PANTUN DI
ARAFAH
Memakai motor, berburu jerapah,
Daging direbus, daun kunyit,
Bermimpi Koruptor, Di Padang Arafah
Dirinya Dikelilingi, Jutaan Monyet.
Salah tingkah, menjunjung duri,
Karet Putus, Di Tepi Paya.
Di padang Arafah, bermimpi pencuri,
Dikejar tikus, sebesar manusia.
PADANG
TEKUKUR, TEMPAT BERLAGA,
PADANG
ARAFAH, TEMPAT BERHENTI.
ANTARA TERTIDUR,
DENGAN TERJAGA,
PEMIMPIN
ZALIM, DIKELILINGI BABI.
Awalnya Buku ini merupakan refleksi
atas berbagai persoalan di seputar penyelenggaraan ibadah haji, praktek haji,
dan makna-makna simbolik dalam ritual haji. Sebagaimana kita ketahui, masalah
haji seringkali menimbulkan konflik di antara para pemangku kepentingan (stake
holders) dari mulai masyarakat (umat Islam), pemerintah, DPR, kelompok-kelompok
bimbingan ibadah haji (KBIH), sampai biro-biro perjalanan haji. Masalah-masalah
yang dipersengketakan biasanya menyangkut ongkos naik haji atau ONH, kuota
haji, maraknya calo-calo haji, pelayanan yang buruk terhadap calon-calon haji,
akomodasi haji, hingga persoalan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam
bisnis penyelenggaraan haji.
Masalah-masalah tersebut selalu menjadi
isu yang panas, bukan saja karena menyangkut kepentingan banyak orang dan dana
triliunan rupiah, tapi terutama karena ibadah haji merupakan rukun Islam, perintah
Allah, yang kita semua berharap semestinya tidak ada hambatan apapun dalam
pelaksanaannya. Faktanya, dari tahun ke tahun masalah-masalah di seputar itu
selalu muncul.
Tentu saja masalah haji bukan hanya
menyangkut persoalan administrasi sebagaimana disebutkan di atas. Masalah haji
bisa dibawa lebih jauh lagi menjadi masalah eksistensi, aktualisasi diri, dan
dampak setiap ritual ibadah haji pada peningkatan ruhani orang-orang yang
melaksanakannya. Buku ini juga menyorot masalah tersebut. Saya memilih pantun
sebagai media penyampaian pesan karena tidak ingin terlalu serius terbawa oleh
masalah yang sudah begitu pelik. Pantun hanya ingin berkelakar. Sesekali
mengejek sambil tersenyum.
Pantun
merupakan tradisi sastra yang sangat populer di tengah masyarakat kita, sejak
dulu sampai sekarang. Kalau kita menonton tayangan televisi, terutama program
hiburan yang dibawakan oleh para komedian, kita selalu mendengar pantun-pantun
diucapkan secara spontan untuk menyatakan pujian, kekaguman, kekesalan, bahkan
juga celaan secara berseloroh. Hal ini menunjukkan bahwa pantun merupakan
tradisi sastra lisan yang benar-benar hidup dalam masyarakat kita.
Para penutur
pantun di televisi, terutama para komedian seperti Tukul, Opik Kumis, Ginanjar,
Okky Lukman, Dorce, Parto, Sule, dll, mungkin tidak menyadari bahwa mereka
sebenarnya sedang merawat salah satu kekayaan budaya kita. Tatkala tradisi
menulis pantun kurang begitu diminati, setidaknya tradisi lisannya masih hidup
dan berkembang.
Buku ini
ingin berpartisipasi dalam melanjutkan budaya menulis pantun yang mulai jarang
itu—kecuali di Sumatera bagian timur, khususnya Tanjung Pinang, yang masih
memiliki raja dan ratu pantun. Cara penulisan yang saya lakukan tidak terlampau
ketat dengan aturan-aturan yang berlaku di dunia perpantunan. Tak jarang saya
merasa gagal mengompromikan isi dengan sampirannya, atau makna dengan iramanya.
Entah jadinya pantun beneran atau pantun-pantunan.
Dalam
khazanah sastra lama kita mengenal pantun agama atau pantun nasihat. Dengan
karakternya yang unik dalam menyampaikan pesan, pantun bisa berkelit dari
tendensi yang berlebihan untuk mengubah masyarakat menjadi lebih sejalan dengan
tuntunan agama. Itu pekerjaan pada ustadz atau muballigh yang selalu siap
dibenci oleh masyarakat karena suka melarang-larang dan menyampaikan kebenaran
tanpa tedeng aling-aling. Sedangkan pantun, saya kira, tidak berusaha
merumuskan kebenaran vis a vis situasi sosial yang bobrok sekalipun. Pantun
hanya merefleksikannya menjadi kenyataan imajiner supaya kebobrokan itu tidak
dilupakan orang.
Pantun-pantun
dengan tema seputar haji mungkin juga sudah sering dituturkan, misalnya oleh
para mubaligh yang berceramah di forum walimatus safar. Penuturan mereka pasti
lebih baik karena mereka memang tahu seluk beluk haji dan maknanya. Sedangkan
saya, naik haji saja belum pernah, kecuali dalam mimpi. Tapi perasaan jengkel
terhadap penyelenggaraan ibadah haji adalah hak semua orang, termasuk mereka
yang belum naik haji. Kejengkelan itu juga yang mendorong saya untuk
merefleksikannya dalam bait-bait pantun.
