Wednesday, August 7, 2013

”Uang tak bisa membeli kebahagiaan.


         
 
    Kebanyakan orang kaya lebih susah bahagia ketimbang orang miskin. Pendapat saya ini boleh salah boleh juga benar. Kenyataanya banyak orang kaya sering merasa was-was atau kurang nyaman dengan kekayaannya. Itu dibuktikan dengan adanya tembok-tembok yang tinggi menjulang mengelilingi rumahnya. Sehingga mereka susah bersosialisasi dengan para tetangga. Ketika keluar rumah juga merasa tidak nyaman karena khawatir bila di tengah jalan nanti terjadi perampokan.

     Ketika memarkir mobilnya pun juga sering was-was, apalagi bagi mereka yang punya mobil
mewah dengan harga ratusan juga bahkan miliaran. Dan rata-rata orang kaya selalu curiga dengan orang-orang yang dia temui, ini karena untuk menjaga diri dari penipuan.

          Pokoknya menjadi orang kaya raya itu lebih banyak memikirkan cara mengamankan aset kekayaannya dari pada menikmati kebahagiaan. Kekayaan ternyata sering menjadi penjara bagi pemiliknya. Sekarang coba bandingkan dengan kehidupan orang miskin, rata-rata mereka bisa bergaul dengan para tetangganya dengan baik, tidak pernah khawatir rumahnya akan dibobol maling, karena memang merasa ga punya sesuatu yang berharga di rumahnya. Kemana-mana tak perlu ada pengawalan, pokoknya merasa nyaman saja.

   ”uang tak bisa membeli kebahagiaan” dan hal itu benar. Sebuah survei di Australia katanya, menunjukkan, kaum kelas menengah di Sydney masuk kategori warga yang paling menderita di Australia. Sebaliknya, tingkat kebahagiaan warga yang hidup di beberapa daerah pemukiman paling miskin malah lebih tinggi.

”Pengaruh uang pada kebahagiaan nyatanya hanya terasa pada golongan yang luar biasa kaya,” kata Liz Eckerman, peneliti dari Universitas Deakin, seperti dikutip kantor berita AFP, Senin (13/2).

”Uang tak bisa membeli kebahagiaan. Ini jelas terbukti dalam jajak pendapat yang kami lakukan pada 23.000 warga yang sudah kami wawancarai,” kata Eckerman kepada Radio Australia, ABC.

Temuan-temuan yang disusun sejak tahun 2001 menunjukkan bahwa di Australia, negara dimana tak ada kesenjangan kemakmuran yang ekstrem, mereka yang hidup paling bahagia ada di lapisan bawah. Mereka yang happy juga lebih banyak berada dalam kategori usia 55 tahun atau lebih, lebih banyak di antara kaum perempuan, dan kebanyakan pula ada di antara mereka yang menikah alias yang tak men-jomblo.

Survei ditujukan untuk mengungkap kepuasan seseorang terkait dengan berbagai hal, seperti standar hidup, kesehatan, pencapaian dalam hidup, dan keamanan. Di antara 150 daerah sasaran survei, salah satu daerah termiskin di Australia, yakni Wide Bay di pedalaman Queensland, penduduknya ternyata termasuk yang paling bahagia di negeri kangguru itu.

Terus kata Andrias, ia idak tahu seberapa banyak uang yang harus dimiliki seseorang untuk bisa masuk dalam kategori kelas menengah di Sydney. Juga tidak terlalu jelas baginya berapa jumlah uang yang dimiliki oleh rata-rata penduduk Wide bay di pedalaman Queensland, sehingga mereka disebut daerah termiskin di negara tersebut. Lalu, berapa pula harta yang dimiliki seseorang agar bisa disebut Eckerman sebagai ”luar biasa kaya”? Tapi semua tidak menjamin seseorang untuk bahagia.


