Wednesday, November 18, 2015

PERLINDUNGAN ANAK MERUSAK DUNIA PENDIDIKAN



PERLINDUNGAN ANAK MERUSAK
DUNIA PENDIDIKAN

M.Rakib Pekanbaru Riau Indonesia

      Menurut  http://www.kompasiana.com/adrian, baahwa UU Perlindungan Anak merusak dunia pendidikan. Guru-guru lama,  sangat tidak setuju dengan UU Perlindungan Anak, karena UU itu bisa digunakan anak untuk merendahkan martabat guru. Dia sangat prihatin dengan nasib para guru. Hukuman Bukan Penganiayaan Saya melihat ada sedikit kekeliruan dalam masalah UU Perlindungan Anak. Kekeliruan itu berkaitan dengan kata “penganiayaan”. Bagi saya yang masuk kategori penganiayaan adalah kekerasan yang bertubi-tubi. Ia mirip dengan penyiksaan.

 Misalnya, memukul atau menempeleng berkali-kali, sekalipun murid sudah minta ampun. Tapi jika cuma sekali, itu bukan penganiayaan. Kalau dikatakan kekerasan baru bisa. Kalau kasus seperti IPDN saya baru setuju jika itu dikatakan penganiayaan dan memang kejam, karena kekerasan yang dilakukan bertubi-tubi. Misalnya, dipukul lalu ditendang berkali-kali. Karena itu wajar jika ada yang cacat dan bahkan sampai tewas. Saya tidak setuju jika menempeleng yang hanya sekali saja masuk kategori kekejaman (pasal 13 ayat 1) atau hukuman yang tidak manusiawi (pasal 16 ayat 1).

        Dalam kasus-kasus penganiayaan yang terjadi di sekolah yang dilakukan oknum guru selama ini, bagi saya masih masuk kategori kekerasan, bukan kekejaman, penganiayaan apalagi hukuman yang tidak manusiawi. Yang menjadi persoalan, haruskan kekerasan itu dihukum, jika kekerasan itu bertujuan baik, yaitu menyadarkan orang akan kesalahannya. Untuk bisa sampai pada tingkat sadar itu memang sering menyakitkan. Kekerasan itu ibarat shock therapy bagi pasien. Selain itu harus juga diperhatikan soal kewajiban sang anak.

        Dalam UU Perlindungan Anak, khususnya bab yang berbicara soal hak dan kewajiban anak, ada begitu banyak pasal berkaitan dengan hak anak (18 pasal), sementara kewajiban hanya satu pasal saja (pasal 19). Cukup menarik kalau kita perhatikan bunyi pasal 19 UU Perlindungan Anak ini: Setiap anak berkewajiban untuk : 1. menghormati orang tua, wali, dan guru; 2. mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman; 3. mencintai tanah air, bangsa, dan negara; 4. menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan 5. melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.

         Muncul pertanyaan, jika anak tidak melaksanakan kewajibannya, adakah sanksi yang dapat diberikan kepada anak? Selama ini tidak ada yang melihat hal ini. Orang hanya disibukkan untuk melihat hak anak, sehingga pelanggaran terhadap hak anak yang selalu ditindak. Apakah berkaitan dengan nominal uang yang cukup banyak sehingga menjadi daya tarik bagi polisi dan pengacara? Namun, bagaimana dengan kewajiban anak? Apakah anak yang tidak melakukan kewajibannya, seperti yang tertera dalam UU Perlindungan Anak, juga dapat ditindak? Seperti contoh kasus di atas.

        Anak SD Harmoni itu diberitakan mengganggu temannya yang sedang latihan menari. Artinya, ia tidak melakukan kewajiban no. 2 dalam pasal (19) UU Perlindungan Anak. Atau dalam kasus SMK Gajah Mungkur, siswa tersebut tidak melaksanakan kewajiban no. 3 dan 5.
          Apakah guru punya wewenang melaporkan siswa yang tidak melaksanakan kewajibannya ke polisi? Dan apa sanksi buat anak tersebut? Harus diingat bahwa dalam hukum itu, hak dan kewajiban itu mesti seimbang. Orang tidak bisa hanya menuntut haknya saja tanpa melaksanakan kewajibannya. Oleh karena itu, berkaitan dengan UU Perlindungan Anak, perlu juga ditinjau soal keseimbangan antara hak dan kewajiban bagi anak itu sendiri. Jangan hanya membebani kesalahan pada guru. Adrian Susanto /adrian.su4 pekerjaan swasta Selengkapnya... IKUTI 0 5 0 0 KOMPASIANA ADALAH MEDIA WARGA, SETIAP KONTEN DIBUAT OLEH DAN MENJADI TANGGUNGJAWAB PENULIS.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/adrian.su4/uu-perlindungan-anak-derita-guru_5519407081331102769de0bd

Seorang siswa kelas 3 Sekolah Dasar Negeri (SDN) 042 Sulewatang bernama Sandi, mengaku dianiaya guruya bernama Nudia, Selasa (10/11/2015), lantaran disangka sebagai pelaku keributan didalam kelas. Sandi mengaku dipukul di bagian belakang tubuhnya, sehingga menyebabkan luka memar.
Menurut Samsia ibu Sandi, dirinya tidak mengetahui kalau anaknya dipukul, atau mendapat tindakan kekerasan. Namun saat dia mengganti baju Sandi anaknya, Samsia melihat bagian belakang anaknya memerah, karena luka memar.
Bukan itu saja, Hasna ibu siswa bernama Fajrin, mengaku anaknya juga mendapat tindakan kekerasan, dari guru yang sama. Fajrin, kata ibunya, dipukul dibagian kepalanya, menggunakan gagang sapu. Akibat pemukulan itu, Fajrin mengalami bekas luka di bagian atas mata kanannya.
Kejadian kekerasan terhadap anak ini, sudah sering terjadi. MenurutHasna, sudah ada siswa yang tidak mau kesekolah karena takut kepada guru yang suka menggunakan kekerasan dalam mendidik anak. “Mungkin dia trauma karena kekerasan dan sekarang tidak mau pergi sekolah.” ungkap Hasna kepada wartawan.
Ketika wartawan mendatangi SDN 042 Sulewatang, pihak sekolah tidak ditempat.Sebanyak tujuh orang ibu siswa yang ditemui disekolah itu, membenarkan jika oknum guru inisial L sering melakukan kekerasan. Mereka menyayangkan tindakan guru tersebut.
Sementara oknum guru SDN 042 Sulewatang. Ludia yang diduga melakukan kekerasan kepada muridnya membantah dan tidak mengaku memukul siswanya. Dia. Mengatakan, dirinya hanya memukul meja dan tidak memukul siswanya.
Terkait masalah kekerasan anak yang dialami Sandi, Kepala Devisi Investigasi Lembaga Bantuan Hukum Sulawesi Barat (LBH – SULBAR), Sukriwandi, Kamis (12/11/2015), mengecam tidakan kekerasan, yang dilakukan oknum tenaga pendidik tersebut. Menurutnya, tindakan kekerasan yang dilakukan oknum guru, kepada anak didiknya itu, sudah diluar kewajaran dari sifat seorang pendidik yang harus dimilikinya.
“ Tidak ada alasan mereka melakukan kekerasan seperti itu, sebab mereka adalah guru Pendidik. selain itu juga sudah jelas diatur dalam UU no 23 tahun 2002 yang sudah direvisi ke UU 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak jelas diatur disitu bahkan sangat keras sanksi pidananya,” ujarnya.
Dikatakan, bila anak yang bersalah,tidak boleh langsung disentuh secara fisik. Mereka harus dilindungi, dan guru yang melakukan ini, harus diberikan sanksi berat oleh Dinas terkait dalam hal ini Dinas Pendidikan Kabupaten Polewali Mandar. Bila perlu, orang tuanya bisa melaporkan kepihak Kepolisian.
Sementara itu, Wakil ketua komisi IV yang membindangi Pendidikan DPRD Kabupaten Polman, Syahabuddin Muhammad Sunusi (SMS) ketika ditemui dikantor DPRD mengatakan, belum mengetahui persis bagaimana permasalahn ini. Jika benar adanya, kekerasan anak tentu tidak boleh dilakukan oleh seorang guru.Kalau memang benar, maka dari Komisi IV akan memanggil dan menghearing guru itu.
Informasi ini, kata Syahabuddin, akan menjadi acuan DPRD Polman, untuk melayangkan surat kepada Dinas terkait, agar segera melakukan hearing kepada guru yang telah berbuat negative, terhadap para siswa.HAM/SMS

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook