Thursday, August 15, 2013

SIKAP DR.TOHA HUSAIN YANG MENCEMASKAN




MEMALSUKAN” AL-QUR’AN
DAN “MEREKAYASA” AL-HADITS
 
SIKAP  DR.TOHA HUSAIN
YANG MENCEMASKAN

Toha Husain, berbahaya,
Tokoh sekuler, luar biasa
Di Francis, dapat sarjana.
Menfitnah Islam, jadi hobinya.

          Memalsukan” al-Qur’an dan “merekayasa” al-Hadits. Tidak cukup dengan itu semua, Taha Hussain menganggap bahwa Musa as tidak pernah hidup di dunia, sedangkan cerita-cerita dalam al-Qur’an tentang Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail merupakan mitologi semata.
Taurat memang menceritakan kisah Ibrahim dan Ismail, demikian pula al-Qur’an. Tetapi, penyebutan nama-nama mereka dalam Taurat dan al-Qur’an tidak cukup kuat untuk membuktikan keberadaan mereka dalam lintasan sejarah. Apalagi kisah kedatangan Nabi Ismail, putra Nabi Ibrahim, ke Makkah dan menjadi nenak moyang bangsa Arab di daerah tersebut. Kita melihat bahwa dalam kisah tersebut terdapat sepenggal kisah fiksi untuk sekadar menunjukkan hubungan Bani Israil dan Arab pada satu sisi dengan Islam dan Yahudi pada sisi yang lain.”[2]
Buku Taha Hussain yang lain, yang sangat berpengaruh semasa hidupnya adalah The Future of Culture in Egypt. Diterbitkan pada tahun 1938, buku tersebut mempunyai misi untuk memperkenalkan budaya Mesir sebagai bagian dari Eropa, serta membuat suatu rancangan program pendidikan umum berlandaskan kebudayaan tersebut. Taha Hussain mengawali tulisannya dengan pertanyaan sebagai berikut:
Apakah Mesir merupakan bagian dari dunia Timur atau dunia Barat? Kita dapat menguraikan pertanyaan itu sebagai berikut, “Apakah orang Mesir lebih mudah memahami orang Cina atau orang Hindu daripada memahami orang Inggris atau orang Prancis? Inilah pertanyaan yang mesti kita jawab sebelum memikirkan akar kebudayaan kita.”[3]
Selanjutnya, Taha Hussain menjelaskan bahwa sejak awal telah ada dua macam peradaban yang sangat berbeda dan sangat bertolak-belakang satu dengan yang lain. Yang satu di Eropa dan satunya lagi ada di Timur Jauh. Benar-benar sebuah simplifikasi sejarah yang berlebihan! Sejak dahulu kala, tidak pernah ada peradaban tunggal di Eropa. Demikian pula di Timur Jauh. Budaya Hindu di India dan Konghucu di Cina sama sekali berbeda, sebagaimana peradaban bangsa-bangsa Eropa pada Abad Pertengahan.
Hanya karena masa lalu Mesir yang punya kaitan erat dengan Yunani, dan tidak pernah menjalin hubungan dengan Timur Jauh, Dr. Taha Hussain berpendapat bahwa, “Mesir merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Eropa, karena secara intelektual dan budaya mereka saling berhubungan dalam segala bentuk dan pada setiap cabangnya.” Cendekiawan terkemuka itu mengabaikan fakta bahwa sepanjang perjalanan sejarahnya, hanya sekali periode saja Mesir menjadi satu dengan Eropa, yaitu pada saat zaman Hellenistik di bawah kepemimpinan Iskandar Yang Agung.
Dr. Taha Hussain bersikeras bahwa pengadopsian Islam dan bahasa Arab tidak membuat Mesir menjadi lebih “bersifat ketimuran” daripada bangsa Eropa yang orang-orangnya memeluk agama Nasrani.
Mana mungkin orang-orang yang berakal sehat berpendapat bahwa tidak ada ruginya bagi orang-orang Eropa yang menganut Injil untuk menganggap al-Qur’an sebagai sesuatu yang murni berasal dari Timur, sekalipun dinyatakan bahwa al-Qur’an diturunkan hanya untuk memberikan klarifikasi dan penyempurnaan terhadap Injil? Mereka harus menjelaskan perbedaan konsep-konsep Kristen dan Islam, mengingat keduanya berasal dari sumber yang sama. Esensi Islam sama dengan esensi Kristen. Hubungan antara Islam dan filsafat Yunani sama persis dengan kaitan antara Kristen dan filsafat tersebut. Kemudian darimana datangnya perbedaan pandangan kedua agama ini mengenai penciptaan pemikiran kalau tidak berasal dari filsafat Yunani? Kenapa hubungan erat antara Eropa dengan kebudayaan Yunani semasa Renaissance dipandang sebagai penopang pemikiran orang-orang Eropa, sedangkan kaitan antara filsafat Yunani dan Islam tidak bisa diterima? Mampukah kita melestarikan keberadaan konsep-konsep yang berlainan milik orang-orang yang tinggal di pantai Utara dan Selatan Laut Tengah?[4]
Benarkah demikian? Bayangkanlah, betapa cendekiawan paling terkemuka di Mesir ini tidak mengakui perbedaan sejarah antara Kristen dan Islam! Besar kemungkinan antusiasme cendekiawan ini dilatarbelakangi keinginannya untuk membuktikan bahwa Islam tidak menghalangi terobosan-terobosan westernisasi yang terjadi di negerinya, sehingga tanpa ragu ia menyimpangkan fakta-fakta sejarah untuk mendukung tujuan-tujuannya.
Kami bangsa Mesir mengukur kemajuan yang kami capai semata-mata dari sejauh mana kami mengadopsi konsep-konsep Barat. Kami belajar dari Eropa bagaimana caranya meraih kemajuan. Orang-orang Eropa telah mengajari kami bagaimana duduk di meja dan makan dengan sendok dan garpu, bagaimana tidur di tempat tidur, serta bagaimana berpakaian ala Barat. Kami tidak mengatur pemerintahan dengan panduan sistem Khilafah. Namun kami menetapkan hukum-hukum nasional dan peradilan sekular sebagaimana bangsa-bangsa Barat, bukannya aturan dan undang-undang Islam. Fakta yang dominan dan tak terbantahkan adalah bahwa dari hari ke hari kami semakin dekat dengan Eropa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam makna harfiah maupun kiasan.”[5]
Taha Hussain menyatakan bahwa westernisasi akan jauh lebih sulit kalau pemikiran bangsa Mesir berbeda dengan pemikiran orang-orang Eropa. Dengan pernyataan yang sama, ia mencerca bangsanya yang “sangat terbelakang” jauh di bawah bangsa Jepang dalam masalah westernisasi ini.
Apakah lebih baik kita menganut agama dan filsafat bangsa Cina yang terbukti mampu melakukan westernisasi secara cepat? Orang-orang Mesir yang merendahkan peradaban Barat adalah orang-orang yang tidak ingin meraih keberhasilan seperti orang-orang Cina atau Hindu itu.”[6]
Mengapa Dr. Taha Hussain mendorong bangsanya untuk menentukan pilihan antara dua alternatif tersebut? Mengapa bangsa Mesir harus berusaha meniru orang-orang Inggris atau –jika tidak– orang Cina? Mengapa mereka tidak merasa bangga sebagai kaum Muslim? Secara sengaja dan terang-terangan, Taha Hussain menganggap remeh kedudukan Islam sebagai suatu peradaban yang independen dan besar di hadapan para pembaca buku-bukunya.
Pernyataan Khadif Ismail bahwa Mesir adalah bagian dari Eropa tidak perlu dipandang sebagai pernyataan yang sombong dan berlebihan . . . Tuhan telah melindungi bangsa kita dari penjajahan bangsa Turki, maka kita harus tetap menjaga hubungan dengan negara-negara Eropa dan turut serta dalam kebangkitan renaissance. Langkah-langkah ini akan menghasilkan suatu peradaban yang khas bagi bangsa Mesir, yang berbeda dengan peradaban yang tengah kita alami pada saat ini . . . Namun demikian, Tuhan telah menganugerahkan berkah kepada kita atas segala kesulitan dan kesengsaraan yang pernah kita alami. Dunia telah berjuang selama ratusan tahun untuk mencapai kemajuan sebagaimana yang kita rasakan saat ini, dan menjadi tugas kita untuk meraih itu semua dalam satu generasi ini. Betapa celakanya kita bila tidak merebut kesempatan emas itu! Bahkan sesungguhnya, bangsa-bangsa Eropa telah memakai metode yang terdapat di dunia Islam pada masa Abad Pertengahan untuk meraih kemajuan hingga sejauh ini. Mereka berbuat sebagaimana yang kita lakukan sekarang ini. Ini sekedar masalah perbedaan waktu saja.[7]
Ungkapan-ungkapan bernada apologetik, seperti pernyataan Taha Hussain di atas, merupakan gaya pengungkapan yang populer pada saat sekarang ini; yaitu bahwa bangsa Eropa telah mengalami kebangkitan ilmu pengetahuan setelah mengadopsi metode yang dibawa bangsa Arab (baca: Islam), sedangkan proses westernisasi yang dilakukan kaum Muslim sekadar merupakan upaya mewarisi semangat kebangkitan tersebut.[8] Atas dasar ungkapan yang sederhana tersebut, banyak kaum Muslim terpelajar yang meninggalkan akidahnya. Dr. Taha Hussain mengabaikan fakta sejarah bahwa pengambilan nilai-nilai yang terdapat di dunia Islam oleh orang-orang Eropa tidak pernah membuat mereka mengubah peradabannya menjadi peradaban Islam. Sekalipun bangsa Eropa di abad pertengahan menerima kemajuan yang dihasilkan para cendekiawan dan filsuf Islam dengan penuh semangat, namun mereka tidak pernah mengorbankan independensi budayanya, sebagaimana yang diserukan Dr. Taha Hussain kepada bangsanya.
Tidak ada satu pun kekuatan di dunia ini yang dapat mencegah bangsa Mesir dalam menikmati kehidupan persis seperti bangsa Eropa. Untuk dapat menjadi mitra sejajar dalam peradaban dengan orang-orang Eropa, kita bangsa Mesir harus meniru peradaban mereka sebagaimana adanya dan secara menyeluruh; dalam setiap aspek kehidupan, baik dalam aspek yang disukai maupun tidak. Siapa pun yang menyerukan langkah yang berlainan dengan cara ini, maka ia termasuk orang yang menyesatkan atau orang yang tersesat.”[9]
Tidak lama sebelum Raja Farouk dilengserkan pada tahun 1952, Dr. Taha Hussain menjabat sebagai Menteri Pendidikan. Pada masa jabatannya itu, ia berupaya keras mengimplementasikan program-programnya.
Pengawasan negara terhadap pendidikan tingkat pertama dan kedua di Universitas al-Azhar merupakan sesuatu yang sangat penting bagi sejarah Mesir, karena tradisi dan kewajiban agama yang dipegang teguh di lembaga pendidikan yang terkemuka ini telah menjadi benteng konservatisme dan praktik-praktik keagamaan yang kolot. Para mahasiswa yang mendapatkan pendidikan eksklusif al-Azhar akan terisolasi dari peradaban dunia modern yang melingkupinya. Sebagai konsekuensinya, penyesuaian yang dilakukan setelah kelulusan agar ia mampu terjun menghadapi kompleksitas kehidupan dunia modern akan jauh lebih sulit dilakukan ketimbang pada saat ia masih muda. Kita juga harus memikirkan betapa pola pemikiran al-Azhar yang telah kadaluarsa boleh jadi membuat para mahasiswa sulit memahami konsep patriotisme dan nasionalisme dalam pemikiran modern bangsa-bangsa Eropa. Beberapa waktu yang lalu, Rektor Universitas al-Azhar menyampaikan pidato di radio ketika memperingati suatu hari besar Islam, dimana ia menyatakan bahwa kiblat di Tanah Suci Makkah merupakan poros nasionalisme Islam. Para mahasiswa di al-Azhar juga harus belajar dan diajari sejak awal, bahwa batas-batas geografis tanah tumpah darah mereka Mesir juga menjadi poros nasionalisme yang tidak bertentangan dengan poros nasionalisme sebagaimana yang disampaikan oleh Rektor. Konsep nasionalisme masuk ke Mesir bersama-sama dengan produk-produk peradaban kontemporer lainnya, dan sekarang menjadi dasar hubungan antar warga negara dan warga dunia. Oleh karena itu, al-Azhar mesti memahami realitas ini dan merevisi program pendidikannya, terutama untuk tingkat pertama dan kedua. Tidak ada alasan bagi Universitas al-Azhar untuk menentang peradaban abad kedua puluh ini. Al-Azhar tidak boleh terjebak dengan kenyataan bahwa masyarakat banyak –yang masih bermental abad pertengahan– sampai saat ini masih menghormati dan membenarkan pemikiran-pemikiran al-Azhar. Generasi-generasi yang akan datang dapat dipastikan akan menganut pemikiran-pemikiran Eropa, dan al-Azhar mau tidak mau harus mengikuti alur yang sama bila ingin mempertahankan hubungan yang erat antara mereka dengan para pendahulunya.”[10]
Presiden Jamal Abdul Nasser mengikuti saran-saran Dr. Taha Hussain dengan sepenuh hati, sampai pada tanggal 18 Juli 1961 ia mengeluarkan keputusan untuk menempatkan Universitas al-Azhar langsung di bawah kendalinya. Dalam rangka mengaplikasikan program yang disarankan Taha Hussain, Presiden Jamal Abdul Nasser menetapkan sekularisasi Universitas al-Azhar dengan mendirikan fakultas kedokteran, adminstrasi bisnis, pertanian, dan teknik. Sesuai dengan ketentuan baru tersebut, Jurusan Studi Islam seakan terasing dan terpinggirkan, serta tidak lagi menjadi prasyarat penting bagi kelulusan para mahasiswa. Demikianlah, dengan satu kali pukulan Presiden Nasser –atas inspirasi dari Dr. Taha Hussaian– menghancurkan salah satu lembaga pendidikan Islam yang paling penting di dunia.
Dinukil dari buku Traitors Of Islam karangan Maryam Jameelah


[1] Dinukil dari Egypt in Search of a Political Community, Nadav Safram, Harvard University Press, Cambridge, 1961
[2] Egypt in Search of a Political Community, op. cit. hal. 155
[3] The Future of Culture in Egypt, Taha Hussain, American Council of Learned Societies, Washington, D.C., 1954
[4] op. cit. hal. 7-8
[5] op. cit. hal. 11-12
[6] op. cit. hal. 22
[7] op. cit. hal. 9 & 13
[8] Bahkan seorang filsuf yang brilian sekaligus penyair terkemuka Allama Muhammad Iqbal terjebak dalam gaya pengungkapan yang apologetik ini ketika menulis buku “The Reconstruction of Religious Thought ini Islam” (Rekonstruksi Pemikiran Islam), Syaikh Muhammad Ashraf, Lahore, 1960, hal. 7
[9] op. cit. hal. 15
[10] op. cit. hal. 27 & 136
(Pz/Islampos)

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook