Wednesday, December 25, 2013

QANUN MENCONTOH, PIAGAM MADINAH ATURAN HUKUM, BEGITU MUDAH




QANUN MENCONTOH, PIAGAM MADINAH
ATURAN HUKUM, BEGITU MUDAH
DEMI KETERTIBAN, SEMUA UMMAH
DASARNYA ADALAH MUSYAWARAH


Hukum-hukum yang menyangkut pengelolaan wakaf, disamping peribadatan dan perorangan, dilaksanakan secara konsisten di kalangan umat Islam http://ekisonline.com/component/content/article/35-ekonomi-makro/281-wakaf-dan-pemberdayaan-ekonomi-umat.html – _ftn4. Semangat berwakaf ini pada zaman klasik terbukti mampu menciptakan suasana yang kondusif untuk bangkitnya intelektualisme muslim sehingga Islam mencapai puncak kegemilangannya http://ekisonline.com/component/content/article/35-ekonomi-makro/281-wakaf-dan-pemberdayaan-ekonomi-umat.html – _ftn5. Belakangan, Max Weber malah menuding lembaga keagamaan wakaf menyebabkan modal pada umumnya menjadi statis, sejalan dengan jiwa ekonomi kuno, yang mempergunakan kekayaan yang telah terkumpul sebagai sumber peminjaman, bukan sebagai modal yang terus-menerus diperbesar .
Terlepas dari penilaian Max Weber, Abdul Hai Farooqi http://ekisonline.com/component/content/article/35-ekonomi-makro/281-wakaf-dan-pemberdayaan-ekonomi-umat.html – _ftn7 menandaskan bahwa prinsip-prinsip perekonomian Islam ada dua. Pertama, dalam kehidupan individu, Islam bertujuan menciptakan kondisi-kondisi yang adil agar setiap individu cukup mampu menempuh kehidupan yang bersih dan layak. Kedua, dalam lingkungan masyarakat, segala daya upaya harus dikerahkan untuk mencapai keseimbangan antara individu dan masyarakat untuk mencapai jalan tengah antara perbedaan tajam dalam ekonomi. Pranata wakaf, sebagai salah satu sendi perekonomian Islam, juga tidak bisa lepas dari prinsip-prinsip ekonomi Islam sebagaimana dikemukakan farooqi di atas.


Lahirnya Undang-undang Republik Indonesia No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf diarahkan untuk memberdayakan wakaf yang merupakan salah satu instrumen dalam membangun kehidupan sosial ekonomi umat Islam. Kehadiran Undang-undang wakaf ini menjadi momentum pemberdayaan wakaf secara produktif, sebab di dalamnya terkandung pemahaman yang komprehensif dan pola manajemen pemberdayaan potensi wakaf secara modern.


Apabila dalam perundang-undangan sebelumnya, PP No.28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, konsep wakaf identik dengan tanah milik, maka dalam Undang-undang wakaf yang baru ini konsep wakaf mengandug dimensi yang sangat luas. Ia mencakup harta tidak bergerak maupun yang bergerak, dan penggunaannya tidak terbatas untuk pendirian tempat ibadah. Pemahaman demikian jelas suatu perubahan yang sangat revolusioner dan jika dapat direalisasikan akan memiliki akibat yang berlipat ganda, terutama dalam kaitannya dengan pemberdayaan ekonomi umat Islam.
Namun usaha ke arah itu jelas bukan pekerjaan yang mudah. Umat Islam Indonesia selama ratusan tahun sudah terlanjur mengidentikkan wakaf dengan (dalam bentuk) tanah, dan pada umumnya lebih nyaman kalau diperuntukkan untuk masjid atau mushala. Dengan demikian, UU No. 41 tahun 2004 diproyeksikan sebagai sarana rekayasa sosial (social engineering), melakukan perubahan-perubahan pemikiran, sikap dan perilaku umat Islam agar senafas dengan semangat UU tersebut .
Pranata Perkawinan


Pada tanggal 1 April 1975 diundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Perkawinan terdiri dari 49 pasal dan 10 bab. Pelaksanaan yang diatur dalam Peraturan ini terdapat dua bagian, yaitu pelaksanaan yang behubungan dengan pelaksanaan nikah yang menjadi tugas Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dan pelaksanaan yang dilaksanakan oleh pengadilan, yang dalam hal ini dilaksanakan oleh Peradilan Umum bagi warga negara yang non-muslim dan Peradilan Agama yang muslim.
1. Keterangan Umum
Dalam ketentuan umum peraturan ini dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan undang-undang adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sedangkan yang dimaksud dengan pengadilan adalah Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang berada dalam lingkungan Peradilan Umum, sedangkan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama bagi pengadilan dalam Peradilan Agama. Yang dimaksud dengan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) adalah pegawai pencatat perkawinan dan perceraian pada KUA kecamatan bagi umat Islam dan catatan sipil bagi non-muslim.
2. Pencatatan Perkawinan
Perkawinan dianggap sah adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya dan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di negara Indonesia ada dua instansi atau lembaga yang diberi tugas untuk mencatat perkawinan dan perceraian (dan ruju`). Adapun instansi atau lembaga yang dimaksud adalah :
a. Kantor Urusan Agama Kecamatan untuk Nikah, Talak, dan Ruju` bagi orang beragama Islam (dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1974 jo. Undang-Undang Nomor Tahun 1954).
b. Kantor Catatan Sipil (Bugerlijk Stand) untuk perkawinan yang bukan beragama Islam.
Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan harus mencatat setiap perkawinan yang dilaksanakan di wilayahnya masing-masing. Kelalaian mencatat perkawinan ini dapat dikenakan sanksi kepada petugas pencatat perkawinan tersebut. Salah satu kegunaan dari pencatat perkawinan ini adalah untuk mengontrol dengan konkret tentang data NTR.
3. Tata Cara Perkawinan dan Akta Perkawinan
Bagi seseorang yang bermaksud melangsungkan perkawinan terlebih dahulu memberitahukan kehendaknya itu kepada pegawai pencatat nikah. Pemberitahuan ini boleh dialakukan oleh orang tua atau walinya. Pegawai pencatat perkawinan setelah menerima laporan tersebut segera meneliti syarat-syarat perkawinan apakah telah terpenuhi atau belum, apakah ada halangan kawin menurut agama dan undang-undang, demikian surat-surat yang dijadikan syarat administrasisudah terpenuhi atau belum. Jika belum terpenuhi, maka pegawai pencatat perkawinan tersebut harus menolaknya.
Perkawinan harus dihadiri oleh saksi dan dihadiri pula oleh Pegawai Pencatat Nikah. Bagi mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, akad nikahnya dilaksanakan oleh wali nikah atau yang mewakilinya. Sessat sesudah akad berlangsung, maka kedua belah pihak mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat Nikah, setelahnya diikuti pula oleh saksi-saksi, wali nikah, dan pegawai pencatat yang bertugas mencatat perkawinan tersebut. Dengan selesainya penandatanganan akta perkawinan tersebut, maka perkawinan yang telah dilaksanakan itu telah dianggap sah dan telah tercatat secara resmi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Akta perkawinan adalah sebuah daftar besar yang memuat identitas kedua mempelai, orang tua atau walinya atau juga wakilnya.


