KESESATAN YANG BAIK
Ksesatan yang baik itu ada dua, pertama, salat tarawih
berjama’ah. Kedua peringatan hari-hari bersejarah dalam Islam
Saya Doktor M.Rakib Jamari S.H., M.Ag dari Pekanbaru Riau
ingin bertanya, apakah Al-Bani dan Bin Baz tidak pernah belajar Al-Siyasah
Al-Syari’ah ?
Perayaan dan
peringatan Mauwlid adalah bagian dari al-siyasah al-syari’ah. Saya ingin menantang ulama
sedunia, jika ulama sedunia tidak setuju bahwa semua peringatan hari besar
Islam itu bagian dari siasat, strategi menanamkan rasa cinta Allah dan rasul,
bukan bagaian ibadah mahdhoh yang dihinakan oleh Wahabi yang tidak punya
siyasat menghadapi Yahudi..Nabi saw memperbolehkan kita melakukan Bid’ah
hasanah selama hal itu baik dan tidak menentang syariah, sebagaimana sabda
beliau saw : “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka
baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang
sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk
dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya dan tak
dikurangkan sedikitpun dari dosanya” (Shahih Muslim hadits no.1017, demikian
pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah, Sunan Baihaqi Alkubra, Sunan
Addarimiy, Shahih Ibn Hibban dan banyak lagi). Hadits ini menjelaskan makna
Bid’ah hasanah dan Bid’ah dhalalah.
Dikutip dari tulisan Perhatikan hadits
beliau saw, bukankah beliau saw menganjurkan?, maksudnya bila kalian mempunyai
suatu pendapat atau gagasan baru yang membuat kebaikan atas islam maka
perbuatlah.., alangkah indahnya bimbingan Nabi saw yang tidak mencekik ummat,
beliau saw tahu bahwa ummatnya bukan hidup untuk 10 atau 100 tahun, tapi ribuan
tahun akan berlanjut dan akan muncul kemajuan zaman, modernisasi, kematian
ulama, merajalela kemaksiatan, maka tentunya pastilah diperlukan hal hal yang
baru demi menjaga muslimin lebih terjaga dalam kemuliaan, demikianlah bentuk
kesempurnaan agama ini, yang tetap akan bisa dipakai hingga akhir zaman, inilah
makna ayat :
“ALYAUMA
AKMALTU LAKUM DIINUKUM…”, yang artinya “hari
ini Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, kusempurnakan pula kenikmatan bagi
kalian, dan kuridhoi islam sebagai agama kalian”,
Maksudnya semua ajaran telah sempurna, tak perlu lagi ada
pendapat lain demi
memperbaiki agama ini, semua hal yang baru selama itu baik
sudah masuk dalam kategori syariah dan sudah direstui oleh Allah dan rasul Nya,
alangkah sempurnanya islam, Bila yang dimaksud adalah tidak ada lagi
penambahan, maka pendapat itu salah, karena setelah ayat ini masih ada banyak
ayat ayat lain turun, masalah hutang dll,
berkata para Mufassirin bahwa ayat ini bermakna Makkah
Almukarramah sebelumnya selalu masih dimasuki orang musyrik mengikuti hajinya
orang muslim, mulai kejadian turunnya ayat ini maka Musyrikin tidak lagi masuk
masjidil haram, maka membuat kebiasaan baru yang baik boleh boleh saja.
Hei sipekak tuli
Siyasah
Syar’iyah diartikan sebagai ketentuan kebijaksanaan pengurusan masalah
kenegaraan yang berdasarkan syariat.
Khallaf
merumuskan siyasah syar’iyah dengan:
Pengelolaan
masalah-masalah umum bagi pemerintah islam yang menjamin terciptanya kemaslahatan
dan terhindarnya kemudharatan dari masyarakat islam,dengan tidak bertentangan
dengan ketentuan syariat islam dan prinsip-prinsip umumnya, meskipun tidak
sejalan dengen pendapat para ulama mujtahid.[1][1]
Definisi ini lebih dipertegas oleh
Abdurrahman taj yang merumuskan siyasah syariyah sebagai hukum-hukum yang
mengatur kepentingan Negara, mengorganisasi permasalahan umat sesuai dengan
jiwa (semangat) syariat dan dasar-dasarnya yang universal demi terciptanya
tujuan-tujuan kemasyarakatan, walaupun pengaturan tersebut tidak ditegaskan
baik oleh Al-Qur’an maupun al-sunah.[2][2]
Bahansi merumuskan bahwa siyasah
syar’iyah adalah pengaturan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan tuntutan syara.
Sementara para fuqaha, sebagaimana di kutip khallaf, mendefinisikan siysah
syariyah sebagai kewenangan penguasa/pemerintah untuk melakukan
kebijakan-kebijakan politik yang mengacu kepada kemaslahatan melalui peraturan
yang tidak bertentangan dengan dasar-dasar agama, walaupun tidak terdapat dalil
yang khusus untuk hal itu.
Dengan menganalisis
definisi-definisi yang di kemukakan para ahli di atas dapat ditemukan hakikat
siyasah syar’iyah, yaitu:
1. Bahwa siyasah syar’iyah berhubungan dengan pengurusan dan
pengaturan kehidupan manusia.
2. Bahwa pengurusan dan pengaturan ini dilakukan oleh
pemegang kekuasaan (ulu ai-amr)
3. Tujuan pengaturan tersebut adalah untuk menciptakan
kemaslahatan dan menolak kemudharatan.
4. Pengaturan tersebut tidak boleh bertentangan ddengan
syariat islam.
Berdasarkan
hakikat siyasah syar’iyah ini dapat disimpulkan bahwa sumber-sumber pokok
siyasah syar’iyah adalah al quran dan ai
sunnah. Kedua sumber inilah yang menjadi acuan bagi pemegang pemerintahan untuk
menciptakan peraturan-peraturan perundang-undangan dan mengatur kehidupan
bernegara.
Namun tentunya bukan membuat agama baru atau syariat baru
yang bertentangan dengan syariah dan sunnah Rasul saw, atau menghalalkan apa
apa yang sudah diharamkan oleh Rasul saw atau sebaliknya, inilah makna hadits
beliau saw : “Barangsiapa yang membuat buat hal baru yang berupa keburukan…dst”,
inilah yang disebut Bid’ah Dhalalah.
Beliau saw telah memahami itu semua, bahwa kelak zaman akan
berkembang, maka beliau saw memperbolehkannya (hal yang baru berupa kebaikan),
menganjurkannya dan menyemangati kita untuk memperbuatnya, agar ummat tidak
tercekik dengan hal yang ada dizaman kehidupan beliau saw saja, dan beliau saw
telah pula mengingatkan agar jangan membuat buat hal yang buruk (Bid’ah
dhalalah). Mengenai pendapat yang mengatakan bahwa hadits ini adalah khusus
untuk sedekah saja, maka tentu ini adalah pendapat mereka yang dangkal dalam
pemahaman syariah, karena hadits diatas jelas jelas tak menyebutkan pembatasan
hanya untuk sedekah saja, terbukti dengan perbuatan bid’ah hasanah oleh para
Sahabat dan Tabi’in.
Siapakah
yang pertama memulai Bid’ah hasanah setelah
wafatnya
Rasul saw?
Ketika terjadi pembunuhan besar besaran atas para sahabat
(Ahlul yamaamah) yang mereka itu para Huffadh (yang hafal) Alqur’an dan Ahli
Alqur’an di zaman Khalifah Abubakar Asshiddiq ra, berkata Abubakar Ashiddiq ra
kepada Zeyd bin Tsabit ra : “Sungguh Umar (ra) telah datang kepadaku dan
melaporkan pembunuhan atas ahlulyamaamah dan ditakutkan pembunuhan akan terus
terjadi pada para Ahlulqur’an, lalu ia menyarankan agar Aku (Abubakar Asshiddiq
ra) mengumpulkan dan menulis Alqur’an, aku berkata : Bagaimana aku berbuat
suatu hal yang tidak diperbuat oleh Rasulullah..?, maka Umar berkata padaku
bahwa Demi Allah ini adalah demi kebaikan dan merupakan kebaikan, dan ia terus
meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku
sependapat dengan Umar, dan engkau (zeyd) adalah pemuda, cerdas, dan kami tak
menuduhmu (kau tak pernah berbuat jahat), kau telah mencatat wahyu, dan
sekarang ikutilah dan kumpulkanlah Alqur’an dan tulislah Alqur’an..!” Berkata
Zeyd : “Demi Allah sungguh bagiku diperintah memindahkan sebuah gunung daripada
gunung gunung tidak seberat perintahmu padaku untuk mengumpulkan Alqur’an,
bagaimana kalian berdua berbuat sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah
saw?”, maka Abubakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga
iapun meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku
sependapat dengan mereka berdua dan aku mulai mengumpulkan Alqur’an”. (Shahih
Bukhari hadits no.4402 dan 6768).
Nah saudaraku, bila kita perhatikan konteks diatas Abubakar
shiddiq ra mengakui dengan ucapannya : “sampai Allah menjernihkan dadaku dan
aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar”, hatinya jernih menerima hal
yang baru (bid’ah hasanah) yaitu mengumpulkan Alqur’an, karena sebelumnya
alqur’an belum dikumpulkan menjadi satu buku, tapi terpisah pisah di hafalan
sahabat, ada yang tertulis di kulit onta, di tembok, dihafal dll, ini adalah
Bid’ah hasanah, justru mereka berdualah yang memulainya. Kita perhatikan hadits
yang dijadikan dalil menafikan (menghilangkan) Bid’ah hasanah mengenai semua
bid’ah adalah kesesatan, diriwayatkan bahwa Rasul saw selepas melakukan shalat
subuh beliau saw menghadap kami dan menyampaikan ceramah
yang membuat hati berguncang, dan membuat airmata
mengalir.., maka kami berkata : “Wahai Rasulullah.. seakan akan ini adalah
wasiat untuk perpisahan…, maka beri wasiatlah kami..” maka rasul saw bersabda :
“Kuwasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengarkan dan taatlah
walaupun kalian dipimpin oleh seorang Budak afrika, sungguh diantara kalian
yang berumur panjang akan melihat sangat banyak ikhtilaf perbedaan pendapat,
maka berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah khulafa’urrasyidin yang mereka
itu pembawa petunjuk, gigitlah kuat kuat dengan geraham kalian (suatu kiasan
untuk kesungguhan), dan hati hatilah dengan hal hal yang baru, sungguh semua
yang Bid;ah itu adalah kesesatan”. (Mustadrak Alasshahihain hadits no.329).
Jelaslah bahwa Rasul saw menjelaskan pada kita untuk
mengikuti sunnah beliau dan sunnah khulafa’urrasyidin, dan sunnah beliau saw
telah memperbolehkan hal yang baru selama itu baik dan tak melanggar syariah,
dan sunnah khulafa’urrasyidin adalah anda lihat sendiri bagaimana Abubakar
shiddiq ra dan Umar bin Khattab ra menyetujui bahkan menganjurkan, bahkan
memerintahkan hal yang baru, yang tidak dilakukan oleh Rasul saw yaitu
pembukuan Alqur’an, lalu pula selesai penulisannya dimasa Khalifah Utsman bin
Affan ra, dengan persetujuan dan kehadiran Ali bin Abi Thalib kw.
Nah.. sempurnalah sudah keempat makhluk termulia di ummat
ini, khulafa’urrasyidin melakukan bid’ah hasanah, Abubakar shiddiq ra dimasa
kekhalifahannya memerintahkan pengumpulan Alqur’an, lalu kemudian Umar bin
Khattab ra pula dimasa kekhalifahannya memerintahkan tarawih berjamaah dan
seraya berkata : “Inilah sebaik baik Bid’ah!”(Shahih Bukhari hadits no.1906)
lalu pula selesai penulisan Alqur’an dimasa Khalifah Utsman bin Affan ra hingga
Alqur’an kini dikenal dengan nama Mushaf Utsmaniy, dan Ali bin Abi Thalib kw menghadiri
dan menyetujui hal itu.
Demikian pula hal yang dibuat-buat tanpa perintah Rasul saw
adalah dua kali adzan di Shalat Jumat, tidak pernah dilakukan dimasa Rasul saw,
tidak dimasa Khalifah Abubakar shiddiq ra, tidak pula dimasa Umar bin khattab
ra dan baru dilakukan dimasa Utsman bin Affan ra, dan diteruskan hingga kini
(Shahih Bulkhari hadits no.873). Siapakah yang salah dan tertuduh?, siapakah
yang lebih mengerti larangan Bid’ah?,
adakah pendapat mengatakan bahwa keempat Khulafa’urrasyidin
ini tak faham makna Bid’ah?
Bid’ah
Dhalalah
Jelaslah sudah bahwa mereka yang menolak bid’ah hasanah
inilah yang termasuk pada golongan Bid’ah dhalalah, dan Bid’ah dhalalah ini
banyak jenisnya, seperti penafikan sunnah, penolakan ucapan sahabat, penolakan
pendapat Khulafa’urrasyidin, nah…diantaranya adalah penolakan atas hal baru
selama itu baik dan tak melanggar syariah, karena hal ini sudah diperbolehkan
oleh Rasul saw dan dilakukan oleh Khulafa’urrasyidin, dan Rasul saw telah jelas
jelas memberitahukan bahwa akan muncul banyak ikhtilaf, berpeganglah pada
Sunnahku dan Sunnah Khulafa’urrasyidin, bagaimana Sunnah Rasul saw?, beliau saw
membolehkan Bid’ah hasanah, bagaimana sunnah Khulafa’urrasyidin?, mereka
melakukan Bid’ah hasanah, maka penolakan atas
hal inilah yang merupakan Bid’ah dhalalah, hal yang telah
diperingatkan oleh Rasul saw. Bila kita menafikan (meniadakan) adanya Bid’ah
hasanah, maka kita telah menafikan dan membid’ahkan Kitab Al-Quran dan Kitab
Hadits yang menjadi panduan ajaran pokok Agama Islam karena kedua kitab
tersebut (Al-Quran dan Hadits) tidak ada perintah Rasulullah saw untuk
membukukannya dalam satu kitab masing-masing, melainkan hal itu merupakan
ijma/kesepakatan pendapat para Sahabat Radhiyallahu’anhum dan hal ini dilakukan
setelah Rasulullah saw wafat. Buku hadits seperti Shahih Bukhari, shahih Muslim
dll inipun tak pernah ada perintah Rasul saw untuk membukukannya, tak pula
Khulafa’urrasyidin memerintahkan menulisnya, namun para tabi’in mulai menulis
hadits Rasul saw. Begitu pula Ilmu Musthalahulhadits, Nahwu, sharaf, dan
lain-lain sehingga kita dapat memahami kedudukan derajat hadits, ini semua
adalah perbuatan Bid’ah namun Bid’ah Hasanah.
Demikian pula ucapan “Radhiyallahu’anhu” atas sahabat, tidak
pernah diajarkan oleh Rasulullah saw, tidak pula oleh sahabat, walaupun itu di
sebut dalam Al-Quran bahwa mereka para sahabat itu diridhoi Allah, namun tak
ada dalam Ayat atau hadits Rasul saw memerintahkan untuk mengucapkan ucapan itu
untuk sahabatnya, namun karena kecintaan para Tabi’in pada Sahabat, maka mereka
menambahinya dengan ucapan tersebut. Dan ini merupakan Bid’ah Hasanah dengan
dalil Hadits di atas, Lalu muncul pula kini Al-Quran yang di kasetkan, di CD
kan, Program Al-Quran di handphone, Al-Quran yang diterjemahkan, ini semua
adalah Bid’ah hasanah. Bid’ah yang baik yang berfaedah dan untuk tujuan
kemaslahatan muslimin, karena dengan adanya Bid’ah hasanah di atas maka semakin
mudah bagi kita untuk mempelajari Al-Quran, untuk selalu membaca Al-Quran,
bahkan untuk menghafal Al-Quran dan tidak ada yang memungkirinya. Sekarang
kalau kita menarik mundur kebelakang sejarah Islam, bila Al-Quran tidak
dibukukan oleh para Sahabat ra, apa sekiranya yang terjadi pada perkembangan
sejarah Islam ?
Al-Quran masih bertebaran di tembok-tembok, di kulit onta,
hafalan para Sahabat ra yang hanya sebagian dituliskan, maka akan muncul
beribu-ribu Versi Al-Quran di zaman sekarang, karena semua orang akan
mengumpulkan dan membukukannya, yang masing-masing dengan riwayatnya sendiri,
maka hancurlah Al-Quran dan hancurlah Islam. Namun dengan adanya Bid’ah
Hasanah, sekarang kita masih mengenal Al-Quran secara utuh dan dengan adanya
Bid’ah Hasanah ini pula kita masih mengenal Hadits-hadits Rasulullah saw, maka
jadilah Islam ini kokoh dan Abadi, jelaslah sudah sabda Rasul saw yang telah
membolehkannya, beliau saw telah mengetahui dengan jelas bahwa hal hal baru
yang berupa kebaikan (Bid’ah hasanah),
mesti dimunculkan kelak, dan beliau saw telah melarang hal
hal baru yang berupa keburukan (Bid’ah dhalalah). Saudara saudaraku, jernihkan
hatimu menerima ini semua, ingatlah ucapan Amirulmukminin pertama ini,
ketahuilah ucapan ucapannya adalah Mutiara Alqur’an, sosok agung Abubakar
Ashiddiq ra berkata mengenai Bid’ah hasanah : “sampai Allah menjernihkan dadaku
dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar”. Lalu berkata pula Zeyd bin
haritsah ra :”..bagaimana kalian berdua (Abubakar dan Umar) berbuat sesuatu
yang tak diperbuat oleh Rasulullah saw?, maka Abubakar ra mengatakannya bahwa
hal itu adalah kebaikan, hingga iapun(Abubakar ra) meyakinkanku (Zeyd) sampai
Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka
berdua”. Maka kuhimbau saudara saudaraku muslimin yang kumuliakan, hati yang
jernih menerima hal hal baru yang baik adalah hati yang sehati dengan Abubakar
shiddiq ra, hati Umar bin Khattab ra, hati Zeyd bin haritsah ra, hati para
sahabat, yaitu hati yang dijernihkan Allah swt, Dan curigalah pada dirimu bila
kau temukan dirimu mengingkari hal ini, maka barangkali hatimu belum
dijernihkan Allah, karena tak mau sependapat dengan mereka, belum setuju dengan
pendapat mereka, masih menolak bid’ah hasanah, dan Rasul saw sudah
mengingatkanmu bahwa akan terjadi banyak ikhtilaf, dan peganglah perbuatanku
dan perbuatan khulafa’urrasyidin, gigit dengan geraham yang maksudnya
berpeganglah erat erat pada tuntunanku dan tuntunan mereka.
Allah menjernihkan sanubariku dan sanubari kalian hingga
sehati dan sependapat dengan Abubakar Asshiddiq ra, Umar bin Khattab ra, Utsman
bin Affan ra, Ali bin Abi Thalib kw dan seluruh sahabat.. amiin
Pendapat
para Imam dan Muhadditsin mengenai Bid’ah
1. Al Hafidh Al Muhaddits Al Imam
Muhammad bin Idris Assyafii rahimahullah
(Imam Syafii)
Berkata Imam Syafii bahwa bid’ah terbagi dua, yaitu bid’ah
mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela), maka yang sejalan dengan
sunnah maka ia terpuji, dan yang tidak selaras dengan sunnah adalah tercela,
beliau berdalil dengan ucapan Umar bin Khattab ra mengenai shalat tarawih :
“inilah sebaik baik bid’ah”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 86-87)
2. Al Imam Al Hafidh Muhammad bin
Ahmad Al Qurtubiy rahimahullah
“Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafii), maka kukatakan
(Imam Qurtubi
berkata) bahwa makna hadits Nabi saw yang berbunyi :
“seburuk buruk permasalahan adalah hal yang baru, dan semua Bid’ah adalah
dhalalah” (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yang
dimaksud adalah hal hal yang tidak sejalan dengan Alqur’an dan Sunnah Rasul
saw, atau perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum, sungguh telah diperjelas
mengenai hal ini oleh hadits lainnya : “Barangsiapa membuat buat hal baru yang
baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan
tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang
buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya”
(Shahih Muslim hadits no.1017) dan hadits ini merupakan inti penjelasan
mengenai bid’ah yang baik dan bid’ah yang sesat”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2
hal 87)
3. Al Muhaddits Al Hafidh Al Imam
Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Annawawiy rahimahullah (Imam Nawawi)
“Penjelasan mengenai hadits : “Barangsiapa membuat buat hal
baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang
mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa
membuat buat hal baru yang dosanya”, hadits ini merupakan anjuran untuk membuat
kebiasaan kebiasaan yang baik, dan ancaman untuk membuat kebiasaan yang buruk,
dan pada hadits ini terdapat pengecualian dari sabda beliau saw : “semua yang
baru adalah Bid’ah, dan semua yang Bid’ah adalah sesat”, sungguh yang
dimaksudkan adalah hal baru yang buruk dan Bid’ah yang tercela”. (Syarh
Annawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105) Dan berkata pula Imam Nawawi
bahwa Ulama membagi bid’ah menjadi 5, yaitu Bid’ah yang wajib, Bid’ah yang
mandub, bid’ah yang mubah, bid’ah yang makruh dan bid’ah yang haram.
Bid’ah yang wajib contohnya adalah mencantumkan dalil dalil
pada ucapan ucapan yang menentang kemungkaran, contoh bid’ah yang mandub (mendapat
pahala bila dilakukan dan tak mendapat dosa bila ditinggalkan) adalah membuat
buku buku ilmu syariah, membangun majelis taklim dan pesantren, dan Bid;ah yang
Mubah adalah bermacam macam dari jenis makanan, dan Bid’ah makruh dan haram
sudah jelas diketahui, demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna
yang umum, sebagaimana ucapan Umar ra atas jamaah tarawih bahwa inilah sebaik2
bid’ah”. (Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 6 hal 154-155)
Al Hafidh AL Muhaddits Al Imam
Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthiy
rahimahullah
Mengenai hadits “Bid’ah Dhalalah” ini bermakna “Aammun
makhsush”, (sesuatu yang umum yang ada pengecualiannya), seperti firman Allah :
“… yang Menghancurkan segala sesuatu” (QS
Al Ahqaf 25) dan kenyataannya tidak segalanya hancur, (*atau pula ayat : “Sungguh telah kupastikan ketentuanku untuk
memenuhi jahannam dengan jin dan manusia keseluruhannya” QS
Assajdah-13), dan pada kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka, tapi ayat
itu bukan bermakna keseluruhan tapi bermakna seluruh musyrikin dan orang dhalim.pen)
atau hadits : “aku dan hari kiamat bagaikan kedua jari ini” (dan kenyataannya
kiamat masih ribuan tahun setelah wafatnya Rasul saw) (Syarh Assuyuthiy Juz 3
hal 189).
No comments:
Post a Comment