Tuesday, December 31, 2013

APAKAH ISLAM MENGANDUNG “PRINSIP EMAS” ?



APAKAH ISLAM MENGANDUNG “PRINSIP EMAS” ?

Posted on by siapmurtad
By Brian Macker, 2005/10/14

Saya membaca Quran untuk belajar tentang Islam. Ternyata Quran tidak ditata dgn baik dan oleh karena itu tidak nikmat membacanya. Bahkan membosankan karena berulang2 mengatakan kpd pembaca bahwa ia bukan orang beriman atawa orang baik kalau bukan Muslim. Plus, Quran sering salah kutip cerita2 Injil dan malah membohong tentang agama orang lain dan sejarah (contoh: Iskandar/Alexander the Great dikatakan sbg Muslim. Aneh !).

Akhirnya saya menggunakan situs lain utk memudahkan pengertian saya tentang Quran ini. Ada situs yang membagi topik2 Quran kedalam topik “ketidakadilan” , “tidak ada toleransi”, “absurditas” dsb dan saya mengecek isi surah2 tsb dgn situs2 Islam. Ternyata isinya semua sama.
Kesimpulan saya : Islam tidak memiliki konsep “The Golden Rule”. Ini mengagetkan saya

1.Wahai  Brian Macker, 2005/10/14…Kayaknya  anda seorang yang punya intelektual tinggi, ada baiknya anda membaca Fiqh Maqashid Syari’ah (مَقَاصِدُ الشَّرِيعَةِ) yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia…
Tulisan berdasarkan Dirasat fi Fiqh Maqashid Asy-Syari’ah (Baina al-Maqashid al-kulliyyah wa an-Nushush al-Juz’iyyah) oleh Dr. Yusuf al-Qardhawi
2.Wahai  Brian Macker,  Dienul Islam adalah cara hidup yang paling sempurna yang membawa rahmatan lil ‘alamin. Ianya terus hidup dan senantiasa sesuai dengan perkembangan zaman dan segala keadaan yang dihadapi oleh umatnya, elastik dan tidak stagnan. Allah Maha Bijaksana (Al-Hakim), di mana Dia tidak menciptakan sesuai dengan main-main atau penuh dengan kebathilan. Dia tidak akan membuat sesuatu hukum untuk sia-sia atau menunjuk-nunjuk kerana Allah swt. sama sekali tidak memerlukan kepada hamba-hambaNya. Segala diperintah, dilarang, dihalalkan, diharamkan dan didiamkan adalah untuk kemaslahatan manusia agar mereka jauh daripada kesesatan dan kerosakan.
Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa dasar dan asas syari’at adalah untuk mewujudkan kemaslahatan hamba dunia dan akhirat. Menurutnya, seluruh hukum itu mengandung keadilan, rahmat, kemaslahatan dan hikmah, jika keluar dari keempat nilai yang dikandungnya, maka hukum tersebut tidak dapat dinamakan syari’at. 1
3.Wahai  Brian Macker.  Umat Islam adalah umat yang diharapkan untuk memimpin umat manusia ke arah rahmat dan keadilan, bukannya membawa manusia jauh dengan pelbagai kesimpulan yang bengis dan menakutkan atau pun lembik yang menjadi hamba kepada kemahuan pihak lain. Ini terjadi apabila maksud-maksud syari’at gagal difahami dalam bingkai konnashnya seperti manhaj orang-orang nashtual yang memahami nash-nash dengan terfokus kepada zahir dan literalnya, dan tidak melihat kepada makna, pokok (substance) dan hakikat. Adapun golongan yang dibaratkan, baik sekular, liberal dan marxis, mereka menolak segala hal yang berhubungan dengan Islam, dan berkiblatkan London, Washington, Paris dan sebagaimana dengan mengatasnamakan maqasid syari’at.

Manfaat Mempelajari Maqashid Syari’ah
Ada beberapa manfaat bila kita mempelajari Maqashid Syari’ah, antara lain:
  • Mengungkapkan tujuan, alasan, dan hikmah tasyri’ baik yang umum atau khusus, integral atau parsial di segala bidang kehidupan dan dalam setiap ajaran Islam.
  • Menegaskan karakteristik Islam yang sesuai dengan setiap zaman, abadi, realistik dan menarik.
  • Membantu ulama dalam berijtihad dalam bingkai tujuan syari’at.
  • Memadukan secara seimbang prinsip “Mengambil zhahir nash” dengan prinsip “memperhatikan ruh dan  substansi nash”
  • Mempersempit perselisihan dan ta’ashub di antara pengikut mazhab fiqih.

Pengertian Maqashid Syari’ah
Maqashid bererti kesengajaan atau tujuan, Maqashid merupakan bentuk jama’ dari maqsud yang berasal dari suku kata Qashada yang berarti menghendaki atau memaksudkan, Maqashid berarti hal-hal yang dikehendaki dan dimaksudkan. Sedangkan syari’at secara bahasa berarti المواضع تحدر الي الماء ertinya Jalan menuju sumber air, jalan menuju sumber air dapat juga diartikan berjalan menuju sumber kehidupan.
Didalam Al-Qur’an Allah swt. menyebutkan beberapa kata syari’at diantaranya sebagai mana yang terdapat dalam Surah Al-Jassiyah dan Asy-Syura:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الأمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ (١٨)
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syari’at itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. (Al-Jatsiyah 45 : 18)
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ وَلَوْلا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (٢١)
Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa iaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. (Asy-Syura 42: 13)
Perkataan syari’at apabila disebut para ulama boleh terdiri kepada dua pengertian;
  1. Seluruh agama yang mencakup akidah, ibadah, adab, akhlak, hukum dan mu’amalat
  2. Sisi hukum amal di dalam agama
Di dalam tulisan ini, kami memlilih yang kita maksudkan syari’at adalah seluruh maksud Islam kerana akidah adalah pokok, asas dan banggunan seluruh agama.
Dalam istilah para ulama, Maqashid Asy-Syari’ah adalah: tujuan yang menjadi target nash dan hukum-hukum partikular untuk direalisasikan dalam kehidupan manusia, baik berupa perintah, larangan, dan mubah. Untuk individu, keluarga, jamaah dan umat. 2
““Maksud-maksud” juga boleh disebut dengan hikmah-hikmah yang menjadi tujuan ditetapkan huku. Baik yang diharuskan ataupun tidak. Kerana dalam setiap hukum yang disyari’atkan oleh Allah untuk hambaNya pasti terdapat hikmah.” 3
Contohnya di dalam pewarisan harta, syari’at Islam memberikan hak istimewa kepada anak perempuan daripada anak lelaki kerana meskipun tidak perlu menanggung kewajipan seperti yang ditanggung anak lelaki, anak perempuan tetap diberikan harta waris.
“Maksud-maksud syari’at bukanlah ‘illat (motif penetapan hukum) yang disebutkan oleh para ahli ushul fikih dalam bab qiyas dan didefinisikan edngan “sifat yang jelas, tetap, dan sesuai dengan hukum.” Illat tersebut sesuai dengan hukum, tetapi ia bukan maksud bagi hukum tersebut.” 4
Sebagai contoh, ‘illat rukhsah ketika safar baik dalam bentuk jama’-qashar atau berbuka ketika shaum di bulan Ramadhan adalah safar, bukannya hikmah yakni kesusahan yang dirasakan sewaktu bermusafir. Para ahli ushul fikih  tidak menyatukan antara hukum dan hikmah kerana hikmah sulit untuk ditetapkan contohnya jika kesusahan itu i’llat, mungkin ada orang yang mengatakan saya tidak susah.

