APAKAH IBNU BIN BAZ DAN AL-BANI TIDAK PERNAH BELAJAR
SADDUZ ZARI’AH.?
Rakib Jamari Pekanbaru Indonesia 2015
Peringatan Maulid Adalah Salah Satu Langkah Sadduz
Zari’ah.
Setiap pebuatan yang secara sadar dilakukan oleh seseoang pasti
mempunyai tujuan tertentu yang jelas, begitu juga peringatan maulid yang dibuat
oleh Al-Muzaffar, ada tuuan besar di sebaliknya, maka maulid dipakai sebagai
siasat dari sadduz zari’ah, terkadang
tanpa mempersoalkan apakah perbuatan yang dituju itu baik atau buruk,
mendatangkan manfaat atau menimbulkan mudharat. Sebelum sampai pada perbuatan
yang dituju, ada serentetan perbuatan yang mendahuluinya dan harus dilalui.
Contoh, bila seseorang ingin menuntut ilmu, ia melalui beberapa fase kegiatan
seperti mencari guru, menyiapkan tempat dan alat-alat belajarnya. Perbuatan
pokok dalam hal ini adalah menuntut.
PERINGATAN
MAULID ADALAH PENDAHULUAN JIHAD
GUNANYA
UNTUK, MEMOTIBASI UMMAT
PARA
PEMUDA JADI BERANI, MENGHADAPI PENJAHAT
KARENA
PENJAJAH SUDAH, TERLALU NEKAT
Peringatan maulid adalah
pendahuluan, pemberi motivasi untuk berjihad, menglau tentara monggol saat itu.
Contoh pebuatan pendahuluan yang sudah diatur hukumnya adalah: Wudhu. wudhu
adalah perantara melakukan shalat, namun kewajiban wudhu itu sendiri telah diatur
hukumnya oleh al-Qur’an. Jelas dalam hal ini antara wudhu (perantara) dan
shalat yang menjadi perbuatan pokok hukumnya sama-sama wajib. Contoh lain yaitu
Berzina. Berzina adalah perbuatan yang dilarang, sedangkan perbuatan yang
mendahuluinya adalah berkhalwat yang hukumnya sudah ditentukan dalam al-Qur’an.
Jadi antara zina yang menjadi perbuatan pokok dengan khalwat yang menjadi
perbuatan perantara hukumnya sama-sama haram.
Sedangkan
contoh perbuatan pendahuluan yang tidak ditetapkan hukumnya adalah kewajiban
menuntut ilmu itu diwajibkan tetapi perbuatan perantara seperti mendirikan
sekolah dan mencari guru itu tidak ada dalil hukumnya secara langsung. Dapatkah
mendirikan sekolah dan oencari guru itu wajib sebagaimana wajibnya
menuntut!ilmu?. Contoh lain adalah membunuh tanpa hak merupakan perbuatan haram
yang harus dijauhi, tetapi untuk menghindar dari membunh tanpa hak umpamanya
dengan tidak memiliki senjata, dalam hal ini dapatkah memiliki senjata
dikatakan hukumnya haram sebagaimana haramnya membunh tanpa hak yang menjadi
perbuatan pokok?. Berangkat dari kegelisahan inilah maka penulis ingin membahas
mengenai perbuatan pendahuluan yang belum jelas kontek hukumnya yang dalam
makalah ini disebut dengan Dzari’ah. Fiqh merupakan suatu ilmu yang mempunyai
tema pokok dengan kaidah dan prinsip tertentu. Karenanya dalam kajian fiqh para
fuqaha menggunakan metode-metode tertentu, seperti qiyas, istihsan, istishab,
istislah, dan sadd az-Zari’ah (az-Zari’ah). Oleh karena itu zari’ah menjadi hal
yang penting untuk dikaji kaitannya dengan ikhtiyat untuk menghindari
kemudaratan.
- Rumusan Masalah
- Pengertian Saddu Dzari’ah
- Dasar Hukum Saddu Dzari’ah
- Kedudukan Saddu Dzari’ah sebagai sumber hokum
- Objek Saddu Dzari’ah
- Pengelompokan Saddu Dzari’ah
- Contoh Saddu Dzari’ah
Pesan
dan kesan untuk Ibnu bin Bazz, tahukan anda pengertian Saddu Dzari’ah?
Hei,
kata sadd adz-dzari’ah (سد الذريعة) merupakan bentuk frase (idhafah) yang
terdiri dari dua kata, yaitu sadd (سَدُّ)dan adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة).
Secara etimologis, kata as-sadd (السَّدُّ)merupakan kata benda abstrak (mashdar)
dari سَدَّ يَسُدُّ سَدًّا. Kata as-sadd tersebut berarti menutup sesuatu
yang cacat atau rusak dan menimbun lobang. Sedangkan adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة)
merupakan kata benda (isim) bentuk tunggal yang berarti jalan, sarana (wasilah)
dan sebab terjadinya sesuatu. Bentuk jamak dari adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة)
adalah adz-dzara’i (الذَّرَائِع). Karena itulah, dalam beberapa kitab
usul fikih, seperti Tanqih al-Fushul fi Ulum al-Ushul karya al-Qarafi,
istilah yang digunakan adalah sadd adz-dzara’i.
Saddu
Dzara’i berasal dari kata sadd dan zara’i. Sadd artinya menutup atau menyumbat,
sedangkan zara’i artinya pengantara
Dzari’ah
berarti “jalan yang menuju kepada
sesuatu.” Ada juga yang mengkhususkan pengertian dzari’ah dengan
“sesuatu yang membawa kepada yang dilarang dan mengandung kemudaratan.” Akan
tetapi Ibn Qayyim al-Jauziyah (ahli fiqh) mengatakan bahwa pembatasan
pengertian dzari’ah kepada sesuatu yang dilarang saja tidak tepat,
karena ada juga dzari’ah yang bertujuan kepada yang dianjurkan.[1]
Oleh sebab itu, menurutnya pengertian dzari’ah lebih baik dikemukakan
yang bersifat umum , sehingga dzari’ah itu mengandung dua pengertian,
yaitu: yang dilarang (sadd al-dzariah) dan yang dituntut untuk
dilaksanakan (fath al-dzari’ah).
Pada
awalnya, kata adz-adzari’ah dipergunakan untuk unta yang dipergunakan
orang Arab dalam berburu. Si unta dilepaskan oleh sang pemburu agar bisa
mendekati binatang liar yang sedang diburu. Sang pemburu berlindung di samping
unta agar tak terlihat oleh binatang yang diburu. Ketika unta sudah dekat
dengan binatang yang diburu, sang pemburu pun melepaskan panahnya. Karena
itulah, menurut Ibn al-A’rabi, kata adz-dzari’ah kemudian digunakan
sebagai metafora terhadap segala sesuatu yang mendekatkan kepada sesuatu yang
lain.
- Secara terminologi
Ibnul
Qayyim dan Imam Al-Qarafi menyatakan bahwa Dzari’ah itu ada kalanya dilarang
yang disebut Saddus Dzari’ah, dan ada kalanya dianjurkan bahkan diwajibkan yang
disebut fath ad-dzari’ah. Seperti meninggalkan segala aktivitas untuk
melaksanakan shalat jum’at yang hukumnya wajib. Tetapi Wahbah Al-Juhaili
berbeda pendapat dengan Ibnul qayyim. Dia menyatakan bahwa meninggalkan
kegiatan tersebut tidak termasuk kedalam dzari’ah tetapi dikategorikan sebagai
muqaddimah (pendahuluan) dari suatu perbuatan
Menurut
al-Qarafi, sadd adz-dzari’ah adalah memotong jalan kerusakan (mafsadah)
sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut. Meski suatu perbuatan bebas
dari unsur kerusakan (mafsadah), namun jika perbuatan itu merupakan
jalan atau sarana terjadi suatu kerusakan (mafsadah), maka kita harus
mencegah perbuatan tersebut. Dengan ungkapan yang senada, menurut asy-Syaukani,
adz-dzari’ah adalah masalah atau perkara yang pada lahirnya dibolehkan
namun akan mengantarkan kepada perbuatan yang dilarang (al-mahzhur).
Dari
beberapa contoh pengertian di atas, tampak bahwa sebagian ulama seperti asy-Syathibi
dan asy-Syaukani mempersempit adz-dzariah sebagai sesuatu yang awalnya
diperbolehkan. Namun al-Qarafi dan Mukhtar Yahya menyebutkan adz-dzari’ah secara
umum dan tidak mempersempitnyahanya sebagai sesuatu yang diperbolehkan. Di
samping itu, Ibnu al-Qayyim juga mengungkapkan adanya adz-dzari’ah yang
pada awalnya memang dilarang. Klasifikasi adz-dzariah oleh Ibnu al-Qayyim
tersebut akan dibahas lebih lanjut di halaman berikutnya.
Dari
berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd adz-dzari’ah adalah
menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya
diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang
dilarang.[2]
Kesimpulannya
adalah bahwa Dzari’ah merupakan washilah (jalan) yang menyampaikan kepada
tujuan baik yang halal ataupun yang haram. Maka jalan/ cara yang menyampaikan
kepada yang haram hukumnyapun haram, jalan / cara yang menyampaiakan kepada yang
halal hukumnyapun halal serta jalan / cara yang menyampaikan kepada sesuatu
yang wajib maka hukumnyapun wajib[3]
Contohnya:
–
Zina hukumnya haram, maka melibat aurat wanita yang menghantarkan kepada
perbuatan zina juga merupakan haram
–
shalat jum,at merupakan kewajiban maka meninggalkan segala kegiatan untuk
melaksanakan shalat jum’at wajib pula hukumnya.
Dari
berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd adz-dzari’ah adalah
menetapkan larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya
diperbolehkan untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang.
- Dasar hukum saddu dzari’ah
1)
Al qur’an
wur(#q7Ý¡n@úïÏ%©!$#tbqããôt`ÏBÈbrß«!$#(#q7Ý¡usù©!$##JrôtãÎötóÎ/5Où=Ïæ3y7Ï9ºxx.$¨YyÈe@ä3Ï9>p¨Bé&óOßgn=uHxå§NèO4n<Î)NÍkÍh5uóOßgãèÅ_ó£DOßgã¥Îm7t^ãsù$yJÎ/(#qçR%x.tbqè=yJ÷ètÇÊÉÑÈ
Artinya
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain
Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa
pengetahuan.Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan
mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan
kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.(QS. Al an’am: 108)”.
Pada
ayat di atas, mencaci maki tuhan atau sembahan agama lain adalah adz-dzari’ah
yang akan menimbulkan adanya sesuatu mafsadah yang
dilarang, yaitu mencaci maki Tuhan. Sesuai dengan teori psikologi mechanism
defense, orang yang Tuhannya dicaci kemungkinan akan membalas mencaci Tuhan
yang diyakini oleh orang sebelumnya mencaci. Karena itulah, sebelum balasan
caci maki itu terjadi, maka larangan mencaci maki tuhan agama lain merupakan
tindakan preventif (sadd adz-dzari’ah).
