Orang yang tidak bermoral
Lemah Aqidahnya.
Rusak akhklalnya.
CITARASA SEMUA IBADAH
NIKMATNYA, SUNGGUH INDAH
DIRASAKAH OLEH, HAMBA ALLAH
MELALUI, JALAN MAKRIFAH
SHALAT TANPA, CITARASA
HANYA GERAKAN, TERASA HAMPA
TIADA LEZAT, BAGAIKAN MENYIKSA
MELAUI MAKRIFAT, TERBUKA
RAHASIANYA
CERITA PORNO, SANGAT TERKUTUK
WALAU UNTUK, HILANGKAN NGANTUK
CARA YANG LAIN, DAPAT DIBENTUK
CITRA PENGAJAR, JANGANLAH BURUK
Pencarian cita-rasa spiritual
(dzawq) dan penyingkapan mistis (kasyf) merupakan bagian yang tidak dapat
dilepaskan dalam memperdalam ilmu terhadap kajian Ilahi. Buku ini berisi
pilihan masalah-masalah ilmiah tentang al-mabda' ("tempat bermula")
dan al-ma'ad ("tempat kembali") serta ringkasan dzawq yanh dihasilkan
dari perjalanan spiritua; (sair-wa-suluk) dalam "permulaan" (bad) dan
"kembali" ('aud). Kajian yang disampaikan sangat indah,
pendalaman-pendalaman yang bagus, dan rumus-rumus ilmiah yang luput dari
kajiankitab-kitab sebelumnya dan tidak tercakup dalam kitab-kitab sesudahnya.
Sebuah tela’ah ringan.
Di zaman saat ini seorang muslim terkadang telah dipusingkan atau dikotak-kotak dalam perbedaan antara Syari’at, Tarekat, Hakikat dan Makrifat. Sebenarnya apa itu semua, apakah itu sebuah kajian akademik ataukah sebuah dogma.
Di zaman saat ini seorang muslim terkadang telah dipusingkan atau dikotak-kotak dalam perbedaan antara Syari’at, Tarekat, Hakikat dan Makrifat. Sebenarnya apa itu semua, apakah itu sebuah kajian akademik ataukah sebuah dogma.
- Syariat Islam adalah hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat Muslim. Selain berisi hukum dan aturan, syariat Islam juga berisi penyelesaian masalah seluruh kehidupan ini. Maka oleh sebagian penganut Islam, syariat Islam merupakan panduan menyeluruh dan sempurna seluruh permasalahan hidup manusia dan kehidupan dunia ini. Sumber syariat adalah Al-Qur’an, As-Sunnah.
- Tarekat (Bahasa Arab: طرق, transliterasi: Tariqah) berarti “jalan” atau “metode”, dan mengacu pada aliran kegamaan tasawuf atau sufisme/ mistisme Islam. Di zaman sekarang ini, tarekat merupakan jalan (pengajian) yang mengajak ke jalan Ilahiyah dengan cara suluk (taqarrub) yang biasanya dilakukan oleh salik.
- Hakikat (Haqiqat) adalah kata benda yang berarti kebenaran atau yang benar-benar ada. Yang berasal dari kata hak (al-Haq), yang berarti milik (kepunyaan) atau benar (kebenaran). kata Haq, secara khusus oleh orang-orang sufi sering digunakan sebagai istilah untuk Allah, sebagai pokok (sumber) dari segala kebenaran, sedangkan yang berlawanan dengan itu semuanya disebut batil (yang tidak benar).
- Makrifat berarti pengetahuan yang hakiki tentang Ilahiyah. Dengan orang menjalankan Syari’at, masuk Tarekat, kemudian ber-Hakikat untuk mendapatkan Makrifatullah sehingga menjadi hamba yang selalu mendekatkan diri setiap detik hanya ke Allah.
Lantas bagaimana jalannya
Seharusnya orang yang mengaku
ber-Tarekat, ber-Hakikat dan ber-Makrifat harus berada didalam Syari’at.
seharusnya perjalan spritual berasal dari Makrifat yang berarti berpengetahuan
meluas dalam memahami Islam baik dalam Al-Qur’an, Hadis, Usul Fiqih, Balaghoh,
‘Ard, dan Bahasa. Dengan keluasan makrifat orang akan mendapat Hakikat Ilahiyah
yang melahirkan gerakan tarekat dan berujung pada inti Islam yang tidak lain
Syari’at.
