ABSTRAK
Al-Siysah al-Syar’iyah
pada sanksi hukuman fisik terhadap anak-anak yang dibahas dalam penelitian ini,
dilakukan berdasarkan fenomena kegelisahan orang tua dan guru-guru, yang
tidak mendapatkan pelindungan hukum, ketika memberikan hukuman fisik, terhadap anak-anaknya.Tanpa
hukuman fisik, anak-anak tertentu, cenderung menjadi semena-mena terhadap teman-temannya,
bahkan guru-gurunya.
Muhammad Rakib,S.H.,M.Ag
Menurut Hukum Islam, anak-anak yang tidak salat dan tidak puasa,
atau melanggar aturan disiplin, boleh dikenakan
hukuman fisik, dipukul, tentu saja dengan ukuran-ukuran yang telahditetapkan. Hal yang sangat mendesak di Indonesia,
karena sejak tahun 2002, orang tua dan guru, dapat dikenakan hukuman penjara,
jika memberikan hukuman fisik terhadap anak-anak. Tapi kebiasaan memukul itu tetap
berlangsung sampai hari ini, bahkan terus menerus menjadi masalah. Karena itu,
disertasi ini mengungkapkan permasalahan
yang ditimbulkannya, serta sebab-sebab masih bertahannya berbagai model hukuman ini. Sipatnya mendesak untuk ditelti,
karena korbannya terus berjatuhan. Masalah pokoknya adalah hukuman fisik, yang dilarang oleh undang-undang,
yang diperkuat oleh konvensi PBB untuk hak-hak anak.
Penulis menggunakan metode analisis, yang merupakan pengembangan dari metode deskriptif. Fokus untuk
mendeskripsikan, membahas, mengkritisi dari sisi formal dan material terhadap Undang-Undang
RI, Nomor 23 tahun 2002 yang
dibandingkan dengan hukum Islam.Sedangkan temuan baru adalah yang berkaitan dengan teori Gunnoe, yang
menyatakan bahwa anak umur 6 tahun boleh dipukul ringan. Walaupun dalam Hukum
Islam anak tidak shalat, boleh dipukul ringan pada umur sepuluh tahun. Teori Gunneo ini,
secara tidak lansung, terkait dengan maqashid
al-syari’ah.
Kata kunci: Hukuman fisik dan
Hukum Islam
Catatan lain,diluar disertasi yaitu kata siyâsah dalam bahasa Arab sering disepadankan dengan kata politic dalam bahasa Inggris. Para ahli ilmu politik
menelusuri kata politics dalam
bahasa Inggris dari tiga kata Yunani; politikos, yang artinya hal menyangkut kewarganegaraan;polites, yang artinya seorang warga negara; polis, yang artinya kota atau negara; atau politeia yang artinya kewargaan.[6] Jadi secara bahasa, politik adalah sesuatu yang
berkenaan dengan hal kenegaraan, kewargaan atau kewarganegaraan baik dalam
tataran pemikiran ataupun dalam praktek prilaku manusia yang berkaitan
dengannya.
Antara siyasah dan politik mempunyai dasar filosofi kebahasaan yang jauh
berbeda. Hal ini tentu saja mempengaruhi kepada cakupan makna peristilahannya.
Hanya saja ada salah satu makna universal yang mempertemukan keduanya, yaitu
usaha-usaha atau kebijakan-kebijakan untuk mencapai suatau tujuan atau
menciptakan kemaslahatan bersama.
Adapun pengertian siyasah dalam
terminologi para fuqaha, dapat terbaca di antaranya pada uraian Ibnul Qayyim
ketika mengutip pendapat Ibnu 'Aqil dalam kitab Al Funûn yang menyatakan,
Siyasah adalah tindakan
yang dengan TAKTIK tindakan itu
manusia dapat lebih dekat kepada kebaikan dan lebih jauh dari kerusakan
meskipun tindakan itu tidak ada ketetapannya dari rasul dan tidak ada tuntunan
wahyu yang diturunkan.[7]
Dilihat dari definisi siyasah yang dikemukakan Ibnu
'Aqail di atas mengandung beberap pengertian. Pertama, bahwa tindakan atau kebijakan siyasah itu untuk
kepentingan orang banyak. Ini menunjukan bahwa siyasah itu dilakukan dalam
konteks masyarakat dan pembuat kebijakannya pastilah orang yang punya otoritas
dalam mengarahkan publik. Kedua, kebijakan yang diambil dan diikuti oleh publik itu
bersifat alternatif dari beberapa pilihan yang pertimbangannya adalah mencari
yang lebih dekat kepada kemaslahatan bersama dan mencegah adanya keburukan. Hal
seperti itu memang salah satu sifat khas dari siyasah yang penuh cabang dan
pilihan. Ketiga, siyasah
itu dalam wilayah ijtihady. Yaitu dalam urusan-urusan publik yang tidak ada
dalil qath'y dari Al-Qur'an dan Sunnah melainkan dalam wilayah kewenangan imam
kaum muslimin. Sebagai wilayah ijtihadi maka dalam siyasah yang sering
digunakan adalah pendekatan qiyas dan masalahat mursalah. Oleh sebab itu, dasar utama dari adanya siyasah
syar'iyah adalah keyakinan bahwa syariat Islam diturunkan untuk kemaslahatan
umat manusia di dunia dan akhirat dengan menegakkan hukum yang seadil-adilnya
meskipun cara yang ditempuhnya tidak terdapat dalam Al-Qur'an dan Sunnah secara
eksplisit. Sebagaimana ditegaskan Ibnul Qayyim,
Allah SWT. mengutus para
Rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya agar manusia mengakan keadila, yaitu
keadilan yang dengannya tegak langit dan bumi. Apabila nampak tanda-tanda
keadilan dan bersinar wajahnya dengan metode apapun keberadaannya, maka dia
itulah syariat dan agama Allah. Allah SWT. Mahatahu, Mahabijaksana dan Mahaadil
dari mengkhususkan cara-cara menetapkan indikasi dan tanda-tanda keadilan
dengan sesuatu, kemudian menafikan apa-apa yang lebih nampak dan lebih kuat
dilalahnya, serta lebih jelas indikasinya dari yang telah ditetapkan, kemudian
tidak menjadikannya sebagai bagian dari caranya serta tidak menetapkan hukum
dengan keberadaanya. Justru Allah SWT. telah menjelaskan cara-cara (metode)
dengan apa yang disyaritakannya, bahwa tujuannya adalah menegakkan keadilan di
antara hamba-hamba-Nya dan menegakan manusia dengan keadilan. Maka dengan cara
apapun yang dapat melahirkan keadilan, maka dia itu bagian dari agama, bukan
bertentangan dengannya. Maka tidak dapat dikatakan bahwa siyasah yang adil
bertentangan dengan apa yang dikatakan syariat. Justru dia itu bersesuaian
dengan yang dibawa syariat. Bahkan menjadi satu bagian dari bagian-bagiannya.
Dan kami menamakannya siyasah hanya karena mengikuti peristilahan mereka. Padahal
hakikatnya adalah keadilan Allah dan Rasul-Nya yang muncul dengan tanda-tanda
dan indikasi-indikasi tersebut.[8]
Ibnul Qayim juga mengatakan:
Barangsiapa yang mempunyai cita dalam
syariat serta meneliti kesempurnaan dan cakupannya terhadap kemaslahatan
manusia yang paling tinggi dalam kehidupan dunia dan akhirat dengan keadilannya
yang menyeluruh terhadap semua makhluk, bahwa tidak ada yang lebih adil diatas
keadilan syariat dan tidak ada kemaslahatan di atas kemaslahatannya, akan
jelaskah bahwa politik yang adil merupakan bagian dari ajarannya dan cabang
dari cabang-cabangnya (syariat) dan siapa yang menguasi ilmu akan
tujuan-tunjuannya dan meletakkannya pada porsinya dan baik pemahamnnya, niscaya
ia tidak butuh lagi kepada siyasah yang lainnya.[9]
Ibnu Khaldun," keberadaan siyasah merupakan keniscayaan dari tabiat
manusia yang cenderung ingin hidup bermasyarakat." Tetapi ketika manusia
bermasyarakat, sifat rakus, egois dan fanatisme kelompok yang merupakan sisi
lain dari tabiat manusia mendorong mereka untuk memenuhi kepentingan sendiri
dengan memperlakukan pihak lain secara zalim. Munculah kebencian dan permusuhan
hingga peperangan di antara mereka. Untuk mengendalikan itu semua agar
kehidupan masyarakat tetap dalam harmoni dan kebaikan diperlukan suatu aturan, qanun, yang disepakati bersama. Qanun itu tentu saja
ditetapkan oleh penguasa atau pemimpin yang dapat memaksa masyarakat untuk
tunduk kepadanya. Kemudian Ibnu Khaldun mengatakan,
Apabila keberadaan qunun-qanun ini
ditetapkan (sumbernya) dari para cendekiawan, pembesar negara, dan para ahli
bashirah maka itulah siyasah
akliyah. Dan apabila keberadaannya
ditetapkan berdasarkan (sumber) dari Allah dengan suatu syariat yang
ditetapkannya maka itulah siyasah diniyah yang memberi manfaat dunia dan akhirat. Hal itu
dikarenakan tujuan hidup manusia itu bukan hanya di dunia semata. Karena
sesungguhnya semua yang didunia itu akan sia-sia dan sirna, sebab akhirnya itu
kematian dan kemusnahan, dan Allah telah berfirman, "apakah kamu semua
mengira bahwa Kami ciptakan kalian dengan sia-sia?". Maka yang dituju oleh
manusia tiada lain adalah agama yang membawa mereka kepada kebahagiaan di
akhirat, "itulah jalan Allah yang kepunyaan-Nyalah segala yang di langit
dan di bumi". Maka datanglah syariat membawa manusia kepadanya pada
seluruh keadaan mereka, baik itu dalam bidang ibadah maupun muamalah, sampai
masalah kenegaraan sekalipun yang merupakan tabiat dari kehidupan masyarakat
manusia, berjalan di atas manhaj agama agar segalanya tercakup dalam pandangan
syâri'.[10]
Perlu dicatat, bhwa Ibnu
Khaldun membedakan antara siyasah
aqliyah yang hanya bersumber kepada
teori-teori akal manusia dengan siyasah diniyah yang bersumber dari wahyu Allah atau syariat. Dengan
berpijak kepada perbedaan siyasah yang dijadikan acuan dalam mengatur kekuasaan
ini pula Ibnu Khaldun membedakan tipe pemerintahan atau kekuasaan. Pertama,
kekuasaan yang menggiring semua manusia kepada tujuan syahwat dunia semata,
itulah mulku al tahaba'i.
Kedua, kekuasaan yang menggiring manusia untuk mencapai kemaslahatan,
menciptakan kemanfaatan dan menolak kerusakan duniawi dengan mengacu kepada
teori-teori akliyah semata, itulah kekuasaan al siyâsy. Dan ketiga, kekuasaan yang mengarahkan manusia
mencapai kemaslahatan dan kebahagiaan hidup dunia dan akhirat dengan mengacu
kepada tuntunan syariat agama, itulah kekuasaan khilafah yang melanjutkan misi para nabi.[11] Kekuasaan yang berdasarkan syariat itulah, kata Ibnu
Khaldun, yang wajib ditegakan oleh manusia, sebab tidak ada kemaslahatan dunia
yang tidak mengacu kepada kemaslahatan akhirat dan tidak ada yang lebih tahu
tentang kemaslahatan hidup manusia dalam urusan dunia dan akhiratnya melainkan
Allah SWT. sebagai Pencipta dan pembuat syariat.
Lebih gamblang yang
dikemukakan oleh Abdurahman Abdul Aziz Al Qasim, beliau mengatakan.
Siyasah Syar'iyah adalah setiap
kebijakan dari dari penguasa yang tujuannya menjaga kemaslahatan manusia, atau
menegakan hukum Allah, atau memelihara etika, atau menebarkan keamanan di dalam
negeri, dengan apa-apa yang tidak bertentangan dengan nash, baik nash itu ada
(secara eksplisit) ataupun tidak ada (secara implisit).[12]
Jadi esensi dari siyasah syar'iyah
adalah kebijakan penguasa yang dilakukan untuk menciptakan kemaslahatan dengan
menjaga rambu-rambu syariat. Rambu-rambu syariat dalam siyasah adalah: (1)
dalil-dalil kully, dari Al-Qur'an maupun Al-Hadits; (2) maqâshid syari'ah; (3)
semangat ajaran Islam; (4) kaidah-kaidah kulliyah fiqhiyah.[13]
Siyasah Syar'iyah dan Falsafah
Pengertian siyasah
syar'iyah sebagai tindakan-tindakan politis yang bertujuan menciptakan
kemaslahatan, kemanfaatan dan keadilan, menolak kerusakan dan kedzaliman dalam
kehidupan masyarakat manusia yang selaras dengan nilai-nilai syariat, maka
tidak dapat dihindarkan adanya kebutuhan pemikiran falsafah dalam perumusan
siyasah syar'iyah, karena teori dan tindakan siyasah syar'iyah bukan
bersumber dari dalil eksplisit Al-Qur'an dan Hadits Nabi, melainkan dari
penalaran logis terhadap prinsip-prinsip dan spirit syariah. Dalam hal ini
menarik disimak pandangan Imam Ibnu Hazm Al Andalusi[14] mengenai
keselarasan falsafah yang benar dengan syariat,
Adanya kesamaan tujuan asasi antara
syariah dan falsafah telah melahirkan teori-toeri pemikiran tentang masyarakat
ideal yang sesuai dengan cita-cita kebaikan dan keadilan dikemukakan juga oleh
Ibnu Rusyd dalam kitabnya, Fashlul Maqal,[15]
Sementara itu jauh sebelum Sahrastany
dan Ibnu Rusyd, Al Faraby telah menulis As Siyasah al Madaniyah, yang menguraikan masyarakat ideal dalam tinjauan
falsafahnya. Pada bab yang keenam dari bukunya, Al Faraby menguraikan bahwa
syarat terpenting terwujudnya negara atau masyarakat utama adalah adanya
seornag pemimpin yang ideal. Pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang mampu
membimbing dan mengajar rakyatnya kepada kebaikan dan kebahagiaan. Pemimpin
ideal tidak membutuhkan lagi kepada bimbingan orang lain karena kesempurnaan
dan kematangan akalnya telah mengantarkan ia menjadi seorang yang memiliki
kekuatan 'akal fi'il kemudian
meningkat menjadi 'akal mustafad. Ketika seorang pemimpin telah mecapai 'akal
mustafad maka ia mampu berkomunkasi dan
berinteraksi dengan 'akal fa'al. Dari 'akal fa'al inilah ilmu memancar kepada 'akal
munfa'il melalui perantaraan wahyu.
Pemimpin yang seperti itu akan mampu membuat segala peraturan dan kebijakan
yang memberi kebaikan dan kebahagian bagi rakyatnya. Apabila pemimpin berikutnya
tidak mencapai derajat akal mustafad, maka mereka dapat melanjutkan
kepemimpinan berdasarkan syariat dari pendahulunya. Suatu masyarakat yang
dipimpin oleh type pemimpin yang telah mencapai derajat seperti itu akan
menjadi masyarakat yang utama yang terbaik dan berbahagia (An Nâs al fâdilûn
wal akhyâr wal su'ada). Jika masyarakat seperti itu berkumpul pada satu tempat
atau kawasan yang sama membentuk kota/negara, maka kota tersebut menjadi kota
yang utama atau al madînah al fâdilah[16].
Ini juga catatan di luar disertasi, bahwa Al Faraby,
masyarakat ideal hanya akan tercapai manakala pemimpinnya mencapai ilmu dan
derajat yang tinggi yang mampu memimpin dengan bijaksana dan adil sehingga
terwujud kemaslahatan, kebaikan dan kebahagiaan. Dan kemampuan yang tinggi dari
pemimpin yang telah mencapai akal mustafad itu bukan memperoleh ilmu dari hasil
bimbingan dan pengajaran orang lain, tetapi dari pancaran ilmu 'akal al fa'al dan akal
fa'al itu memperoleh dari akal
al awwal. Dalam istilah Al Faraby, 'Akal
al awwal itu tiada lain adalah Dzat
Allah SWT., sedang akal f'a'al adalah Ruh al Amin atau
Ruh al Qudus yaitu Malaikat pembawa wahyu. Maka dapat dikatakan bahwa siyasah
yang dijalankan dalam madinah al fadilah adalah siyah para Nabi atau siyasah para Filosof. Jika
siyasah itu mengacu kepada wahyu atau syariat yang dibawa para Nabi maka
dinamakan Siyasah Syar'iyah.
Objek Dan Metode Siyasah Syar'iyah
Dengan siyasah syar'iyah, pemimpin
mempunyai kewenangan menetapkan kebijakan disegala bidang yang mengandung
kemaslahatan umat. Baik itu di bidang politik, ekonomi, hukum dan
perundang-undangan. Secara terperinci Imam Al Mawardy[17] menyebutkan
di antara yang termasuk ke dalam Ahkamus Sulthaniyah (hukum kekuasaan) atau
kewenangan siyasah syar'iyah sekurang-kurangnya mencakup dua puluh bidang,
yaitu:
1. 'Aqdul Imamah atau
kaharusan dan tatacara kepemimpinan dalam Islam yang mengacu kepada syura
2. Taqlidul Wizarah atau pengangkatan
pejabat menteri yang mengandung dua pola. Yaitu wizarah tafwidhiyah dan wizarah tanfidziyah
3. Taqlidul imârah 'alal bilâd, pengangkatan
pejabat negara seperti gubernur, wali negeri, atau kepala daerah dan sebagainya
4. Taqlidul imârat 'alal jihâd, mengangkat para
pejabat militer, panglima perang dan sebagainya
5. Wilayah 'ala hurûbil mashâlih, yaitu kewenangan
untuk memerangi para pemberontak atau ahlul riddah
6. Wilayatul qadha, kewenangan dalam
menetapkan para pemimpin pengadilan, para qadhi, hakim dan sebagainya.
7. Wilayatul madhalim, kewenangan
memutuskan persengketaan di antara rakyatnya secara langsung ataupun menunjuk
pejabat tertentu
8. Wilayatun niqabah, kewenangan
menyensus penduduk, mendata dan mencatat nasab setiap kelompok masyarakat dari
rakyatnya
9. Wilayah 'ala imamatis shalawat, kewenangan
mengimami shalat baik secara langsung atau mengangkat petugas tertentu.
10. Wilayah 'alal hajj, kewenangan
dan tanggungjawab dalam pelayanan penyelenggaraan keberangkatan haji dan dalam
memimpin pelaksanaannya.
11. Wilayah 'alal shadaqat, kewenangan
mengelola pelakasanaan zakat, infaq dan shadaqat masyarakat dari mulai
penugasan 'amilin, pengumpulan sampai distribusi dan penentuan para
mustahiknya.
12. Wilayah 'alal fai wal gahnimah, kewenangan
pengelolaan dan pendistribusian rampasan perang
13. Wilayah 'alal wadh'il jizyah wal
kharaj, kewenangan menentapkan pungutan pajak jiwa dari kaum kafir dan bea cukai
dari barang-barang komoditi
14. Fima takhtalifu ahkamuhu minal bilad, kewenangan
menetapkan setatus suatu wilayah dari kekuasaannya.
15. Ihyaul mawat wa ikhrajul miyah, kewenangan
memberikan izin dalam pembukaan dan kepemilikan tanah tidak bertuan dan
penggalian mata air
16. Wilayah Fil himâ wal arfâq, kewenangan
mengatur dan menentukan batas wilayah tertentu sebagai milik negara, atau
wilayah konservasi alam, hutan lindung, cagar budaya, dan sebagainya
17. Wilayah Fi ahkamil iqtha', kewenangan
memberikan satu bidang tanah atau satu wilayah untuk kepentingan seorang atau
sekelompok rakyatnya
18. Wlayah fi wadh'i dîwân, kewenangan
menetapkan lembaga yang mencatat dan menjaga hak-hak kekuasaan, tugas
pekerjaan, harta kekayaan, para petugas penjaga kemanan negara (tentara), serta
para karyawan
19. Wilayah fi ahkamil jarâim, kewenangan dalam
menetapkan hukuman hudu dan ta'zir bagi para pelaku kemaksiyatan, tindakan
pelanggaran dan kejahatan seperti peminum khamer, pejudi, pezina, pencuri, penganiyaan
dan pembunuhan
20. Wilayah fi ahkamil hisbah, kewenangan
dalam menetapkan lembaga pengawasan
Ulama yang lain, seperti Ibnu Taimiyah
juga mengupas beberapa masalah yang masuk dalam kewenangan siyasah syar'iyah.
Beliau mendasarkan teori siyasah syar'iyah kepada surat An Nisa ayat 58 dan 59.
Dimana kedua ayat tersebut menurut beliau adalah landasan kehidupan masyarakat
muslim yang berkaitan dengan hak dan kewajiban antara pemimpin dan rakyat. Ayat
pertama berisi kewajiban dan kewenangan para pemimpin sedang ayat kedua berisi
kewajiban ra'yat terhadap pemimpinnya. Secara garis besarnya, berdasar ayat
pertama (An Nisaa 58), kewajiban dan kewenangan pemimpin adalah menunaikan
amanat dan menegakkan hukum yang adil. Sedang kewajiban rakyat adalah taat kepada
pemimpin selama merak taat kepada Allah dan Rasul-Nya (ayat An Nisaa yang ke
59).
Kewajiban penguasa dalam menunaikan
amanat meliputi pengangkatan para pejabat dan pegawai secara benar dengan
memilih orang-orang yang ahli, jujur dan amanah, pembentukan departemen yang
dibutuhkan dalam menjalankan tugas negara, mengelola uang rakyat dan uang
negara dari zakat, infaq, shadaqah, fai dan ghanimah serta segala perkara yang
berkaitan dengan amanat kekayaan.
Sedang siyasah syar'iyah dalam bidang
penegakan hukum yang adil memberi tugas dan kewenangan kepada penguasa untuk
membentuk pengadilan, mengangkat qadhi dan hakim, melaksalanakan hukuman hudud
dan ta'zir terhadap pelanggaran dan kejahatan seperti pembunuhan, penganiyaan,
perzinaan, pencurian, peminum khamer, dan sebaginya serta melaksanakan
musyawarah dalam perkara-perkara yang harus dimusyawarahkan.[18]
Sementara itu, Ibnul Qayyim memperluas
pembahasan Siyasah Syar'iyah dalam penegakan hukum yang tidak terdapat nash
atau dalilnya secara langsung dari Al-Qur'an maupun Hadits. Maka beliau
menguraikan panjang lebar masalah-masalah yang berkaitan dengan kasus-kasus hukum
acara dan pengadilan. Beliau membawakan berbagai pembahasan yang merupakan
contoh kasus penetapan hukum dengan pendekatan siyasah syar'iyah. Di
antaranya adalah tentang penetapan hukum yang pembuktiannya berdasarkan firasat (ketajaman naluri dan mata batin hakim),
amarat (tanda-tanda atau ciri-ciri yang
kuat), danqarâin (indikasi-indikasi yang tersembunyi). Demikian juga
beliau membahas tentang menetapkan hukum berdasarkan al-qur'ah atau dengan cara mengundi, saksi orang kafir, saksi
wanita, memaksa terdakwa supaya mahu mengakui perbuatannya, dan sebagainya.[19]
Di antara argumen yang mendasari
adanya kebijan politik syariat adalah apa yang telah dikemukankan di muka bahwa
inti dari syariat Islam adalah menegakan keadilan, kemaslahatan dan kebahagiaan
manusia di dunia dan akhirat. Maka walaupun secara tekstual tidak terdapat di
dalam Al-Qur'an dan Hadits, tetapi jika sudah nyata ada keadilan dan
kemaslahatan maka disitulah hukum Allah berada dan tidaklah mungkin
bertentangan dengan syariat.[20]
Disamping itu ada bukti historis
bahwa keputusan-keputusan hukum yang dilaksanakan pada masa Khulafaur Rasyidin
yang mengindikasikan sebagai kebijakan siyasah dalam bidang hukum. di antara
contoh-contoh tersebut adalah:
Pertama, tindakan Utsman
membakar catatan-catatn wahyu yang dimiliki para shahabat secara perorangan
untuk disatukan dalam mushaf Imam. Kebijakan ini sama sekali tidak mendapat
dalil dari teks Al-Qur'an maupun Hadits Nabi, tetapi kebijakan politik Utsman
untuk kemaslahatan umat dan persetujuan sebagian besar dari shahabat yang lain
menunjukan keabsahan keputusan tersebut.
Kedua keputusan
Ali menghukum bakar kaum zindik untuk menimbulkan efek jera atas tindakan yang
dianggap kejahatan luar biasa. Padahal Rasulullah sendiri membenci menghukum
dengan cara membakar.
Ketiga, keputusan
khalifah Umar untuk tidak menghukum potong tangan pencuri yang miskin di masa
krisis, tidak memberikan bagian zakat kepada muallaf dari kalangan musyrik, dan
menetapkan jatuh talak tiga dalam satu majlis.
Keempat, tindakan Abu
Bakar yang memutuskan memerangi para pembangkang zakat padahal mereka masih
sebagai muslim yang bersyahadat dan menjalankan kewajiabn shalat
Hasbi As Shiddieqy, sebagaimana
dikutif oleh A.Djazuli, merangkum objek atau wilayah cakupan siyasah syar'iyah
itu ke pada delapan bidang, yaitu: (1) siyasah dusturiyah syar'iyah; (2)
siayasah tasyri'iyah syar'iyah; (3) siyasah qadhaiyah syar'iyah; (4) siyasah
maliyah syar'iyah; (5) siyasah idariyah syar'iyah; (6) siyasah dauliyah; (7)
siyasah tanfiziyah syra'iyah; (8) siyasah harbiyah syar'iyah.[21] Sedangkan
dalam kurikulum Fakultas Syariah cakupan kajian Fiqih siyasah diringkas menjadi
empat bidang yaitu Fiqh Dustury, Fiqh Maly, Fiqh Dauly, dan Fiqh Harby.[22]
Adapun pendekatan kajian dan
penerapan Siyasah Syar'iyah menggunakan metode Qiyas, Al Maslahatul Mursalah,
Saddud Dzari'ah dan Fathud Dzari'ah, Al-'Adah, Al Istihsan, dan kaidah-kaidah
kulliyah fiqhiyah.
Qaidah Fiqhiyah Dalam Siyasah
Syar'iyah
Di bawah ini penulis akan
mengemukakan beberapa contoh saja dari kaidah fiqhiyah yang ada kaitannya
dengan masalah siyasah.
Kaidah pertama.
Sesungguhnya kehidupan masyarakat
manusia meniscayakan adanya siyasah yang menata urusannya.[23]
Kaidah ini merupakan doktrin ajaran
Islam dalam bidang siyasah bahwa kemaslahatan hidup bermasyarakat menuntut
adanya kepemimpinan politik untuk menegakkan hukum yang dengan hukum kaum lemah
dilindungi dan orang kuat dicegah dari tindakan sewenang-wenang. Oleh sebab itu
kaum para ulama Islam menyepakati wajibnya ada pemimpin. Hanya saja mereka
berbeda pendapat mengenai dasar kewajiban itu bersifat syar'i atau bersifat
akli. Jumhurul ulama berpendapat bahwa kewajiban adanya pemimpin adalah
bersifat syar'i dan akli sekaligus. Adapun dalil syar'inya adalah perintah
Al-Qur'an yang menyatakan, "Wahai orang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul, dan (taatlah) kepada para pemimpin di antara kalian…" (An
Nisaa: 49). Ayat ini menegaskan kewajiban taat kepada pemimpin, sedang ketaatan
kepada pemimpin tidaklah akan terjadi tanpa keberadaan pemimpin itu sendiri.
Maka dari sini muncul kaidah, "Ma laa yatimmul wâjib illa bihi fa huwa
wâjib", apa yang tidak dapat sempurna terlaksananya suatu kewajiban
kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itupun menjadi wajib. Atau dengan kata
yang lain, perintah pada sesuatu menjadi perintah atau perantaraannya.
Kekuasaan dan politik adalah sarana demi tegaknya hukum dan keadilan. Sementara
kewajiban tegaknya hukum dan keadilan telah disepakti perintahnya dalam
Al-Qur'an dan Sunnah
Kaidah kedua.
Kebijakan pemimpin terhadap rakyat
berdasarkan kemaslahatan
Kaidah ini memberi pijakan kepada
pemimpin bahwa kebijakan pemimpin haruslah berdasarkan kemaslahatan. Maka
pemimpin diberi kewenangan dalam mendistribusikan kewenangan dan kekayaan
negara yang berupa jabatan, pengganjian pegawai, memberi jaminan sosial bagi
rakyatnya, dan sebagainya. Semuanyaharus berdasarkan kemaslahatan umat. Kaidah
ini diambil dari ayat Al-Qur'an dan hadits Nabi saw.
Imam Ibnu Taimiyah[24] membuat
teori kemaslahatan dalam politik syariat dengan mengacu kepada dua ayat dalam
surat An Nisa, yaitu ayat ke 58 dan 59 dimana Allah berfirman,
Sesungguhnya Allah memerintahkan
kepada kamu agar menunaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan apabila
kamu memutuskan hukum di antara manusia hendaklah memutuskan hukum dengan cara
yang adil. Sesungguhnya Allah sebaik-baik pemberi nasihat dengan keduannya.
Sesungguhnya Allah Mahamendengar lagi Mahamelihat. Wahai orang beriman taatlah
kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul dan kepada para pemimpin di
antara kalian. Jika kalian berselisih faham pada suatau urusan maka
kembalikanlah kepada Allah dan kepada Rasul-Nya jika kalian beriman kepada
Allah dan kepada hari akhirat. Yang demikian itu lebih baik dan sebaik-baik
akibatnya. (An Nisâ: 58-59)
Kedua ayat di atas menjadi prinsip
teori siyasah syariyah dalam Islam. Ayat 58 menegaskan pemimpin wajib
menunaikan amanah dan berlaku adil dalam hukum. amanah berarti tidak
mensia-siakan kepercayaan rakyat dan tidak mengkhianati mereka dengan berlaku
curang terhadap harta dan kehormatan mereka serta berlaku jujur dalam memimpin,
tidak berdusta dan mengingkari janji kepada rakyat yang dipimpinya. Berlaku
adil dalam hukum berarti tidak zalim dan tidak berat sebelah atau pandang bulu
dan pilih kasih dalam menetapkan hukum kepada rakyatnya. Jika pemimpin sudah menunaikan
amanah dan berlaku adil, maka kewajiban rakyat adalah taat dengan
sebaik-baiknya terhadap ulil amri.
Maka atas dasar ayat di atas, ada
hubungan timbal balik yang seimbang antara ketaatan rakayat di satu sisi dengan
keadilan dan kemanahan pemimpin di sisi lain. Oleh sebab itu, kaidah terpenting
bagi kebijakan seorang pemimpin dalam agama adalah menetapkan kebijakan
tersebut atas dasar kemaslahatan rakyat dan kemaslahatan negaranya bukan atas
kemaslahatan diri sendiri.
Kaidah ketiga
Menolak kerusakan harus didahulukan
daripada mencari kemanfaatan
Kaidah ini sebagai kelanjutan dari
kaidah di atas bahwa kebijakan siyasah syariyah dasarnya menegakan kemaslahatan
umum. Namun adakalanya kemaslahatan itu tercampur di dalamnya dengan kerusakan
atau keburukan. Maka siyasah syariyah melarang mengambil kemanfaatan pada
sesuatu yang didalamnya menimbulkan kemadharatan. Sebab hal itu akan
menghilangkan makna sesungguhnya dari maslahat itu sendiri. Sebab kemaslahatan
itu pada dasarnya tidak adanya kemafsadatan.
Kemudian daripada itu, kemaslahatan
itu sendiri dalam tinjauan syariat Islam ada dua macam. Ada kemaslahatan yang
secara jelas dan tegas disebutkan dalam Al-Qur'an dan sunnah sehingga setiap
muslim wajib mempercayai dan menerima kemaslahatan tersebut sebagai ketetapan
syariat. Seperti kemaslahatan dalam penetapan hukum qishash sebagai cara Allah
menjaga keselamatan hidup masyarakat banyak. Atau larangan meminum khamar
sebagai kemaslahatan menolak terjadinya permusuhan dan peperangan akibat khamar
(Al Maidah ayat 90-91). Ada juga kemaslahatan yang diketahuinya itu melalui
ijma' para shahabat Rasul seperti kesepakatan mereka menghimpun Al-Qur'an pada
satu mushaf dan kesepakatan mereka untuk memerangi kaum murtad dan kelompok yang
membangkang membayar zakat. Dan adapula kemaslahatan hasil ijtihad
melalui qiyas. Maka kemaslahatan yang berdasarkan ijtihad dan qiyas harus
memperhatikan kaidah ini, yaitu jika kemaslahatan itu mengandung kerusakan maka
menolak kerusakan harus lebih didahulukan daripada mengambil manfaat.
Kaidah keempat
Perubahan hukum-hukum karena adanya
perubahan zaman, tempat, situasi-kondisi, kebiasaan, dan tujuan-tujuan (niyat)
Dengan kaidah ini penguasa dapat
meninjau kembali keputusan dan kebijakannya jika dinilai dan diraskana bahwa
telah terjadi perubahan situasi dna kondisi yang menyebabkan kebijakan hukum
sebelumnya sudah tidak relevan lagi
Kaidah kelima
Jika terjadi pertentangan dua
kerusakan maka dijaga/dihindari kerusakan yang terbesar dengan mengambil
kerusakn yang paling ringan.
Dengan kaidah ini memberi solusi
apabila dihadapkan kepada situasi harus memilih dimana dua pilihan itu semuanya
buruk. Maka dengan mengambil pilihan pada kebijakan yang lebih ringan
madharatnya demi menghindari madharat yang lebih besar.
Penutup
Inilah beberapa uraian masalah yang
berkaitan dengan Siyasah Syar'yah dalam kaitannya dengan penegakan hukum syariat.
Tentu masih banyak aspek yang belum terungkap dalam paper ini karena
keterbatasan kemampuan dan referensi. Namun demikian penulis berharap usaha
mudah-mudahan tetap memberi andil dalam upaya kajian yang lebih mendalam lagi.
Wallahu a'lam bishawab!
Referensi:
A. Djazuli, Fiqih Siyasah,
Implementasi Kemaslahatan Dalam Rambu-rambu Syariah, (Jakarta: Kencana Prenada, 2003)
Abu Muhammad Abdullah bin Muslim bin
Qutaibah Ad Dainury, Al
Imamah Wa al Siyasah, (Beirut: Dar el
Kutub al Ilmiyah, 1997)
Abdurahman bin Ahmad bin Rajab Al
Hambaly, Al
Istikhraj fi Ahkamil Kharaj ((Beirut:
Dar el Kutub al Ilmiyah, 205 H)
Muhammad bin Manshur, Al Jauharun Nafis fi
Siyasatir Rais (Maktabah Nazar
Mushthafa al Baz, 1996)
Abdurahman As Syairazy, Minhajus Suluk fi Siyasatil
Muluk, (Makatabah Al Manar, 1987)
Abu Abdillah Al Qa'ly, Tahdzibur Riyasah wa
Tartib al Siyasah, (Maktabah Al Manar,
1987)
Ibnul Azraq, Badaius Salk fi Thabaiil
Muluk (Maktabah Syamilah)
Abu Hamid bin Muhammad Al-Ghazaly, Al Musthasfa, tahqiq Hamzah bin Zuhaer Al hafidz, (Jidah: Dar el
Nasyr, tt)
Abdul Wahhab Khalaf, Khulashah Târikh Tasyri'
al Islâmy,(Kuwait: Dar el
Qalam, tt)
Al Futuhy, Syarh Kaukab al Munîr, (Riyad: Maktabah Al Abaykan, 1993)
Muhanmmad bin Idris Asy Syafi'i, Ar Risâlah, Tahqiq Ahmad Muhammad Syakir, (Beirut: Dar el Fikr,
tt)
Ibnul Azraq, Badâi'u al salik fi
thabâi'ilmalik, (Maktabah Syamilah: www.alwarraq)
hal.3
Ibnul Qayyim al Jauziyah, I'lamul Muwaqqi'in, (Beirut: Dar el Fikr, tt)
Ibnul Qayyim Al Jauziyah, Al Thuruq al hukmiyah fi
siyâsat al syar'iyah, (Kairo: Matba'ah
Al madany, tt), hal. 17
Ibnu Taimiyah, As Siyâsah As-Syar'yah
fiIslâihil Râ'i war Ra'iyah,(Riyad: Maktabah Al Muayyad, 1993)
Al-Qadhi al Qudhat Abdul Jabbar, Syarah Ushul al Khamsah, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1996), cet. Ke-3
Hasbi As Siddieqy, Ilmu Kenegaraan Dalam
Fiqih Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1991)
Jaih Mubarok, Fiqih Siyasah, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005)
Juhaya S Praja, Ringkasan Sejarah
Filsafat Hukum Islam, (Bandung: UNISBA,
2009)
___________ Filsafat Hukum Islam, (Tasikmalaya: latifah Press, 2009)
J. Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah, Ajaran,
Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta:
PT.Raja Grapindo Persada, 2002)
Ibrahim Musthafa, at al, Al
Mu'jamul Wasith, (Istambul: Al maktabah
Al Islamiyah, 1972), Juz I
Abu Nash Al Faraby, As Siyâsah Al Madaniyah, tahqiq dan syarah 'Ali Bu Milham, (Beirut: Dar
Maktabah Al Hilal, 1994),
Al Mawardy, Al Ahkamus Sulthaniyah, (Maktabah Syamilah, Darul Warraq, tt)
Abdurahman Abdul Aziz Al Qasim, Al Islâm wa Taqninil Ahkam, (Riyadh: Jamiah Riyadh, 1977), hal.
Ali bin Ahmad bin Hazm Al Andalusi, Al Fashlu Fil Milal wal
Ahwa wan Nihal, (Kairo: Makatabh Al
Kahnajy, tt), juz I,
Abu Nashr Al Farabi, Siyasat al Madaniyah, (Beirut: Dar maktabah Al Hilal, 1994)
Ibnu Rusyd, Fashlul Maqal (Maktabah Syamilah, tt)
[1] Surat
Al-Maidah ayat 3
[2] Surat
Al-Ahzab ayat 40
[3] Perhatikan
Fakhruddin Arrazy, Mafâtihulghaib, (Maktabah Syamilah), juz v, hal.466 dan Ibrahim bin
Umar al Biqâ'i, Nadhmu al durar fi tanasub al ayât wa al suwar, (Maktabah Syamilah), juz II hal 332
[4] Muhanmmad
bin Idris Asy Syafi'i, Ar Risâlah, Tahqiq Ahmad Muhammad Syakir, (Beirut: Dar el Fikr, tt), hal 20. no
48.
[5] Ibrahim
Musthafa, at al, Al Mu'jamul Wasith, (Istambul: Al maktabah Al Islamiyah, 1972), Juz I,
hal. 462
[6] Lorens
Bagus, Kamus Filsafat,
(Jakarta: PT Gramedia, 2000), hal. 857)
[7] Ibnul
Qayyim Al Jauziyah, Al Thuruq al hukmiyah fi siyâsat al
syar'iyah, tahqiq Basyir Muhammad
Uyun, (Damascus: Matba'ah Dar Al Bayan, 2005), hal. 26
[8] Ibid, hal. 27
[10] Abdurahman
bin Khaldun, Muqaddimah, (Beirut: Dar Al Fikri, tt), hal. 97
[11] Ibid
[12] Abdurahman
Abdul Aziz Al Qasim, Al Islâm wa Taqninil Ahkam, (Riyadh: Jamiah Riyadh, 177), hal. 83
[13] A.Djazuli, Fiqh
Siyâsah, edisi revisi, (Jakarta:
Kencana Prenada MediaGroup, 2003), hal.29
[14] Ali
bin Ahmad bin Hazm Al Andalusi, Al Fashlu Fil Milal wal Ahwa wan Nihal, (Kairo:
Makatabh Al Kahnajy, tt), juz I, hal. 57
[15] Ibnu
Rusyd, Fashlul Maqal (Maktabah Syamilah, tt) hal.3
[16] Abu
Nash Al Faraby, As Siyâsah Al Madaniyah, tahqiq dan syarah 'Ali Bu Milham, (Beirut: Dar
Maktabah Al Hilal, 1994), hal. 99-100
[17] Al
Mawardy, Al Ahkamus Sulthaniyah,
(Maktabah Syamilah, Darul Warraq, tt)
[18] Syekhul
Islam Ibnu Taimiyah, As Siyâsah as Syar'iyah fi islâhir râ'i war
ra'iyah, tahqiq Basyir Mahmud Uyun,
(Riyadh: Maktabah al Muayyad, 1993)
[19] Ibnul
Qayyim, op.cit
[20] Dapat
dibaca kembali pada catatan kaki no.8 dan 9
[21] A.Djazuli, op.cit, hal.30
[23] Ibnul
Azraq, Badâi'u al salik fi thabâi'ilmalik, (Maktabah Syamilah: www.alwarraq)
hal.3
[24] Ibnu
Taimiyah, As Siyâsah As-Syar'yah fiIslâihil Râ'i war Ra'iyah,(Riyad: Maktabah Al Muayyad, 1993), hal. 6-7
Dalam literatur
keislaman, studi Politik Hukum Islam sering juga menggunakan term siyâsah syar’iyyah.Siyâsah,
yang berasal dari Bahasa Arab, membawa seperangkat makna yang kesemuanya
berkisar pada pengertian “pengaturan dan pengelolaan sesuatu sesuai dengan
kemaslahatannya” (tadbîr al-syai’ wa al-tasharruf fîhi bimâ yashlahuh). Kata fi’il sâsa. yasûsu dari masdar al-siyâsah, dipakai dalam ungkapan sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh al-Bukhariy, Muslim, Ahmad ibn Hanbal, dan Ibn Majah, yang
membawa makna di atas antara lain dinyatalkan bahwa “Orang-orang Bani Isra’il
diatur kehidupan mereka oleh para Nabi (tasûsuhum al-Anbiyâ’) dan setiap meninggal seorang Nabi lalu digantikan
oleh Nabi yang lain. Dalam berbagai literatur yang ditulis dewasa ini, antara
lain: 1. Al-Syaikh ‘Abdurrahman Tâj (mantan Syaikh al-Azhar) dalam bukunya Al-Siyâsah
al-Syar’iyyah wa al-Fiqh al-Islâmiy. 2.
Al-Syaikh ‘Abd al-Wahhâb al-Khalâf dalam kitabnya Al-Siyâsah
al-Syar’iyyah au Nizhâm al-Daulah al-Islâmiyyah fî Syu’ûn al-Dusturiyyah wa
al-Khijiyyah wa al-Mâliyah dan 3.
Dr.’Abd al-’Athwah dalam bukunya Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm. Ditemukan rumusan-rumusan yang agak bervariasi
tentang pengertian al-fiqh al-siyâsiy atau al-Siyâsah al-syar’iyyah.
Sedemikian rupa, ada
kesamaan dalam substansi yang terkandung di dalamnya, yaitu bahwa ia merupakan
suatu pengaturan (tadbîr) urusan orang-orang yang hidup dalam masyarakat (syu’ûn al-ummah) demi tercapainya
kemaslahatan (li
al-mashlahah) mereka dalam hal tidak ada sumber tekstual yang spesifik (fîmâ lam yarid nash al-khâsh). Berangkat dari
beberapa penjelasan di atas, maka tulisan ini dimaksudkan sebagai deskripsi
singkat berkaitan upaya objektivikasi (menjadikan konsep riba bisa diterima
oleh siapa pun, di mana pun dan kapan pun dan diamalkan oleh baik muslim
maupun-non muslim. Setiap muslim mengamalkannya sebagai bagian dari
religiusitasnya yang lebih bersifat konsekuensial, sedang non-muslim
mangamalkannya sebagai sebuah kebutuhan objektif baik) ajaran Islam dalam
bermu’amalah, utamanya dalam masalah ekonomi, dan lebih khusus dalam hal
transaksi perbankan berkaitan dengan larangan riba yang oleh para ulama masih
terjadi perilakunya di pelbagai transaksi ekonomi dan bisnis, utamanya dalam
transaksi perbankan.
Objektivikasi nilai-nilai
Islam adalah proses transposisi konsep atau ideologi dari wilayah
personal-subjektif ke ranah publikobjektif; dari ranah internal merambah ke
wilayah eksternal, agar bisa diterima secara luas oleh publik. Secara
subjektif, setiap Muslim berkeinginan agar syariat Islam diterapkan oleh
negara. Namun, keinginan subjektif tersebut agar dapat dimenangkan di wilayah
publik mesti memenuhi kriteria-kriteria tertentu seperti: kesesuaian dengan
konteks dari segi ruang dan waktu; mempunyai hubungan rasional-organik;
memenuhi rule of the game; memenuhi prinsip pluralitas dan kehidupan bersama
(non-diskriminatif) dan; resolusi konflik agar konsep dan ide tersebut memenuhi
prinsip keadilan publik.
No comments:
Post a Comment