Muallaf Cilik
tanpa Guru
Alexander memutuskan untuk
menjadi seorang muslim. Padahal ia tak pernah bertemu muslim seorangpun.
Dia sangat cinta dengan agama ini
sampai pada tingkatan dia mempelajari sholat, dan mengerti banyak hukum-hukum
syar” i, membaca sejarah Islam, mempelajari banyak kalimat bahasa Arab,
menghafal sebagian surat, dan belajar adzan.
Masuk Islam atas pilihan sendiri. Sungguh aneh menakjubkan. Alexander Pertz dilahirkan dari
kedua orang tua Nasrani pada tahun 1990
Rasulullah saw bersabda: “Setiap bayi yang
dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya
Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi..” (HR. Bukhari)
Kisah
bocah Amerika ini tidak lain adalah sebuah bukti yang membenarkan hadits
tersebut di atas. Alexander Pertz
dilahirkan dari kedua orang tua Nasrani pada tahun 1990 M.. Sejak awal ibunya
telah memutuskan untuk membiarkannya memilih agamanya jauh dari pengaruh
keluarga atau masyarakat. Begitu dia bisa membaca dan menulis maka ibunya
menghadirkan untuknya buku-buku agama dari seluruh agama, baik agama langit
atau agama bumi.
Setelah
membaca dengan mendalam, Alexander memutuskan untuk menjadi seorang muslim.
Padahal ia tak pernah bertemu muslim seorangpun.
Dia
sangat cinta dengan agama ini sampai pada tingkatan dia mempelajari sholat, dan
mengerti banyak hukum-hukum syar” i, membaca sejarah Islam, mempelajari banyak
kalimat bahasa Arab, menghafal sebagian surat, dan belajar adzan.
Semua
itu tanpa bertemu dengan seorang muslimpun. Berdasarkan bacaan-bacaan tersebut
dia memutuskan untuk mengganti namanya yaitu Muhammad “Abdullah, dengan tujuan
agar mendapatkan keberkahan Rasulullah saw yang dia cintai sejak masih kecil.
Salah
seorang wartawan muslim menemuinya dan bertanya pada bocah tersebut. Namun,
sebelum wartawan tersebut bertanya kepadanya, bocah tersebut bertanya kepada
wartawan itu, “Apakah engkau seorang yang hafal Al Quran ?”
Wartawan
itu berkata: “Tidak& #65533;. Namun sang wartawan dapat merasakan
kekecewaan anak itu atas jawabannya.
Bocah
itu kembali berkata , “Akan tetapi engkau adalah seorang muslim, dan mengerti
bahasa Arab, bukankah demikian ?”. Dia menghujani wartawan itu dengan banyak
pertanyaan. “Apakah engkau telah menunaikan ibadah haji ? Apakah engkau telah
menunaikan “umrah ? Bagaimana engkau bisa mendapatkan pakaian ihram ? Apakah
pakaian ihram tersebut mahal ? Apakah mungkin aku membelinya di sini, ataukah
mereka hanya menjualnya di Arab Saudi saja ? Kesulitan apa sajakah yang engkau
alami, dengan keberadaanmu sebagai seorang muslim di komunitas yang bukan
Islami ?”
Setelah
wartawan itu menjawab sebisanya, anak itu kembali berbicara dan menceritakan
tentang beberapa hal berkenaan dengan kawan-kawannya, atau gurunya, sesuatu
yang berkenaan dengan makan atau minumnya, peci putih yang dikenakannya,
ghutrah (surban) yang dia lingkarkan di kepalanya dengan model Yaman, atau
berdirinya di kebun umum untuk mengumandangkan adzan sebelum dia sholat.
Kemudian ia berkata dengan penuh penyesalan, “Terkadang aku kehilangan sebagian
sholat karena ketidaktahuanku tentang waktu-waktu sholat.”
Kemudian
wartawan itu bertanya pada sang bocah, “Apa yang membuatmu tertarik pada Islam
? Mengapa engkau memilih Islam, tidak yang lain saja ?” Dia diam sesaat
kemudian menjawab.
Bocah
itu diam sesaat dan kemudian menjawab, “Aku tidak tahu, segala yang aku ketahui
adalah dari yang aku baca tentangnya, dan setiap kali aku menambah bacaanku,
maka semakin banyak kecintaanku& #65533;.
Wartawab
bertanya kembali, “Apakah engkau telah puasa Ramadhan ?”
Muhammad
tersenyum sambil menjawab, “Ya, aku telah puasa Ramadhan yang lalu secara
sempurna. Alhamdulillah, dan itu adalah pertama kalinya aku berpuasa di
dalamnya.
Dulunya
sulit, terlebih pada hari-hari pertama” . Kemudian dia meneruskan : “Ayahku
telah menakutiku bahwa aku tidak akan mampu berpuasa, akan tetapi aku berpuasa
dan tidak mempercayai hal tersebut” .
“Apakah
cita-citamu ?” tanya wartawan
Dengan
cepat Muhammad menjawab, “Aku memiliki banyak cita-cita. Aku berkeinginan untuk
pergi ke Makkah dan mencium Hajar Aswad” .
“Sungguh
aku perhatikan bahwa keinginanmu untuk menunaikan ibadah haji adalah sangat
besar. Adakah penyebab hal tersebut ?” tanya wartawan lagi.
Ibu
Muhamad untuk pertama kalinya ikut angkat bicara, dia berkata : “Sesungguhny a
gambar Ka”bah telah memenuhi kamarnya, sebagian manusia menyangka bahwa apa
yang dia lewati pada saat sekarang hanyalah semacam khayalan, semacam angan
yang akan berhenti pada suatu hari. Akan tetapi mereka tidak mengetahui bahwa
dia tidak hanya sekedar serius, melainkan mengimaninya dengan sangat dalam
sampai pada tingkatan yang tidak bisa dirasakan oleh orang lain” .
Tampaklah
senyuman di wajah Muhammad “Abdullah, dia melihat ibunya membelanya. Kemudian
dia memberikan keterangan kepada ibunya tentang thawaf di sekitar Ka”bah, dan
bagaimanakah haji sebagai sebuah lambang persamaan antar sesama manusia
sebagaimana Tuhan telah menciptakan mereka tanpa memandang perbedaan warna
kulit, bangsa, kaya, atau miskin.
Kemudian
Muhammad meneruskan, “Sesungguhny a aku berusaha mengumpulkan sisa dari uang
sakuku setiap minggunya agar aku bisa pergi ke Makkah Al-Mukarramah pada suatu
hari. Aku telah mendengar bahwa perjalanan ke sana membutuhkan biaya 4 ribu
dollar, dan sekarang aku mempunyai 300 dollar.”
Ibunya
menimpalinya seraya berkata untuk berusaha menghilangkan kesan keteledorannya,
“Aku sama sekali tidak keberatan dan menghalanginya pergi ke Makkah, akan
tetapi kami tidak memiliki cukup uang untuk mengirimnya dalam waktu dekat ini.”
“Apakah
cita-citamu yang lain ?” tanya wartawan.
“Aku
bercita-cita agar Palestina kembali ke tangan kaum muslimin. Ini adalah bumi
mereka yang dicuri oleh orang-orang Israel (Yahudi) dari mereka.” jawab
Muhammad
Ibunya
melihat kepadanya dengan penuh keheranan. Maka diapun memberikan isyarat bahwa
sebelumnya telah terjadi perdebatan antara dia dengan ibunya sekitar tema ini.
Muhammad
berkata, “Ibu, engkau belum membaca sejarah, bacalah sejarah, sungguh
benar-benar telah terjadi perampasan terhadap Palestina.”
“Apakah
engkau mempunyai cita-cita lain ?” tanya wartawan lagi.
Muhammad
menjawab, “Cita- citaku adalah aku ingin belajar bahasa Arab, dan menghafal Al
Quran.”
“Apakah
engkau berkeinginan belajar di negeri Islam ?” tanya wartawan
Maka
dia menjawab dengan meyakinkan : “Tentu”
“Apakah
engkau mendapati kesulitan dalam masalah makanan ? Bagaimana engkau menghindari
daging babi ?”
Muhammad
menjawab, “Babi adalah hewan yang sangat kotor dan menjijikkan. Aku sangat
heran, bagaimanakah mereka memakan dagingnya. Keluargaku mengetahui bahwa aku
tidak memakan daging babi, oleh karena itu mereka tidak menghidangkannya
untukku. Dan jika kami pergi ke restoran, maka aku kabarkan kepada mereka bahwa
aku tidak memakan daging babi.”
“Apakah
engkau sholat di sekolahan ?”
“Ya,
aku telah membuat sebuah tempat rahasia di perpustakaan yang aku shalat di sana
setiap hari” jawab Muhammad
Kemudian
datanglah waktu shalat maghrib di tengah wawancara. Bocah itu langsung berkata
kepada wartawan,” Apakah engkau mengijinkanku untuk mengumandangkan adzan ?”
Kemudian
dia berdiri dan mengumandangkan adzan. Dan tanpa terasa, air mata mengalir di
kedua mata sang wartawan ketika melihat dan mendengarkan bocah itu menyuarakan
adzan
SUMBER
: http://ninafkoe.blogspot.com/
Share
this article :
Menjawab
Tantangan Zaman
Tantangan zaman yang harus dihadapi oleh
setiap orang termasuk umat Islam adalah menghadapi problematika modern. Menurut
Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya ”al-ijtihad fisyari’ atil Islamiyah”, mencari
fatwa dari ajaran Islam dalam menyelesaikan problematika modern, bukanlah
merupakan suatu tindakan sia-sia yang menganggap enteng terhadap Islam.
Tantangan zaman, dapat diartikan munculnya
fakta, keadaan, atau problem baru seiring dengan perkembangan waktu. Misalnya,
dulu tidak ada kloning, bayi tabung, dan transplantasi, namun kini kemajuan di
bidang biologi dan kedokteran itu telah hadir di hadapan kita. Itu tantangan
zaman. Dulu tidak terbayang ada sarana komunikasi dan informasi yang canggih
seperti internet saat ini. Dengan adanya internet, berarti ada tantangan zaman.
Penyakit AIDS, penggunaan narkoba, pergaulan bebas yang liar di kalangan
muda-mudi, sekarang makin menggila. Ini adalah tantangan zaman. Sebelumnya
tidak ada negara Israel. Namun sekarang Israel bercokol dan mengangkangi bumi
Palestina yang suci dan diberkahi. Ini tantangan zaman. Kita umat Islam dulu
memiliki sistem Khilafah sebagai institusi yang memungkinkan adanya kehidupan
Islam, tetapi pada tahun 1924 Khilafah diluluhlantakkan oleh Mustafa Kamal yang
murtad. Tiadanya Khilafah, adalah tantangan zaman. Sekarang penguasa
negeri-negeri? Islam telah mencampakkan
ideologi Islam, menganut dan menerapkan ideologi Kapitalisme, serta menjadi
agen-agen yang setia bagi negara-negara penjajah yang kafir. Ini betul-betul
tantangan zaman. Demikian seterusnya.
Setiap tantangan, pasti butuh jawaban dan
penyelesaian. Dalam hal ini, Islam sebagai ideologi sempurna secara potensial
menyediakan jawaban-jawaban bagi segala masalah atau persoalan yang timbul di
tengah manusia. Taqiyyuddin An Nabhani dalam Asy Syakshiyah Al Islamiyah (juz
I/303) menguraikan secara ringkas metode (thariqah) Islam untuk memecahkan
masalah, yaitu memahami fakta persoalan sebagaimana adanya, lalu memberikan
solusi padanya. Solusi ini bisa berupa Syariâ’at Islam bila persoalannya
berkaitan dengan hukum-hukum syaraâ, dan bisa pula berupa cara (uslub) dan
sarana (wasilah) tertentu jika persoalan yang dihadapi tidak secara langsung berhubungan
dengan hukum syaraâ, misalnya teknik dalam pertanian, kedokteran, kesehatan,
dan sebagainya. Secara lebih khusus, dalam Nizhamul Islam (hal. 69),
Taqiyyuddin An Nabhani menjelaskan metode Islam yang harus ditempuh para
mujtahidin untuk memecahkan persoalan. Pertama, mempelajari dan memahami
problem yang ada (fahmul musykilah). Kedua, mengkaji nash-nash syaraâ yang
bertalian dengan problem tersebut (dirasatun nushush). Ketiga, mengistinbath
hukum syaraâ dari dalil-dalil syaraâ untuk menyelesaikan persoalan yang ada
(istinbathul hukmi).