Perjalan Nabi Muhammad Saw dimulai
dari ma’rifat, tarekat, hakikat dan akhirnya sampai pada syariat. Makrifat
adalah bertemu dan mencairnya kebenaran yang hakiki: yang disimbolkan saat
Muhammad saw bertemu jibril, hakikat saat dia mencoba untuk merenungkan
berbagai perintah untuk iqra, tarekat saat muhammad saw berjuang untuk
menegakkan jalannya dan syariat adalah saat muhammad saw mendapat perintah
untuk sholat saat isra mikraj yang merupakan puncak pendakian tertinggi yang
harus dilaksanakan oleh umat muslim. Munculnya istilah Tarekat, Hakikat, dan
Makrifat dalam akademisi kajian Islam jauh setelah wafatnya Rasulullah Saw
sekitar abad 5 Hijriyah. Sekitar zaman Hujjatul Islam Syeh Imam Al-Ghazaly
Asy-Syafi’i yang menyendiri dari kajian ilmiyah (falsafah) setelah
menulis Tahafut al-Falasifah. Kemuadian Al-Ghazali menjadi
Sufi Sejati dengan menulis kitab sufi Ihya Ulumuddin. kemudian
dunia Islam Timur Tengah tenggelam dalam sufi. Dan kemajuan Islam hanya di
daerah Mongol, Turki, dan Spanyol yang diprakarsai Ibn Rusdi.
Tidak seharusnya seorang muslim
sejati mengkotak-kotakan ini Syari’ah, ini Tarekat, ini Hakekat, ini Makrifat,
karena yang berkata demikian hanyalah orang yang tidak banyak mengetahui
ke-ilmuan Islam secara holistik.
RAHASIA
MAKRIFAT
Sangat sulit menjelaskan hakikat dan
makrifat kepada orang-orang yang mempelajari agama hanya pada tataran Syariat
saja, menghafal ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist akan tetapi tidak memiliki ruh
dari pada Al-Qur’an itu sendiri. Padahal hakikat dari Al-Qur’an itu adalah Nur
Allah yang tidak berhuruf dan tidak bersuara, dengan Nur itulah Rasulullah SAW
memperoleh pengetahuan yang luar biasa dari Allah SWT. Hapalan tetap lah
hapalan dan itu tersimpan di otak yang dimensinya rendah tidak adakan mampu
menjangkau hakikat Allah, otak itu baharu sedangkan Allah itu adalah Qadim
sudah pasti Baharu tidak akan sampai kepada Qadim. Kalau anda cuma belajar dari
dalil dan mengharapkan bisa sampai kehadirat Allah dengan dalil yang anda
miliki maka PASTI anda tidak akan sampai kehadirat-Nya.
Ketika anda tidak sampai
kehadirat-Nya sudah pasti anda sangat heran dengan ucapan orang-orang yang
sudah bermakrifat, bisa berjumpa dengan Malaikat, berjumpa dengan Rasulullah
SAW dan melihat Allah SWT, dan anda menganggap itu sebuah kebohongan dan sudah
pasti anda mengumpulkan lagi puluhan bahkan ratusan dalil untuk membantah
ucapan para ahli makrifat tersebut dengan dalil yang menurut anda sudah benar,
padahal kadangkala dalil yang anda berikan justru sangat mendukung ucapan para
Ahli Makrifat cuma sayangnya matahati anda dibutakan oleh hawa nafsu, dalam
Al-Qur’an disebuat Khatamallahu ‘ala Qulubihim (Tertutup mata hati mereka)
itulah hijab yang menghalangi anda menuju Tuhan.
Rasulullah SAW menggambarkan Ilmu
hakikat dan makrifat itu sebagai “Haiatul Maknun” artinya “Perhiasan yang
sangat indah”. Sebagaimana hadist yang dibawakan oleh Abu Hurairah bahwa
Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya sebagian ilmu itu ada yang diumpamakan
seperti perhiasan yang indah dan selalu tersimpan yang tidak ada seoranpun
mengetahui kecuali para Ulama Allah. Ketika mereka menerangkannya maka tidak
ada yang mengingkari kecuali orang-orang yang biasa lupa (tidak berzikir kepada
Allah)” (H.R. Abu Abdir Rahman As-Salamy).
Di dalam hadist ini jelas ditegaskan
menurut kata Nabi bahwa ada sebagian ilmu yang tidak diketahui oleh siapapun
kecuali para Ulama Allah yakni Ulama yang selalu Zikir kepada Allah dengan
segala konsekwensinya. Ilmu tersebut sangat indah laksana perhiasan dan
tersimpan rapi yakni ilmu Thariqat yang didalamnya terdapat amalan-amalan
seperti Ilmu Latahif dan lain-lain.
Masih ingat kita cerita nabi Musa
dengan nabi Khidir yang pada akhir perjumpaan mereka membangun sebuah rumah
untuk anak yatim piatu untuk menjaga harta berupa emas yang tersimpan dalam
rumah, kalau rumah tersebut dibiarkan ambruk maka emasnya akan dicuri oleh
perampok, harta tersebut tidak lain adalah ilmu hakikat dan makrifat yang
sangat tinggi nilainya dan rumah yang dimaksud adalah ilmu syariat yang harus
tetap dijaga untuk membentengi agar tidak jatuh ketangan yang tidak berhak.
Semakin tegas lagi pengertian di
atas dengan adanya hadist nabi yang diriwayatkan dari Abu Hurairah sebagai
berikut : “Aku telah hafal dari Rasulillah dua macam ilmu, pertama ialah ilmu
yang aku dianjurkan untuk menyebarluaskan kepada sekalian manusia yaitu Ilmu
Syariat. Dan yang kedua ialah ilmu yang aku tidak diperintahkan untuk
menyebarluaskan kepada manusia yaitu Ilmu yang seperti “Hai’atil Maknun”. Maka
apabila ilmu ini aku sebarluaskan niscaya engkau sekalian memotong leherku
(engkau menghalalkan darahku). (HR. Thabrani).
Hadist di atas sangat jelas jadi
tidak perlu diuraikan lagi, dengan demikian barulah kita sadar kenapa banyak
orang yang tidak senang dengan Ilmu Thariqat? Karena ilmu itu memang amat rahasia,
sahabat nabi saja tidak diizinkan untuk disampaikan secara umum, karena ilmu
itu harus diturunkan dan mendapat izin dari Nabi, dari nabi izin itu diteruskan
kepada Khalifah nya terus kepada para Aulia Allah sampai saat sekarang ini.
Jika ilmu Hai’atil Maknun itu
disebarkan kepada orang yang belum berbait zikir atau “disucikan” sebagaimana
telah firmankan dalam Al-Qur’an surat Al-‘Ala, orang-orang yang cuma Ahli
Syariat semata-mata, maka sudah barang tentu akan timbul anggapan bahwa ilmu
jenis kedua ini yakni Ilmu Thariqat, Hakikat dan Ma’rifat adalah Bid’ah
dlolalah.
Dan mereka ini mempunyai I’tikqat
bahwa ilmu yang kedua tersebut jelas diingkari oleh syara’. Padahal tidak
demikian, bahwa hakekat ilmu yang kedua itu tadi justru merupakan intisari daripada
ilmu yang pertama artinya ilmu Thariqat itu intisari dari Ilmu Syari’at.
Oleh karena itu jika anda ingin
mengerti Thariqat, Hakekat dan Ma’rifat secara mendalam maka sebaiknya anda
berbai’at saja terlebih dahulu dengan Guru Mursyid (Khalifah) yang ahli dan
diberi izin dengan taslim dan tafwidh dan ridho. Jadi tidak cukup hanya melihat
tulisan buku-buku lalu mengingkari bahkan mungkin mudah timbul prasangka jelek
terhadap ahli thariqat.
Dalam setiap peristiwa yang mewarnai
kehidupan ini, seringkali kita tidak mampu atau tidak mau menangkap kehadiran
Allah dengan segala sifat-sifatNya. Padahal sifat-sifat Allah sangat terkait
erat dengan ayat-ayat kauniyahNya yang terhampar di atas muka bumiNya. Betapa
Allah –melalui ayat-ayat kauniyahNya- memang ingin menunjukkan keMaha
KuasaanNya dan keMaha BesaranNya agar hamba-hambaNya senantiasa mawas diri,
waspada dan berhati-hati dalam bertindak dan berprilaku agar tidak mengundang
turunnya sifat JalilahNya yang tidak akan mampu dibendung, apalagi dilawan oleh
siapapun, dengan upaya dan sarana kekuatan apapun tanpa terkecuali, karena
memang Allahlah satu-satunya pemilik kekuatan dan kekuasaan terhadap seluruh
makhlukNya.
Berdasarkan pembacaan terhadap
ayat-ayat Al Qur’an secara berurutan, terdapat paling tidak empat ayat yang
menyebut sifat-sifat Jamilah dan Jalilah Allah secara berdampingan, yaitu:
pertama, surah Al-Ma’idah [5]: 98, “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya Allah amat
berat siksa-Nya dan bahwa sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”. kedua, akhir surah Al-An’am [6]: 165, “Dan Dia lah yang menjadikan
kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas
sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang
diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan
sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. ketiga, surah Ar-Ra’d
[13]: 6, “Mereka meminta kepadamu supaya disegerakan (datangnya) siksa, sebelum
(mereka meminta) kebaikan, padahal telah terjadi bermacam-macam contoh siksa
sebelum mereka.Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mempunyai ampunan (yang luas)
bagi manusia sekalipun mereka zalim, dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar
sangat keras siksanya”. Dan keempat, surah Al-Hijr [15]: 49-50, “Kabarkanlah
kepada hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Aku-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang, dan bahwa sesungguhnya adzab-Ku adalah adzab yang sangat pedih”.
Pada masing-masing ayat di atas,
Allah menampilkan DiriNya dengan dua sifat yang saling berlawanan; Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang yang merupakan esensi dari sifat JamilahNya,
namun pada masa yang sama ditegaskan juga bahwa Allah amat keras dan pedih
siksaanNya yang merupakan cermin dari sifat JalilahNya. Menurut Ibnu Abbas r.a,
seorang tokoh terkemuka tafsir dari kalangan sahabat, ayat-ayat tersebut
merupakan ayat Al Qur’an yang sangat diharapkan oleh seluruh hamba Allah s.w.t.
(Arja’ Ayatin fi KitabiLlah). Karena –menurut Ibnu Katsir- ayat-ayat ini akan
melahirkan dua sikap yang benar secara seimbang dari hamba-hamba Allah yang
beriman, yaitu sikap harap terhadap sifat-sifat Jamilah Allah dan sikap cemas
serta khawatir akan ditimpa sifat Jalilah Allah (Ar-Raja’ wal Khauf). Sementara
Imam Al-Qurthubi memahami ayat tentang sifat-sifat Allah swt semakna dengan
hadits Rasulullah s.a.w. yang menegaskan, “Sekiranya seorang mukmin mengetahui
apa yang ada di sisi Allah dari ancaman adzabNya, maka tidak ada seorangpun
yang sangat berharap akan mendapat surgaNya. Dan sekiranya seorang kafir
mengetahui apa yang ada di sisi Allah dari rahmatNya, maka tidak ada seorangpun
yang berputus asa dari rahmatNya”. ( HR. Muslim) Dalam konteks ini, Syekh
Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rawi, seorang tokoh tafsir berkebangsaan Mesir
mengelompokkan sifat-sifat Allah yang banyak disebutkan oleh Al Qur’an kedalam
dua kategori, yaitu Sifat-sifat Jamilah dan Sifat-sifat Jalilah. Kedua sifat
itu selalu disebutkan secara beriringan dan berdampingan. Tidak disebut
sifat-sifat Jamilah Allah, melainkan akan disebut setelahnya sifat-sifat
JalilahNya. Begitupula sebaliknya. Dan memang begitulah Sunnatul Qur’an selalu
menyebutkan segala sesuatu secara berlawanan; antara surga dan neraka, kelompok
yang dzalim dan kelompok yang baik, kebenaran dan kebathilan dan lain
sebagainya. Semuanya merupakan sebuah pilihan yang berada di tangan manusia,
karena manusia telah dianugerahi oleh Allah kemampuan untuk memilih, tentu
dengan konsekuensi dan pertanggung jawaban masing-masing. “Bukankah Kami telah
memberikan kepada (manusia) dua buah mata,. lidah dan dua buah bibir. Dan Kami telah
menunjukkan kepadanya dua jalan; petunjuk dan kesesatan”. (QS. Al-Balad: 8-10)
Sifat Jalilah yang dimaksudkan oleh
beliau adalah sifat-sifat yang menunjukkan kekuasaan, kehebatan, cepatnya
perhitungan Allah dan kerasnya ancaman serta adzab Allah swt yang akan
melahirkan sifat Al-Khauf (rasa takut, khawatir) pada diri hamba-hambaNya.
Manakala Sifat Jamilah adalah sifat-sifat yang menampilkan Allah sebagai Tuhan
Yang Maha Pengasih, Penyayang, Pengampun, Pemberi Rizki dan sifat-sifat lainnya
yang memang sangat dinanti-nantikan kehadirannya oleh setiap hamba Allah swt
tanpa terkecuali. Dan jika dibuat perbandingan antara kedua sifat tersebut,
maka sifat jamilah Allah jelas lebih banyak dan dominan dibanding sifat
jalilahNya.
Pada tataran Implementasinya, pemahaman
yang benar terhadap kedua sifat Allah tersebut bisa ditemukan dalam sebuah
hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik r.a. Anas
menceritakan bahwa suatu hari Rasulullah bertakziah kepada seseorang yang akan
meninggal dunia. Ketika Rasulullah bertanya kepada orang itu, “Bagaimana kamu
mendapatkan dirimu sekarang?”, ia menjawab, “Aku dalam keadaan harap dan
cemas”. Mendengar jawaban laki-laki itu, Rasulullah bersabda, ‘Tidaklah
berkumpul dalam diri seseorang dua perasaan ini, melainkan Allah akan
memberikan apa yang dia harapkan dan menenangkannya dari apa yang ia cemaskan”.
(HR. At Tirmidzi dan Nasa’i).
Sahabat Abdullah bin Umar ra seperti
dinukil oleh Ibnu Katsir memberikan kesaksian bahwa orang yang dimaksud oleh
ayat-ayat di atas adalah Utsman bin Affan ra. Kesaksian Ibnu Umar tersebut
terbukti dari pribadi Utsman bahwa ia termasuk sahabat yang paling banyak
bacaan Al Qur’an dan sholat malamnya. Sampai Abu Ubaidah meriwayatkan bahwa
Utsman terkadang mengkhatamkan bacaan Al Qur’an dalam satu rakaat dari sholat
malamnya. Sungguh satu tingkat kewaspadaan hamba Allah yang tertinggi bahwa ia
senantiasa khawatir dan cemas akan murka dan ancaman adzab Allah swt dengan
terus meningkatkan kualitas dan kuantitas pengabdian kepadaNya. Disamping tetap
mengharapkan rahmat Allah melalui amal sholehnya.
Betapa peringatan dan cobaan Allah
justru datang saat kita lalai, saat kita terpesona dengan tarikan dunia dan
saat kita tidak menghiraukan ajaran-ajaranNya, agar kita semakin menyadari akan
keberadaan sifat-sifat Allah yang Jalillah maupun yang Jamilah untuk
selanjutnya perasaan harap dan cemas itu terimplementasi dalam kehidupan
sehari-hari. Boleh jadi saat ini Allah masih berkenan hadir dengan sifat
JamilahNya dalam kehidupan kita karena kasih sayangNya yang besar, namun tidak
tertutup kemungkinan karena dosa dan kemaksiatan yang selalu mendominasi
perilaku kita maka yang akan hadir justru sifat JalilahNya. Na’udzu biLlah.
Memang hanya orang-orang yang selalu waspada yang mampu mengambil hikmah dan pelajaran
dari setiap peristiwa yang terjadi. Saatnya kita lebih mawas diri dan
meningkatkan kewaspadaan dalam segala bentuknya agar terhindar dari sifat
Jalilah Allah swt dan senatiasa meraih sifat jamilahNya. Dan itulah tipologi
manusia yang dipuji oleh Allah dalam firmanNya yang bermaksud, “(Apakah kamu
hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di
waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia senantiasa cemas dan
khawatir akan (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah:
“Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”.
(QS. Az-Zumar [39]: 9)
Semoga kasih sayang Allah yang
merupakan cermin dari sifat JamilahNya senantiasa mewarnai kehidupan ini dan
menjadikannya sarat dengan kebahagiaan, ketentraman dan kesejahteraan lahir dan
bathin. Dan pada masa yang sama, Allah berkenan menjauhkan bangsa ini dari
sifat JalilahNya yang tidak mungkin dapat dibendung dengan kekuatan apapun
karena memang mayoritas umat ini mampu merealisasikan nilai iman dan takwa
dalam kehidupan sehari-hari mereka.
No comments:
Post a Comment