SALAFI BUKAN TANPA ADAB SYAR’IYYAH
ADAB SYAR’IYYAH
M.RAKIB JAMARI Riau Indon
Latar
Belakang
Akhir-akhir ini, umat Islam dihebohkan oleh sekelompok pendakwah,
tanpa adab, tnpa rasa malu mengkafir-kafirkan orang baik, menuduh sesat orang
alim, padahal kening mereka hitam karena banyak sujud, janggutnya panjang ala
Rasulullah, celananya gantung lambang dari orang tawadhuk, tapi tidak pernah
senyum, menghina mazhab. Mersa benar sendiri, dan surga hanya miliknya kelompok
MTA Wahabi.
Mengapa
kalian, tidak sopan
Sesama
ustadz, bemusuhan,
Begitu
jijik, di mata kalian,
Orang
yang tahililan.
Menuntut ilmu dan menghoramati sesama muslim yang bukan mazhab Salafi, hukumnya wajib bagi
setiap muslim. Dan dalam menuntut ilmu itu ada beberapa ada yang harus
diperhatikan, berikut di antaranya.
BEBERAPA ADAB MENUNTUT ILMU
BEBERAPA ADAB MENUNTUT ILMU
1. Mengikhlaskan niat karena Allah ta’âlâ, jangan menuduh orang berbuat bid’ah dholalah, karaena yang menuduh sesat itulah yang asli sesatnya.
2. Berdoa mengangkat tangan, kepada Allah ta’âlâ supaya mendapatkan taufiq dalam menuntut ilmu.
3. Bersemangat (antusias) untuk melakukan perjalanan dalam menuntut ilmu.
4. Berusaha semaksimal mungkin untuk menghadiri kajian-kajian ilmu.
5. Apabila ada seseorang yang datang belakangan di tempat kajian hendaknya tidak mengucapkan salam apabila dapat memotong pelajaran yang berjalan, kecuali kalau tidak mengganggu maka mengucapkan salam itu sunnah. (Pendapat Syaikh al-Utsaimin dalam Fatawa Islamiyyah:, jilid 1, hlm. 170)
6. Tidak
mengamalkan ilmu merupakan salah satu sebab hilangnya barakah ilmu. Allah
ta’âlâ mencela orang-orang yang tidak mengamalkan ilmunya dalam firman-Nya:
"Wahai orang-orang
yang beriman, kenapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?. Amat besar
kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”. (QS.
ash-Shaf: 2-3)
Imam Ahmad rahimahullahu
mengatakan: “Tidaklah aku menulis satu hadits pun dari Nabi n, kecuali telah
aku amalkan, sampai ada hadits bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
berbekam kemudian memberikan Abu Thaybah satu dinar,[1] maka aku pun memberi
tukang bekam satu dinar tatkala aku dibekam.” (al-Adab asy-Syar’iyyah, jilid 2,
hlm. 14).
7. Merasa
sedih tatkala ada masyayikh yang sezaman tapi tidak sempat bertemu, serta
mencontoh adab dan akhlak mereka.
al-Khalal meriwayatkan
akhlak Imam Ahmad rahimahullahu dari Ibrahim, ia berkata: “Apabila mereka
mendatangi seseorang yang akan mereka ambil ilmunya, mereka memperhatikan
shalat, kehormatan dan gerak-gerik serta tingkah lakunya, kemudian barulah
mereka mengambil ilmu darinya.
Dan dari al-A’masy
rahimahullahu berkata, “Orang dahulu belajar kepada ahli fikih tentang semua
hal termasuk pakaian dan sandalnya. (al-Adab asy-Syar’iyyah, jilid 2, hlm. 145)
8. Sopan
santun dalam menuntut ilmu.
9. Kontinyu
(konsisten) untuk hadir dan tidak malas.
10. Tidak
berputus asa dan mencela diri (merendahkan diri). Hendaknya ingat firman Allah
ta’âlâ :
"Dan Allah
mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun,
dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS.
an-Nahl: 78)
Terlebih apabila kesulitan
dalam mempelajari sesuatu.
11. Membaca
kitab-kitab yang berkaitan dengan thalabul ilmi dan mempelajari metode yang
benar dalam menuntut ilmu, serta berusaha mengetahui kekurangan dan kesalahan
yang ada pada dirinya.
12. Antusias
untuk hadir lebih awal dan mempergunakan waktu dengan baik.
13. Berusaha
melengkapi pelajaran yang terlewatkan.
14. Mencatat faedah
pada halaman depan atau buku catatan.
15. Berusaha
keras untuk mengulang-ulang faedah yang telah didapatkan.
16. Tatkala
membeli buku hendaknya diperhatikan terlebih dahulu.
17. Tidak
melemparkan kitab ke tanah.
Ada seseorang yang
melakukan itu di hadapan Imam Ahmad rahimahullahu dan beliau marah seraya
mengatakan, “Beginikah kamu memperlakukan ucapan orang-orang baik?” (al-Adab
asy-Syar’iyyah, jilid 2, hlm. 389)
18. Tidak
memotong perkataan guru sampai beliau menyelesaikannya.
Imam al-Bukhari berkata:
Bab barangsiapa yang ditanya tentang ilmu, sedangkan dia sibuk berbicara, maka
selesaikan dulu permbicaraannya. Kemudian beliau membawakan hadits:
أَنَّ أَعْرَابِياًّ قَالَ وَالنَّبِيُّ يَخْطُبُ: مَتَى السَّاعَةُ؟ فَمَضَى الرَّسُوْلُ فِي حَدِيْثِهِ وَأَعْرَضَ عَنْهُ حَتَّى إِذَا قَضَى حَدِيْثَهُ قَالَ: أَيْنَ أَرَاهُ السَّائِلُ عَنِ السَّاعَةِ؟
Ada seorang Arab Badui
bertanya kapan hari kiamat tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
berkhutbah, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melanjutkan
khutbahnya dan berpaling dari orang itu, tatkala Nabi menyelesaikan khutbahnya,
kemudian bertanya: “Dimana orang yang tadi bertanya tentang hari kiamat.”
(al-Fath, jilid 1, hlm. 171)
19. Ibnul Jauzi rahimahullahu berkata: “Kapan saja ada yang tidak dapat dipahami dari perkataan guru oleh muridnya, hendaklah dia bersabar sampai sang guru menyelesaikan ucapannya, baru kemudian dia meminta penjelasan gurunya dengan penuh adab dan kelembutan dan tidak memotong di tengah-tengah pembicaraannya.” (al-Adab asy-Syar’iyyah, jilid 2, hlm. 163)
20. Sopan
tatkala mengajukan pertanyaan kepada guru, tidak menanyakan sesuatu yang
dibuat-buat atau berlebihan atau menanyakan sesuatu yang sudah tahu jawabannya
dengan tujuan supaya gurunya tidak mampu menjawab dan menunjukkan bahwa dia
tahu jawabannya, atau menanyakan sesuatu yang belum terjadi, dimana salafush
shalih mencela hal seperti ini apabila pertanyaan itu dibuat-buat. (Tahdzib
at-Tahdzib, jilid 8, hlm. 274, as-Siyar, jilid 1, hlm. 398)
21. Membaca
biografi para ulama.
22. Membaca
topik dan tema yang berbeda sebelum tiba waktunya. Seperti Ramadhan dan
hukum-hukum yang berkaitan dengan puasa, sepuluh awal dzulhijah dan kurban.
23. Antusias
untuk membeli kitab-kitab yang khusus membahas permasalahan-permasalahan fikih.
Seperti kitab yang berkaitan dengan sunnah-sunnah Rawatib atau qiyamullail,
dll.
24. Memprioritaskan
hal-hal yang utama dalam menuntut ilmu.
25. Memulai
dengan yang lebih penting.
Sebagaimana petunjuk Rasul
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memulai yang lebih penting yang beliau lakukan
dengan tujuan itu. Oleh karena itu tatkala ‘Utban bin Malik memanggil Rasul
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam seraya berkata kepada beliau, “Aku ingin Anda
datang untuk shalat di rumahku, supaya aku jadikan tempat itu menjadi
mushalla”, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam keluar beserta beberapa
orang sahabatnya.
Tatkala sampai di rumah
‘Utban, mereka meminta izin untuk masuk, kemudian mereka masuk, dan ‘Utban
telah membuatkan makanan untuk mereka, maka Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
tidak makan terlebih dahulu, bahkan berkata: “Dimana tempat yang ingin kamu
jadikan mushalla itu?” kemudian diperlihatkan kepada beliau, kemudian beliau
shalat, setelah itu baru duduk untuk menyantap hidangan. (HR. al-Bukhari, no.
425 & 667, Muslim, no. 263 dan disebutkan juga oleh Syaikh al-Utsaimin
rahimahullahu dalam Syarh Riyadhu ash-Shalihin, jilid 3, hlm. 98)
26. Tidak sok pintar.
27. Memuji
Allah Subhanahu wa Ta’ala tatkala menyebut-Nya.
28. Bershalawat
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tatkala menyebutnya.
29. Mengucapkan
radhiyallahu ‘anhum (رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ) kepada para sahabat tatkala menyebut mereka.
30. Mengucapkan
rahimahullah (رَحِمَهُ اللَّهُ) kepada para ulama tatkala
menyebut mereka.
31. Tidak
menyandarkan sesuatu kepada maraji’ apapun kecuali apabila kita membaca berita
itu darinya.
32. Tidak
menyandarkan hadits kepada selain Imam al-Bukhari dan Imam Muslim apabila
hadits itu ada pada keduanya atau salah satu dari keduanya.
33. Berhati-hati
dan tidak tergesa-gesa dalam menyalin.
34. Menyandarkan
faedah kepada yang empunya.
35. Tidak
meremehkan faedah walaupun sedikit.
36. Tidak
menyembunyikan faedah.
37. Tidak
mempergunakan dalil hadits dhaif atau maudhu’.
38. Tidak
mendhaifkan hadits, kecuali setelah meneliti an menanyakan kepada ahlinya.
39. Tidak
mengacuhkan permasalahan-permasalahan yang ditanyakan kepada dirinya, karena
itu dapat mendorong anda untuk meneliti dan menggali lebih dalam masalah itu.
40. Membawa
buku catatan kecil untuk mencatat faedah-faedah dan berbagai macam
permasalahan.
41. Tidak
menyibukkan diri dengan hal-hal yang mubah.
42. Tidak
menyibukkan diri dengan memperbanyak manuskrip atau satu buku yang berbeda
penerbitnya, terkecuali ada faedahnya.
43. Mengunjungi
perpustakaan-perpustakaan untuk menelaah kitab-kitab yang ada.
44. Menghindari
keumuman istilah ilmiah yang mirip lafazhnya.[2]
45. Antusias
untuk membaca kitab-kitab yang menjelaskan istilah-istilah penulis atau
menjelaskan metode kitab dan bahasan-bahasannya.
46. Tidak
terburu-buru dalam memahami ucapan, baik yang tertulis atau yang terdengar.
Ibnul Qayyim rahimahullahu menyebutkan dari Ayub as-Sakhtiyani rahimahullahu,
“Apabila ia mengulangi soal itu sama seperti awal, maka ia jawab, kalau tidak
maka beliau pun tidak menjawabnya.” (I’lam al-Muwaqi’in 2/187)
47. Banyak
membaca kitab-kitab tentang fatwa-fatwa.
48. Tidak
terburu-buru untuk menafikan secara umum.
49. Apabila
anda meriwayatkan hadits secara makna hendaknya anda jelaskan hal itu.
50. Hindari
penggunaan lafadz-lafadz pengagungan untuk memuji diri sendiri.
51. Terimalah
kritikan dan nasihat dengan lapang dada bukan karena basa basi.
52. Tidak
sedih dan patah semangat karena sedikitnya orang yang belajar darinya. Imam
adz-Dzahabi menyebutkan biografi Atha’ bin Abi Rabah bahwasanya dia, tidak ada
yang duduk bersamanya (dalam menuntut ilmu –pent) kecuali sembilan atau delapan
orang saja. (Siyar A’lam an-Nubala` 8/107)
53. Tidak
menghabiskan waktu untuk membahas perkara-perkara yang tidak bermanfaat,
seperti masalah-masalah yang ganjil lagi aneh, seperti warna anjng Ashabul
Kahfi, pohon yang Nabi Adam p memakan buah darinya, dan panjang kapal Nabi Nuh
p, dll.
54. Tidak
terpancing untuk keluar jauh dari fokus pembahasan.
55. Tidak
berlebih-lebihan dalam merangkai kata-kata dan menjelaskan ucapan serta tidak
mempergunakan ibarat dan istilah yang asing.
56. Tidak
berbicara tanpa ilmu, dan tidak merasa kesal jika pertanyaannya tidak dijawab.
57. Tidak
terpengaruh dengan celaan pribadi apabila agamamu selamat, dan ingatlah ucapan
penyair :
قَ لَهُ فَكُنْ وَإِنْ بُلِيْتَ بِشَخْصٍ لاَ خَلاَكَأَنَّكَ لَمْ تَسْمَعْ وَلَمْ يَقُلْ
Apabila engkau diuji dengan
orang yang tidak baik
Maka bersikaplah
seolah-olah engkau tidak mendengarnya dan dia tidak berkata
58. Tidak
berputus asa.
59. Semangat
dalam menjalankan shalat malam.
60. Tidak
banyak bicara, istirahat dan tidur dalam menuntut ilmu.
61. Secara
khusus thalibul ilmi dan secara umum seorang muslim:
a. Memenuhi
kebutuhan orang lain. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
اِشْفَعُوْا تُؤْجَرُوْا.
Berilah syafaat niscaya
kalian dapat pahala. (HR. al-Bukhari)
b. Menepati
janji. Allah memuji para Nabi dan Rasul sebagaimana firman-Nya etntang Nabi
Ismail p:
Sesungguhnya ia adalah
seorang yang benar janjinya. (QS. Maryam: 54)
c. Bijaksana,
sabar dan lemah lembut. Allah ta’âlâ berfirman:
"Jadilah engkau pemaaf
dan perintahkanlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada
orang-orang yang bodoh". (QS. al-A’raf: 199)
As-Sam’ani rahimahullahu
menyebutkan dalam kitab al-Ansab, adz-Dzahabi dalam kitab Tajrid ash-Shahabah,
tentang biografi Auf bin Nu’man, berkata: Di masa jahiliyah dahulu dia lebih
senang untuk mati dalam kondisi kehausan dari pada mati dalam kondisi ingkar
janji, sebagaimana disebutkan :
إِذَا قُلْتَ فِي شَيْءٍ نَعَمْ فَأَتِمَّهُ فَإِنَّ نَعَمْ دَيْنٌ عَلَى الْحُرِّ وَاجِبُ
وَإِلاَّ فَقُلْ لاَ وَاسْتَرِحْ وَأَرِحْ بِهَا لِئَلاَّ يَقُوْلَ النَّاسُ: إِنَّكَ كَاذِبُ
Apabila anda telah
mengatakan ‘ya’ maka laksanakanlah
Karena ucapan ‘ya’ adalah
hutang yang harus di lunasi
Kalau tidak mampu
katakanlah ‘tidak’ dan istirahatlah
Supaya orang lain tidak
mengatakan anda pendusta
d. Tawadhu’.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
وَإِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوْا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلاَ يَبْغِ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ.
Sesungguhnya Allah
mewahyukan kepadaku agar kalian saling bertawadhu’, supaya tidak ada yang
membanggakan dan menyombongkan diri. (HR. Muslim)
e. Gembira,
lapang dada, dan mau mendengarkan problema orang lain.
f. Mengajak
bicara dan memberi nasihat kepada manusia.
‘Ikrimah rahimahullahu
mengatakan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu : “Nasihati manusia satu jum’at
sekali, jikalau mau maka dua kali, jika mau maka tiga kali, jangan bikin mereka
bosan dengan al-Qur`an dan jangan mendatangi mereka tatkala sedang dalam
urusannya dan kau sela pembicaraannya, sehingga mereka merasa jemu, akan tetapi
diamlah, jikalau mereka meminta, maka nasihati karena mereka menginginkannya
dan hindari olehmu sajak dalam berdoa, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam dan para sahabatnya tidak melakukan hal itu. (HR. al-Bukhari, no. 6337)
g. Ali
bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu berkata :
حَدِّثُوْا النَّاسَ بِمَا يَعْرِفُوْنَ.
“Ajaklah bicara manusia
dengan apa yang mereka ketahui.”
Disitu ada dalil,
seyogyanya sesuatu yang tidak jelas tidak di sampaikan ke khalayak ramai, dan
hendaknya berkata sesuai dengan apa yang dipahami orang lain, juga ucapan Ibnu
Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, “Jangan kau ajak bicara satu kaum yang tidak dapat
dipahami oleh mereka karena tu dapat menimbulkan fitnah.” (HR. Muslim)
___________
FooteNote :
[1] Muttafaq ‘alaih.
[2] Seperti muttafaqun ‘alaih yang populer riwayat al-Bukhari & Muslim tapi muttafaqun alaih dalam kitab Muntaqa al-Akhbar karya Majiduddin Ibnu Taimiyah rah artinya riwayat Ahmad, al-Bukhari dan Muslim.
FooteNote :
[1] Muttafaq ‘alaih.
[2] Seperti muttafaqun ‘alaih yang populer riwayat al-Bukhari & Muslim tapi muttafaqun alaih dalam kitab Muntaqa al-Akhbar karya Majiduddin Ibnu Taimiyah rah artinya riwayat Ahmad, al-Bukhari dan Muslim.
No comments:
Post a Comment