Buku-buku
mengenai haji yang ditulis secara ilmiah saya kira sudah cukup banyak. Begitu
juga kisah-kisah perjalanan haji yang ditulis sebagai memoar. Namun, buku
tentang haji yang ditulis dengan media pantun saya kira masih langka, kalau
bukan tidak ada, kecuali pantun-pantun terserak dalam blog internet atau
diposting dalam jejaring sosial semacam fesbuk dan twitter, dan tidak dihimpun
dalam sebuah buku.
Beberapa
pantun yang dimuat dalam buku ini juga pernah saya posting sebagai status atau
obrolan antardinding di fesbuk. Secara tidak sengaja saya juga pernah memergoki
pantun-pantun yang saya posting itu di-copy paste oleh orang lain menjadi
statusnya tanpa menyebutkan penulisnya. Meskipun jengkel tapi saya biasanya
diam saja. Sebagai penulis profesional (beeeuuhh!!), saya tidak akan pernah
melakukan perbuatan tercela semacam itu.
Semua pantun
yang dimuat dalam buku ini adalah karya saya sendiri yang ditulis dalam
berbagai kesempatan. Saya berterima kasih kepada penemu Communicator dan Black
Berry (BB), karena dengan benda-benda itu saya bisa menulis kapan saja tanpa
harus duduk di depan komputer. Bahkan ketika menaiki kendaraan, lalu sebuah
ilham tiba-tiba datang, saya berusaha menepi untuk segera menuliskannya. Sebab
kalau tidak begitu biasanya akan hilang dari ingatan. Sebagian besar pantun
dalam buku ini pun lahir di pinggir jalan, di pesta pernikahan, di ruang
seminar, di tempat tidur, di masjid, dan tempat-tempat lain yang bukan di depan
komputer.
Ide untuk
menghimpun pantun-pantun ini dalam sebuah buku datang belakangan, ketika saya
melihat jumlahnya sudah cukup banyak. Lalu saya berpikir, mungkin ada gunanya
kalau dipublikasikan dalam bentuk buku. Walhasil, inilah buku pantun pertama
saya. Saya masih memiliki obsesi untuk terus menulis pantun dalam berbagai
tema, sehingga nanti akan ada buku pantun kedua, ketiga, dan seterusnya,
hitung-hitung melestarikan budaya Nusantara.
Pada kesempatan
ini saya ingin menghaturkan terima kasih kepada para seniman musik yang telah
banyak memberi inspirasi kepada saya melalui lagu-lagu mereka yang dikemas
dalam irama pantun dan ternyata menghasilkan nada yang merdu, dalam hal ini
khususnya alm. Benyamin S, Rhoma Irama, A Rafiq, Iwan Fals, Hj. Nur Asiah
Jamil, Siti Nurhaliza dan SM Salim, dan nama-nama lain yang tidak mungkin
disebutkan semuanya. Mereka semua telah membangun negeri dengan karya. Semoga
pengabdian mereka mendapat pahala berlipat ganda dari Allah SWT.
Ucapan
terima kasih juga saya haturkan kepada teman-teman yang telah membaca draft
buku ini dan memberikan apresiasinya. Di sini saya harus menyebut nama Hawe
Setiawan, penyair dan pengajar Apresiasi Puisi, Prosa, dan Pengantar Sastra di
Universitas Pasundan, Bandung; Irfan Abubakar, Direktur Pusat Kajian Agama dan
Budaya/ Center for the Study of Religion and Culture (CSRC), UIN Jakarta; dan
Jumiatie Zaini, pengajar PAUD dan TK Baiturrahmah, Pamulang, Tangerang.
Secara
khusus ucapan terima kasih disampaikan kepada tetehku, ibu Hj. Gina Adriana
Sanova, pendiri dan pemimpin pengajian Babussalam, Pondok Indah, Jakarta
Selatan. Berkat dukungannya, buku ini bisa terbit sesuai jadwal yang
direncanakan.
Akhir kalam,
semoga buku ini bisa menjadi teman untuk berefleksi, merenung, dan menertawakan
keadaan karut marut dan gonjang-ganjing yang selalu kita temui dalam kehidupan
sehari-hari..
Kecap disimpan, diatas tempayan,
Tudung berkilau, dibuat topi,
Kami ucapkan, selamat jalan
Jemaah Riau, ke tanah suci.
Anak tupai, di tudung saji,
Jatuh dari, sebuah pondok
Ingin sempurna, ibadah haji,
Jangan menci, jangan merokok.
Memakai kemeja, merah merekah,
Dapat hadiah, bagai diukir.
Tempat belanja, bukan di Mekah,
Fokuskan niat, untuk zikir.
Menggiling mangga, jauhkan biji,
Ambil sarinya, buang tempulur
Diiringi doa, Semua famili,
Agar mendapat, haji mabrur.
Durian pengat, di tudung saji,
Dimasak dengan, kayu arang.
Jangan mengejar, gelar haji,
Ingin terpandang, dipuji.orang.