Metode itulah yang dapat kita gunakan
untuk menjawab setiap tantangan zaman. Secara ringkas, Islam menjawab tantangan
zaman dengan cara memberikan pemecahan terhadap problem-problem baru yang
muncul. Inilah pengertian yang benar mengenai bagaimana Islam menjawab
tantangan zaman yang terjadi.
Dengan
demikian, jelas tidak betul pendapat yang mengatakan bahwa dalam menjawab
tantangan zaman,? Islam menempuhnya
dengan cara beradaptasi, menyesuaikan diri, atau mengubah hukum-hukumnya agar
selaras dengan tuntutan keadaan. Dalihnya, Islam itu luwes, fleksibel, tidak
kaku, tidak ekstrem, tetapi moderat, lunak, dan selalu bersikap kompromistis
dengan realitas. Dalih batil itu kadang juga dilengkapi dengan kaidah ushul fiqih
yang fatal kekeliruannya : Laa yunkaru taghayyurul ahkam bi taghayyuriz zaman
wal makan. (Tidak boleh diingkari, adanya perubahan hukum karena perubahan
waktu dan tempat) (Lihat Muhlish Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah,
hal. 145).
Berdasarkan argumen-argumen sesat itu
akhirnya mereka membuang hukum-hukum Islam yang dianggapnya biadab atau tidak
sesuai dengan semangat orang zaman modern saat ini. Hukum potong tangan bagi
pencuri, hukum rajam bagi pezina, haramnya riba, hukuman mati untuk orang
murtad, harus dienyahkan dari muka bumi karena dianggap tidak
berperikemanusaan, sudah usang, kuno, dan ketinggalan zaman. Begitu pula
kewajiban jihad fi sabilillah dan kewajiban adanya Khilafah Islamiyah harus
ditolak mentah-mentah atau diselewengkan dari pengertiannya yang hakiki, karena
dianggap sebagai kegiatan kaum ekstremis, fundamentalis, serta tidak cocok
dengan selera orang yang telah “maju” pikirannya.
Pendapat seperti ini, serta pola pikir
yang melahirkan pendapat ini, sangat bertentangan dengan Islam. Karena pola
pikir yang dipakai oleh mereka yang berpendapat seperti itu, adalah pola pikir
khas Barat tatkala mereka berbicara tentang persoalan hukum dan kaitannya
dengan kenyataan masyarakat yang ada. Hukum, menurut Barat, haruslah lahir dari
masyarakat. Hukum adalah anak kandung, dan ibunya adalah masyarakat. Dengan
kata lain, yang sumber hukum, adalah keadaan masyarakat itu sendiri. Karenanya,
jika keadaan masyarakat berubah, berubah pulalah segala nilai, norma, dan
pranata kehidupan. (Lihat Dr. M. Ahmad Mufti dan Dr. Sami Shalih Al Wakil, At
Tasyriât wa Sannul Qawanin fi Ad Daulah Al Islamiyah, hal. 9-11).
Pandangan ini adalah pandangan kufur,
yang bertentangan dengan Islam. Sebab dalam Islam sumber hukum adalah wahyu
semata, bukan yang lain. Bukan kenyataan masyarakat, bukan tuntutan keadaan,
bukan semangat kemodernan, bukan pula hal-hal lain yang sebenarnya merupakan
alasan-alasan yang terlalu dicari-cari. Jika zina dan riba telah haram menurut
wahyu, maka sampai Hari Kiamat tetap haram. Jika hudud wajib dilaksanakan
menurut wahyu, maka statusnya tetap wajib sampai Hari Kiamat. Begitu pula jihad
dan Khilafah yang diwajibkan Allah dan Rasul-Nya, hukumnya tetap wajib dan
tidak boleh dianulir atau dibatalkan oleh siapa pun sampai Hari Kiamat.
Seorang muslim yang meyakini pola pikir
itu secara jazim (membenarkannya dengan pasti), sungguh dia telah murtad dan
keluar dari agama Islam. Sebab, pandangan tersebut berarti menolak nash-nash
yang qathâi tsubut (pasti sumbernya dari Rasulullah) dan qathâ’i dalalah (pasti
pengertiannya) yang mewajibkan kita untuk terikat dengan hukum-hukum syaraâ’
dan menyumberkan hukum-hukum syaraâ’ itu dari al wahyu semata, bukan yang
lainnya. Sekali lagi, sumber hukum dalam Islam adalah wahyu, bukan kenyataan
masyarakat. Allah SWT berfirman :
“Maka
demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman sampai mereka menjadikan
dirimu (Muhammad) sebagai hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka
perselisihkan…” (QS An Nisaa` : 65)
“Ikutilah
apa yang diturunkan kepada kalian dari Tuhan kalian dan janganlah kalian
mengikuti pemimpin-pemimpin selain Dia.” (QS Al Aâ’raaf : 3)
“Dan
barangsiapa tidak memberikan keputusan hukum menurut apa yang diturunkan Allah,
maka mereka adalah orang-orang kafir.” (QS Al Maa`idah : 44)
Ideologi
Islam dan Konstelasi Politik Internasional?
Penerapan ideologi Islam secara sempurna
untuk memecahkan masalah-masalah yang melanda umat Islam kini, merupakan hal
yang tak dapat ditawar-tawar lagi. Masalah yang ada demikian bertumpuk,
berjibun, dan seolah tak pernah berhenti mendera umat Islam. Masalah-masalah di
bidang sosial, politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya telah membuat kita
terpuruk dan tertindas. Kalaupun diselesaikan, pasti yang diterapkan adalah
hukum-hukum yang jauh dari ketentuan wahyu Allah SWT, karena sistem kehidupan
yang ada sekarang telah dicengkeram oleh sistem sekuler yang memisahkan agama
dari arena kehidupan.
Dan
penerapan ideologi Islam, mau tak mau membutuhkan negara sebagai institusi yang
berdiri untuk menerapkan hukum-hukum syaraâ’ sebagai solusi berbagai
problematika umat. Sebab tanpa negara, sebuah ideologi pasti akan lumpuh dan
tidak bermakna signifikan. Tanpa negara, sebuah ideologi hanya akan berupa
mitos atau filsafat kosong yang menjadi penghuni otak belaka, tidak bisa
diiimplementasikan secara konkret dalam realitas kehidupan manusia.
Dalam
Islam, negara ini disebut dengan Khilafah atau Imamah, yang tak diragukan lagi
kewajibannya dalam Islam. Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menegaskan dalam
kitabnya Al Fiqh “Ala Al Madzahib Al Arbaâ’ah, jilid V, hal. 416 :
“Para
imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi”i, dan Ahmad) –rahimahumullah– telah
sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu wajib…”
Tak
hanya kalangan Ahlus Sunnah saja yang mewajibkan Khilafah, bahkan seluruh
kalangan Ahlus Sunnah dan Syiah termasuk juga Khawarij dan Muâ’tazilah tanpa
kecuali bersepakat tentang wajibnya mengangkat seorang Khalifah.?
Ibnu
Hazm dalam Al Fashl fil Milal Wal Ahwa’ Wan Nihal juz 4 hal. 87 mengatakan :
“Telah
sepakat seluruh Ahlus Sunnah, seluruh Murji’ah, seluruh Syi’ah, dan seluruh
Khawarij, mengenai wajibnya Imamah (Khilafah)”
Jika
kita mencoba meneropong realitas kontemporer saat ini, ideologi Islam cukup
berpeluang untuk tampil kembali dalam panggung politik tingkat dunia.
Tengoklah, ideologi Sosialisme telah bangkrut pada awal dekade 90-an dengan
runtuhnya Uni Soviet. Negara-negara yang mengklaim penganut Sosialisme, seperti
RRC, akhirnya harus bertransformasi menjadi negara Kapitalis. Memang, saat ini
masih ada segelintir pemuda/mahasiswa (muslim) yang bersemangat? ”tetapi bodoh
terhadap Islam” yang getol dan keranjingan mempelajari Marxisme dan Komunisme,
kemudian mempraktekkannya secara nyata dalam gerakan-gerakan yang tujuannya
adalah menyulut kontradiksi dan konflik di antara komponen masyarakat,
khususnya antara golongan borjuis dengan golongan proletar. Namun Insya Allah
usaha mereka akan gagal dan akan kita hancurkan dengan segala cara dan upaya,
karena Marxisme dan Komunisme adalah suatu kekafiran yang wajib dibasmi dan
ditumpas sampai ke akar-akarnya. Tak ada ampun atau toleransi apa pun terhadap
Marxisme atau Komunisme. Marxisme dan Komunisme harus musnah dari muka bumi.
Adapun ideologi Kapitalisme, saat ini
memang tengah berjaya dan terus berusaha melestarikan hegemoni dan dominasinya
atas dunia. Amerika, Inggris, Perancis, dan negara-negara Barat yang kafir
terus berusaha mengokohkannya cengkeramannya atas Dunia Islam untuk
diinjak-injak, dieksploitir, dihisap kekayaan alamnya yang demikian kaya. Untuk
itu mereka telah menyebarluaskan pemikiran-pemikiran kafir mereka seperti
demokrasi, pluralisme, hak asasi manusia, dan politik pasar bebas (Lihat kitab
Al Hamlah Al Amirikiyyah Lil Qadha` “Alal Islam).?
Mereka pun terus melancarkan fitnahan-fitnahan
yang keji seperti tuduhan ekstrem dan fundamentalis terhadap kaum muslimin yang
ingin secara tulus mengembalikan Islam ke dalam tahta kekuasaan. Sayang sekali,
para penguasa di Dunia Islam telah memposisikan diri mereka sebagai bagian dari
pihak Barat ini. Mereka menjadi budak-budak yang selalu tunduk, patuh,
bertakbir, dan bersujud kepada majikan-majikan mereka, yakni kaum penjajah yang
kafir itu. Lihatlah, alih-alih menentang dan melawan, mereka malah mendatangkan
IMF, Bank Dunia, dan lembaga-lembaga internasional lainnya, lalu
mengemis-ngemis, meratap, dan menghiba kepada mereka tanpa malu kepada
rakyatnya, serta pasrah begitu saja terhadap instruksi-instruksi mereka untuk
menjarah atau merampok harta kekayaan umat yang seharusnya dijaga dengan penuh
amanah dan tanggung jawab.
Namun demikian, sebenarnya tanda-tanda
kelapukan dan kehancuran Kapitalisme sudah mulai nampak. Protes-protes terhadap
WTO di Seattle (AS), lalu protes terhadap IMF dan Bank Dunia di Davos (Swiss)
dan Washington belakangan ini, menunjukkan bahwa Kapitalisme telah mulai
diragukan dan dibenci bahkan oleh para penganutnya sendiri. Geliat Dunia Ketiga
untuk menentang dominasi Barat pun nampak semakin mengental tatkala dalam forum
negara-negara G-77 di Havana (Kuba) Fidel Castro menyerukan,”Bubarkan IMF !”
Karena
itulah, jika Sosialisme telah gagal, demikian pula Kapitalisme? yang akan segera kita hancurkan, Insya Allah
maka kemana lagi umat manusia akan berharap kalau bukan kepada ideologi Islam?
Bukankah sudah cukup lama umat manusia menderita dan tersiksa di bawah tindasan
ideologi-ideologi kafir seperti Sosialisme dan Kapitalisme?Bukankah
ideologi-ideologi kafir tak mampu memberikan apa-apa kepada umat manusia selain
penderitaan, kemelaratan, kebejatan moral, dan segala kesulitan hidup yang
sangat memprihatinkan dan menyedihkan ini?
Penutup
Sesungguhnya
ideologi Islam harus segera tampil di panggung kehidupan manusia untuk
menyelamatkan umat manusia dari jurang penderitaan dan gelimang kesengsaraan
yang nyaris tanpa batas. Kemunculannya adalah suatu keniscayaan, karena
kemenangan Islam telah menjadi janji Allah dan Rasul-Nya kepada para hamba-Nya
yang beriman dan ikhlas beramal shaleh.
Namun
demikian, umat Islam tidak berarti hanya bertopang dagu dan ongkang-ongkang
kaki menunggu kemenangan Islam. Justru mereka wajib berjuang bahu membahu satu
sama lain, dengan mengerahkan segala daya dan upaya, agar ideologi-ideologi
kafir segera punah dari muka bumi dan agar ideologi Islam kembali meraih
keunggulan dan kejayaan untuk tampil di tengah kehidupan umat manusia, walau
pun orang-orang kafir membencinya.
Allah
SWT berfirman :
“Mereka
ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka. Dan
Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir membencinya.”
(QS Ash Shaff : 8). [Muhammad Shiddiq Al Jawi].
No comments:
Post a Comment