Menarik sekali data yang dikutip Andrias tersebut. Bahwa kebahagian tidaklah semata-mata hanya dimiliki orang kaya saja, bahkan bukan tidak mungkin jika dilakukan survei di Medan khususnya dan Sumatera Utara umumnya mana yang lebih bahagia orang yang tingkat pendapatannya di atas Rp. 1 juta lebih bahagia dari mereka yang punya pendapatan lebih kecil dari itu? Jawaban yang didapatkan bukan tidak mungkin mungkin lebih bahagia orang yang pendapatannya lebih di bawah Rp. 1 juta. Kenapa? Karena ukuran kebahagian bukan dilihat dari harta seseorang, tetapi ukuran kebahagian berada di dalam hati. Besar pun rumahnya, tetapi hatinya ‘sempit’ maka hidupnya akan terasa susah saja, tetapi walaupun rumahnya kecil hanya dengan ukuran 4 x 3 meter tetapi hatinya lapang ikhlas menerima apa yang diberikan Allah, maka rumah yang sempit itu akan terasa lapang.

Sering kita mendengar para selebritis (orang-orang yang terkenal) hidupnya tidak bahagia. Bahkan tidak jarang di antara mereka ‘menceburkan’ sebagai pengguna barang-barang laknat. Karena mereka tidak mendapatkan kebahagian yang hakiki. Bagi mereka kebahagian yang mereka dapatkan hanya semu. Sehingga mereka harus ‘melacurkan’ diri menggunakan narkoba. Nau’uzubillahi min zhalik.

Seandainya ada kesempatan saya untuk memewancarai para tokoh-tokoh terkenal, yang bergelimang harta dan kedudukan, maka pertanyaan yang saya ajukan adalah apakah Anda bahagia?

Mungkin jawaban yang mereka lontarkan ada yang menjawab bahagia ada juga yang menjawab dengan jujur bahwa sesungguhnya mereka tidak bahagia. Jadi bukan otomatis orang yang diberi banyak harta, diberi kedudukan tinggi hidupnya bahagia, sementara orang yang tidak diberi kedudukan apa-apa atau hanya mempunyai harta sedikit tidak bahagia.

Beberapa tayangan reality show sering memunculkan kehidupan masyarakat kaum pinggiran. Ada sesuatu yang membuat kita harus mengucap subhanallah. Mereka yang hidup digaris kemiskinan tersebut rupanya memiliki makna hidup yang sebenarnya. Mereka tidak mengeluh dengan apa yang mereka dapatkan, walaupun mereka harus banting tulang dan bekerja mulai dari pagi hingga malam. Bagi mereka uang Rp. 5000 sangat berharga untuk ‘menyambung hidup’ mereka. Tetapi mereka bersyukur dengan rejeki yang mereka dapatkan.

Terus terang saya sering menitikkan air mata, ketika tayangan reality show ini saya tonton. Ada sebuah kekuatan yang mencoba menyadarkan kita betapa sayangnya Allah kepada makhluknya. Namun banyak diantara kita yang lalai.

Masyarakat kaum pinggiran tersebut tidak mengeluh bahkan ketika mereka ditanya perasaannya mereka merasa sangat bahagia dengan kehidupan yang mereka jalani.

Sementara kita, yang diberi rejeki lebih banyak dari mereka, apakah mereka merasa bersyukur atau bahagia? Hanya Anda dan saya saja yang tahu jawabannya.

Oleh karena itu, kebahagian tidak bisa dibeli dengan uang atau emas, karena kebahagian datang dari lubuk hati yang bersih dan lapang. Jadi jika Anda mau bahagia bukan harus punya harta yang banyak baru Anda bahagia, atau Anda harus hidup miskin baru bahagia. Kebahagian akan datang jika hati ini benar-benar ‘lapang’ menerima apa yang diberikan Allah, tidak mengeluh dan tidak mencoba membanding-bandingkannya dengan orang lain. .



 Kebanyakan orang kaya lebih susah bahagia ketimbang orang miskin. Pendapat saya ini boleh salah boleh juga benar. Kenyataanya banyak orang kaya sering merasa was-was atau kurang nyaman dengan kekayaannya. Itu dibuktikan dengan adanya tembok-tembok yang tinggi menjulang mengelilingi rumahnya. Sehingga mereka susah bersosialisasi dengan para tetangga. Ketika keluar rumah juga merasa tidak nyaman karena khawatir bila di tengah jalan nanti terjadi perampokan. Ketika memarkir mobilnya pun juga sering was-was, apalagi bagi mereka yang punya mobil
mewah dengan harga ratusan juga bahkan miliaran. Dan rata-rata orang kaya selalu curiga dengan orang-orang yang dia temui, ini karena untuk menjaga diri dari penipuan.

          Pokoknya menjadi orang kaya raya itu lebih banyak memikirkan cara mengamankan aset kekayaannya dari pada menikmati kebahagiaan. Kekayaan ternyata sering menjadi penjara bagi pemiliknya. Sekarang coba bandingkan dengan kehidupan orang miskin, rata-rata mereka bisa bergaul dengan para tetangganya dengan baik, tidak pernah khawatir rumahnya akan dibobol maling, karena memang merasa ga punya sesuatu yang berharga di rumahnya. Kemana-mana tak perlu ada pengawalan, pokoknya merasa nyaman saja.

        ”uang tak bisa membeli kebahagiaan” dan hal itu benar. Sebuah survei di Australia katanya, menunjukkan, kaum kelas menengah di Sydney masuk kategori warga yang paling menderita di Australia. Sebaliknya, tingkat kebahagiaan warga yang hidup di beberapa daerah pemukiman paling miskin malah lebih tinggi.

”Pengaruh uang pada kebahagiaan nyatanya hanya terasa pada golongan yang luar biasa kaya,” kata Liz Eckerman, peneliti dari Universitas Deakin, seperti dikutip kantor berita AFP, Senin (13/2).

”Uang tak bisa membeli kebahagiaan. Ini jelas terbukti dalam jajak pendapat yang kami lakukan pada 23.000 warga yang sudah kami wawancarai,” kata Eckerman kepada Radio Australia, ABC.

Temuan-temuan yang disusun sejak tahun 2001 menunjukkan bahwa di Australia, negara dimana tak ada kesenjangan kemakmuran yang ekstrem, mereka yang hidup paling bahagia ada di lapisan bawah. Mereka yang happy juga lebih banyak berada dalam kategori usia 55 tahun atau lebih, lebih banyak di antara kaum perempuan, dan kebanyakan pula ada di antara mereka yang menikah alias yang tak men-jomblo.

Survei ditujukan untuk mengungkap kepuasan seseorang terkait dengan berbagai hal, seperti standar hidup, kesehatan, pencapaian dalam hidup, dan keamanan. Di antara 150 daerah sasaran survei, salah satu daerah termiskin di Australia, yakni Wide Bay di pedalaman Queensland, penduduknya ternyata termasuk yang paling bahagia di negeri kangguru itu.

Terus kata Andrias, ia idak tahu seberapa banyak uang yang harus dimiliki seseorang untuk bisa masuk dalam kategori kelas menengah di Sydney. Juga tidak terlalu jelas baginya berapa jumlah uang yang dimiliki oleh rata-rata penduduk Wide bay di pedalaman Queensland, sehingga mereka disebut daerah termiskin di negara tersebut. Lalu, berapa pula harta yang dimiliki seseorang agar bisa disebut Eckerman sebagai ”luar biasa kaya”? Tapi semua tidak menjamin seseorang untuk bahagia.


Menarik sekali data yang dikutip Andrias tersebut. Bahwa kebahagian tidaklah semata-mata hanya dimiliki orang kaya saja, bahkan bukan tidak mungkin jika dilakukan survei di Medan khususnya dan Sumatera Utara umumnya mana yang lebih bahagia orang yang tingkat pendapatannya di atas Rp. 1 juta lebih bahagia dari mereka yang punya pendapatan lebih kecil dari itu? Jawaban yang didapatkan bukan tidak mungkin mungkin lebih bahagia orang yang pendapatannya lebih di bawah Rp. 1 juta. Kenapa? Karena ukuran kebahagian bukan dilihat dari harta seseorang, tetapi ukuran kebahagian berada di dalam hati. Besar pun rumahnya, tetapi hatinya ‘sempit’ maka hidupnya akan terasa susah saja, tetapi walaupun rumahnya kecil hanya dengan ukuran 4 x 3 meter tetapi hatinya lapang ikhlas menerima apa yang diberikan Allah, maka rumah yang sempit itu akan terasa lapang.

Sering kita mendengar para selebritis (orang-orang yang terkenal) hidupnya tidak bahagia. Bahkan tidak jarang di antara mereka ‘menceburkan’ sebagai pengguna barang-barang laknat. Karena mereka tidak mendapatkan kebahagian yang hakiki. Bagi mereka kebahagian yang mereka dapatkan hanya semu. Sehingga mereka harus ‘melacurkan’ diri menggunakan narkoba. Nau’uzubillahi min zhalik.

Seandainya ada kesempatan saya untuk memewancarai para tokoh-tokoh terkenal, yang bergelimang harta dan kedudukan, maka pertanyaan yang saya ajukan adalah apakah Anda bahagia?

Mungkin jawaban yang mereka lontarkan ada yang menjawab bahagia ada juga yang menjawab dengan jujur bahwa sesungguhnya mereka tidak bahagia. Jadi bukan otomatis orang yang diberi banyak harta, diberi kedudukan tinggi hidupnya bahagia, sementara orang yang tidak diberi kedudukan apa-apa atau hanya mempunyai harta sedikit tidak bahagia.

Beberapa tayangan reality show sering memunculkan kehidupan masyarakat kaum pinggiran. Ada sesuatu yang membuat kita harus mengucap subhanallah. Mereka yang hidup digaris kemiskinan tersebut rupanya memiliki makna hidup yang sebenarnya. Mereka tidak mengeluh dengan apa yang mereka dapatkan, walaupun mereka harus banting tulang dan bekerja mulai dari pagi hingga malam. Bagi mereka uang Rp. 5000 sangat berharga untuk ‘menyambung hidup’ mereka. Tetapi mereka bersyukur dengan rejeki yang mereka dapatkan.

Terus terang saya sering menitikkan air mata, ketika tayangan reality show ini saya tonton. Ada sebuah kekuatan yang mencoba menyadarkan kita betapa sayangnya Allah kepada makhluknya. Namun banyak diantara kita yang lalai.

Masyarakat kaum pinggiran tersebut tidak mengeluh bahkan ketika mereka ditanya perasaannya mereka merasa sangat bahagia dengan kehidupan yang mereka jalani.

Sementara kita, yang diberi rejeki lebih banyak dari mereka, apakah mereka merasa bersyukur atau bahagia? Hanya Anda dan saya saja yang tahu jawabannya.

Oleh karena itu, kebahagian tidak bisa dibeli dengan uang atau emas, karena kebahagian datang dari lubuk hati yang bersih dan lapang. Jadi jika Anda mau bahagia bukan harus punya harta yang banyak baru Anda bahagia, atau Anda harus hidup miskin baru bahagia. Kebahagian akan datang jika hati ini benar-benar ‘lapang’ menerima apa yang diberikan Allah, tidak mengeluh dan tidak mencoba membanding-bandingkannya dengan orang lain. .



BAHAGIA DI GUBUK  DERITA

OLEH : Drs.Muhammad Rakib Jamari,S.H.,M.Ag
Muballigh IKMI dan Ustadz  LPMP   Riau Indonesia

اََللهُ اَكْبَرُ، اََللهُ اَكْبَرُ، اََللهُ اَكْبَرُ، لاَاِلهَ اِلاَّ اللهُ اََللهُ اَكْبَرُ، اََللهُ اَكْبَرُ وَِللهِ اْلحَمْدُ . اََللهُ اَكْبَرُ،كَبِيْرًا وَالحمْدُ ِللهَ كَثِيِْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَاَصِيْلاً ، لاَاِلهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَاَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ اْلاَحُزَابَ وَحْدَهُ، لاَاِلهَ اِلاَّ اللهُ وَلاَ نَعْبُدُ اِلاَّ اِ يَّاهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ، وَلَوْكَرِهَ الْكَفِرُوْنَ، وَلَوْكَرِهَ الُمُشْرِقُوْنَ، وَلَوْكَرِهَ الْمُنَافِقُوْنَ. لاَاِلهَ اِلاَّ اللهُ وَاََللهُ اَكْبَرُ، اََللهُ اَكْبَرُ وَِللهِ اْلحَمْدُ. اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِى ......... اَمَّابعْدُ
فَيَا اَيُّهَا انَّاسُ اتَّقُواللهَ حقَّ تُقاتهِ ولاَتَمُوْتُنَّ اِلاَّوَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ.

Hadirin Wal hadirat Rahimakumullah.

Mengawali khutbah id pagi ini, marilah kita mengucapkan Allahu  akbar wa lilillahil hamd, syukur kepada Allah SWT, Tuhan sang maha Pencipta, pengatur serta pemelihara alam semesta, dia yang menghidupkan, dan dia pula-lah yang mematikan, dariNya kita diciptakan dan kepadaNya jualah kita kembali.

Shalawat dan Taslim kita haturkan keharibaan Nabi Besar Muhammad SAW, perintis ajaran kebenaran serta pencetus ajaran Tauhid, Nabi yang telah mencerahkan peradaban dari akhlak yang biadab menuju Akhlak yang beradab dengan cahaya Addinul Islam.

Insya Allah judul khutbah kita pada kesempatan ini adalah “Makna idul fitri dalam membangun kesadaran dan kebersamaan”

Allahu Akbar Walillahil Hamd.  



        Semoga kemenangan itu selalu membawa kepada keadaan yang lebih baik dalam menanam kebaikan, di tahun-tahun mendatang.
Allahu Akbar Wa Lillahil Hamd.
Di samping kegembiraan itu, sepantasnya kita selalu mawas diri. Selalu berhati-hati, terhadap yang disebut Rasulullah SAW, …berapa banyaknya orang yang berpuasa, tetapi tidak ada yang mereka peroleh, kecuali hanya lapar dan haus semata … Na’udzubillah. Mudah-mudahan kita terhindar dari apa yang telah di-gambarkan oleh Rasulullah SAW ini.
Allahu Akbar, Wa Lillahil-Hamd.
Saudara-saudaraku Kaum Muslimin,

Menjelang melangkah ke tempat ini, adakah di antara kiata yang melewati  gubuk derita? Adakah suara tangisan si miskin di sana? Dengarkan ratapan simiskin, kalau memang anda orang yang bertaqwa.  Taqwa adalah titik terang yang paling didambakan setiap Mukmin Sejati. Taqwa mencakup tiga perangai, tiga sikap jiwa yang paling berguna dalam hidup duniawi, sekarang dan masa mendatang. Ketiga sikap jiwa itu ialah, khauf, artinya takut atas hukuman Allah yang datang karena sengaja melupakan perintah-perintah Nya, dan tidak menganggap enteng segala larangan-larangan Nya.
Kedua, khasy-yah, hati-hati dalam menunaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya. Tidak semata mengikut yang dikerjakan orang lain, tetapi melakukan sesuatu yang lebih baik yang diperintahkan Khalik kepadanya.
Ketiga wiqaayah yaitu senantiasa memelihara diri dan lingkungan dari segala yang akan berakibat merusak (fasad) terhadap kehidupan duniawi dan ukhrawi.Inilah sesungguhnya arti utama dari taqwa itu.
Jika ketiga sikap jiwa ini telah berhasil diraih dalam latihan selama Ramadhan, niscaya akan dapat dirasakan betapa manis dan nikmatnya hidup ini. Secara pasti akan dapat diperoleh jaminan Allah SWT
Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. (QS.65, At Thalaq : 2 – 3).
Setiap anggota masyarakat yang selau berhati-hati bertindak, memelihara jiwa dan raga karena takut terhadap ‘iqab (siksaan) Allah, akan selalu memelihara lingkungan dengan aturan Allah yang telah ditetapkan.



No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook