KETIKA AGAMA TELAH MEMUSNAHKAN MANAUSIA
M.Rakib Jamari
(Hancurnya etika antar agama)
Kata
etika berasal dari bahasa Yunani kuno, yang dalam bentuk tunggal adalah ethos yang
mempunyai banyak arti, anatara lain ; tempat tinggal yang biasa, padang rumput,
kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berfikir. Sedang
dalam bentuk jamak ta etha berarti adat kebiasaan Bertens (2002.p.4).
Menurut
Webster's New Collegiate Dictionary, etika adalah .." 1) ...the discilpine
dealing with what is good and bad and with moral duty and obligation,2).a. a
set of moral principles and values,b. a theory or system of moral values,c.theprinciples
of conduct governing an indiviadual or a gropup". Dalam arti adat
kebiasaan inilah yang melatar belakangi terbentuknya istilah etika. Dan etika dimaknai
sebagai ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.
Jika merujuk pada Kamus Besar Bahaasa Indonesia (1988.p. ) kata etika dijelaskan
dengan membeerdakan tiga arti: 1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk
dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak),2) kumpulan azas atau nilai yang
berkenaan dengan akhlak, 3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu
golongan atau masyarakat.
Menurut Bertens (2002.p.6-7) etika
mempunyai tiga arti, yaitu: pertama, kara etika biasa dipakai dalam arti:
nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau
suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Dalam arti ini etika bersifat
relatif di dalam suatu wilayah/ daerah. Misal apa yang dianggap baik oleh suatu
kelompok belum tentu baik oleh kelompok lain meski mereka berada dalam suatu
daerah atau wilayah yang sarna karena beda suku atau agama dan
kepercayaan.Contoh adat kawin lari yang masih terdapat disebagian desa di
propinsi Bali, oleh mereka yang menganut agam non Hindu, dianggap tidak baik.
Demikian pula kawin siri yang oleh suatu kelompok Islam diterima baik, tetapi
oleh kelompok lain yang berbeda kepercayaan akan dianggap tidak baik.Dengan
demikian akan terdapat etika berdasarkan atas suku, agama dan kepercayaan yang
menyatu di dalam suatu sistem nilai, seperti adat istiadat Jawa,Dinamika
Pendidikan No. 11Th.XIV / Mei 2007 15 Sunda, Bali , Suku Badui dalam, suku Daya
, etika Kristen,akhlak etika Islam , ada
tasawuf.. Kedua, etika berarti juga ; kumpulan asas atau nilai moral.
Kumpulan nilai moral yang kemudian dijadikan
dasar bertindak/berperilaku bagi anggotanya ini yang kemudian menjadi kode
etik. Seperti kode etik guru, kode etik dokter, kode etik paramedik, kode etik
hakim, kode etik peneliti dan lain sebgainya. Ketiga, etika mempunyai arti ilmu
tentang yang baik atau buruk yang sam artinya dengan filsafat moral karena
berkaitan dengan asas-asas dan nilai tentang yang dianggap baik dan buruk. Dalam
kajian ini etika ditekankan pada arti nilai-nilai dan norma-norma etis yang menjadi
pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya di
dalam berkehidupan bermasyarakat. Di dalam kehidupan sosial bermasyarakat warga
dituntut untuk mematuhi apa yang telah ditetapkan oleh masyarakatnya sebagai
aturan, tata nilai, larangan ( tabu) serta pantanagn. Semakin kompleks
kehidupan masyarakat semakin banyak aturan adat , larangan (tabu) serta pantangan
yang diperuntukan bagi warganya.
Karena itu para murid yang akan menjadi warga dewasa penuh dari
suatu masyarakat dan sebagai warga negara serta warga dunia harus belajar memahami, melestarikan nilai-nilai luhur yang
dianut masyarakat dan bangsa serta dunia
agar dapat hidup damai, bertoleransi dan saling mengharagai. Intemalisasi nilai
dalam diri seseorang dapat terjadi secara intensif lewat pendidikan apabila
direncanakan dan dilakukan secara kontekstual sesuai dengan lingkungan hidup
para siswa. Misal dengan pendekatan "value clarification" siswa
disadarkan akan makna nilai nilai yang diperkenalkan oleh pendidik. Siswa tidak
hanya tahu tetapi akan memahami makna nilai dan akan menrima sebagai nilainya
sendiri serta akan menerapkan di dalam kehidupannya sebagai acuahn berperilaku
atau bertindak.16 Dinamika Pendidikan No. 1 / Th. XIV / Mei 2007
Jika siswa memasuki dunia kerja profesional , akan
diikat dengan hukum dan kode etik
profesi yang dijadikan acuan di dalam
melaksanakan pekerjaan atas profesinya.Di dalam pergaulan sosial, seseorang juga
dituntut untuk berperilaku sesuai dengan etika yang ditetapkan. Ada aturan yang
sederhana, dalam jamuan makan
intemasional, ada aturan pakaian dan cara berpakaian, tata cara makan, cara mempersilahkan
makan, cara mengambil makanan, meminta makanan juga cara memegang sendok dan
pisau makan, cara minum untuk berkunjung dan lainnya. Kursus etika cara makan, disebut
"table manner" yang
biasanya diberikan kepada para calon diplomat dan istrinya sebelum berangkat
untuk bertugas di luar negeri. Seseorang yang hidup di dalam masyarakat yang
memilki peradaban harus menerapkan
nilai-nilai yang berlaku selama dia
hidup dalam lingkungan di mana ia tinggal.
Makma Pendidikan
Arti
hukuman disiplin pendidikan dapat dirumuskan
dalan berbagai bentuk sesuai dengan sudut pandang dan konteks dipakai. Rumusan
formal yang tertulis di dalam penejelasan UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 di
sebutkan :"
Pendidikan
merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses
pembelajaran dan atau cara lain yang
dikenal dan diakui oleh masyarakat." Sedang fungsi pendidikan dikatakan :
"... berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab".
Rumusan dari sudut pandang filsafat
sebagaimana dikemukan oleh Driyarkara , pendidikan adalah "memanusiawikan
manusia". Makna manusiawi punya arti yang dalam. Bukan sekedar membantu
pertumbuhan secara fisik, tetapi keseluruhan perkembangan pribadi manusia dalam
konteks lingkungan manusia yang memiliki peradaban.Masa Dinamika Pendidikan No.
1fT'h,XIV/ Mei 2007 17. belajar manusia untuk berkembang menjadi dewasa dalam
arti pribadi yang utuh memerlukan waktu yang lebih panjang jika dibandingkan
dengan makhluk hidup lainnya. Karena manusia harus belajar untuk memahami,
menguasai dan mampu mempergunakan atau memanfaatkan apa yang dipelajari untuk
bisa hidup dan menghidupi keluarganya. Proses belajar akan terjadi sepanjang
hidupnya sejalan dengan dinamika kehidupan masyarakat yang terus berubah dan
berkembang. Proses belajar dapat terjadi dalam lingkungan pendidikan formal
(persekolahan), pendidikan non-formal (pendidikan-pelatihan dan kursus) serta
pendidikan informal yang terjadi di dalam keluarga maupun masyarakat, seperti
dalam "home schooling" yang saat ini mulai marak di kota-kota besar.
Menurut penulis, jika dikaji kembali
fungsi pendidikan yang dinginkan ,"... membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat". Membentuk watak dan peradaban bagi manusia
sebagai individu maupun sebagai warga bangsa Indonesia.Sebagai individu
diharpakan menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
dan berakhlak mulia. Sebagai warga
ia harus sehat,berilmu, cakap,kreatif, mandiri dan menajdi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab. Untuk beriman dan bertakwa dan berakhlkak mulia,
manusia harus mempelajari, memahami, memiliki dan menerapkan nilai-nilai yang
dijarkan atas dasar etika agama, serta etika
kehidupan.Dalam
ajaran agama terdapat ajaran boleh dan tidak boleh dilakukan, perbuatan
baik dan buruk, dan pantas dilakukan dan tidak pantas dilakukan
di depan umum. Dalam Hukum Islam kata halal dan haram, wajib, sunnah dan tidak
boleh dilanggar. Di dalam ajaran Nabi
Musa ada yang disebut 10 ( sepuluh) perintah Allah yang ditulis dalam dua buah
batu log .Selain nilai-nilai yang bersumber dari kitab suci, ada nilai-nilai Adat
yang diterima dan diakui oleh masyarakat intemasional, misalnya hak azasi
manusia yang tertuang dalam perjanjian Jenewa tahun 1948.
Nilai-nilai baru, bisa juga muncul dengan adanya profesi baru yang
diakui oleh masyarakat yang menuntut perilaku tertentu di dalam melaksanakan
tugas pekerjaannya. Kumpulan nilai-nilai ini kemudian dirangkum menjadi apa
yang dikenal dengan kode etik profesi.
Sekalipun secara jelas disebutkan di dalam Undang-Undanga No:20 Tahun 2003. Tentang
Sistem Pendidikan Nasional dalam Bab I Pasal 1 ayat (1) , Bab II Pasal 318 ,
dalam Jurnal Dinamika Pendidikan No. 1/ Th. XIV / Mei 2007 salah satu tujuannya
disebutkan "berakhlak mulia",
namun dalam kenyataannya tujuan belajar dan pembelajaran diredusir dan
difokuskan ke penguasaan pengetahuan untuk kepentingan ujian nasional maopun
ujian sekolah sebagai syarat lulus. Hasil pendidikan hanya diukur dari
banyaknya siswa yang lulus ujian dan nilai yang diperoleh dalam ujian. Tujuan-
tujuan lain tidak pemah diukur secara sungguh-sungguh. Pencapaian akhlak mulia hanya diukur dari aspek
pengetahuan dalam ujian sekolah dan difokuskan pada pengetahuan agama yang
diikuti siswa dalam belajar. Oleh karena itu pengukuran dan evaluasi hasil
proses pendidikan perlu ditinjau ulang dan harus diorientasikan pada tujuan
sebagairnana diarnanatkan dalarn undang-undang.
Pendidikan Etika
Proses intemalisasi akhlak dan etika
dalarn diri siswa tidak dapat dilakukan secara instant, namun melalui proses
sejalan dengan perkembangan jasarnani dan rohani siswa. Proses intemalisasi
dimulai dengan pengenalan nilai-nilai di dalam keluarga oleh orangtua maupun
sanak famili yang serumah.Jika anak sudah bergaul dengan lingkungan sosial-
masyarakat sekitar ia akan berkenalan dengan berbagai nilai di sekitarnya. Dan
jika ia sudah bersekolah pengenalan nilai akan sernakin banyak dan beragam yang
dibawa oleh ternan-ternan sekolah , guru dan juga orang lain yang hadir di
sekolah. Jika ia sudah mulai tertarik nonton televisi, rnaka ia juga akan berkenalan
dengan nilai yang ditawarkan dan disampaikan oleh para artis-selebritis melalui
adegan-adegan yang dibawakannya, selain lewat promosi atau iklan yang ditayangkan.
Nilai-nilai yang diterima siswa ada yang berbeda bahkan bertolak belakang atau
berlawanan dengan nilai-nilai yang dikenalkan di rumah dan di sekolah, ada
nilai baru yang tidak belum dikenal di rurnah dan atau di sekolah.
Terhadap rnasuknya nilai tersebut
mungkin diterima melalui saringan atau filter orangtua dan atau lewat guru,
tetapi juga ada nilai yang diterirna tanpa filter. Pertentangan nilai dalarn
diri siswa dapat terjadi, yang dapat menyebabkan siswa memiliki standar
ganda.Misal jika di rumah dan di sekoklah siswa kelihatan alim, sopan, baik dan
takwa. Tetapi di luar, jika sudah bergabung dengan kelornpok. Dalam jurnal Dinamika
Pendidikan No. 11Th.XIV / Mei 2007 19 gengnya mereka akan berperilaku yang
sangat berbeda.Misal minum minuman beralkohol tinggi sampai mabuk, pesta narkoba bahkan pesta seks. Dalam surat
kabar sering diberitakan penggerebekan yang dilakukan polisi terhadap rumah kos,
ada pesta mabuk-mabukan, narkoba dan
seks terjadi , dan ternyata pelakunya mahasiswa dan atau siswa SLTA..
Salah satu teori yang dikemukakan
Lawrence Kohlberg. Kohlberg mengurutkan perkembangan menjadi tiga tahap,
dan setiap tahap ada dua peringkat.Susunan peringkat itu, sebagai
berikut
:
Tahap
pertama: Prekonvensional. Dalam tahap ini ada dua peringkat yang dilalui, yaitu
orientasi ketaatan dan sanksi. Orangtua mengajarkan mana perbuatan baik dan tidak
baik Jika anak berbuat baik, orangtua memberikan ganjaran, penghargaan atau hadiah,
tetapi jika anak melakukan perbuatan tidak baik, orangtua memberikan sanksi
hukuman.Anak akan belajar untuk melakukan perbuatan yang baik dan tidak lagi
melakukan perbuatan yang tidak baik. Peringkat kedua,berorientasi pada azas dan
alat atau instrumentasi. Si anak belajar bahwa jika ia melakukan perbuatan baik,berarti
ia melakukan sesuatu yang dapat diterima oleh lingkungannya dan tidak mendapatkan
hukuman.Pada peringkat ini anak belajar memahami azas nilai baik dan azas itu
merupakan instrumen untuk melakukan perbuatan yang dpat diterima oleh
linngkungannya. Contoh cara meminta sesuatu secara sopan kepada orangtua dan
orang lain.Misal kata: "bolehkan minta tolong...", ".Anak tidak
diajari untuk berkata :" ,kamu bantu saya", jika meminta bantuan dari
orang lain karena kata itu tidak sopan.
Tahap kedua: Peringkat
Konvensional.Nilai-nilai yang menjadi alasan untuk berbuat baik diterima
sebagai nilianya untuk memenuhi kehendak orangtua serta lingkungannya. Dengan
cara itu ia dapat diterima di dalam kehidupan bermasyarakat.Anak menyadari
bahwa ia berada dalam suatu linghkungan sosialbudaya masyarakat yang memiliki
tata nilai, aturan serta adat yang mengatur perilaku warga masyarakat,
sekalipun di dalam kehidupan keluarganya ada nilai-nilai dan tata aturan tertentu
yang harus ditaati. Pada tahap ini terdapat dua peringakat,20. Jurnal Dinamika Pendidikan No. 1 / Th. XIV / Mei 2007
yaitu : peringkat ketiga berorientasi pada interpersonal Pada peringkat ketiga
ini anak harus dapat menempatkan diri dalam berperan dalam hubungan
interpersonal. Penempatan diri didasari pada nilai-nilai dan tata aturan yang
ditetapkan di dalam lingkungan sosial budaya tertentu masyarakatnya.Misal
bagaimana berperilaku jika ia berada dalam hubungan sosial dengan yang orang
lebih tua yang dihormati oleh keluarga dan masyarakatnya, misalnya menghadap pejabat negara, polisi dan tetua adat dan tokoh agama , akan berbeda
perilakunmya jika yang dihadapi ketua kelas.
SEMUA AGAMA, SEBENARNYA LEMBUT,
TAPI UMATNYA, SALAH SAMBUT.
KASIH SAYANG, SAMPAI TERCABUT,
KALAU TERSALAH, KEMBALILAH SURUT
SEMUA AGAMA, MEMBAWA DAMAI,
TAPI PENGANUTNYA, ADA YANG LALAI
FANATIK AGAMA, SALAH PAKAI
KESOMBONGAN KELOMPOK, TIDAK TERLERAI
KEKERASAN
ATAS NAMA AGAMA
SEMUA AGAMA, MEMBAWA DAMAI,
TAPI PENGANUTNYA, ADA YANG LALAI
FANATIK AGAMA, SALAH PAKAI
KESOMBONGAN KELOMPOK, TIDAK TERLERAI
Bebicara mengenai agama, seperti yang
dikatakan Dr. Sindhunata dalam pengantar
buku Kala
Agama jadi Bencana,[1]bagaikan berbicara tentang paradoks. Alasannya ialah di satu
sisi agama dialami sebagai jalan dan penjamin keselamatan, cinta dan
perdamaian, akan tetapi di sisi yang lain agama sebagai sumber, penyebab dan
alasan bagi kehancuran dan kemalangan atas umat manusia. Peran paradoksial ini
memiliki koherensi yang sangat kuat dengan adanya dualisme fundamental antara
normatifitas suatu agama dengan historisitanya.[2]
Sebagaimana kita ketahui bahwa tidak
ada satupun agama secara normatif di dunia ini yang mengajarkan keburukan,
kebrutalan, ataupun kekerasan (
violence) yang nantinya berujung pada pengrusakan atau bahkan pembunuhan. Justru sebaliknya, agama-agama yang ada di
dunia dewasa ini, selalu mengajarkan kebaikan kepada para penganutnya, seperti
Islam dengan ajaran Rahmatan lil Alamin-nya, Kristen dengan “ Cinta Kasihnya”,
Hindu dengan ajaran Tatawwa Asi, dan Budha dengan ajaran Catur Paramitha-nya.
Namun demikian, secara sosiologis agama tidak dapat dipungkiri telah banyak
menyebabkan terjadi konflik dan kekerasan.
Dari
sini lah tulisan ini berangkat, mengapa agama yang sejatinya mengajarkan
niilai-nilai kebaikan kini berubah menjadi momok yang menakutkan dengan
serangkaian kejadian yang memilukan, sehingga membawa kita untuk mempertanyakan
kembali apa itu agama? mengapa kekerasan /konflik atas nama agama itu terjadi?
dan Bagaimana penyelesaiannya? Di sinilah kami akan menguraikan satu persatu,
dimulai dari definisi agama dan factor-faktor apa saja yang melatarbelakangi
terjadinya kekerasan atas nama agama ini serta memberi solusi terhadap konflik
atas nama agama tersebut.
A. Agama sebagai normatifitas dan historisitas
Agama
secara sederhana diartikan sebagai
seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan
dunia gaib, khususnya tuhannya, mengatur manusia dengan manusia lainnya, dan
mengatur manusia dengan lingkungannya.[3]
Dari
definisi di atas, sebenarnya agama masih
dilihat sebagi teks atau doktrin, sehingga keterlibatan manusia sebagai
pendukung atau penganut agama tersebut tidak tampak di dalamnya. Itulah sebabnya masalh-maslah yang berkenaan
dengan kehidupan keagamaan ( secara empiric), baik individual maupun kelompok,
perbedaan pengetahuan dan keyakinan, peranan keyakinan keagamaan terhadap
kehidupan dan sebaliknya, kelestarian dan perubahan keyakinan keagamaan yang
terjadi tidak tercakup di dalamnya.[4]
Maka
dengan memperhatikan masalah-masalah di atas, agama menurut Parsuadi ( 1988) dapat didefinisikan:
Suatu
sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu
kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi respon terhadap apa
yang dirasakan dan diyakini sebagai yang gaib dan suci.[5]
Dalam
pengertian terakhir ini factor pemeluk agama menjadi sangat jelas, karena agama
merupakan hasil interpretasi dan respon masyarakat terhadap ajaran-ajaran suci
dari Tuhan.
Agama
memang mengalami perubahan-perubahan, tetapi yang berubah adalah
tradisi-tradisi keagamaan dan system
keyakinan keagamaan, sedangkan doktrin dan teks agama itu sendiri, sebagaimana
yang tertuang dalam kitab suci tidak
berubah. Perubahan keyakinan keagamaan, disebabkan oleh adanya perbedaan
interpretasi oleh penganut agama tersebut secara berlainan.[6] Maka tak heran
jika di dunia ini ekspresi kegamaan muncul beragam, ada yang formalis-eksremis
, radikalis ,substansialis-humanis dan lain sebagainya.
B. Kekerasan atas nama agama
Dalam
wacana kontemporer, kekerasan biasa diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris
dengan violence, violence berkaitan dengan gabungan kata Latin vis ( daya, kekutan) dan latus
(membawa) yang kemudian berarti membawa kekuatan.[7] Kekerasan juga sering
diartikan sebagi sifat atau hal yang keras, kekuatan ; paksaan.sedangkan
paksaan berarti tekanan, desakan yang keras. Sehiungga kekerasan berarti
membawa kekuatan, paksaan dan tekanan.
Kekerasan bisa terjadi jika manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga
realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya.
Pada
saat ini orang banyak melihat kekerasan sudah membudaya, hal ini menujukan
secara perlahan hubungan antar kelompok manusia tidak hanya diwarnai denagan
eskalasi kekerasan tetapi juga sofistikasi kekerasan. Persoalan ini menjadi
rumit ketika masuk dalm praktik-praktik dengan legitimasi etika-religius atau
penggunaan idiom-idiom agama demi ambisi yang non religius.
Hampir
tidak didapatkan suatu asumsi yang membenarkan adanya kekerasan yang bersifat
keagamaan. Bahkan contoh yang biasa diutarakan untuk mendeskripsikan kekerasan
semisal perang salib, ditampik sebagai kekerasan yang bertolak dari persoalan
agama. agama dan kekerasan adalah dua persoalan yang saling menegasikan dan
tidak mungkin dikonvergensikan dalam satu bentuk pemahaman yang utuh. Tentunya
kita berfikir keras mengapa terjadi kekrasan atas nama agama, sedangkan agama
sendiri menegasikan kekerasan itu sendiri?
Dalam
kaitannya dengan pertanyaan di atas, seyogyanya kita perlu merujuk apa yang di
catat oleh Kimball. Ia menjelaskan bahwa tanda-tanda kerusakan agama (dilihat
secara pengertian histories) yang akhirnya menimbulkan konflik dan kekerasan,
setidaknya dilatarbelakangi oleh lima factor. Pertama, bila suatu agama
mengklaim kebenaran agamnya sebagai kebenaran yang mutlak dan
satu-satunya.[8]dalam setiap agama, klaim kebenaran merupakan pondasi yang
mendasari keseluruhan struktur agama. namun, ketika interpretasi tertentu atas
klaim tersebut memjadi proposisi-proposisi yang menuntut kebenaran pembenaran
tunggal dan diperlakukan sebagai doktrin kaku, kecenderungan terhadap
penyelewengan dalam agama itu muncul dengan mudah.[9] Bahkan
keyakinan-keyakinan yang bertolak sari truth claim tentunya berimplikasi pada religiusitas
soliptisime yang akan terus bergerak pada pencapaian peniadaan kelompok
keyakinan dan agama lain.[10] Contoh kekerasan
model ini ialah pembantaian 400 ribu umat muslim sendiri oleh Wahabi
yang terjadi pada tahun 1920-an dalam penaklukan jazirah Arab.[11]
Kedua,ketaatan buta kepada
pemimpin keagamaan mereka. Kesetian buta merupakan suatu tanda yang pasti
tentang agama yang rusak. Karena ia membatasi kebebasan intelektual dan
intregitas individu pengikutnya. Ketika para penganut individual mengabaikan
tanggung jawabnya pribadi dan mengabdi pada otoritas pemimpin karismatik atau
diperbudak oleh gagasan-gagasan atau ajaran tertentu, agama itu dapat dengan
mudah menjadi kerangka kekerasan dan kerusakan.[12] Contoh dari gerakan keagamaan ini ialah gerakan Aum
Shinrikyo pimpinan Asahara Shoko di
jepang ( tahun 1990-an) dalam sejarahnya gerakan ini menewaskan 12 orang dan melukai 500-an
orang.[13] ketiga, agama mulai gandrung merindukan zaman ideal, kemudian para
penganutnya bertekad merealisasikannya ke dalam zaman sekarang. Banyak contoh
kasusnya , seperti gerakan Thaliban di Afganistan, New Religion Right di
Amerika,[14] dan kelompok-kelompok agama militan lainnya. Keempat, apabila
agama tersebut membenarkan dan membiarkan terjadinya “ tujuan yang membenarkan cara”, atau dengan
kata lain tujuannya menghalalkan cara. Contoh dari peristiwa ini adalah
terjadinya konflik antara mayoritas umat Hindu dan minoritas umat Islam di
India pada tahun 2002, yang menewaskan ratusan bahkan ribuan umat keduanya.[15] Kelima, menyerukan perang suci. Contoh dari
kasus ini adalah perang salib dan perang melawan terorisme pasca serangan 11
september.[16]
C. Soulsi terhadap merebaknya konflik
Kekerasan atas
nama agama.Setelah kita sajikan factor apa yang merusakkan agama atau factor yang
melatarbelakangi terjadinya kekerasan atas nama agama , di sini tiba saatnya
kami memunculkan jalan keluar/ solusi atas permasalahan tersebut, diantaranya:
1. Setiap agama wajib untuk menggali
sumber-sumber dan riwayat hidupnya yang
autentik, dimana mereka bisa dan pernah menjadi agen-agen perdamaian[17]
2. Seimbang dalam fanatisme dan toleransi
3. Penggunaan forsi yang seimbang dalam
memahami agama antara wahyu/kitab dan akal.
4. Dialog antar agama
5. Adanya dukungan kuat dari pemerintah dalam
upaya menjaga kerukunan antar umat beragama.
D. Kesimpulan
Agama
diyakini sebagai seperangkat norma/doctrinal yang mengatur kehidupan makhluk
dan Sang Khaliknya, begitu pula sesama makhlukNya. Agama seperti di jelaskan di
awal, bahhwa ia memiliki dua wajah, yaitu wajah pertama yang bersifat normative
dan wajah kedua yang bersifat histories. Dalam perkembangannya wajah yang
pertama bersifat tetap dan mutlak, sedang wajah yang kedua berubah-ubah sesuai
dengan interpretasi penganutnya terhadap wajah yang pertam, sehingga tak jarang
timbul perbedaan diantara penganutnya, disebabkan oleh factor social, politik,
dan kebudayaan yang melingkupinya.
Perbedaan
interpretasi tak sedikit yang menyisahkan konflik baik dalam intern suatu agama
itu sendiri ataupun dengan agama lain, karena ada bias yang menyelimutinya.
Dikatakan oleh kimbal setidaknya ada lima factor yang merusakkan agama, yang
apabila kita telisik lebih jauh bahwa konflik yang terjadi bukan disebabkan
oleh agama itu sendiri, melainkan kepentingan
dari segelintir orang yang ada di
baliknya.
Sudah
saatnya lah kita menyadari akan pentingnya hidup berdamai dan berdampingan
dengan keragamaan agama dan kepercayaan yang ada karena itu merupaka realitas
yang benar-benar ada di sekitar kita, tentunya dengan menjunjung nilai
kemanusiaan (humanis), dan toleran terhadap yang lain dengan tanpa mengabaikan
akan kewajiban keagamaan masing-masing.
Daftar
pustaka
Kimball,
Charles. Kala Agama Jadi Bencana.terj. Nurhadi. Bandung: PT Mizan Pustaka,2003.
Syamsul
Arifin “ Memahami Kekerasan atas Nama Agama” dalam Sugiono, Sugeng (ed).
Menguak Sisi-sisi Khazanah Peradaban Islam. Yogyakarta: Adab Press, 2008.
Shaleh,
Abdul Qodir. Agama Kekerasan. Sleman: Primasophie, 2003
TIM.
Islam dan Budaya Lokal. Yogyakarta: pokja, 2005
Wahid,
Abdurrahman. Ilusi Negara Islam ( Eksapansi Gerakan Islam Transnasional di
Indonesia). Jakarta: The Wahid Institut, 2009.
[1]
Charles Kimball, Kala Agama Jadi Bencana, terj. Nurhadi, (Bandung: PT Mizan
Pustaka, 2003). hlm. 13.
[2]
Syamsul Arifin “ Memahami Kekerasan atas Nama Agama” dalam Sugeng Sugiono,
(ed). Menguak Sisi-sisi Khazanah Peradaban Islam. (Yogyakarta: Adab Press,
2008), hlm. 190.
[3]
TIM. Islam dan Budaya Lokal, (Yogyakarta: pokja, 2005), hlm. 4.
[4]
Ibid, hlm. 4.
[5]
Ibid, hlm. 5.
[6]
Ibid, hlm. 7.
[7]
Syamsul, “ Memahami” , hlm. 189.
[8]
Kimball, Kala Agama, hlm. 15
[9]
Ibid, hlm 84.
[10]
Abdul Qodir Shaleh, Agama Kekerasan, (Sleman: Primasophie, 2003), hlm. 47.
[11]Abdurrahman
Wahid, Ilusi Negara Islam ( Eksapansi Gerakan Islam Transnasional di
Indonesia). (Jakarta: The Wahid Institut, 2009), hlm. 96.
[12]Kimball,
Kala Agama, hlm. 127.
[13]
Ibid, hlm 125
[14]Kimball,
Kala Agama, hlm. 185.
[15]
Ibid, hlm. 197
[16]
Ibid, hlm. 234
[17]
Ibid, hlm. 21
No comments:
Post a Comment