Jalan Menuju Maqashid Syari’ah
Untuk menuju kepada maksud-maksud syari’at. Hujjatul Islam Abul Hamid Al-Ghazali telah membuat satu perbahasan khusus yang menjelaskan tentang maslahat sebagai asal yang tidak jelas (ash mauhum) dan membahaginya kepada tiga (3) tingkatan yang kemudiannya dirinci oleh Imam Asy-Syathibi 5 dll iaitu: الضروريات مقاصدحاجيات مقاصد dan مقاصد التحسينات
    1. Dharûriyât (primer) ertinya harus ada demi kemaslahatan hamba, yang jika tidak ada, akan menimbulkan kerusakan, misalnya rukun Islam. 
    2. Hâjiyât (sekunder) maksudnya sesuatu yang diperlukan untuk menghilangkan kesempitan, seperti rukhsah (keringanan) tidak berpuasa bagi orang sakit. 
    3. Tahsiniat (tertier) ertinya sesuatu yang diambil untuk kebaikan kehidupan dan menghindarkan keburukan, semisal akhlak yang mulia, menghilangkan najis, dan menutup aurat. 
Dharûriyât  dijelaskan dengan lebih rinci mencakup lima tujuan (al-kulliyyat al-khamsah), iaitu :
    1. menjaga agama (hifzh ad-din)
    2. menjaga jiwa (hifzh an-nafs)
    3. menjaga akal (hifzh al-‘aql)
    4. menjaga keturunan (hifzh an-nasl)
    5. menjaga harta (hifzh al-mal)
Sehingga tujuan dari Maqashid Syariah akan tercapai jika terpenuhinya penjagaan kelima unsur yang telah disebutkan tadi.
Namun orientasi para ahli Ushul Fiqih di zaman dahulu lebih diarahkan kepada individu, tidak kepada masyarakat, umat, Negara dan hubungan kemanusiaan. Dr Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa maksud-maksud syari’at boleh dicapai dengan beberapa jalan;
  1. Meneliti setiap ‘illat nash Al-Quran dan As-Sunnah
  2. Meneliti, mengikuti, dan memikirkan hukum-hukum partikular. Untuk kemudian menyatukan antara satu hukum dengan hukum yang lain agar dari penelitian ini kita dapat mendapatkan maksud-maksud umum yang menjadi maksud Allah dalam membuat hukum-hukum tersebut.
Imam Asy-Syathibi menyebutkan tiga (3) syarat yang diperlukan untuk memahami Maqashid Syari’ah. Ketiga syarat itu adalah:
  1. Memiliki pengetahuan tentang Bahasa Arab. Contoh: lafaz ‘am, lafaz Khas, musytarak, haqiqat, majaz, dilalah lafaz, dan nasakh
  2. Memiliki pengetahuan tentang Sunnah
  3. Mengetahui sebab-sebab turunnya Ayat

Maqashid Syari’ah adalah Manhaj Para Sahabat
Fikih Khulafaur-rasyidin, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbad, Ibnu Umar, Aisyah, Muadz, Zaid bin Tsabit pasti akan terlihat dengan jelas bahwa mereka memerhatikan terhadap hal-hal yang ada di belakang hukum baik merupakan ‘illat, kemaslahatan, ataupun hikmah serta maksud-maksud yang ada di dalam perintah dan larangan.
Contoh –
1. Ketika Muadz bin Jabal diutus ke Yaman, baginda saw. menyuruh Muadz ra. agar mengambil zakat daripada orang-orang kaya untuk diberikan kepada faqir miskin. “Ambillah biji daripada biji, kambing daripada kambing, unta daripada unta dan lembu daripada lembu.” HR Bukhari
Ketika ibu kota khalifah memerlukan banyak bantuan, Muadz tidak mengambil biji keculai dari biji secara literal, tetapi berpendapat bahwa mengambil harga/nilai yang ada dalam harta zakat untuk memenuhi keperluan kaum muslimin dengan mengambil pakaian dan kain Yaman.
2. Umar ra. yang merubah aqilah (kerabat daripada pihak bapa untuk membayar diyat dalam pembunuhan tidak sengaja) kepada dewan kerana tolong-menolong (tanashur) pada zaman sebelumnya adalah fanatisme kabilah tetapi dasar tolong-menolong kini telah berubah. Sesuatu boleh menjadi aqilah sesuai dengan tempat dan waktu bagi orang yang menolong seseorang di waktu dan tempat tersebut seperti sewaktu anda berada di luar negara, jauh daripada keluarga atau pertubuhan.

Beberapa Pendekatan dalam memahami maksud-maksud global dalam syari’at dan nash-nash partikular
Seharusnya, nash-nash yang partikular berjalan dalam kerangka yang global dan hukum-hukum perlu dihubungkan dengan maksud-maksudnya, bukan dipisahkan. Namun terdapat dua (2) madrasah yang memiliki manhaj yang pelik.
Pertama (Zhohiriyyah); Madrasah yang lebih bergantung kepada nash-nash partikular, memahaminya dengan pemahaman literal dan jauh daripada maksud-maksud syari’at yang ada di belakangnya
Ciri-ciri –
  1. Pemahaman dan penafsiran yang literal. Contoh dalam masalah isbal 6 (memanjangkan kain melebihi buku lali) dan tidak memandang ‘illat yang ada pada hadis lain yang sahih yang mengharamkan isbal kerana “kesombongan”
  2. Keras dan menyulitkan. Mereka berpendapat apa sahaja hal yang mereka putuskan adalah kebenaran yang sesuai dengan dalil. Pendapat mereka lebih dekat kepada haram sedangkan ulama salaf tidak pernah menyebutkan kata “haram” kecuali terhadap hal yang jelas-jelas di haramkan.
  3. Sombong terhadap pendapat mereka. Pendapat mereka adalah kebenaran mutlak dan selainnya salah.
  4. Tidak menerima orang-orang yang berbeza pendapat.
  5. Mengkafirkan orang-orang yang berbeza pendapat. Mereka ada yang menghukum sesiapa yang berbeza pendapat dengan mereka sebagai khawarij dan kafir. Sedangkan menurut kaedah hukum orang yng dituduh adalah “benar” sehingga terbukti bersalah
  6. Tidak peduli terhadap fitnah.
Landasan –
  1. Memahami nash dengan literal tanpa melihat ‘illat, makna dan maksud-maksud yang terkandung dalam nash tersebut. Sedangkan para sahabat berselisih pendapat dalam sabda nabi “Tidak boleh ada seorang pun yang solat kecuali di Bani Quraizhah” HR Bukhari
  2. Mengingkari ta’lil (reasoning) hukum yang berasal dari akal dan ijtihad manusia. Ulama bersepakat ta’lil tidak dibolehkan dalam hukum ibadah kerana dasar ibadah adalah ta’abbud tanpa mengetahui hikmah sedangkan dasar mu’amalah adalah mengetahui makna, rahsia dan maksud-maksud.
  3. Kurang menghargai peranan aqal, dan cenderung tidak menggunakan aqal (rasional) untuk memahami nash.
  4. Menempun jalan yang sulit dalam hukum. Mereka mencela fiqh taysir sedangkan Nabi saw. bersabda, “Tidak diberi pilihan dua perkara kecuali selalu mengambil yang paling mudah, selama ia tidak dosa.” HR Bukhari
Fatwa harus berubah seiring perubahan zaman, tempat, tradisi dan keadaan.
Antara Hasil Madrasah Ini –
1. Mengharamkan/Membatalkan harga wang kertas (Pendapat golongan al-ahbasy di Lebanon) kerana ia bukanlah wang yang terdapat di dalam Al-Quran dan As-Sunnah dan wang itu tidak perlu dikeluarkan zakat dan tidak berlaku riba’ keatasnya.
Sedangkan dengan wang inilah kita menjalankan kehidupan seharian.
2. Menggugurkan zakat harta perdagangan kerana tidak berubah menjadi wang dn terjadi perubahan sedikit hingga mencapai haul.
Sedangkan dalam dunia perniagaan hari ini, barang dagangan sentiasa datang dan pergi dan ini bertentangan dengan maksud hukum zakat itu sendiri.
3. Zakat fitrah harus dikeluarkan dari makanan sahaja sedangkan inti kepadanya adalah menjadikan kecukupan orang miskin di hari yang mulia itu.
4. Mengharamkan fotografi/video
Kedua; Madrasah yang jauh menyimpang daripada Al-Quran dan As-Sunnah dengan klaim mereka bergantung kepada maksud-maksud syari’at dan ruh agama dengan membatalkan nash-nash partikular untuk menghalalkan liberalisme, sekularisme, modernisme dan sebagainya yang menjadi hamba kepada al-hawa.
Ciri-ciri –
  1. Dangkal pemahaman terhadap syari’at.
  2. Berani berpendapat tanpa ilmu, untuk berlaku sombong dan melakukan klaim-klaim.
  3. Hamba barat
Landasan –
1. Meninggikan aqal daripada wahyu. Mereka berdalil “Allah mengkehendaki kemudahan bagimu, dan tidak mengkehendaki kesukaran bagimu.” (Al-Baqarah: 185) untuk membatalkan nash-nash syari’at.
Sehebat mana-pun aqal manudia di zaman moden ini, jutaan manusia terjerumus dalam kehancuran akibat aqal yang dipandu tanpa wahyu
2. Mengklaim bahwa Umar ra. membatalkan nash atas nama maslahat.
Contoh sikap Umar ra. zakat memberikan bahagian zakat kepada muallaf (at-Taubah: 60), membatalkan pembahagian ghanimah di antara orang-orang yang ikut berperang (al-Anfal: 41) dan tidak melaksanakan had mencuri pada tahun kelaparan (al-Maidah: 38).
Sedangkan fiqih Umar ra. tidak pernah lari daripada maksud-maksud syari’at. Kerana tidak ada objek yang perlu dipujuk hatinya, maka ‘illat hilang dan Rasulullah telah memujuk hati mereka para muallaf demi kemaslahatan Islam sedangkan di zaman Umar Allah swt. telah memuliakan Islam hinggakan tiada alasan lagi untuk memujuk hati mereka.
Hudud pula harus dihindari kerana adanya syuhbat.
3. Salah faham terhadap pemikiran Najmuddin ath-Thufi
4. Berpegang dengan kaedah, “Dimana ada kemaslahatan, di sanalah ada syari’at Allah”
Yang sebenarnya mereka tidak mengambil kaedah yang dinisbatkan kepada Ibnul Qayyim ini baik pada teks mahupun lafaznya kerana mereka menganggap syari’at Allah wajib menurut kemaslahatan sedangkan sepatutnya “dimana ada syari’at Allah di sanalah ada kemaslahatan manusia.”
Antara Hasil Madrasah Ini –
1. Membuang nash qath’i dan mengambil nash mutasyabihat
Contoh mereka berpendapat Allah tidak mengharamkan arak dengan jelas seperti bangkai, darah dan daging babi dan mereka ragu terhadap As-Sunnah.
Sedangkan yang haram di dalam Al-Quran tidak semestinya menggunakan lafaz haram.
2. Melawan hukum Islam dan Hudud atas nama kemaslahatan
Contoh mengatakan maksud ibadah adalah mensucikan jiwa dan dengan maksud itu kita boleh beribadah dengan apa cara sekalipun. Mereka juga menghalalkan pelacuran, arak dan riba dengan berbagai alasan contohnya untuk menarik pelancong untuk kemajuan.
3. Munculnya pemikiran-pemikiran yang keliru

Madarasah Moderat – Menggabungkan Teks-Teks Partikular dan Maksud-Maksud Global
Inilah manhaj “jalan lurus” (ash-shirath al-mustakim) yang menolak extremisme kedua kelompok di atas. Firman Allah swt.;
أَلا تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانِ (٨)وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ (٩)
Supaya kamu tidak melampaui batas dalam menjalankan keadilan; an betulkanlah cara menimbang itu dengan adil, serta janganlah kamu mengurangi barang yang ditimbang. (Surah Ar-Rahman: 8-9)
Ciri-ciri –
1. Percaya kepada hikmah syari’at yang mengandung kemaslahatan. (al-Baqarah: 143, 185, 220, al-Maidah: 6, al-Hajj: 78, an-Nisa’: 28, al-Anbiya’: 107)
Berkata Ibnul Qayyim,
Seluruh syari’at mengandung keadilan, rahmat, kemaslahatan, dan hikmah. Segala masalah yang mengubah keadilan menjadi kezaliman, rahmat menjadi bencana, maslahat menjadi kemudharatan, dan hikmah menjadi kebathilan, adalah bukan syari’at. Meskipun masalah tersebut dicuba untuk ditakwil. 7
2. Menggabungkan nash dan hukum syari’at. Hukum syari’at harus dilihat secara komprehensif, dan tidak terpisah antara satu sama lain.
3. Memandang dengan adil terhadap urusan agama dan dunia
4. Menyambungkan nash dengan realiti kehidupan. Contoh permasalahan kaum muslimin yang minoriti di negeri bukan Islam
5. Memudahkan manusia.
6. Terbuka, dialog, dan toleransi terhadap dunia.
Landasan –
  1. Mencari maksud-maksud syari’at sebelum mengeluarkan hukum.
Contoh hadis Ibnu Umar “Berbezalah dengan orang-orang musyrik, panjangkanlah janggut dan potonglah misai.” Muttafaqun ‘Alaih
    • ‘illat khusus hadis ini adalah tidak menyamai bentuk dan gaya non-muslim.
    • Apakah perbezaan bentuk tersebut termasuk ke dalam adh-dharuriyyat, al-hajiyyat atau at-tahsiniyyat ? Justru ia lebih sesuai kepada at-tahsiniyyah yang sama dengan sunnah, bukan wajib.
    • Sama seperti perintah warnakan uban dll. Tetapi memakai hijab adalah wajib dan tidak boleh ditinggalkan
2. Memahami nash dalam bingkai sebab dan keadaannya
Ada hukum yang dibangun daripada sesetengah hadis yang gugur apabila hilang ‘illatnya.
    • Contoh seperti wanita bepergian tanpa mahram dan seseorang yang mengetuk pintu rumah di malam hari.
Seseorang wanita tidak boleh bepergian jauh kecuali dengan mahram” HR Bukhari
illat larangan di atas adalah adanya kekhuatiran atau rasa takut jika wanita pergi sendiri tanpa suami atau mahram di mana pada saat itu umumnya bepergian jauh menggunakan unta dll merentasi padang pasir.
    • Membukukan Al-Quran:
Janganlah kalian menulis dariku sedikit-pun. Barangsiapa yang menulis selain Al-Quran hendaklah menghapusnya.” HR Muslim
3. Membezakan antara maksud-maksud yang tetap dan wasilah-wasilah yang berubah
  • Contoh prinsip syura dalam kehidupan Islam (asy-Syura: 38), persiapkan kuda untuk menghadapi musuh (al-Anfal: 60), hijab muslimah (al-Ahzab: 59), siwak, melihat hilal dll
  • Tidak boleh mengubah maksud kepada wasilah atau sebaliknya. Contoh tidak perlu ruku’ dan sujud yang penting hati ikhlas berlawanan dengan hadis jibril
4. Menyesuaikan dengan yang telah tetap dan yang akan senantiasa berubah
Hal yang dibenarkan ijtihad adalah dalam nash-nash zhanni, baik tsubut, dilalah mahupun keduanya.
5. Melihat perbezaan makna dalam ibadah dan mu’amalah

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook