HARUS ADA BID’AH HASANAH
Khutbah jum'at dalam bahasa Indonesia tidak pernah dicontohkan Nabi, tapi tetap hasanah
Man
Sanna Fil Islami Sunnatan
SYUBHAT PERTAMA
Pemahaman yang salah terhadap hadits:
مَنْ سَنَّ فِي
اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا
بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ .ومَنْ سَنَّ فِي
اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ
بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Barangsiapa yang mengerjakan dalam
Islam Sunnah yang baik maka ia mendapat pahalanya dan pahala orang yang
mengkutinya tanpa mengurangi pahala orang yang mengikutinya sedikitpun. Dan
barangsiapa yang mengerjakan dalam Islam Sunnah yang jelek maka ia mendapat
dosanya dan dosa orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa orang yang
mengikuti mereka sedikitpun.” (HR. Muslim no. 1017)
Hadits ini SANGAT bisa
digunakan sebagai dalil adanya bid’ah hasanah dalam Islam dikarenakan beberapa
alasan:
PERTAMA
Bahwasanya makna
مَنْ سَنَّ ialah: Mengerjakan bukan menciptakan rukun iman baru dan rukun Islam
yang baru, hanyak siasat baru, misalnya peringatan maulid. Bukan suatu amalan
dengan cara melaksanakan atau mengikuti yang sudah ada sebelumnya, bukan
mengerjakan suatu amalan dengan cara membuat syariat yang baru. Adapun maksud
hadits diatas adalah melakukan amalan sesuai dengan yang ditetapkan oleh
Rasulullah –صلّى الله عليه و سلّم-, yang menunjukkan hal tersebut adalah
penyebab disabdakannya hadits ini, yaitu tentang masalah shadaqah yang telah
ditetapkan oleh Rasulullah –صلّى الله عليه و سلّم-.[1]
KEDUA
Bahwasanya Rasulullah senang dengan
sesuatu kretifitas yang baru yang memperkuat semangat jihad fil ilmi, atau
dalam bidang memperkuat ekonomi dan pertanian kurma bersabda مَنْ سَنَّ فِي
اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً “Barangsiapa yang mengerjakan dalam Islam
Sunnah yang baik…” sementara itu beliau juga bersabda كُلُّ بِدْعَةٍ
ضَلَالَةٌ “Pada umumnya bid’ah adalah sesat”, hanya sedikit saja
yang tidak sesat, kata Umar bin Khattab, tidaklah mungkin muncul dari lisan
Rasulullah –yang benar dan dibenarkan-, suatu perkataan yang mendustakan
perkataan yang lain, tidak mungkin perkataan Rasulullah –صلّى الله عليه و سلّم-
bertentangan selama-lamanya.
KETIGA
Bahwasanya Nabi
–صلّى الله عليه و سلّم- bersabda مَنْ سَنَّ “barangsiapa
mempunyai daya cipta yang baru mengerjakan sunnah”, beliau tidak
mengatakan مَنِ ابْتَدَعَ “barangsiapa yang berbuat
bid’ah dalam bidang duniawi, boleh dalam bidang apa saja, salkan baik”.
Juga bersabda فِي اْلإِسْلاَمِ “dalam Islam”, sedangkan
bangunan Ka’bah itu awalnya bid’ah bukan dari ajaran Islam. Beliau juga
bersabda حَسَنَةً “yang baik”, dan perbuatan bid’ah
itu bukanlah sesuatu yang hasanah (baik). Maka jelaslah perbedaan antara Sunnah
dengan Bid’ah,karena sunnah adalah jalan dalam rangka ittiba’ (mengikuti),
sedangkan bid’ah adalah mengada-adakan hal yang baru di dalam masalah agama.
Umar bin Khattab menyebut bid’ah hasanah, bukan dari teks hadist tapi dari segi
As-syiayah as-Syr’iyah dan Maqoshid asSyari’ah.
KEEMPAT
Sangat banyak ulama salaf yang
memaknakan سُنَّةً حَسَنَةً “sunnah yang baik” dengan bid’ah
yang diada-adakan oleh manusia yang datangnya dari diri manusia sendiri.Bacalah
kitab lain di luar Ibnu Taimiyah.
KELIMA
Bahwasanya makna مَنْ سَنَّ “Barangsiapa
mengerjakan sunnah” adalah orang yang menciptakan strategi baru, bisa
juga dengan menghidupkan kembali suatu sunnah setelah sunnah tersebut telah
lama ditinggalkan. Suatu hadits yang menunjukkan hal ini adalah:
مَنْ أَحْيَا
سُنَّةً مِنْ سُنَّتِي فَعَمِلَ بِهَا النَّاسُ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ
عَمِلَ بِهَا لَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا وَمَنِ ابْتَدَعَ بِدْعَةً
فَعُمِلَ بِهَا كَانَ عَلَيْهِ أَوْزَارُ مَنْ عَمِلَ بِهَا لَا يَنْقُصُ مِنْ
أَوْزَارِ مَنْ عَمِلَ بِهَا شَيْئًا.
“Barangsiapa yang menghidupkan sunnah
dari sunnahku kemudian mengamalkannya, maka dia mendapat pahala seperti orang
yang mengamalkan sunnah tersebut tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan
barangsiapa yang mengadakan suatu kebid’ahan kemudian dikerjakan (bid’ah itu)
maka dia mendapatkan dosa orang yang mengamalkan bid’ah tersebut tanpa
mengurangi sedikitpun dosa orang yang mengamalkan bid’ah itu. (HR. Ibnu Majah
no. 204)
KEENAM
Bahwasanya perkataan مَنْ سَنَّ
سُنَّةً حَسَنَةً “Barangsiapa memulai, menciptakan, punya kreativitas, yang
baik” dan ومَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً“Barangsiapa menciptakan
kreativitas yang buruk”, pada dasarnya tidaklah mungkin mengandung
pengertian “mengerjakannya dengan seenaknya”, karena adanya baik dan buruk
hanya bisa diketahui melalui syariat. Maka ketentuan sunnah dalam hadits
tersebut adalah, sunnah yang baik menurut syariat, dan sunnah yang jelek
menurut syariat pula. Sehingga, seseorang tidak bershadaqah melainkan dengan
mencontoh shadaqah yang telah diterangkan, demikian pula dengan sunnah-sunnah
lain yang disyariatkan.
Maka sunnah yang jelek merupakan
suatu bentuk kemaksiatan yang memang telah ditetapkan oleh syariat bahwa hal
tersebut adalah maksiat. Seperti, pembunuhan oleh anak Nabi Adam –عليه السّلام-
sebagaimana sabda Rasulullah –صلّى الله عليه و سلّم- :
لِأَنَّهُ
أَوَّلَ مَنْ سَنَّ الْقَتْلَ
“Karena dia (Qabil) adalah yang
pertama kali mengadakan pembunuhan.” (HR. Bukhari no. 3335)
Hal ini termasuk bid’ah hasanah ,
karena sudah ditetapkan dalam syari’at tercelanya dan larangan (melakukan)
pembunuhan. (Al I’tisham 1/236)
Orang yang tidak suka bid’ah hasanah
akan tergilas oleh perkembangan zaman, Afala ta’qilun..Yahudi paling senang
melihat umat Islam yang tidak berotak, hanya ngaji-ngaji saja, tanpa dayacipta,
karena perbanyaklah bid’ah hasanah berupa metode baru cara cepat membaca kitab
kuning, cara baru membuat Plaza Muslim, supermakin Syafii dan Salafi. Cara baru
penguasaan teknologi nuklir dan tidak berbahaya. Ayok bertanding dalam
menciptakan teknologi baru berdasarkan kajian Al-biruni, Alfarabi,
Al-khawarizmi.Teknologi saja ketertinggalan kita, hei teknologi ya, teknologi, teknologi…
No comments:
Post a Comment