$ygr’¯»túïÏ%©!$#(#qãYtB#uäw(#qä9qà)s?$uZÏãºu(#qä9qè%ur$tRöÝàR$#(#qãèyJó$#ur3úïÌÏÿ»x6ù=Ï9urë>#xtãÒOÏ9r&ÇÊÉÍÈ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad):
“Raa’ina”, tetapi Katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah”. dan bagi orang-orang
yang kafir siksaan yang pedih.(QS. Al baqoroh: 104)
Pada
surah al-Baqarah ayat 104 di atas, bisa dipahami adanya suatu bentuk pelarangan
terhadap sesuatu perbuatan karena adanya kekhawatiran terhadap dampak negatif
yang akan terjadi. Kata raa ‘ina (رَاعِنَا) berarti: “Sudilah kiranya
kamu memperhatikan kami.” Saat para sahabat menggunakan kata ini terhadap
Rasulullah, orang Yahudi pun memakai kata ini dengan nada mengejek dan menghina
Rasulullah SAW. Mereka menggunakannya dengan maksud kata raa’inan (رَعِنًا)sebagai
bentuk isim fail dari masdar kata ru’unah(رُعُوْنَة)yang
berarti bodoh atau tolol.Karena itulah, Tuhan pun menyuruh para sahabat Nabi
SAW mengganti kata raa’ina yang biasa mereka pergunakan dengan unzhurna
yang juga berarti sama dengan raa’ina. Dari latar belakang dan pemahaman
demikian, ayat ini menurut al-Qurthubi dijadikan dasar dari sadd
adz-dzari’ah.
2).
As sunnah
1)
Diantara dalil sunnah adalah larangan menimbun demi mencegah terjadinya
keulitan atas manusia. Nabi juga melarang orang yang berpiutang menerima hadiah
dari orang yang berhutang demi menutup celah riba.
2)
Fuqaha sahabat juga menerapkan prinsip ini, hingga mereka memberikan waris
kepada wanita yang dicerai ba’in, jika suami mencerainya dalam keadaan sakit
kritis, demi untuk menutup terhalanginya celah istri
dari mendapatkan warisan
عَنْعَبْدِاللَّهِبْنِعَمْرٍورَضِيَاللهُعَنْهُمَاقَالَقَالَرَسُولُاللهِصَلَّىاللهُعَلَيْهِوَسَلَّمَإِنَّمِنْأَكْبَرِالْكَبَائِرِأَنْيَلْعَنَالرَّجُلُوَالِدَيْهِقِيلَيَارَسُولَاللهِوَكَيْفَيَلْعَنُالرَّجُلُوَالِدَيْهِقَالَيَسُبُّالرَّجُلُأَبَاالرَّجُلِفَيَسُبُّأَبَاهُوَيَسُبُّأُمَّهُ
Dari
Abdullah bin Amr RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Termasuk di antara
dosa besar seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya.” Beliau kemudian
ditanya, “Bagaimana caranya seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya?” Beliau
menjawab, “Seorang lelaki mencaci maki ayah orang lain, kemudian orang yang
dicaci itu pun membalas mencaci maki ayah dan ibu tua
lelaki tersebut
- Kedudukan sebagai sumber hukum
Kedudukan
Saddu Dzari’ah
Tidak
semua ulama sepakat dengan sadd al-dzarỉ‘ah sebagai metode
dalam menetapkan hukum. Secara umum berbagai pandangan ulama tersebut bisa
diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu 1) yang menerima sepenuhnya; 2)
yang tidak menerima sepenuhnya; 3) yang menolak sepenuhnya.
Kelompok
pertama, yang menerima sepenuhnya sebagai
metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Maliki dan mazhab Hambali. Para
ulama di kalangan Mazhab Maliki bahkan mengembangkan metode ini dalam berbagai
pembahasan fikih dan ushul fikih mereka sehingga bisa diterapkan lebih luas.
Kelompok
kedua, yang tidak menerima sepenuhnya
sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i.
Dengan kata lain, kelompok ini menolak sadd al-dzarỉ‘ah sebagai
metode istinbath pada kasus tertentu, namun menggunakannya
pada kasus-kasus yang lain.
Kelompok
ketiga, yang menolak sepenuhnya sebagai
metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Zhahiri. Hal ini sesuai dengan
prinsip mereka yang hanya menetapkan hukum berdasarkan makna tekstual(zhâhir
al-lafzh). Sementara sadd al-dzarỉ‘ah adalah hasil
penalaran terhadap sesuatu perbuatan yang masih dalam tingkatan dugaan,
meskipun sudah sampai tingkatan dugaan yang kuat. Dengan demikian, bagi mereka
konsep sadd al-dzarỉ‘ah adalah semata-mata produk akal dan
tidak berdasarkan pada nashsecara langsung.
Masalah
ini menjadi perhatian para ulama’ karena banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an yang
mengisyaratkan kearah itu, umpamanya:
- Surat Al-An’am ayat 108 yang artinya: Janganlah kamu caci orang yang menyembah selain Allah, karena nanti ia akan memushi tanpa pengetahuan.
Sebenarnya
mencaci dan menghina penyembah selain Allah itu boleh-boleh saja, bahkan jika
perlu boleh memeranginya, namun karena perbuatan mencaci dan menghina itu akan
menyebabkan penyembah selain Allah itu akan mencaci Allah, maka perbuatan
mencaci dan menghinanya menjadi dilarang.
- Surat al-Nur ayat 31 yang artinya: Janganlah perempuan itu menghentakkan kakinya supaya diketahui orang perhiasan yang tersembunyi didalamnya.
Sebenarnya
menghentakkan kaki itu bagi perempuan boleh saja, tapi kaena menyebabkan
perhiasannya yang tersembunyi doketahui orang sehingga menimbulkan angsangan
bagi yang mendengarnya, maka menghentakkan kaki bagi perempuan itu menjadi
terlarang.[4]
Dari
dua contoh ayat diatas terlihat adanya larangan bagi perbuatan yang dapat
menyebabkan sesuatu yang terlarang, meskipun pada dasarnya perbuatan itu boleh
hukumnya.
Dari
ayat yang sudah dibahas diatas juga dapat diketahui bahwa Saddus Zari,ah
mempunyai dasar dari al-Qur,an, sedangkan dasar-dasar saddus zari’ah dari
sunnah adalah:
- Nabi melarang membunuh orang munafik, karena membunuh orang munafik bisa menyebabkan nabi dituduh membunuh sahabatnya.
- Nabi melarang kreditor untuk menerima hadiah dari debitor karena cara demikian bisa mengarah kepada riba, atau untuk ikhtiyat.
- Nabi melarang memotong tangan pencuri pada waktu perang dan ditangguhkan sampai selesai perang, karena dikhawatikan tentara-tentara lari bergabung bersama musuh.
- Nabi melarang melakukan penimbunan karena penimbunan bisa mengakibatkan kesulitan manusia.[5]
Nabi
melarang fakir miskin dari bani hasyim menerima bagian dari zakat agar tidak
menimbulkan fitnah bahwa nabi memperkaya diri dan keluarganya dari zakat
- Objek Saddu Al-Dzari’ah
Pada
dasranya yang menjadi objek dzari’ah adalah semua perbuatan ditinjau dari segi
akibatnya yang dibagi menjadi empat, yaitu :
1)
Perbuatan yang akibatnya menimbulkan kerusakan/bahaya, seperti menggali sumur
di belakang pintu rumahdijalan gelap yang bisa membuat orang yang akan masuk
rumah jatuh kedalamnya.
2)
Perbuatan yang jarang berakibat kerusakan/bahaya, seperti berjual makanan yang
tidak menimbulkan bahaya, menanam anggur sekalipun akan dibuat khamar. Ini
halal karena membuat khamar adalah nadir (jarang terjadi)
3)
Perbuatan yang menurut dugaan kuat akan menimbulkan bahaya; tidak diyakini dan
tidak pula dianggap nadir (jarang terjadi). Dalam keadaan ini, dugaan
kuat disamakan dengan yakin karena menutup pintu (saddu dzari’ah) adalah
wajib mengambil ihtiat (berhati-hati) terhadap kerusakan sedapat
mungkin, sedangkan ihtiat tidak diragukan lagi menurut amali menempati
ilmu yakin. Contohnya menjual senjata diwaktu perang/fitnah, menjual anggur
untuk dibuat khamar, hukumnya haram.
4)
Perbuatan yang lebih banyak menimbulkan kerusakan, tetapi belum mencapai tujuan
kuat timbulnya kerusakan itu, seperti jual-beli yang menjadi sarana bagi riba,
ini diharamkan. Mengenai bagian keempat initerjadi perbedaan pendapat
dikalangan para ulama, apakah ditarjihkan yang haram atau yang halal. Imam
Malik dan Imam Ahmad menetapkan haram.
- Pengelompokan Saddu Dzari’ah
Dzari’ah
dapat dikelompokkan dengan melihat beberapa segi:
1)
Dari segi akibat (dampak) yang ditimbulkannya, Ibnu Qayyim membagi dzari’ah
menjadi 4 yaitu:
–
Dzari’ah yang pada dasarnya membawa kepada kerusakan. Contohnya, minuman yang
memabukkan akan merusak akal dan perbuatan zina akan merusak keturunan.
–
Dzari’ah yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah (boleh), namun ditujukan
untuk pebuatan buruk yang merusak baik yang disengaja seperti nikah muhallil,
atau tidak disengaja seperti mencaci sesembahan agama lain.
–
Dzari’ah yang semula ditentukan mubah, tidak ditujukan untuk kerusakan, namun
biasanya sampai juga kepada kerusakan dan kerusakan itu lebih besar daripada
kebaikannya. Seperti berhiasnya seorang istri yang baru ditinggal mati oleh
suaminya, sedangkan dia dalam masa iddah.
–
Dzari’ah yang semula ditentukan mubah, namun terkadang membawa kepada kerusakan
tetapi kerusakannya lebih kecil daripada kebaikannya. Contoh dalam hal ini
adalah melihat wajah perempuan saat dipinang.
2)
Dari segi tingkat kerusakan yang ditimbulkannya, Abu Ishak al-Syatibi membagi
dzari’ah menjadi 4 macam:
–
Dzari’ah yang membawa kerusakan secara pasti. Umpamanya menggali lobang ditanah
sendiri yang lokasinya didekat pintu rumah orang lain diwaktu gelap.
–
Dzari’ah yang kemungkinan besar mengakibatkan kerusakan. Umpamanya menjual
anggur kepada pabrik minuman dan menjual pisau tajam kepada penjahat yang
sedang mencari musuhnya.
–
Perbuatan yang boleh dilakukan karena jarang mengandung kemafsadatan.
–
Perbuatan yang pada dasarnya mubah karena mengandung kemaslahatan, tetapi
dilihat dari pelaksanaannya ada kemungkinan membawa kepada sesuatu yang
dilarang. Misalnya semacam jual-beli yang dilakukan untuk mengelak dari riba,
umpama si A menjual arloji kepada si B dengan harga rp 1.000.000 dengan hutang,
dan ketika itu arloji tersebut dibeli lagi oleh si A dengan harga rp 800.000
tunai, si B mengantongi uang p 800.000 tetapi nanti pada waktu yang sudah
ditentukan si B harus membayar rp 1000.000 pada si A. Jual beli seperti
ini dikenal dengan bai’ al-ainah atau bai’ul ajal.
- Contoh Saddu Al-Dzari’ah
Melarang
perbuatan/permainan judi tanpa uang. Melarang orang minum seteguk minuman
keras, padahal seteguk itu tidak memabukkan. Melihat aurat perempuan itu
dilarang, untuk menyumbat jalan terjadinya perzinaan. Larangan semacam ini
untuk menutup jalan agar jangan sampai muncul/bertambahnya penjudi, pemabuk,
dan pezina.
No comments:
Post a Comment