PROSTITUSI DAN MINUMAN KERAS
ADA MASLAHATNYA
By Muhammad
Rakib,S.H.,M.Ag
Untuk mengetahui
kapan suatu maslahat itu dianggap valid (mu'tabarah)
dan bisa dijadikan landasan suatu hukum, ada lima syarat atau batasan yang bisa
dijadikan titik tolak. Kelima syarat tersebut ialah:
JUDI DAN MABUK SERTA PROSTITUSI
ADA MASLAHATNYA TAPI...
1. Maslahat tidak bertentangan dengan maqasid syariah.
2. Maslahat tidak bertentangan dengan nash Al-Quran.
3. Maslahah tidak bertentangan hadits Nabi.
4. Maslahat tidak bertentangan dengan qiyas (analogi).
5. Maslahat tidak bertentangan dengan maslahat lainnya yang
lebih penting atau maslahat yang sejajar dengannya.
Kelima syarat
ini merupakan batasan atau standar yang digunakan untuk membedakan antara maslahah mu'tabarah (yang dapat dijadikan
dasar hukum) dan maslahah mulghah (yang tidak dapat dijadikan dasar hukum).
Seorang mujtahid harus benar-benar menguasai batasan-batasan di atas. Dan di sinilah
tingkat kejeniusan seorang mujtahid diuji. Peta penguasaannya terhadap nash dapat diukur dari sejauh mana ia
bisa menggunakan batasan-batasan itu dalam ber-istinbath sebagaimana
mestinya.
Kesimpulan para
ahli ushul fiqh yang mengatakan,
setiap hukum pasti akan berujung pada suatu maslahat.[1]
Hukum tidak pernah lepas dari maslahat,
tetapi maslahat tidaklah merupakan dasar hukum yang berdiri sendiri. Kedudukan
maslahat tidak seperti kedudukan Al-Qur’an, Sunnah Nabawiyah, ijma’ dan qiyas
sebagai dalil mustaqil (berdiri
sendiri). Karena maslahat pada
dasarnya merupakan makna umum yang secara implisit berada di balik hukum-hukum juz’iy (parsial). Sementara hukum-hukum juz’iy itu sendiri tidak akan ada tanpa
melalui proses istinbath.
Masalahat dalam kaidah fiqih dalam realitas
Bertitik tolak dari pernyataan bahwa tujuan
hukum Islam adalah untuk kemaslahatan,
menimbulkan persoalan tentang hubungan nash Al-quran atau Sunnah Rasul dengan maslahat merupakan salah
satu permasalahan yang pelik dan penting. Ijtihad atas dasar maslahat sebagai
tujuan hukum Islam sering memungkinkan tidak diterapkannya ketentuan nas menurut apa adanya, tetapi
diterapkan dengan cara lain atau bahkan tidak diterapkan sama sekali.
Untuk
pengembangan maslahat dalam legislasi Indonesia kontemporer erat kaitannya
dengan pengembangan budaya hukum Islam. Dalam pengembangan budaya hukum Islam
di Indonesia kaum muslimin dihadapkan pada kemungkinan, yaitu hukum positif
Islam yang terbatas pada mempermasalahkan hukum yang berlaku bagi kaum
muslimin, dan nilai-nilai hukum Islam, yang akan berlaku bagi seluruh warga
negara, bahkan mungkin seluruh penduduk (termasuk yang bukan warga negara).
Kedua alternatif tersebut akan mempengaruhi pembentukan hukum nasional pada
masa yang akan datang.
Bertolak dari
kerangka pemikiran bahwa hukum positif Islam pada masa mendatang adalah hukum
yang bersumber dari nilai-nilai agama Islam dan dihubungkan pula dengan teori
peringkatan hukum, maslahat dalam hukum Islam dapat diterjemahkan sebagai
maslahat rakyat dalam segala aspeknya, mencakup bidang yang begitu luas,
seperti ekonomi, hukum, politik dan sebagainya (mu'amalah). Dan maslahat
menempati posisi sebagai nilai-nilai Islam (norma hukum) yang abstrak atau
cita-cita hukum. Oleh karena itu, dibutuhkan formulasi asas-asas, peraturan
(perundang-undangan) atau bentuk legislasi lainnya sebagai norma antara yang
merupakan kreativitas ijtihad yang disesuaikan dengan situasi, kondisi, budaya
dan kurun waktu. Semua hasil penerapan dan penegakan norma antara tersebut
menjadi hukum positif yang merupakan norma konkret (living law) masyarakat.
Apabila formulasi
dan aplikasi suatu peraturan perundang-undangan dalam berbagai bidang seperti
ekonomi, politik, hukum (norma antara) mampu mewujudkan maslahat rakyat banyak
dalam arti sebenarnya dan dapat pula merekayasa tercapainya cita-cita kehidupan
rakyat banyak, berarti aturan-aturan tersebut masih mungkin dan dapat
dipertahankan. Akan tetapi, jika sebaliknya, justru formulasi dan aplikasi
berbagai peraturan perundang-undangan dalam berbagai lapangan kehidupan rakyat
banyak itu tidak mampu lagi menampung aspirasi kerakyatan dikarenakan adanya
faktor perubahan situasi dan kondisi, perlu diganti dengan aturan-aturan yang
baru yang betul-betul aspiratif. Dengan demikian, maslahat rakyat merupakan
cita-cita atau tujuan yang hendak diwujudkan, sedangkan peraturan-peraturan
undang-undang merupakan sarana untuk mewujudkan cita-cita kerakyatan. Oleh
karena itu efektivitas suatu sarana dapat dipantau oleh masyarakat. Dalam
kaitan ini, yang terpenting adalah bagaimana nilai-nilai Islam dapat terpatri
dalam kehidupan bernegara, masyarakat, bangsa, keluarga dan individu, kemudian
mengakkan keadilan sosial dan menciptakan suatu masyarakat egalitarian, jauh
dari eksploitasi manusia atas manusia lain maupun eksploitasi golongan atas
golongan lain. Dengan kata lain, hukum Islam tidak dalam norma, melainkan dalam
substansinya.
Maslahat menjadi
syarat utama dalam pengambilan setiap kebijakan yang diambil oleh para penguasa
atau pemimpin. Maslahat yang bisa dikategorikan sebagai landasan dalam
pengambilan hukum mempunyai beberapa syarat yang harus terpenuhi, di antara
syarat-syarat tersebut dikemukakan oleh MUI dan jumhur ulama’ sendiri. Di
antara konsep maslahat yang banyak dipakai adalah konsep yang digagas dari
Najmuddin At- tufi. Dalam pemikirannya,
berpendirian bahwa mashlahat
adalah tujuan penetapan hukum Islam dalam lapangan mu'amalah, apabila penerapan nash
atau ijma' sesuai dengan bunyi tekstualnya bertentangan dengan maslahat dan
tidak dapat dikompromikan. Maslahat hendaklah lebih diutamakan daripada
dalil-dalil syara' lainnya.
Maslahat
merupakan tujuan sedangkan dalil-dalil syara' merupakan sarana untuk mencapai
tujuan, karena itu tujuan hendaklah lebih diutamakan daripada sarana. Dalam
perspektif pembaruan (reaktualisasi) hukum Islam dalam bidang mu'amalah dewasa
ini, maslahat tokoh tersebut dapat dijadikan rujukan dengan cara mendasarkan
konsep maslahat tersebut sebagai substansi yang disarikan dari Alquran dan
hadits serta dapat dipertanggungjawabkan secara keagamaan. Konsep tersebut
memberikan jalan keluar bahwa dalam masalah mu'amalah umat Islam,seperti
kehidupan sosial, ekonomi, politik dan lain-lain, penentuan boleh tidaknya
sesuatu ditekankan pada maslahat umum dengan mempertimbangkan situasi dan
kondisi kehidupan manusia sebagai praktisi hukum.
9.6.4.Analisis
Saddu al-dzari’ah
Di antara metode penetapan hukum
yang dikembangkan para ulama adalah sadd al-dzari’ah dan fath al-dzari’ah. Metode sadd al-dzari’ah merupakan
upaya preventif agar tidak terjadi sesuatu yang menimbulkan dampak negatif.
Metode hukum ini merupakan salah satu bentuk kekayaan khazanah intelektual
Islam yang –sepanjang pengetahuan penulis–tidak dimiliki oleh agama-agama lain.
Selain Islam, tidak ada agama yang memiliki sistem hukum yang didokumentasikan
dengan baik dalam berbagai karya yang sedemikian banyak.
Menurut penulis UU RI Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak juga memuat pasal-pasal yang sejalan dengan Sadd al-Zari’ah, karena merupakan upaya melindungi anak Indonesia
dari perlakuan yang sewenang-wenang. Namun, eksistensinya seringkali dijadikan
“alat” untuk menjustifikasi kesalahan anak. Kondisi ini berdampak semakin
sulitnya guru melaksanakan tugas kependidikan untuk menegakkan kedisiplinan,
terutama membina kepribadian anak dengan akhlak yang terpuji. Bila dalam
pendidikan dikenal pemberian penghargaan (reward) dan hukuman (funishment),
sebagai salah satu alat pendidikan, maka dengan adanya UU Perlindungan Anak dan
KPAI, seakan dunia pendidikan kehilangan salah satu alat dalam melaksanakan
proses pendidikan. Padahal, eksistensi reward dan funishment sangat penting
dalam pencapaian tujuan pendidikan.
Adanya KPAI dan UU Perlindungan
Anak secara yuridis melarang adanya tindakan kekerasan terhadap peserta didik.
Padahal, sebagai seorang pendidik, guru/dosen memiliki otoritas akademik di
dalam kelas untuk menegakkan disiplin agar tercapai tujuan pembelajaran yang
dilaksanakan. Di sisi lain, seringkali terlupakan adalah alasan hukuman yang
dilakukan guru. Untuk itu, perlu dilakukan uji materi (judicial review) terhadap UU. Perlindungan Anak, khususnya pasal
80, 81, dan 82. Sebab, belum tentu tindakan guru murni kesalahannya, akan
tetapi akibat kesalahan yang dilakukan peserta didiknya.
Perlakuan terhadap guru, sebagai tenaga pendidik,
mereka seringkali berada pada posisi yang dilematis, antara tuntutan profesi
dan perlakukan masyarakat. Mereka dituntut untuk mampu menghantarkan peserta
didik mencapai tujuan pendidikan. Namun tatkala mereka berupaya untuk
menegakkan kedisplinan, mereka dihadang oleh UU Perlindungan Anak dan KPAI.
Jika mereka gagal menegakkan kedisiplinan peserta didiknya dan gagal
menghantarkan peserta didik pada pencapaian tujuan pendidikan, kembali pendidik
akan menjadi kambing hitam dan tumbal atas kegagalan tersebut.
Tatkala guru ingin melakukan hukuman
terhadap muridnya dalam rangka menegakkan kedisiplinan, maka secara sepontan
orang tua dan masyarakat mengkategorikannya sebagai tindakan melanggar HAM dan
UU Perlindungan Anak. Mereka kemudian melaporkan tindakan guru tersebut kepada
polisi atau kepada KPAID. Dengan kekuatan tersebut, acapkali guru tidak
mendapatkan perlindungan terhadap profesinya. Akibat adanya KPAID dan UU
Perlindungan Anak, eksistensi guru berada pada posisi sangat pasif dan menjadi
sosok yang serba salah.[2]
Urgensi UU Guru dan Dosen, secara
yuridis, UU Perlindungan Guru dan Dosen telah termuat dalam UU No 14/2005. Hal
ini terlihat jelas pada Bab VII pasal 39 yang menyebutkan bahwa pemerintah,
masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan
perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas.Adapun maksud perlindungan
profesi yang diamanatkan dalam UU No 14/2005 tentang guru dan dosen adalah
perlindungan terhadap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang tidak sesuai dengan
peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, pemberian imbalan yang tidak
wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan
pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan
tugasnya. Sementara perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja meliputi
perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja,
kesehatan, dan/atau resiko lainnya.
Eksistensi UU No 14/2005 telah
memuat perlindungan terhadap guru atas profesinya. Implementasi terhadap UU
tersebut masih belum terlaksana. UU tersebut lebih banyak disoroti sebagai
kekuatan hukum atas peningkatan kesejahteraan guru/dosen, sementara
perlindungan terhadap profesi guru/dosen seringkali lepas dari perhatian. Jalan
tengah perlu diciptakan. Ahli hukum, tidak
mungkin, menutup mata terhadap tindakan oknum guru yang kurang mendidik
dengan memberikan hukuman di luar nilai pendidikan. Mereka bisa saja, meletakkan
peserta didiknya sebagai “penjahat” yang harus “dihabisi,” bukan sosok yang
perlu dibimbing dan diperbaiki. Demikian pula sikap orang tua yang mulai
mengalami pergeseran dalam memandang profesi guru. Mereka terlalu banyak
menuntut guru agar dapat mengantarkan peserta didik sebagai masyarakat
terdidik, namun tidak seiring dengan kenyamanan dan perlindungan yang
diberikan.
Menurut penulis, ada beberapa
langkah yang perlu diperhatikan guru dalam menghukum murid yang bersalah. Pertama,
memberikan laporan kepada orang tua murid perihal prilaku anak mereka dengan
cara pemanggilan secara langsung. Tahapan ini dilakukan sebanyak 2 kali dengan
ikut melibatkan guru BK. Kedua, bila selama 2 kali pemanggilan tidak menunjukan
perubahan dan kerjasama yang baik, seorang guru bisa memberikan hukuman dengan
syarat : (1). Hukuman fisik, tidak pada tempat yang vital. (2) Hukuman
dilakukan dalam bentuk yang mendidik. (3) Hukuman dilaksanakan secara adil dan
ikut mempertimbangkan aspek psikologis peserta didik.[3]
D. Sanksi Hukum
Terhadap Guru Pelanggaran Hak Anak-Anak Menurut Hukum Islam dan UU.Nomor 23
Tahun 2002.
1.Diberlakukan
qishash
Dalam hukum Islam, orang tua, guru
atau orang dewasa yang melanggar hak
anak-anak, berupa memukul atau menzalimi,[4] sebahagian
ulama menyatakan, boleh diberlakukan hukuman
qishash. Ada ungkapan yang
menyatakan, jika yang berhak menuntut balas itu belum dewasa,
atau gila, tidak diberlakukan. Dalam hal orang dewasa, ditunda sampai anak yang belum
dewasa. Namun
dalam hal ini ulama berbeda pendapat. Menurut sebagian ulama Hanafiyah, pelaksanaan
hukuman qisash menunggu sampai ia dewasa atau sembuh dari gilanya. Sebahagian yang
berpendapat hukuman qishas dilaksanakan
oleh qadhi
(hakim) yang mewakili mustahiq tersebut. Menurut Malikiyah
pelaksanaan hukuman qisash
tidak perlu menunggu anak tersebut dewasa atau sembuh dari gila.
Alasannya adalah karena qishash itu tujuannya untuk mengobati rasa
duka, dan untuk menghilangkannya tidak bisa dilimpahkan
kepada orang lain, baik itu hakim atau wali. [5]
2.
Didenda seratus juta
Apabila dibandingkan dengan hukuman
terhadap orang dewasa yang melakukan pelanggaran hukum
pada Pasal 77 UU Nomor 23 Tahun 2002, dinyatakan bahwa: Setiap orang
yang dengan sengaja melakukan tindakan:
1.diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian,
baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya; atau 2. penelantaran terhadap anak yang
mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun
sosial, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).[6]
Menurut
Al-Gazali, menghukum anak saat dia melakukan
kesalahan, apabila pada suatu kali anak menyalahi perilaku terpuji, selayaknya
pendidik tidak membongkar dan membeberkan kesalahan-kesalahannya itu.
Mengungkapan rahasianya itu, mungkin akan membuatnya semakin berani melanggar.
Jika anak mengulangi kesalahan yang sama, tegurlah dengan halus dan tunjukkan
urgensi kesalahannya.
Sedangkan menurut Ibnu al-Qayyim
al-Jauziyyah, jalan atau perantara tersebut bisa berbentuk sesuatu yang
dilarang maupun yang dibolehkan. ,[7] bukan seorang
tahanan yang jahat, bukan musuh yang lihai, berbuat makar dan bukan pula
seorang penjahat yang seantiasa mencari kesempatan untuk membahayakanmu.[8] Namun ia adalah
bagian dari tubuhnmu yang keluar dari sulbimu, seorang anak kecil yang lemah
dan akalnya belum sempurna, kesalahanya bukan dengan kesengajaan. Ia membutuhkan rasa santun, lembut, kasih sayang dan
maaf darimu. Tentang hal ini, terdapat
kesamaan antara UU. RI Nomor 23 Tahun 2002
dan Hukum Islam.
[1]Sementara Imam Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i
mengatakan :“ orang yang meninggalkan adalah fasik dan tidak kafir”,
namun, mereka berbeda pendapat mengenai hukumannya, menurut Imam Malik dan
Syafi’i “diancam hukuman
mati sebagai hadd”, dan
menurut Imam Abu Hanifah “diancam
hukuman ta’zir, bukan hukuman mati”. Apabila masalah ini
termasuk masalah yang diperselisihkan, maka yang wajib adalah dikembalikan
kepada kitab Allah dan sunnah Rasulullah SAW., karena Allah berfirman : “Tentang sesuatu apapun yang kamu
perselisihkan, maka putusannya dikembalikan kepada Allah.” QS. As- Syura, 10 .Hukum itu berputar di atas
‘ilat hukumnya, ada atau tidak ada hukumnya. Situasi dan kondisi berubah,
hukumnya kadang-kadang tidak ada.Lihat Masjfuq Zuhdi, Masa’il al-Fiqhi,
Kapita Selekta Hukum Islam, (PT.Toko
Gunung Agung, Jakarta: 1997), hlm. 252.
[2]
Menghukum anak, menjadi serba salah, karena salah hukum, dapat menimbulkan fitnah,
seperti yang diisyaratka QS Al-Taghabun: 14.
Al-Imam At-Tirmidzi t dalam Sunan-nya (no. 3317) membawakan asbabun
nuzul (sebab turunnya) surah At-Taghabun ayat 14 ini, dari riwayat Ibnu ‘Abbas
c. Tatkala ada yang bertanya kepada Ibnu ‘Abbas c tentang ayat ini, beliau
menyatakan: “Mereka adalah orang-orang yang telah berislam dari penduduk Makkah
dan mereka ingin menda-tangi Nabi I, namun istri dan anak mereka enggan
ditinggalkan mereka. Ketika mereka pada akhirnya mendatangi Rasulullah I,
mereka melihat orang-orang yang lebih dahulu berhijrah telah tafaqquh fid dien
(mendalami agama), mereka pun berkeinginan untuk memberi hukuman kepada istri
dan anak-anak mereka. Allah I lalu menurunkan ayat 6:Namun riwayat asbabun
nuzul ini dha’if (lemah) sebagaimana dinyatakan oleh Asy-Syaikh Al-’Allamah
Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i t, dalam karya beliau Ash-Shahihul Musnad min Asbabin Nuzul, tt.), hlm. 249.
[3]Bila
UU No 20/2003 menuntut pencapaian kualitas yang maksimal, menuntut pendidik
menjadi profesional, seyogianya diiringi dengan adanya UU Profesi Pendidik.
Meskipun dalam UU No 14/2005 secara tegas telah melindungi profesi guru dan
dosen, namun dalam dataran implementasi kekuatan UU tersebut masih tak terlihat
berkontribusi terhadap nasib guru/dosen sebagai tenaga pendidik. Untuk itu,
sudah pada saat dan tempatnya jika guru/dosen membangun kekuatan solidaritas
untuk mendorong pemerintah memperbaiki kondisi kerja guru/dosen dan melindungi
profesi mereka dengan kekuatan hukum yang jelas. Bunadi Hidayat,op.cit., hlm. 178.
[4]Sedangkan
di dalam hukum Islam, seperti yang dinyatakan, Al-Syaukani, adz-dzari’ah adalah masalah atau perkara yang
pada lahirnya dibolehkan namun akan mengantarkan kepada perbuatan yang dilarang
(al-mahzhur). Dalam
karyanya al-Muwafaqat, asy-Syatibi
menyatakan bahwa sadd al-dzari’ah adalah menolak sesuatu yang boleh (jaiz) agar tidak mengantarkan kepada
sesuatu yang dilarang (mamnu’).
Menurut Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, sadd adz-dzari’ah adalah
meniadakan atau menutup jalan yang menuju kepada perbuatan yang terlarang.
[7]Menghukum anak saat dia melakukan kesalahan. Apabila
pada suatu kali anak menyalahi perilaku terpuji, selayaknya pendidik tidak
membongkar dan membeberkan kesalahan-kesalahannya itu. Mengungkapan rahasianya
itu mungkin akan membuatnya semakin berani melanggar. Jika anak mengulangi
kesalahan yang sama, tegurlah dengan halus dan tunjukkan urgensi
kesalahannya.Menegur dan mencela secara berkesinambungan dan mengungkit-ungkit
kesalahan yang dilakukannya membuat anak menjadi pembangkang. Sehubungan dengan
hal tersebut Al-Ghazali menegaskan ”Jangan terlampau banyak mencela setiap saat
karena perkataan tidak lagi berpengaruh dalam hatinya. Hendaknya guru atau
orang tua menjaga kewibawaan nasehatnya.”Seorang pendidik harus mengetehui cara
pertumbuhan akal manusia yang bertahap hingga ia mampu mensejalankan
pertumbuhan itu dengan pengajarannya terhadap anak didik. Ia menasehatkan agar
tidak kasar dalam memperlakukan anak didik yang masih kecil, mencubit tubuh
dalam pengajaran merusak anak didik, khususnya anak kecil. Perlakuan kasar dan
keras terhadap anak kecil dapat menyebabkan kemalasan dan mendorong mereka
untuk berbohong serta memalingkan diri dari ilmu dan pengajaran. Oleh karena
itu pendidik harus memperlakukan anak didik dengan kelembutan dan kasih sayang
serta tegas dalam waktu-waktu yang diutuhkan untuk itu.
No comments:
Post a Comment