HAM JANGAN DILETAKKAN DI ATAS QURA'N
Muhammad Rakib,S.H.,M.Ag
HAM tidak mengatasi Qur'an
Keduanya, bisa sejalan
Arif dalam, menafsirkan
Kepentingan, semua insan
Kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau
teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan
lainnya”. Redaksi pasal 54 ini, seakan akan bertentangan
dengan Hukum Islam yang membolehkan hukuman fisik terbatas, untuk melindungi
dan menjunjung tinggi kesucian kehidupan
anak-anak. Hal ini diterangkan oleh sejumlah ayat
dan hadits, yang memberikan landasan hukum bahwa kehidupan
manusia itu suci harus dipelihara, tidak
boleh dihancurkan (diakhiri) kecuali dilakukan untuk suatu sebab atau alasan
yang benar, misalnya pembelaaan diri yang dibenarkan. Berikutnya akan
dianalisis pandangan-pandangan ulama fiqh tentang kekerasan, argumentasi
methodologis (usul fiqh), solusi fikh, dan argumentasi fiqh yang penulis temukan dan disajikan dalam bentuk tabel :
TABEL 4.1
PERBEDAAN ANTARA UU PERLINDUNGAN ANAK
DAN HUKUM ISLAM
TENTANG HUKUMAN FISIK KEPADA ANAK-ANAK
No
|
UU Nomor 23 Tahun 2002
|
Hukum Islam
|
1
|
Berdasarkan
HAM dan konvensi PBB tentang hak-hak anak.
|
Berdasarkan
Al-Quran dan Hadits
|
2
|
Keterangannya
bersifat global
|
Keterangannya bersifat
detil
|
3
|
Untuk
semua agama
|
Untuk
umat Islam dan dunia
|
4
|
Melarang
hukuman fisik, tanpa batas
|
Membolehkan
hukuman fisik, dengan batas-batas tertentu.
|
5
|
Bersifat
sekular rasionalis
|
Bersifat
sakral relegius
|
6
|
Memuat
sanksi hukuman penjara dan denda bagi yang melanggarnya.
|
Memuat
sanksi hukuman qishas dan ta’zir bagi
yang melanggarnya. [1]
|
Tabel ini merupakan hasil telaah penulis terhadap buku sumber primer dan sekunder
secara objektif. Pada baris nomor 5
dalam tabel ini, dibandingkan tentang dasar atau landasan atau fondasi dari UU
Nomor 23 Tahun 2002 adalah Hak Asasi
Manusia (HAM) dan Konvensi PBB tentang hak-hak anak, yang sudah diratifikasi
oleh Indonesia. Sedangkan Hukum Islam, dasarnya adalah al-Qur`an dan
Hadits. Dasar dan landasannya berbeda, tapi tujuannya sama, yaitu
memberikan perlindungan kepada anak-anak. Dalam Islam, anak-anak sampai umur tujuh
tahun, dibimbing bagaimana
melakukan shalat. Mereka biasanya lebih dipengaruhi oleh kebiasaan dan
didikan orang tuanya. Setelah mulai masuk sekolah, ia akan dibina oleh guru dan
dipengaruhi oleh lingkungan dan teman-temannya di sekolah. Kalau pembinaan
guru-gurunya baik dan pengaruh teman-temannya pun baik, maka jiwa anak terbina
dengan baik. Sebaliknya kalau pembinaan dari guru-gurunya hanya sekadarnya dan
pengaruh teman-temannya buruk maka si anak terbentuk dalam pola yang kurang
baik.
Di saat
seperti itu pembinaan ataupun kebiasaan kedua orang tua yang ditanamkan kepada
anak-anak selama masa tujuh tahun itu lambat laun terkikis lama-lama bisa
habis. Sedang pembinaan dari orang tua belum tentu berlanjut atau
setidak-tidaknya tidak ada peningkatan. Orang tua merasa anaknya sudah
disekolahkan pasti telah dibina oleh guru-gurunya di sekolah, padahal guru-guru
belum tentu membina anaknya dengan baik. Ada guru membekali otak dengan
ilmu teori dan itupun sifatnya menjurus
kepada materi keduniaan. Sedikit sekali yang menyangkut pembinaan rohani,
akhlaq, jiwa, hati, keimanan, keikhlasan atau akhlaq secara keseluruhan.
Sehingga aspek ukhrawi justru
terabaikan. Kemaslahatan manusia dapat
terwujud apabila terjamin kebutuhan pokok (dharûriyah/necessary interests)
yang meliputi hifzh ‘ala al-dîn, al-nafs, al-nasl, al’aql wa al-mâl,
kebutuhan sekunder (hâjjiyah/supporting needs) maupun kebutuhan
pelengkapnya (tahsîniyyah/complementary interests).[2]
.3. Solusi Problema Perlindungan Anak melalui Fikih
Hukuman fisik bukan merupakan persoalan sederhana, tetapi memiliki
dimensi sosial yang kompleks, baik secara fisik maupun psikis
bagi anak didik maupun psikososial bagi lingkungannya. Fikih dalam hal ini,
berorientasi pada etika sosial yang produk hukumnya tidak sekedar halal atau
haram, boleh dan tidak boleh, tetapi memberikan jawaban berupa solusi hukum
terhadap persoalan-persoalan sosial yang dihadapi anak-anak dan perempuan.
Fikih sosial bertolak dari pandangan bahwa mengatasi masalah sosial yang
kompleks dipandang sebagai perhatian utama syari’at Islam.[3]
Dalam konteks menetapkan kepastian
hukum mengenai tingginya angka kekerasan terhadap anak-anak yang tampaknya tidak aman di rumah atau di sekolah dan
merupakan kondisi yang membahayakan. Hal
ini dapat dianalisis dengan menggunakan beberapa kaidah fikih, antara lain: Pertama, bahaya itu harus dihilangkan الضَـــرَرُ يُـــزَالُ . Kedua, bahaya yang lebih berat,
dapat dihilangkan dengan memilih bahaya yang lebih ringan اِذَا
تَعَارَضَ مَفْسَـــدَتَانِ رُوْعِيَ اَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَــــابِ
اَخَفِّهَا
“Jika
dihadapkan pada dua kondisi yang sama-sama membahayakan, maka pilihlah bahaya
yang lebih kecil risikonya. Ketiga,
keterpaksaan dapat memperbolehkan untuk melakukan hal-hal yang dilarang (al-dlaruraatu
tubiihul mahdzuraat). [4]
Keempat, perubahan hukum Islam
dapat dilakukan. Dengan adanya perubahan zaman, perubahan tempat, perubahan
kondisi, perubahan niat dan kultur atau adat (taghayyur al-ahkam
bitaghayyur al-azminah wal-amkinah wal-ahwal wan-niyaat wal-‘awaaid).[5]
4.Pencegahan kekerasan terhadap anak-anak
Ada argumentasi klasik di
kalangan ulama bahwa pencegahan atau mendahulukan prevensi (syaddu
al-dzari’ah) lebih baik. Dalam hal
hukum aborsi, melarang aborsi
dianggap lebih aman, karena ada kehawatiran kalau aborsi dibolehkan akan
dijadikan sebagai peluang bagi pelaku seks di luar nikah mencari jalan keluar.
Bila aborsi dibolehkan sama dengan memberikan kesempatan untuk melakukan
perzinahan atau seks bebas. Pertanyaannya adalah bagaimana fikih menjawab
realitas yang sudah terjadi berupa tingginya angka aborsi tak aman yang
jelas-jelas mengancam kematian, apakah masih relevan menjawab dengan
argumentasi preventif. Pandangan tersebut nampak sangat tekstual karena hanya
berorientasi pada teks tanpa melihat realitas sosial bahwa ada satu kondisi yang mengancam kematian perempuan
yang perlu dijembatani supaya aborsi tak aman tidak terjadi. Di sinilah letak
kesenjangannya antara teks fikih dan kenyataan di lapangan. sebagian pakar
pendidikan menganggap hukuman untuk anak-anak dan remaja masih diperlukan dan
masih bisa diandalkan,[6]
seperti yang tergambar dalam tabel berikut ini:
TABEL
4.2
PRO KONTRA HUKUMAN FISIK TERHADAP ANAK-ANAK
No
|
Pro
|
Kontra
|
Konvergensi
/Gabungan.[7]
|
1
|
Sebahagian psikolog
Marjorie
Gannoe
|
Sebagian filosuf
Plato dan Jean Jacke Rousseo
dan
Jean Soto
|
Islam
Berdasarkan
Al-Quran dan
Hadits
|
2
|
Tokoh-tokoh
PendidikanMiliter
|
Nasrani
Tokoh-tokoh
Peneliti
|
Yahudi Berdasarkan
Taurat
|
Posisi Islam, [8] pada
konsep komvergensi, mengabungkan antara pro, [9] dan kontra, tapi tidak sekedar
gabungan, bahkan bersikap moderat (wasathan) berkaitan dengan
fitrah manusia. Aristoteles yang pro dengan hukuman fisik, mengatakan, "Rasa takut akan hukuman
itu lebih efektif untuk membina manusia, dari ajakan-ajakan untuk berbuat baik. Hal
ini diakui oleh orang yang mengutamakan
nalarnya. Pembuat peraturan untuk mendisiplinkan anak, berkewajiban
mengajak kepada tingkah laku yang nyata, dan memberikan hukuman kepada anak didik yang
melanggar."Powelson mengatakan, "Tanpa rasa takut alias rasa hormat
atas wacana hukuman maka pendidikan tidak akan berjalan efektif."Karena pendidikan adalah pembiasaan dan
pemaksaan adalah termasuk salah satu cara di dalamnya.[10]
B. Status Anak sebagai Subjek dan Objek Hukum Islam
1.Anak-Anak bukan
Subjek Hukum
Para
ulama ushul fiqh menyatakan bahwa anak-anak statusnya belum bisa menjadi subjek
hukum. Bukan mahkum alaihi, yang perbuatannya dikenai khitab
Allah SWT, bukan mukallaf. Secara etimologi, mukallaf berarti yang dibebani hukum. Istilah mukallaf disebut
juga dengan mahkum alaih (subjek
hukum). Orang mukallaf, mampu
bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah maupun dengan larangan. Apabila mengerjakan
perintah, ia mendapat imbalan pahala dan kewajibannya terpenuhi, apabila mengerjakan larangan Allah SWT., ia mendapat
ganjaran pula.
2. Dasar Penetapan Subjek Hukum
Anak-anak belum dikenai taklif
(pembenanan hukum) karena belum cakap
untuk bertindak hukum. Untuk itu, para ulama ushul fiqih, mengemukakan bahwa
dasar pembebanan hukum adalah akal dan pemahaman. Seseorang dapat dibebani hukum apabila dapat memahami
secara baik taklif yang ditujukan kepadanya. Dengan demikian, orang yang tidak
atau belum berakal, yaitu orang gila dan anak kecil tidak dikenakan taklif.
Tidak dapat memahami syara’. Begitu pula
orang yang tidur, mabuk, dan lupa. Orang
yang mabuk, tidak sadar (hilang akal). Sabda Rasulullah SAW. :
رفع القلم عن ثلاث: عن النائم حتي يستيقظ و عن الصبي حتي يحتلم وعن المجنون حتي يفيق )رواه البخاري وأبوداوود والترمذي والنسائ وابن ماجة والدارقطني)”
Artinya, Diangkatkan pembebanan
hukum dari tiga (jenis orang), orang tidur sampai bangun, anak kecil sampai baligh, gila sampai sembuh.[11]
Dalam hadits lain dikatakan :
رُفِعَ
الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الصَّبِيِّ
حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنْ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ
Artinya, Umatku tidak dibebani hukum
apabila mereka terlupa, tersalah, dan dalam keadaan terpaksa. [12]
3. Syarat-Syarat
bagi Subjek Hukum
Ada
dua syarat sahnya memberi beban kepada mukallaf, yaitu berikut ini :
a. Mukallaf dapat memahami dalil taklif, yaitu mampu memahami nash yang dibebankan dari Al-Qur’an dan
As-Sunnah secara langsung atau melalui perantaraan. Orang yang tidak mampu
memahami dalil taklif tidak dapat tumpuan yang dibebankan kepadanya dan
tujuannya tidak dapat mengarah kesana. Kemampuan memahami dalil itu hanya dapat
nyata dengan akal sehingga dengan akal tersebut adanya nash-nash yang
dibebankan dapat diterima pemahamannya karena akal merupakan alat memahami dan
menjangkau.
Dengan akal tertujulah keinginan untuk mengikuti. Ketika akal itu
adalah hal yang sembunyi yang tidak dapat dijangkau oleh indera lahir, maka
syar’i telah menghubungkan beban taklif dengan hal nyata yang dapat dijangkau
oleh indera, yang menjadi tempat dugaan akal, yaitu sifat kedewasaan. Dengan
demikian barang siapa telah sampai pada keadaan dewasa dan tak tampak padanya
sifat-sifat yang merusak kekuatan akalnya, ia telah sempurna untuk diberi
beban.
Kewajiban
zakat, nafkah, jaminan (dhamman) terhadap
anak-anak dan orang gila, bukan berarti memberi beban kepadanya, tetapi memberikan
beban kepada walinya agar melaksanakan kewajiban harta yang menjadi milik
anak-anak dan orang gila itu, antara lain, membayar pajak tanah dan irigasi
dari harta miliknya. Dalam kaitan itu, firman Allah SWT. Dalam surah al-Nisâ
ayat 43 menjelaskan :
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan
mabuk,[13]
sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan...”
Awaridl
Muktasabah (halangan yang dibuat sendiri)
adalah mabuk. Mabuk ialah hilangnya akal karena khamar atau yang menyerupainya
hingga kacau omongan dan mengigau. Menurut Hamka, mabuk tentu luas artinya,
yaitu segala sesuatu segala kekacauan fikiran atau fikiran yagn tidak bulat,
hati yagn bercabang kepada yang lain atau fikiran yagn sedang susah dibawa ke
dalam sembahyang.[14]
Mabuk menurut jalannya terbagi atas dua macam :
Pertama
yang jalannya tidak diharamkan seperti mabuknya orang yang terpaksa minum khamar
dan mabuk yang timbul dari obat-obatan. Ini hukumnya sama dengan pingsan, tidak
sah tindakannya, thalaqnya dan pembebasan budaknya. Kedua yang jalannya
diharamkan dan ini tidak membatalkan taklif sehingga berlakulah hukum-hukum
bagi pemabuk dan ucapan-ucapannya seperti thalaq, pembebasan budak, jual beli,
pengakuan, mengawinkan anak kecil, kawin, menghutangi dan minta dihutangi. Hal
itu karena akalnya sempurna, hanya saja ia kehilangan pemahaman khitob oleh
maksiat, maka tetaplah taklifnya dalam hak dosa dan kewajiban mengqodlo bagi ibadah yang diqadla secara syara’. Muhamad ’Atthiyyah Al-Abrasyi,
mengemukakan bahwa ada 3 hal yang harus diperhatikan dalam memberikan hukuman
fisik terhadap anak, yaitu :
1.
Sebelum berumur 10 tahun, anak-anak
tidak boleh dipukul.
2.
Pukulan tidak lebih dari tiga kali. Yang dimaksud
dengan pukulan disini ialah dengan menggunakan lidi atau tongkat kecil bukan
dengan tongkat besar dan tidak sampai menyakiti dan menimbulkan cedera.
3.
Diberikan kesempatan besar kepada anak-anak untuk
tobat dari apa yang ia lakukan dan memperbaiki kesalahannya tanpa perlu
menggunakan pukulan atau merusak nama baiknya (menyebabkan malu).[15]
Penulis membandingkan dan
mengaitkan dengan teori hukuman yang sudah dikenal dunia Barat, berdasarkan sudut pandang hukuman yang mendidik, maka timbullah beberapa teori tentang hukuman.
4. Teori-Teori Hukuman Disiplin Terhadap Anak-Anak
4.1. Teori Hukum Alam
Menurut Umar Muhammad Al-Taumy Al-Syaibany
bahwa “hukum alam bukan
saja mencakup segala makhluk, tetapi juga
merangkum sistem, peraturan atau undang-undang alam yang semua bagian alam
tunduk kepada dasar-dasarnya dan sesuatu itu terjadi atau berlaku mengikuti
ketentuan persyaratan disekelilingnya,[16]
sependapat dengan penganjur pendidikan alam, yaitu J.J. Rousseau. Rousseau tidak menghendaki hukuman
yang dibuat-buat. Biarkan alam sendiri yang menghukumnya. Yang dimaksud di sini
ialah, bahwa hukuman itu hendaknya merupakan akibat yang sewajarnya dari suatu
perbuatan, hukuman harus merupakan sesuatu yang natuur menurut hukum-hukum
alam, akibat logis yang tidak dibuat-buat. Anak yang senang memanjat pohon,
adalah wajar dan logis apabila suatu ketika ia jatuh. Jatuh ini adalah
merupakan suatu hukuman menurut alam sebagai akibat dari perbuatanya dari
senang memanjat pohon . [17]
2. Teori Bakat Alam
J.J. Rousseau dengan aliran nativisme dalam pendidikan, berpendapat bahwa hukuman fisik bagi anak manusia, tidak berguna. Semua
pembawaan anak adalah baik. Ia membiarkan anak berkembang sendiri dan
menyerahkannya kepada alam. Kalau anak berbuat salah, biarlah alam yang
menghukumnya, anak akan menderita sebagai akibatnya. Hukuman semacam ini
dinamai hukum alam. Contoh dari hukuman alam adalah, anak bermain dengan air
panas dan berakibat tersiram kakinya. Anak dibiarkan merasakan kakinya sakit,
hukuman lain tidak ada . Dari hukuman alam , anak akan menerima pendidikan dan
berusaha tidak menjalankan permainan
berbahaya lagi. Ia berusaha mengelak.
4.2. Teori
Ganti Rugi
Dalam hal
ini, anak diminta untuk bertanggung jawab atau menanggung risiko dari
perbuatannya, misalnya anak yang mengotorkan atau merobekkan buku milik
kawannya, maka harus menggantinya. Anak yang berkejar-kejaran di kelas,
kemudian memecahkan jendela, maka ia harus mengganti kaca jendela itu dengan
kaca yang baru. Teori ganti rugi,[18]
di mana anak harus mengganti kerugian akibat perbuatannya yang salah, misalnya
anak memecahkan kaca jendela tetangga, maka ia harus mengganti dengan uang
tabungannya.
4.3. Teori
Menakut-Nakuti.[19]
Hukuman yang diberikan untuk menakut-nakuti anak agar anak
tidak melakukan pelanggaran atau perbuatan yang dilarang, dalam hal ini nilai
didik itu telah ada, hanya saja perlu diperhatikan bahwa hal ini harus dijaga
jangan sampai anak itu tidak berbuat kesalahan lagi hanya karena rasa takut
saja, melainkan tidak berbuat kesalahan lagi karena adanya kesadaran, sebab
apabila tidak berbuat kesalahan itu karena hanya takut, takut kepada bapak atau
ibu guru. Maka jika tidak ada bapak atau ibu guru, kemungkinan besar ia akan
mengulang kembali perbuatannya. Ia akan mengulangi perbuatannya secara
sembunyi-sembunyi. Jika terjadi demikian, maka dapat dikatakan bahwa nilai
didik dari hukuman tersebut sangat minim sekali.[20]
Teori menakutnakuti ialah memberi hukuman supaya menimbulkan rasa takut pada
anak, sehingga mencegah dirinya berbuat salah.
[1]
Lihat Indah SY, Anak di bawah umur diputuskan
bersalah oleh PN Surabya, dengan memvonis 6 (enam) bulan, membebankan biaya perkara Rp. 1000 (Seribu
Rupiah) dan denda Rp. 1.000 (Seribu Rupiah), selain memenuhi Pasal 290 KUHP
hakim juga berdasarkan pada pertimbangan hal-hal yang mem beratkan dan pada
hal-hal yang meringankan. Menurut
UU perlindungan anak No. 23 Tahun 2002 pasal 81 dan 82 pelakunya dijatuhi
dengan hukuman penjara paling singkat 3 tahun dan hukuman penjara paling lama
15 tahun dan denda paling sedikit Rp. 60.000.000 (Enam Puluh Juta Rupiah) dan
paling banyak Rp. 300.000.000 (Tiga Ratus Juta Rupiah). Tentang Pencabulan
Dalam Perspektif UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Hukum Pidana
Islam" Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan tentang apa
Pertimbangan Hakim Dalam Memutuskan Perkara No. 33/Pid.B/2008/PN.Sby dan.Bagaimana Perspektif UU No. 23 Tahun 2002 Terhadap
Putusan Pengadilan Negeri Surabaya No. 33/Pid. B/2008/PN.Sby serta Bagaimana
Perspektif Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Surabaya No.
33/Pid.B/2008/PN.Sby. Lihat Indah SY, Pukullah
Anakmu dengan Cinta, (Jakarta,
PT.Jaya Pustaka,
2010),
hlm134.
[6]Khoja
Nashiruddin Thusi mengatakan, "Ajari ia (anak-anak) dengan keras agar
tidak melakukan perbuatan buruk. Jangan sampai dari kecil sudah terbiasa
melakukan perbuatan jelek.Mereka itu suka berdusta, memiliki sifat hasud, suka
mencuri, suka mengadu domba, dan jugabandel, suka mencampuri urusan orang lain.
Setelah memberikan pendidikan yang sangat keras maka didiklah agar mereka
memiliki sikap sopan-santun. Jadi didiklah anak-anak sejak kecil dengan
disiplin. Jangan lupa pula untuk memuji sikap-sikap yang baik darinya,
waspadailah agar anak-anak tidak memiliki kebiasaan buruk karena seperti
peribahasa Al-Insânu hârisun 'ala ma' muni'a (manusia itu penasaran dengan
larangan). Manusia itu suka terhadap hal-hal yang menyenangkan dan tidak tahan
dengan penderitaan. Seorang pendidik harus bisa membuat anak didiknya sadar
dengan perbuatannya sehingga tidak berani lagi mengulangi perbuatan
buruknya."
[9]Tidak akan mati
kalau engkau memukulnya dengan rotan. Engkau memukulnya dengan rotan, tetapi
engkau menyelamatkan nyawanya dari dunia orang mati” Kitab Taurat, Amsal 23:13. Tetapi bukan berarti bahwa orang tua
atau guru boleh dengan semena-mena menggunakan haknya untuk memukul anak.Tidak
semua penggunaan hukuman atau hukuman fisik itu tidak berfaedah. Alkitab
mengajarkan, “Siapa tidak menggunakan tonngkat, benci kepada anaknya; tetapi
siapa mengasihi anaknya menghajar dia pada waktunya” Taurat Amsal 13:24. Lihat Al-Kitab,Percetakan Lembaga
Al-Kitab Indonesia, (Ciluar, Bogor :1982), hlm. 717.
[10]Argumentasi
klasik tersebut terpatahkan dengan ditemukannya fakta bahwa dari jumlah
rata-rata 2 juta kasus aborsi pertahun, 76.6% dilakukan oleh perempuan
berstatus menikah.[10] Penelitian
terakhir oleh Yayasan Kesehatan Perempuan (2003),87% klien aborsi berstatus
menikah. Ninuk Widyantoro. 2003. Pengakhiran Kehamilan Tak Diinginkan yang
Aman Berbasis Konseling, Jakarta: Yayasan Kesehatan Perempuan. Lihat juga
Khalid bin Ali Al-Musyaiqih, op.cit.
, hlm. 189
[13]Asbab
al-nuzulnya : Ketika telah turun ayat 43 surat Al-Nisa’ dan hukum khamar ialah
haram, tetapi tidak secara mutlak. Para shahabat saat itu masih ada sebahagian
dari mereka yang masih meminum khamar dan mabuk-mabukkan yang mengakibatkan
prilaku mereka sangat jauh dari aturan. Oleh karena itulah pada tahapan
selanjutnya Allah menurunkan ayat 90 surat Al Maidah yang berisi pengharaman
khamar secara mutlak. Dalam ayat ini Allah mengharamkan khamar melalui beberapa
sebutan, yakni : Rijsu (رجس ) yang
berarti al najasah ( النجاسة ) najis dan najis merupakan sesuatu yang dilarang
oleh Allah (diharamkan). Kedua, Allah mengkategorikan meminum khamar ke dalam
perbuatan yang selalu dilakukan oleh Syaitan. Dengan turunnya ayat ini semua para ulama sepakat bahwa hukum dari khamar itu ialah haram. Penerapan metode
tadrij dalam hukum Islam. Ibnu Katsir, Lubab al-Tafsir
min Ibni Katsir, Penerjemah M.Abdul Ghoffar E.M., Tafsir Ibnu Katsir,
(Jakarta: Pustaka Imam al-Syafi’i, Cetakan I, Jilid 2, Juli 2009), hlm. 87, dan
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Singapura: Pustaka Nasional, Cetakan V, Jilid
2, 2003), hlm. 1227.
[18]Membiasakan anak dengan
pakaian yang syar’i. Anak-anak dibiasakan
menggunakan pakaian sesuai dengan jenis kelaminnya. Anak laki-laki menggunakan
pakaian laki-laki dan anak perempuan menggunakan pakaian perempuan. Jauhkan
anak-anak dari model-model pakaian Barat yang tidak syar’i, bahkan ketat dan
menunjukkan aurat. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang meniru suatu kaum,
maka dia termasuk kaum itu. (HR. Abu Daud).
[19]Hal ini sesuai
dengan yang dikatakan oleh Umar Muhammad Al-Taumy Al-syaibany bahwa “ alam
natural bukan saja mencakup segala mahluk yang akan tetapi juga merangkum sistem,
peraturan atau undang-undang alam yang semua bagian alam tunduk kepada
dasar-dasarnya dan sesuatu itu terjadi atau berlaku mengikuti ketentuan
persyaratan disekelilingnya. Umar Muhammad Al-Taumy Al-Syaibany, Falsafah
Pendidikan Islam, diterjemahkan oleh Hasan Langgulung, (Jakarta, Bulan
Bintang, 1979), hlm. 58.
No comments:
Post a Comment