APAKAH MEMUKUL ANAK YANG TIDAK SHALAT
MELANGGAR H A M
Meninggalkan shalat, kami dapat rinci sebagai berikut:
Kasus
pertama: Meninggalkan shalat dengan
mengingkari kewajibannya sebagaimana mungkin perkataan sebagian orang, ‘Sholat
oleh, ora sholat oleh.’
[Kalau mau shalat boleh-boleh saja, tidak shalat juga tidak apa-apa]. Jika hal ini dilakukan dalam rangka mengingkari hukum wajibnya shalat, orang semacam ini dihukumi kafir tanpa ada perselisihan di antara para ulama.
[Kalau mau shalat boleh-boleh saja, tidak shalat juga tidak apa-apa]. Jika hal ini dilakukan dalam rangka mengingkari hukum wajibnya shalat, orang semacam ini dihukumi kafir tanpa ada perselisihan di antara para ulama.
Kasus
kedua: Meninggalkan shalat dengan
menganggap gampang dan tidak pernah melaksanakannya. Bahkan ketika diajak
untuk melaksanakannya, malah enggan. Maka orang semacam ini berlaku
hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan
kafirnya orang yang meninggalkan shalat. Inilah pendapat Imam Ahmad, Ishaq,
mayoritas ulama salaf dari shahabat dan tabi’in. Contoh hadits mengenai masalah
ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Perjanjian
antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya
maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah, shahih)
Kasus
ketiga: Ttidak rutin dalam melaksanakan
shalat yaitu kadang shalat dan kadang tidak. Maka dia masih dihukumi muslim
secara zhohir (yang nampak pada dirinya) dan tidak kafir. Inilah pendapat Ishaq
bin Rohuwyah yaitu hendaklah bersikap lemah lembut terhadap orang semacam ini
hingga dia kembali ke jalan yang benar. Wal ‘ibroh bilkhotimah [Hukuman
baginya dilihat dari keadaan akhir hidupnya]. (Majmu’ Al Fatawa, 7/617)
Kasus
keempat: Meninggalkan shalat dan tidak
mengetahui bahwa meninggalkan shalat membuat orang kafir. Maka hukum bagi orang
semacam ini adalah sebagaimana orang jahil (bodoh). Orang ini tidaklah
dikafirkan disebabkan adanya kejahilan pada dirinya yang dinilai sebagai faktor
penghalang untuk mendapatkan hukuman.
Kasus kelima: Mengerjakan shalat hingga keluar waktunya. Dia selalu
rutin dalam melaksanakannya, namun sering mengerjakan di luar waktunya. Maka orang
semacam ini tidaklah kafir, namun dia berdosa dan perbuatan ini sangat tercela
sebagaimana Allah berfirman (yang artinya), “Maka kecelakaanlah bagi
orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.”
(QS. Al Maa’un [107] : 4-5) (Lihat Al Manhajus Salafi ‘inda Syaikh Nashiruddin
Al Albani, Syaikh Abdul Mun’im Salim, hal. 189-190)
Nasehat
Berharga: Jangan Tinggalkan Shalatmu!
Amirul
Mukminin, Umar bin Al Khoththob –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan, “Sesungguhnya
di antara perkara terpenting bagi kalian adalah shalat. Barangsiapa menjaga
shalat, berarti dia telah menjaga agama. Barangsiapa yang menyia-nyiakannya,
maka untuk amalan lainnya akan lebih disia-siakan lagi. Tidak ada bagian dalam
Islam, bagi orang yang meninggalkan shalat.“ (Ash Sholah, hal. 12)
Imam Ahmad –rahimahullah- juga
mengatakan perkataan yang serupa, “Setiap orang yang meremehkan perkara shalat,
berarti telah meremehkan agama. Seseorang memiliki bagian dalam Islam sebanding
dengan penjagaannya terhadap shalat lima waktu. Seseorang yang dikatakan
semangat dalam Islam adalah orang yang betul-betul memperhatikan shalat lima
waktu. Kenalilah dirimu, wahai hamba Allah. Waspadalah! Janganlah engkau
menemui Allah, sedangkan engkau tidak memiliki bagian dalam Islam. Kadar Islam
dalam hatimu, sesuai dengan kadar shalat dalam hatimu.“ (Ash Sholah, hal. 12)
Ibnul Qoyyim mengatakan, “Iman adalah
dengan membenarkan (tashdiq). Namun bukan hanya sekedar membenarkan (meyakini)
saja, tanpa melaksanakannya (inqiyad). Kalau iman hanyalah membenarkan
(tashdiq) saja, tentu iblis, Fir’aun dan kaumnya, kaum sholeh, dan orang Yahudi
yang membenarkan bahwa Muhammad adalah utusan Allah (mereka meyakini hal
ini sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka), tentu mereka semua akan disebut
orang yang beriman (mu’min-mushoddiq).“ (Ash Sholah, 35-36)
Dosa Meninggalkan Shalat Lima Waktu Lebih Besar Dibandingkan Dosa Berzina
Kategori: Fiqh dan Muamalah, Manhaj
131
Komentar // 22 Mei 2009
Para pembaca yang semoga selalu dirahmati oleh
Allah Ta’ala. Kita semua pasti tahu bahwa shalat
adalah perkara yang amat penting. Bahkan shalat termasuk salah satu rukun Islam
yang utama yang bisa membuat bangunan Islam tegak. Namun, realita yang ada di
tengah umat ini sungguh sangat berbeda. Kalau kita melirik sekeliling kita, ada
saja orang yang dalam KTP-nya mengaku Islam, namun biasa meninggalkan rukun
Islam yang satu ini. Mungkin di antara mereka, ada yang hanya melaksanakan
shalat sekali sehari, itu pun kalau ingat. Mungkin ada pula yang hanya
melaksanakan shalat sekali dalam seminggu yaitu shalat Jum’at. Yang lebih parah
lagi, tidak sedikit yang hanya ingat dan melaksanakan shalat dalam setahun dua
kali yaitu ketika Idul Fithri dan Idul Adha saja.
Memang sungguh prihatin dengan kondisi umat saat ini. Banyak yang mengaku Islam di KTP, namun kelakuannya semacam ini. Oleh karena itu, pada tulisan yang singkat ini kami akan mengangkat pembahasan mengenai hukum meninggalkan shalat. Semoga Allah memudahkannya dan memberi taufik kepada setiap orang yang membaca tulisan ini.
Para ulama sepakat bahwa meninggalkan shalat termasuk dosa besar yang lebih besar dari dosa besar lainnya
Ibnu Qayyim Al Jauziyah –rahimahullah-
mengatakan, “Kaum muslimin bersepakat bahwa meninggalkan shalat lima waktu
dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari
dosa membunuh, merampas harta orang lain, berzina, mencuri, dan minum minuman
keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah
serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.” (Ash Sholah, hal. 7)
Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Al Kaba’ir, Ibnu
Hazm –rahimahullah- berkata, “Tidak ada dosa setelah kejelekan yang
paling besar daripada dosa meninggalkan shalat hingga keluar waktunya dan
membunuh seorang mukmin tanpa alasan yang bisa dibenarkan.” (Al Kaba’ir,
hal. 25)
Adz Dzahabi –rahimahullah- juga
mengatakan, “Orang yang mengakhirkan shalat hingga keluar waktunya termasuk
pelaku dosa besar. Dan yang meninggalkan shalat secara keseluruhan -yaitu satu
shalat saja- dianggap seperti orang yang berzina dan mencuri. Karena meninggalkan
shalat atau luput darinya termasuk dosa besar. Oleh karena itu, orang yang
meninggalkannya sampai berkali-kali termasuk pelaku dosa besar sampai dia
bertaubat. Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat termasuk orang yang
merugi, celaka dan termasuk orang mujrim (yang berbuat dosa).” (Al Kaba’ir,
hal. 26-27)
Apakah orang yang meninggalkan shalat, kafir alias bukan muslim?
Dalam point sebelumnya telah dijelaskan, para
ulama bersepakat bahwa meninggalkan shalat termasuk dosa besar bahkan lebih
besar dari dosa berzina dan mencuri. Mereka tidak berselisih pendapat dalam
masalah ini. Namun, yang menjadi masalah selanjutnya, apakah orang yang
meninggalkan shalat masih muslim ataukah telah kafir?
Asy Syaukani -rahimahullah- mengatakan
bahwa tidak ada beda pendapat di antara kaum muslimin tentang kafirnya orang
yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya. Namun apabila
meninggalkan shalat karena malas dan tetap meyakini shalat lima waktu itu wajib
-sebagaimana kondisi sebagian besar kaum muslimin saat ini-, maka dalam hal ini
ada perbedaan pendapat (Lihat Nailul Author, 1/369).
Mengenai meninggalkan shalat karena malas-malasan dan tetap meyakini shalat itu wajib, ada tiga pendapat di antara para ulama mengenai hal ini.
Pendapat kedua mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat dibunuh dengan hukuman had, namun tidak dihukumi kafir. Inilah pendapat Malik, Syafi’i, dan salah salah satu pendapat Imam Ahmad.
Pendapat ketiga mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat karena malas-malasan adalah fasiq (telah berbuat dosa besar) dan dia harus dipenjara sampai dia mau menunaikan shalat. Inilah pendapat Hanafiyyah. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 22/186-187)
Jadi, intinya ada perbedaan pendapat dalam masalah ini di antara para ulama termasuk pula ulama madzhab. Bagaimana hukum meninggalkan shalat menurut Al Qur’an dan As Sunnah? Silakan simak pembahasan selanjutnya.
Pembicaraan orang yang meninggalkan shalat dalam Al Qur’an
Banyak ayat yang membicarakan hal ini dalam Al Qur’an, namun yang kami bawakan adalah dua ayat saja.
Allah Ta’ala berfirman,
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui al ghoyya, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh.” (QS. Maryam: 59-60)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma mengatakan bahwa ‘ghoyya’ dalam ayat tersebut adalah sungai di Jahannam yang makanannya sangat menjijikkan, yang tempatnya sangat dalam. (Ash Sholah, hal. 31)
Dalam ayat ini, Allah menjadikan tempat ini –yaitu sungai di Jahannam- sebagai tempat bagi orang yang menyiakan shalat dan mengikuti syahwat (hawa nafsu). Seandainya orang yang meninggalkan shalat adalah orang yang hanya bermaksiat biasa, tentu dia akan berada di neraka paling atas, sebagaimana tempat orang muslim yang berdosa. Tempat ini (ghoyya) yang merupakan bagian neraka paling bawah, bukanlah tempat orang muslim, namun tempat orang-orang kafir.
Pada ayat selanjutnya juga, Allah telah mengatakan,
إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا
“kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh.” Maka seandainya orang yang menyiakan shalat adalah mukmin, tentu dia tidak dimintai taubat untuk beriman.
Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,
فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآَتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ
“Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama.” (QS. At Taubah [9]: 11). Dalam ayat ini, Allah Ta’ala mengaitkan persaudaraan seiman dengan mengerjakan shalat. Berarti jika shalat tidak dikerjakan, bukanlah saudara seiman. Konsekuensinya orang yang meninggalkan shalat bukanlah mukmin karena orang mukmin itu bersaudara sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara.” (QS. Al Hujurat [49]: 10)
Pembicaraan orang yang meninggalkan shalat dalam Hadits
Terdapat beberapa hadits yang membicarakan masalah ini.
Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ
“(Pembatas) antara seorang muslim dan kesyirikan serta kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 257)
Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu -bekas budak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَيْنَ العَبْدِ وَبَيْنَ الكُفْرِ وَالإِيْمَانِ الصَّلَاةُ فَإِذَا تَرَكَهَا فَقَدْ أَشْرَكَ
“Pemisah Antara seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan adalah shalat. Apabila dia meninggalkannya, maka dia melakukan kesyirikan.” (HR. Ath Thobariy dengan sanad shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targib wa At Tarhib no. 566).
Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ
“Inti (pokok) segala perkara adalah Islam dan tiangnya (penopangnya)
adalah shalat.” (HR. Tirmidzi no. 2825. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al
Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi). Dalam hadits ini,
dikatakan bahwa shalat dalam agama Islam ini adalah seperti penopang (tiang)
yang menegakkan kemah. Kemah tersebut bisa roboh (ambruk) dengan patahnya
tiangnya. Begitu juga dengan islam, bisa ambruk dengan hilangnya shalat.Para sahabat ber-ijma’ (bersepakat) bahwa meninggalkan shalat adalah kafir
Umar mengatakan,
لاَ إِسْلاَمَ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ
“Tidaklah disebut muslim bagi orang yang meninggalkan shalat.”Dari jalan yang lain, Umar berkata,
ولاَحَظَّ فِي الاِسْلاَمِ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ
“Tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang
meninggalkan shalat.” (Dikeluarkan oleh Malik. Begitu juga diriwayatkan oleh
Sa’ad di Ath Thobaqot, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Iman. Diriwayatkan
pula oleh Ad Daruquthniy dalam kitab Sunan-nya, juga Ibnu ‘Asakir.
Hadits ini shohih, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul
Gholil no. 209). Saat Umar mengatakan perkataan di atas tatkala menjelang
sakratul maut, tidak ada satu orang sahabat pun yang mengingkarinya. Oleh
karena itu, hukum bahwa meninggalkan shalat adalah kafir termasuk ijma’
(kesepakatan) sahabat sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qoyyim dalam kitab Ash
Sholah.
Mayoritas sahabat Nabi menganggap bahwa orang yang meninggalkan shalat
dengan sengaja adalah kafir sebagaimana dikatakan oleh seorang tabi’in,
Abdullah bin Syaqiq. Beliau mengatakan,كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَرَوْنَ شَيْئًا مِنَ الأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلاَةِ
“Dulu para shahabat Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menganggap suatu amal yang apabila
ditinggalkan menyebabkan kafir kecuali shalat.” Perkataan ini diriwayatkan oleh
At Tirmidzi dari Abdullah bin Syaqiq Al ‘Aqliy seorang tabi’in dan Hakim
mengatakan bahwa hadits ini bersambung dengan menyebut Abu Hurairah di
dalamnya. Dan sanad (periwayat) hadits ini adalah shohih. (Lihat Ats Tsamar
Al Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, hal. 52)
Dari pembahasan terakhir ini terlihat bahwasanya
Al Qur’an, hadits dan perkataan sahabat bahkan ini adalah ijma’ (kesepakatan)
mereka menyatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja adalah
kafir (keluar dari Islam). Itulah pendapat yang terkuat dari pendapat para
ulama yang ada.
Ibnul Qayyim mengatakan, “Tidakkah seseorang itu
malu dengan mengingkari pendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah
kafir, padahal hal ini telah dipersaksikan oleh Al Kitab (Al Qur’an), As Sunnah dan kesepakatan sahabat.
Wallahul Muwaffiq (Hanya Allah-lah yang dapat memberi taufik).” (Ash Sholah,
hal. 56)
Berbagai kasus orang yang meninggalkan shalat
[Kasus Pertama] Kasus ini adalah
meninggalkan shalat dengan mengingkari kewajibannya sebagaimana mungkin
perkataan sebagian orang, “Sholat oleh, ora sholat oleh.” [Kalau mau
shalat boleh-boleh saja, tidak shalat juga tidak apa-apa]. Jika hal ini
dilakukan dalam rangka mengingkari hukum wajibnya shalat, orang semacam ini
dihukumi kafir tanpa ada perselisihan di antara para ulama.
[Kasus Kedua] Kasus kali ini
adalah meninggalkan shalat dengan menganggap gampang dan tidak pernah
melaksanakannya. Bahkan ketika diajak untuk melaksanakannya, malah enggan. Maka
orang semacam ini berlaku hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang menunjukkan kafirnya orang yang meninggalkan shalat. Inilah
pendapat Imam Ahmad, Ishaq, mayoritas ulama salaf dari shahabat dan tabi’in.
[Kasus Ketiga] Kasus ini yang
sering dilakukan kaum muslimin yaitu tidak rutin dalam melaksanakan shalat
yaitu kadang shalat dan kadang tidak. Maka dia masih dihukumi muslim secara
zhohir (yang nampak pada dirinya) dan tidak kafir. Inilah pendapat Ishaq bin
Rohuwyah yaitu hendaklah bersikap lemah lembut terhadap orang semacam ini
hingga dia kembali ke jalan yang benar. Wal ‘ibroh bilkhotimah
[Hukuman baginya dilihat dari keadaan akhir hidupnya].
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Jika seorang hamba melakukan sebagian
perintah dan meninggalkan sebagian, maka baginya keimanan sesuai dengan
perintah yang dilakukannya. Iman itu bertambah dan berkurang. Dan bisa jadi
pada seorang hamba ada iman dan nifak sekaligus. …Sesungguhnya sebagian besar
manusia bahkan mayoritasnya di banyak negeri, tidaklah selalu menjaga shalat
lima waktu. Dan mereka tidak meninggalkan secara total. Mereka terkadang shalat
dan terkadang meninggalkannya. Orang-orang semacam ini ada pada diri mereka
iman dan nifak sekaligus. Berlaku bagi mereka hukum Islam secara zhohir seperti
pada masalah warisan dan semacamnya. Hukum ini (warisan) bisa berlaku bagi
orang munafik tulen. Maka lebih pantas lagi berlaku bagi orang yang kadang
shalat dan kadang tidak.” (Majmu’ Al Fatawa, 7/617)
[Kasus Keempat] Kasus ini adalah bagi orang yang
meninggalkan shalat dan tidak mengetahui bahwa meninggalkan shalat membuat
orang kafir. Maka hukum bagi orang semacam ini adalah sebagaimana orang jahil
(bodoh). Orang ini tidaklah dikafirkan disebabkan adanya kejahilan pada dirinya
yang dinilai sebagai faktor penghalang untuk mendapatkan hukuman.[Kasus Kelima] Kasus ini adalah untuk orang yang mengerjakan shalat hingga keluar waktunya. Dia selalu rutin dalam melaksanakannya, namun sering mengerjakan di luar waktunya. Maka orang semacam ini tidaklah kafir, namun dia berdosa dan perbuatan ini sangat tercela sebagaimana Allah berfirman,
وَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5)
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. Al Maa’un [107]: 4-5) (Lihat Al Manhajus Salafi ‘inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, 189-190)
Sudah sepatutnya kita menjaga shalat lima waktu. Barangsiapa yang selalu menjaganya, berarti telah menjaga agamanya. Barangsiapa yang sering menyia-nyiakannya, maka untuk amalan lainnya akan lebih disia-siakan lagi.
Amirul Mukminin, Umar bin Al Khoththob –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan, “Sesungguhnya di antara perkara terpenting bagi kalian adalah shalat. Barangsiapa menjaga shalat, berarti dia telah menjaga agama. Barangsiapa yang menyia-nyiakannya, maka untuk amalan lainnya akan lebih disia-siakan lagi. Tidak ada bagian dalam Islam, bagi orang yang meninggalkan shalat.”
Imam
Ahmad –rahimahullah- juga mengatakan perkataan yang serupa, “Setiap
orang yang meremehkan perkara shalat, berarti telah meremehkan agama. Seseorang
memiliki bagian dalam Islam sebanding dengan penjagaannya terhadap shalat lima
waktu. Seseorang yang dikatakan semangat dalam Islam adalah orang yang
betul-betul memperhatikan shalat lima waktu. Kenalilah dirimu, wahai hamba
Allah. Waspadalah! Janganlah engkau menemui Allah, sedangkan engkau tidak
memiliki bagian dalam Islam. Kadar Islam dalam hatimu, sesuai dengan kadar
shalat dalam hatimu.” (Lihat Ash Sholah, hal. 12)
Oleh
karena itu, seseorang bukanlah hanya meyakini (membenarkan) bahwa shalat lima
waktu itu wajib. Namun haruslah disertai dengan melaksanakannya (inqiyad).
Karena iman bukanlah hanya dengan tashdiq (membenarkan), namun harus pula
disertai dengan inqiyad (melaksanakannya dengan anggota badan).
Ibnul
Qoyyim mengatakan, “Iman adalah dengan membenarkan (tashdiq). Namun bukan hanya
sekedar membenarkan (meyakini) saja, tanpa melaksanakannya (inqiyad). Kalau
iman hanyalah membenarkan (tashdiq) saja, tentu iblis, Fir’aun dan kaumnya,
kaum sholeh, dan orang Yahudi yang membenarkan bahwa Muhammad adalah utusan
Allah (mereka meyakini hal ini sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka),
tentu mereka semua akan disebut orang yang beriman (mu’min-mushoddiq).”
Al Hasan mengatakan, “Iman bukanlah hanya dengan angan-angan (tanpa ada
amalan). Namun iman adalah sesuatu
yang menancap dalam hati dan dibenarkan dengan amal perbuatan.” (Lihat Ash
Sholah, 35-36)Semoga tulisan yang singkat ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Semoga kita dapat mengingatkan kerabat, saudara dan sahabat kita mengenai bahaya meninggalkan shalat lima waktu. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
***
Dari artikel 'Dosa Meninggalkan Shalat Lima Waktu Lebih Besar Dibandingkan Dosa Berzina — Muslim.Or.Id'
No comments:
Post a Comment