Kalau pelanggaran
berat, dipukul di betis dengan
menggunakan kayu rotan. Sekalipun murid sering mendapatkan kekerasan dari guru,
tidak ada yang berani melaporkan peristiwa itu kepada orang tua. Bukan lantaran
diancam oleh guru, melainkan karena takut mendapat hukuman tambahan dari orang
tua. Dahulu di kampung pada umumnya, jika di sekolah murid dihukum dan diketahui oleh orang tua,
berarti akan mendapatkan lagi hukuman
dari orang tua. Justru karena hukuman itu banyak orang yang sukses dan berhasil. Mereka-mereka ini
berhasil menghadapi hukuman karena bagian dari proses pendidikan dan pembinaan.
Dengan hukuman itu murid belajar mengetahui kesalahan dan menemukan kebenaran
dan kebaikan. Orang yang tidak berani menghadapi hukuman dengan cara lari
meninggalkan sekolah, orang-orang ini yang gagal dalam hidupnya.
Sejak tanggal 22 Oktober 2002, Pemerintah
R.I, memberlakukan UU Perlindungan Anak ( UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak). Sejak saat itu keberadaan sanksi hukuman fisik terhadap
anak-anak di sekolah menjadi sensasi
berita. UU Perlindungan anak, khususnya pasal 13 ayat (1),
menyatakan bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau
pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak
mendapat perlindungan dari perlakuan:
a. diskriminasi.
b. eksploitasi, baik ekonomi
maupun seksual.
c.
penelantaran;
d. kekejaman,
kekerasan, dan penganiayaan
e.
ketidakadilan; dan
f. perlakuan
salah lainnya.
Ketentuan yang sangat tegas tertulis
dalam pasal 13 ayat (1) ditegaskan dalam
pasal 16 ayat (1) dan (2) yang berbunyi:
(1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran
penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
(2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai
dengan hukum.
Dengan adanya
UU Perlindungan Anak, guru di sekolah tidak berani memberikan hukuman kepada
anak, takut karena sanksi hukumannya tidak ringan. Sanksi hukuman terhadap
tindakan penganiayaan anak tertuang dalam pasal 80. bahwa:
(1) Setiap orang yang
melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan
terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6
(enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua
juta rupiah).
(2) Dalam hal anak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Ternyata bukan UU Perlindungan Anak saja yang menjadi instrumen
perlindungan anak, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga mengatur soal
penganiayaan
secara umum. Hal itu terdapat dalam
Pasal 351 jo. 352 KUHP.
“Penganiayaan” masih terjadi, sekalipun UU Perlindungan Anak sudah diundangkan, ternyata tindakan
memberi hukuman, yang masuk kategori penganiayaan, masih kerap terjadi,
misalnya penamparan oleh oknum
guru terhadap murid SD Harmoni di Batam. Dikatakan bahwa bekas tamparan itu
meninggalkan luka lebam di pipi anak kecil itu sehingga menjadi trauma ke sekolah. Orang tua sudah
melaporkan kasus itu ke polisi. Diberitakan, guru M dilaporkan ke Polsek diduga
melakukan penganiayaan terhadap muridnya, Dias Ganang Fardian yang mengaku
ditampar satu kali sehingga mengalami luka lebam di bawah mata kirinya. Alasan
pemukulan itu, karena korban melanggar disiplin saat upacara bendera.
Sedangkan Kepala
SMK membantah perlakuan guru terhadap
muridnya itu sebagai tindakan penganiayaan. “Itu cuma pembinaan, karena murid ini ramai bercanda dengan temannya
saat upacara berlangsung. Pembinaan dan penegakan disiplin yang cukup ketat.”
Menurut penulis, tindakan guru menghukum murid, tidak salah seratus persen, wajar, tapi jangan menimbulkan
memar. Guru memegang
prinsip:“yang salah harus dihukum.“
Tidak mungkin guru
menghukum murid yang baik. Dengan hukuman, anak disadarkan. UU Perlindungan
Anak dapat membuat anak tidak menemukan” kesalahan” diri murid. Muridpun merasa benar. Buktinya,
dibela dan guru dihukum. Konsep benar-salah menjadi hilang. Derita Guru: Sebuah
Dilema Pendidikan. Keberadaan UU Perlindungan Anak ini, menurut
penulis menjadi sebuah
penderitaan guru. Mereka dihadapkan pada
masalah dilematis dalam proses pendidikan dan pembinaan anak muridnya.
Situasi mereka berhadapan dengan UU Perlindungan Anak. Demi pembinaan dan penegakan disiplin kepada
siswa,
ada guru yang
terpaksa menampar
siswanya. Akan tetapi guru tersebut dihadapkan pada jerat hukum. Maksud
baik guru justru berakibat buruk. Padahal menyadarkan murid. Di antara cara penyadaran
adalah “tempeleng”, walaupun bisa pakai cara lain yang tanpa kekerasan. UU
Perlindungan Anak tidak membolehkan memakai cara kekerasan, padahal cara itu bisa menjadi sarana paling
efektif. Tingkat penyadarannya lebih kuat dibandingkan menegur dan menasehati. Tempeleng hanya sekali, bisa merupakan bentuk shock therapy.
Menurut penulis UU Perlindungan Anak menjadi
penderitaan para guru di sekolah. Mereka tidak berani bertindak tegas kepada
murid karena takut terkena sanksi dari UU Perlindungan Anak. Bayangkan saja, terkena
pasal 80 ayat (1) merupakan penderitaan
yang bebat bagi guru yang berpenghasilan pas-pasan. Ada guru memilih masuk
penjara, asalkan tiap bulan gajinya jalan terus, tidak akan jadi masalah serius. Tetap mengajar
dengan ganti rugi sebesar 72 juta rupiah, jelas akan memberatkan keluarganya.
Analisis kasus, di sebuah sekolah
menengah pertama, tentang siswa sedang berkelahi, guru melerai. Tapi disambut
dengan caci maki oleh siswa yang berkelahi, karena tidak terima acara duelnya
dipisahkan. Guru juga masih muda, dan caci maki itu terjadi di muka umum,
diketahui murid lain, dan demi harga diri yang diinjak murid, guru itu menampar
siswa. Cuma sekali. Sang guru dilaporkan ke polisi, beberapa hari di penjara. Akhirnya
dibebaskan dengan tebusan.
Guru-
guru lain tidak berani bertindak tegas kepada siswa dan para siswa berbuat
seenaknya saja. Anak-anak tumbuh “liar” dan para guru tak berani menegur. Yang
terjadi adalah proses pembiaran. Ketika guru bertindak tegas, anak dapat
mengancam dengan UU Perlindungan Anak. Anak akan dengan mudah mengejek gurunya
bahkan menghina guru dan guru tidak bisa berbuat apa-apa karena takut dengan UU
Perlindungan Anak. UU Perlindungan Anak merusak dunia pendidikan. Tidak setuju
dengan UU Perlindungan Anak, karena UU itu bisa digunakan anak untuk
merendahkan martabat guru. Dia sangat prihatin dengan nasib para guru.
Menurut penulis, hukuman fisik,
sebahagian bukan penganiayaan, ada perbedaan pemahaman dalam UU Perlindungan
Anak, berkaitan dengan kata “penganiayaan” dan kekerasan. Kategori penganiayaan
adalah kekerasan yang bertubi-tubi, mirip dengan penyiksaan. Memukul atau menempeleng berkali-kali, sekalipun
murid sudah minta ampun. Tapi jika cuma sekali, bukan penganiayaan. Kalau
dikatakan kekerasan, seperti kasus IPDN, penganiayaan memang kejam, karena
bertubi-tubi. Misalnya, dipukul lalu ditendang berkali-kali. Karena itu ada yang
cacat dan bahkan sampai tewas.
Penulis
tidak setuju jika hukuman “menempeleng,” satu kali saja masuk kategori kekerasan
dan kekejaman (pasal 13 ayat 1) tidak manusiawi (pasal 16 ayat 1). Dalam
kasus-kasus penganiayaan di sekolah, dilakukan
oknum guru sebenarnya tidak masuk kategori kekerasan, yang bukan kekejaman,
penganiayaan yang tidak manusiawi.Yang menjadi persoalan, haruskah kekerasan
itu dihukum, jika bertujuan baik,
menyadarkan murid akan kesalahannya. Untuk bisa sadar, sering menyakitkan. Tapi itulah shock
therapy. Harus juga diperhatikan kewajiban anak. Dalam UU Perlindungan
Anak, khususnya soal hak dan
kewajiban anak dan pasal lain yang berkaitan dengan hak anak (18
pasal), sementara kewajiban hanya satu pasal saja (pasal 19). bunyi pasal 19 UU
Perlindungan Anak ini:
Setiap anak berkewajiban untuk :
1. menghormati
orang tua, wali, dan guru;
2. mencintai
keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
3. mencintai tanah
air, bangsa, dan negara;
4. menunaikan
ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
5. melaksanakan
etika dan akhlak yang mulia.
Jika anak tidak melaksanakan
kewajibannya, sanksi apa yang dapat diberikan UU RI No.23 Th 2002? Tidak ada
yang melihat hal ini. Orang hanya
melihat hak anak, mengabaikan hak guru. Kasus ini punya daya tarik bagi
polisi dan pengacara? Tidak tentang bagaimana kewajiban anak? Apakah anak yang
tidak melakukan kewajibannya, seperti yang tertera dalam UU Perlindungan Anak, juga
dapat ditindak? Kasus anak SD mengganggu temannya yang sedang latihan, berarti
tidak melakukan kewajiban no. 2 dalam pasal (19) UU Perlindungan Anak. Kasus
SMK, siswa tidak melaksanakan kewajiban no. 3 dan 5. Guru punya wewenang
melaporkan siswa ke polisi? Dan apa
sanksi buat anak tersebut? Hak dan kewajiban mesti seimbang. Orang tidak bisa
menuntut hak tanpa melaksanakan kewajibannya, karena berkaitan dengan UU Perlindungan Anak.
Kritik
penulis ialah perlu ditinjau soal
keseimbangan hak dan kewajiban bagi anak itu sendiri, di dalam UU No.23. Jangan
hanya membebani kesalahan pada guru. Penulis setuju dengan pendapat
Al-Ghazali, bahwa para pendidik harus membimbing peserta didiknya agar belajar
bukan karena ijazah semata, mengejar harta, jabatan, popularitas, dan kemewahan
duniawi, sebab semua itu bisa mengarah pada sifat materialistis. Sementara
seorang pendidik yang materialistis akan membawa kehancuran bagi dirinya
sendiri dan peserta didiknya. Sebagaimana yang dikatakan al-Ghazali; “Barang
siapa mencari harta dengan menjual ilmu, maka bagaikan orang yang membersihkan
bekas injakan kakinya dengan wajahnya. Dia telah mengubah orang yang dilayani
menjadi pelayan dan pelayan menjadi orang yang dilayani.”
Pernyataan al-Ghazali yang terkesan mencela
pendidik yang mencari upah ini tidak kemudian harus diartikan, al-Ghazali
melarang pendidik yang menerima upah sebagaimana kesimpulan sebagian ilmuwan
–yang kontra dengan al-Ghazali- dalam memandang pendapat al-Ghazali tentang upah
bagi pendidik karena harus mengikuti jejak Rasul Saw. Memang sebelumnya
al-Ghazali pernah menyatakan: “Hendaklah guru (pendidik) mengikuti jejak
Rasulullah Saw.; maka ia tidak mencari upah, balasan, dan terima kasih, tetapi
mengajar karena Allah dan mencari kedekatan diri kepada-Nya.”
Pernyataan ini dapat diartikan bahwa pendidik
harus ikhlas dalam mengajar dan kriteria ikhlas itu tidak hanya bersihnya
tujuan dari mencari upah. Lebih dari itu, ikhlas berhubungan dengan niat yang
letaknya dalam hati, dan itu merupkan proses panjang, sepanjang usia manusia
dalam usahanya menjadikan dirinya sebagai manusia yang sempurna. Lebih
jelasnya, ikhlas adalah pekerjaan atau amal dan semua aktivitas -yang bernilai
ibadah- yang dikerjakan dengan tujuan mencari kedekatan diri kepada Allah. Jadi
secara prinsip, al-Ghazali tidak mengharamkan pendidik yang menerima upah
karena mengajar.
Sudah merupakan kewajiaban guru, harus
membimbing peserta didiknya agar belajar bukan karena ijazah semata, mengejar
harta, jabatan, popularitas, dan kemewahan duniawi, sebab semua itu bisa
mengarah pada sifat materialistis. Sementara seorang pendidik yang
materialistis akan membawa kehancuran bagi dirinya sendiri dan peserta
didiknya. Sebagaimana yang dikatakan al-Ghazali; “Barang siapa mencari harta
dengan menjual ilmu, maka bagaikan orang yang membersihkan bekas injakan
kakinya dengan wajahnya. Dia telah mengubah orang yang dilayani menjadi pelayan
dan pelayan menjadi orang yang dilayani.”
Pernyataan al-Ghazali yang
terkesan mencela pendidik yang mencari upah ini tidak kemudian harus diartikan,
al-Ghazali melarang pendidik yang menerima upah sebagaimana kesimpulan sebagian
ilmuwan –yang kontra dengan al-Ghazali- dalam memandang pendapat al-Ghazali tentang
upah bagi pendidik karena harus mengikuti jejak Rasul Saw. Memang sebelumnya
al-Ghazali pernah menyatakan: “Hendaklah guru (pendidik) mengikuti jejak
Rasulullah Saw.; maka ia tidak mencari upah, balasan, dan terima kasih, tetapi
mengajar karena Allah dan mencari kedekatan diri kepada-Nya.”
Pernyataan ini dapat diartikan
bahwa pendidik harus ikhlas dalam mengajar dan kriteria ikhlas itu tidak hanya
bersihnya tujuan dari mencari upah. Lebih dari itu, ikhlas berhubungan dengan
niat yang letaknya dalam hati, dan itu merupkan proses panjang, sepanjang usia
manusia dalam usahanya menjadikan dirinya sebagai manusia yang sempurna. Lebih
jelasnya, ikhlas adalah pekerjaan atau amal dan semua aktivitas -yang bernilai
ibadah- yang dikerjakan dengan tujuan mencari kedekatan diri kepada Allah. Jadi
secara prinsip, al-Ghazali tidak mengharamkan pendidik yang menerima upah
karena mengajar. Pernyataan al-Ghazali; “Hendaknya pendidik melarang muridnya mempelajari suatu tingkat sebelum
menguasai tingkat sebelumnya; dan jangan belajar ilmu yang tersembunyi sebelum
selesai ilmu yang terang. Setelah itu menjelaskan kepadanya bahwa maksud
menuntut ilmu adalah mendekatkan diri kepada Allah; bukan untuk menjadi kepala
dan mencari kemegahan.”
Kenyataan bahwa akhlak dan etik atau etika telah mulai terpinggirkan
di dalam pendidikan di
Indonesia.Pelanggaran etika bukan hanya dilakukan siswa, bahkan kepala sekolah dan guru.
Mahasiswa pun telah melakukan tindak
kekerasan yang menyebabkan kematian temannya. Pendidikan di sekolah telah
terreduksi, menjadi penyampaian pengetahuan, tidak lagi mendidik watak atau
karakter dan kepribadian. Mendidik bukan lagi sebagai seni yang dilandasi
dengan hati dan kasih sayang. Yang selalu muncul adalah wajah seram yang siap
memberi hukuman. Tindakan "bullying" sudah menjadi budaya di sekolah
yang dilakukan guru maupun siswa tanpa merasa menyesal. Contoh siswa SMP yang
keluarganya miskin, ibunya sayur oleh
teman-temannya diolok-olok dan dipermalukan sehingga siswa menderita batin
(depresi). Peristiwa ini justru pada sekolah yang berlatar belakang agama.[3]
Peristiwa-peristiwa tersebut mengindikasikan bahwa pendidikan etika tidak lagi
menjadi landasan pendidikan, padahal
akhlaklah dan morallah yang
menjadi dasar pembentukan watak. Pendidikian etika yang kini telah terpinggirkan dan terlupakan oleh dunia
pendidikan yang hanya mengejar jumlah kelulusan tinggi pada ujian nasional.
Kejadian yang mengejutkan, ada oknum Kepala Sekolah yang mencoba mencuri soal Ujian Nasional, guru
yang memberikan jawaban soal Ujian Nasional kepada siswanya, guru pengawas
membiarkan siswa mempergunakan HP saat UN. Editorial Metro Senin 23 April 2007
jam 19.40 menyebutkan dari hasil survai riset ditemukan sebanyak 70% peserta
Ujian Nasional menyontek, karena guru pengawas dengan sengaja memberi kan
peluang untuk nyontek. Oalam berita jam 18.30 ,pada hari Selasa 24 April 2007
diberitakan guru pengawas Ujian Nasional SMP di sebuah SMP memberikan peluang
untuk berbuat curang seperti menyontek dengan cara mengawasi tidak ketat. Oi
Medan dilaporkan justru Kepala Sekolah menyuruh guru mendiktekan jawaban ujian
(Air Mata Guru Bongkar Kecurangan. Dinamika Pendidikan No. 1ffh.XIV / Mei 2007
13 UN Medan.Kecurangan UN SMA dan SMP direncanakan sangat sistematis.
Kompas,Jumat 27 April 2007). Ada guru olah raga yang menempeleng siswasiswanya
karena tidak memakai seragam pakaian olah raga. Kejadian tragis di IPDN dengan
terbunuhnya sejumlah mahasiswa IPDN karena tindak kekerasan yang terjadi di kampus.
Siswa SD klas II meninggal dunia setelah dianiaya oleh 4 ( empat) temannya di
kamar mandi sekolah.[4].
Masalah pelanggaran moral yang dilakukan para mahasiswa dan siswa di beberapa
daerah juga semakin marak sebagaimana pernah ditulis dalam koran Jawa Pos.
Di dalam lingkungan perguruan
tinggipun tidak luput dari masalah pelanggaran etika akademik. Pada tahun 2000
Universitas Gajah Mada harus mencabut gelar doktor dari seseorang promovendus
yang telah dinyatakan lulus ujian doktor.,karena materi disertasi yang diajukan
ternyata karya milik orang lain dan dinilai sebagai perbuatan plagiat. Di
Universitas Jenderal Soedirman juga
mengangkat seorang dosen yang
ijazah dan gelar kesarjanaan SI, S2 dan S3 nya palsu. Ijazah yang diperdagangkan di dalam
masyarakat.onisnya para pembeli adalah pejabat bupati ada anggota DPR. Gejala
tersebut mengindikasikan pendidikan etika akhlak dan moral, baik dari aspek
berkehidupan bermasyarakat maupun secara khusus moral agama tidak lagi
dipedulikan di dalam institusi pendidikan.
,
Institusi pendidikan yang seharusnya
menanamkan dan mengembangkan serta melestarikan nilai-nilai luhur sebagai nilai
etika, pedoman moral justru berkembang ke budaya kekerasan yang mengarah pada
sikap arogansi para siswanya. Pendidikan Agama dan Pendidikan Pancasila tidak
lagi mampu mewujudkan misinya dan berubah menjadi wahana penyampai pengetahuan
dan bukan membentuk watak and sikap sebagai warga negara, pribadi dan warga
masyarakat yang bersifat makluk individu sosial sekaligus. Penulis setelah
mencermati kejadian-kejadian tersebut timbul pertanyaan apa yang salah dalam
praktek pendidikan. Dalam konteks inilah kajian tentang tinjauan yuridis hukuman fisik untuk disiplin pendidikan, serta
pendidikan etika yang disajikan.
Etika dimaknai sebagai ilmu tentang apa
yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Kata etika dijelaskan
dengan membedakan tiga arti: 1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk
dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak),2) kumpulan azas atau nilai yang
berkenaan dengan akhlak, 3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu
golongan atau masyarakat.Menurut Bertens
etika mempunyai tiga arti, yaitu: pertama, “etika” biasa dipakai dalam
arti: nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang
atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
[1]Epistemologis Hukum Islam memandang jika kebenaran mutlak
bersumber dari Tuhan (wahyu), karena rasionalitas manusia itu terbatas sehingga
tidak semua kebenaran bisa dibuktikan secara rasional. Dan hingga kini,
Al-Qur’an terus dan akan tetap sejalan dengan perkembangan sains, karena
Al-Qur’an merupakan wahyu Tuhan yang otentik. Sedangkan Barat memandang
kebenaran secara materialis-empiris (tampak dan terbukti). Hal ini dikarenakan
Barat mengalami tragedi spiritual yang amat buruk, di mana para ilmuwan sains
pada tahun 1600-an M (seperti Galileo dan Copernicus) dihukum karena dianggap
telah menentang Gereja, sehingga komunitas ilmuwan akhirnya sepakat bahwa
kebenaran sejati akan didapat jika mereka berlepas diri dari dogma Gereja dan
menggunakan rasionalitas mereka untuk membuktikan kebenaran secara empiris.
Perbedaan Islam dan Barat jelas akan menimbulkan benturan hebat dalam peradaban
dunia seperti yang disebutkan Samuel P. Huntington. Salah satu akibatnya,
negara-negara dunia yang men-declare sebagai negara Islam atau negara
dengan mayoritas penduduk Islam akan cenderung menolak sistem Barat. Dan
telah kita ketahui bersama bahwa potensi energi dunia tersimpan di rahim bumi
negara-negara Islam, sehingga dalam konteks ini hasrat barat untuk menguasai
minyak bumi menjadi terhambat.
[2]Hifdz al-Nasl, menjaga
keturunan, yakni dianjurkannya nikah demi menjaga keturunan, juga diharamkannya
zina karena merusak keturunan. Adalah Thahir Ibnu ‘Asyur seorang pakar maqashid syari’ah
yang berasal dari Tunisia. Secara umum gagasan Ibnu ‘Asyur hampir sama dengan
wacana yang ditawarkan oleh al-syathibi, hanya saja beliau telah berjasa dalam
mengembangkan disiplin ilmu maqashid syari’ah dan menjadikannya sebagai
disiplin ilmu baru yang terpisah dengan ilmu ushul fiqh. Beliau diberi gelar
sebagai ‘guru kedua’ setelah al-Syathibi yang dijuluki ‘guru pertama’. Beliau
telah berhasil mengembangkan teori maqashid yang sebelumnya hanya berkutat pada
kajian juz’iyyah dan kulliyah menjadi lebih luas, yakni dengan melebarkan
pembahasan maqashid kedalam ‘maqashid syariah khusus tentang muamalat’ yang
didalamnya mengupas berbagai isu-isu maqashid seputar maqashid hukum keluarga,
maqashid penggunaan harta, maqashid hukum perundangan, dan kesaksian dan
lain-lain. Lihat Asmawi, op.cit.,129
Definisi Tafsir Maqashid. Term
tafsir maqashidi bagi sebagian
kalangan bisa dibilang belum akrab ditelinga, karena kajian maqashid syari’ah
yang berkembang di Indonesia belum menyentuh kepada kajian maqashid dalam metode penafsiran. Para ‘pengobral maslahat’
(sebutan yang biasa disematkan kepada Jaringan Islam Liberal) pun hanya
mengkaji maqashid syariah dalam ranah
ushul fikih. Di samping itu di Indonesia belum banyak-untuk mengatakan tidak
ada- pakar maqashid syariah. Hal ini
berbeda dengan kajian maqashid syariah di Maroko, Mesir, dan negara-negara
timur tengah lainnya.. Kata maqashidi dalam ‘tafsir maqashidi’ adalah kata
maqhashid yang dibubuhi ya’ nisbah. Berarti tafsir maqashidi adalah tafsir yang
menggunakan pendekatan maqashid syari’ah, atau dengan kata lain tafsir
maqashidi adalah sebuah tafsir yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dengan
menguak dan memepertimbangkan maqashid
syari’ah. Hal ini sedikit yang membedakan tafsir maqashidi dengan tafsir-tafsir konvensional lainnya. Seperti tafsir
falsafi yang hanya berkutat dengan teori-teori filsafat atas sebuah hikmah
saja. Atau juga tafsir sufi yang mengedepankan pendakian kontemplatif sang sufi
dalam menyibak teks-teks suci.Tafsir maqashidi tidak mengabaikan teori-teori
baku tentang penafsiran, seperti asbab nuzul, ‘am-khos, mujmal-mubayyan dst. Di
samping itu tafsir maqashidi juga
hirau akan perangkat-perangkat ilmu-ilmu umum seperti sosiologi, antropologi,
dan filsafat. Maqashid ini dikaitkan dengan kaedah “ Al-Adatu
Muhakkamatun”.Adat kebiasaan yang baik, diakui sebagai dsar hukum. Lihat
Al-Suyuty, Al-Asbah wa al-Nazha’ir,
terj, Mustafa Muhammad, Kairo:1986),63.
No comments:
Post a Comment