Dalam buku akta nikah dimuat perjanjian ta`lik yang biasanya materi ta`lik talak itu diucapkan oleh mempelai pria sesaat akad nikah dilaksanakan. Perjanjian ta`lik talak ini mempunyai tujuan untuk melindungi kaum wanita (istri) dari perlakuan sewenang-wenang pihak suami. Apabila perjanjian ta`lik talak itu dilanngar oleh pihak suami, maka pihak istri diberi wewenang untuk menggugat cerai kepada Pengadilan Agama. Agar perjanjian ta`lik talak mempunyai dasar hukum kuat, maka setelah pihak pria mengucapkan ta`lik talak itu petugas pencatat pernikahan segera meminta tanda tangan mempelai pria untuk dibubuhkan pada lembar perjanjian ta`lik talak itu. Ta`lik talak yang tidak ada tanda tangan mempelai pria dianggap tidak sah dan karenanya dianggap tidak pernah mengucapkannya.
4. Tata Cara Perceraian
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 38 menerangkan bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas keputusan pengadilan. Kemudian dalam pasal 39 disebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. Adapun alasan-alasan yang dapat digunakan sebagai dasar perceraian terdapat dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Cerai gugat diajukan ke pengadilan oleh pihak istri, sedangkan cerai talak diajukan oleh pihak suami ke pengadilan dengan memohon agar diberi izin untuk menfucapkan ikrar talak kepada istrinya dengan suatu alasan yang telah disebutkan.
a. Cerai Talak
Dalam Pasal 14 sampai dengan pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dikemukakan bahwa seorang suami yang bermaksud menceraikan istrinya berdasarkan perkawinan menurut agama Islam, mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama di tempat tinggalnya. Permohonan tersebut berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya disertai dengan alasan-alasan serta meminta kepada Pengadilan Agama agar membuka sidang untuk keperluan tersebut. Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi surat yang dimaksud dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari memanggil suami istri untuk didengar keterangannya dalam persidangan. Pengadilan Agama hanya memutuskan untuk memberi izin ikrar talak jika alasan-alasan yang diajukan oleh suami terbukti secara nyata dalam persidangan. Itu pun setelah majelis hakim sudah berusaha secara maksimal untuk merukunkan kembali dan majelis hakim berpendapat bahwa antara suami istri tersebut tidak mungkin lagi didamaikan untuk rukun kembali dalam suatu rumah tangga.
Cerai talak dengan segala akibatnya, seperti iddah, nafkah selama iddah, dan sebagainya dihitung sejak suami mengucapkan ikrar talak di hadapan Hakim Pengadilan Agama.
b. Cerai Gugat
Cera gugat adalah cerai yang didasarkan atas adanya gugatan yang diajukan oleh istri agar perkawinan dengan suaminya menjadi putus. Dalam perkawinan menurut agama Islam dapat berupa gugatan karena suami melanggar ta`lik talak, gugatan karena syiqaq, gugatan karena fasakh, dan gugatan karena alasan-alasan sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Menurut Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 gugatan perceraian diajukan oleh suami istri kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat. Tetapi setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama disebutkan dalam Pasal 73 bahwa gugatan diajukan ke Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat (istri), kecuali apabila penggugat meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat. Dalam hal penggugat bertempat tinggal di luar negeri gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat. Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Jakarta Pusat.
Apabila gugatan perceraian dilaksanakan atas alasan satu pihak mendapat penjara 5 tahun atau lebih, maka untuk memperoleh putusan perceraian, sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi atau juga putusan Mahkamah Agung RI disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Apabila gugatan perceraian diajukan ke pengadilan dengan alasan tergugat mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat suami tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami, maka hakim dapat memerintahkan tergugat untuk memeriksa diri kepada dokter. Jika gugatan perceraian didasarkan syiqaq (cekcok) terus-menerus yang membahayakan kehidupan suami isteri, maka untuk mendapatkan putusan perceraian itu harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami istri.


Adapun cara mengajukan gugatan adalah dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama (bagi orang Islam) yang bersangkutan. Bagi orang yang tidak dapat menulis boleh mengajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan Agama, atau hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama mencatat gugatan lisan dalam bentuk gugatan sebagaimana yang diajukan itu diproses oleh Pengadilan Agama setelah yang bersangkutan membayar uang muka biaya perkara. Majelis Hakim Pengadilan Agama wajib menyidangkan perkara itu selambat-lambatnya 30 hari setelah perkara didaftarkan di Pengadilan Agama. Pengadilan Agama wajib berusaha mendamaikan kedua belah pihak yang berpekara agar mereka rukun kembali, pada setiap sidang yang dilakukan.


Sidang Majelis Hakim Pengadilan Agama yang memeriksa perkara perceraian baik cerai talak maupun cerai gugat harus dilaksanakan dalam sidang tertutup. Hal ini disebabkan karena dalam sidang gugatan perceraian itu kedua belah pihak saling mengungkapkan hal-hal yang bersifat pribadi bahkan merupakan aib yang kurang layak diketahui oleh orang lain. Di samping itu, juga diharapkan kedua belah pihak bersedia memberikan keterangan yang lengkap untuk bahan pertimbangan hakim di dalam mengambil keputusan terhadap gugatan yang diajukan. Meskipun pemeriksaan gugatan perceraian dilaksanakan dalam sidang tertutup tetapi pembacaan putusan harus dilaksanakan dalam sidang terbuka untuk umum, sebab putusan mengenai perceraian itu membawa akibat hukum tertentu walaupun masih harus menunggu sampai putusan tersebut mempunyai hukum tetap.
Bila hubungan perkawinan putus antara suami dan istri dalam segala bentuknya, maka hukum yang berlaku sesudahnya adalah :


a) Hubungan antara keduanya adalah asing dalam arti harus berpisah dan tidak boleh saling memandang, apalagi bergaul sebagai suami istri, sebagaimana yang berlaku antara dua orang yang saling asing.
b) Keharusannya memberi mut`ah, yaitu pemberian suami kepada istri yang diceraikannya sebagai suatu kompensasi.
c) Melunasi utang yang wajib dibayarnya dan belum dibayarnya selama masa perkawinan, baik dalam bentuk mahar atau nafkah, yang menurut sebagian ulama wajib dilakukannya bila pada waktunya tidak dapat membayarnya.
d) Berlaku atas istri yang dicerai ketentuan iddah
e) Pemeliharaan terhadap anak
5. Kewajiban dan Hak Suami Istri

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook