Wednesday, December 25, 2013

DIKENAL PULA, ISTILAH QANUN BERKAITAN DENGAN KETETAPAN HUKUM

DIKENAL  PULA,  ISTILAH  QANUN
BERKAITAN DENGAN KETETAPAN HUKUM


 Qanun, Fatwa dan Qadha

A. Pengertian Syari’ah

Syariat/syariah (syarî‘ah) didefinisikan oleh para ulama ushul sebagai berikut:
Syariat adalah perintah Asy-Syâri‘ (Pembuat hukum) yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan hamba dan berkaitan dengan iqtidhâ‘ (ketetapan), takhyîr (pilihan), atau wadh‘i (kondisi) (khithâb asy-Syâri‘ al-muta‘allaq bi af‘âl al-‘ibâd bi al-iqtidhâ‘ aw al-takhyîr, aw al-wadl‘i .
Syariat adalah perintah Asy-Syâri‘ (Pembuat hukum) yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf (khithâb asy-Syâri‘ al-muta‘allaq bi af‘âl al-mukallafîn .
Syariat adalah perintah Asy-Syâri‘ (Pembuat hukum) yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan hamba (khithâb asy-Syâri‘ al-muta‘allaq bi af‘âl al-‘ibâd .
Syariat adalah perintah Asy-Syâri‘ (Pembuat hukum) yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan mukallaf dan berkaitan dengan iqtidhâ‘ (ketetapan), takhyîr (pilihan), atau wadh‘i (kondisi) (khithâb asy-Syâri‘ al-muta‘allaq bi af‘âl al-‘ibâd bi al-iqtidhâ‘ aw al-takhyîr, aw al-wadl‘i .
Dilihat dari sudut kebahasaan kata, syari’ah bermakna “Jalan yang lapang atau jalan yang dilalui air terjun.”
Syari’ah adalah semua yang disyari’atkan Allah untuk kaum muslimin baik melalui Al-Qur’an ataupun melalui Sunnah Rasul.
Syari’ah itu adalah hukum-hukum yang disyari’atkan Allah bagi hamba-hamba Nya (manusia) yang dibawa oleh para Nabi, baik menyangkut cara mengerjakannya yang disebut far’iyah amaliyah (cabang-cabang amaliyah). Dan untuk itulah fiqih dibuat, atau yang menyangkut petunjuk beri’tiqad yang disebut ashliyah i’tiqadiyah (pokok keyakinan), dan untuk itu para ulama menciptakan ilmu kalam (ilmu tauhid).
Pengertian syari’ah menurut Syaikh Mahmud Shaltut yakni, syari’at menurut bahasa ialah tempat yang didatangi atau dituju manusia dan binatang untuk minum air. Menurut istilah ialah hukum-hukum dan tata aturan yang disyari’atkan Allah buat hamba-Nya agar mereka mengikuti dan berhubungan antar sesamanya.
Perkataan syari’ah tertuju pada hukum-hukum yang diajarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Kemudian dimasukkan kedalamnya hukum-hukum yang telah disepakati (di ijma’) oleh para sahabat Nabi, tentang masalah-masalah yang belum ada nashnya dan yang belum jelasa dalam Al-Qur’an ataupun as-Sunnah (masalah yang di ijtihad), juga dimasukkan kedalamnya hokum-hukum yang ditetapkan melalui qiyas. Dengan perkataan lain syari’at itu adalah hukum-hukum yang telah dinyatakan dan ditetapkan oleh Allah sebagai peraturan hidup manusia untuk diimani, diikuti dan dilaksanakan oleh manusia didalam kehidupannya.
Pengertian syari’ah menurut Muhammad Salam Maskur dalam kitabnya al-Fiqh al-Islamy. Salah satu makna syari’ah adalah jalan yang lurus.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Jaatsiyah: 18
ثُمَّ جَعَلْنَكَ عَلَى شَرِيْعَةٍ مِّنَ اْلأَمْرِ فَاتَّبِعْهَاوَلاَ تَتَّبِعْ اَهْوَآءَ الَّذِيْنَ لاَيَعْلَمُوْنَ. (الجاثية: 18)
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS. Al-Jaatsiyah: 18)
para fuqaha memakai kata syari’ah sebagai nama bagi hukum yang ditetapkan Allah untuk para hamba-Nya dengan perantara Rasul-Nya, supaya para hamba-Nya itu melaksanakannya dengan dasar iman, baik hukum itu mengenai lahiriah maupun yang mengenai akhlak dan aqaid, kepercayaan dan bersifat batiniah.
Menurut asy-Syatibi di dalam kitabnya al-Muwafaqat, “Bahwa syari’ah itu adalah ketentuan hukum yang membatasi perbuatan, perkataan dan i’tiqad, orang-orang mukallaf.”
Demikianlah makna syari’at, akan tetapi jumhur mutaakhirin telah memakai kata syari’ah untuk nama hukum fiqh atau hukum Islam, yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf. Atas dasar pemakaian ini, timbul perkataan: Islam itu adalah aqidah dan syari’ah sebagaimana dikemukakan Syekh Mahmud Shaltut. Syari’ah Islam adalah syari’ah penutup, syari’ah yang paling umum, paling lengkap, dan mencakup segala hukum, baik yang bersifat keduniaan maupun keakhiratan.
B. Pengertian Fiqih
Al-Ghazali berpendapat bahwa secara literal, fikih (fiqh) bermakna al-‘ilm wa al-fahm (ilmu dan pemahaman) . Sedangkan menurut Taqiyyuddin al-Nabhani, secara literal, fikih bermakna pemahaman (al-fahm) .
Sementara itu, secara istilah, para ulama mendefinisikan fikih sebagai berikut:
Fikih adalah pengetahuan tentang hukum syariat yang bersifat praktis (‘amaliyyah) yang digali dari dalil-dalil yang bersifat rinci (tafshîlî) .
Fikih adalah pengetahuan yang dihasilkan dari sejumlah hukum syariat yang bersifat cabang yang digunakan sebagai landasan untuk masalah amal perbuatan dan bukan digunakan landasan dalam masalah akidah .
Fikih adalah ilmu tentang hukum-hukum syariat yang digali dari dalil-dalil yang bersifat rinci .
fiqh adalah: diskursus tentang hukum-hukum syariah perbuatan (amaliyah) yang ditetapkan berdasarkan dalil spesifik. Atau fiqh adalah hukum itu sendiri.
Dari penjelasan di atas, kita dapat menyimpulkan, bahwa fikih dan syariat adalah dua sisi yang tidak bisa dipisah-pisahkan meskipun keduanya bisa dibedakan. Keduanya saling berkaitan dan berbicara pada aspek yang sama, yakni hukum syariat.
Fikih adalah pengetahuan terhadap sejumlah hukum syariat yang digali dari dalil-dalil yang bersifat rinci. Sedangkan syariat adalah hukum Allah yang berlaku pada benda dan perbuatan manusia. Menurut Imam al-Ghazali, fikih mencakup kajian terhadap dalil-dalil dan arah yang ditunjukkan oleh dalil (makna), dari tinjauan yang bersifat rinci. Contohnya, penunjukkan sebuah hadis pada makna tertentu, misalnya nikah tanpa wali secara khusus . Sedangkan hukum syariat adalah perintah Asy-Syâri‘ yang berhubungan dengan perbuatan hamba, baik dengan iqtidhâ‘, takhyîr, maupun wadh‘i.
Baik fikih maupun syariat harus digali dari dalil-dalil syariat: al-Quran, Sunnah, Ijma Shahabat, dan Qiyas. Keduanya tidak boleh digali dari fakta maupun kondisi yang ada. Keduanya juga tidak bisa diubah-ubah maupun disesuaikan dengan realitas yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Sebaliknya, realitas masyarakat justru harus disesuaikan dengan keduanya.
C. Pengertian Qonun
Qanun disebut juga dengan istilah Qanun-wadl’i yaitu undang-undang aturan manusia . Qanun artinya undang-undang, rich atau law, kata qanun sekarang di Barat dipakai dalam arti syari’at gereja, dalam Bahasa Arab melalui bahasa Suryani, pada mulanya dipakai dalam arti “garisan”, kemudian dipakai dalam arti “kaidah”. Dalam Bahasa Arab qanun berarti “ukuran” dari makna inilah diambil perkataan : qanun kesehatan, qanun tabi’at, dan sebagainya. Fuqahak Muslimin sedikit sekali memakai kata ini dalam istilahnya. Mereka memakai kata “syari’at” dalam hukum syara’ sebagai pengganti qanun .
Qanun dapat juga berarti syari’at dalam arti sempit ahli fiqih memakai istilah syari’at dan qanun, sedangkan ahli Ushul Fqih memakai istilah hukum dalam arti qanun .
Kata qanun sekarang dipakai dalam arti :
(1). Code atau codex.
(2). Syara’ dan syari’at, atau jus, law, dro’t, recht.
(3). Kaidah-kaidah mu’amalah, atau lex, a law, loi Gezet.
Pernah pula kata syari’ah dipergunakan dengan arti qanun, sebagaimana halnya ulama Ushul mempergunakan kata qanun dalam arti pencipta undang-undang. Qanun dalam arti kaidah tidak sama dengan arti “kaidah fiqh”, karena kaidah fiqih itu mencakup bagian ibadah dan mu’amalah, sedangkan kaidah sebagai kata qanun hanyalah mengenai urusan mu’amalah saja. Al Ghazali dari golongan fuqahak memakai kata qanun – dalam arti kaidah-kaidah umum yang memastikan. Dengan kata lain berarti undang-undang positif suatu negara atau daerah Islam. Contoh Qanun di antaranya :
1. Pengaturan Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) terhadap seluruh bidang Syari’ah yang mencakup bidang aqidah, ibadah dan syiar Islam yang diatur dalam Qanun Nomor 10 Tahun 2002 dan Nomor 11 Tahun 2002. Dalam Qanun ini diatur mulai dari bentuknya sampai sanksi atas pelanggaran terhadapnya.
2. Kodifikasi Hukum Islam di Malaysia, dinamakan Hukum Qanun Melaka, yang mencakup bidang qishash, hudud, diyyah, ta’zir, muamalat, hukum perkawinan, hukum pembuktian, hukum acara dan administarsi dan hukum tentang syarat-syarat penguasa.
3. Undang-undang Perkawinan Yordania Nomor 92 Tahun 1951 dengan nama Qanun, Huquq al-‘A’liah.
D. Pengertian Fatwa
Al-fatwa secara bahasa berarti petuah, penasehat, jawaban atas pertanyaan yang berkaitan dengan hukum; jamak: fatawa. Sedangkan dalam istilah Ilmu Ushul Fiqh, Fatwa berarti pendapat yang dikemukakan seorang mujtahid atau faqih sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh peminita fatwa dalam suatu kasus yang sifatnya tidak mengikat. Pihak yang meminita fatwa tesebut bisa bersifat pribadi, lembaga, maupun kelompok masyarakat. Pihak yang memberi fatwa dalam istilah Ushul Fiqh disebut Mufti dan pihak yang meminita fatwa disebut al-mustafti (Ensiklopedi Hukum Islam).
Terkadang terjadi kerancuan dalam membedakan antara fatwa dengan ijtihad. Ijtihad menurut Al-Amidi dan An-Nabhani adalah mencurahkan seluruh kemampuan untuk menggali hukum-hukum syariat dari dalil-dalil dzanni hingga batas tidak ada lagi kemampuan melakukan usaha lebih dari apa yang telah dicurahkan. Ifta hanya dilakukan ketika ada kejadian secara nyata, lalu ulama ahli fiqh berusaha mengetahui hukumnya. Dengan demikian, fatwa lebih spesifik dibandingkan dengan ijtihad.
Seorang mustafti bisa saja mengajukan pertanyaan kepada seorang mufti mengenai hukum suatu permasalahan yang dihadapinya. Apabila mufti menjawabnya dengan perkataan, hukum masalah ini halal atau haram, tanpa disertai dalil-dalilnya secara terperinci, maka itulah fatwa. Fatwa dapat berbentuk perkataan ataupun tulisan.
Sebelum memberikan jawaban atau fatwa, seorang mufti pada dasarnya telah melalui proses yang mencakup empat hal, yaitu :
1) Apa hukum atas masalah yang dimaksud.
2) Apakah dalilnya
3) Apa wajh dalalah-nya.
4) Apa saja jawaban-jawaban/fatwa yang bertentangan di seputar persoalan yang dimaksud.
Berdasarkan hal itu, sebagian ulama ahli fiqh mensyaratkan seorang mufti itu harus ahli ijtihad (mujtahid). Sebab, empat proses tersebut di atas, menuntut kemampuan orang yang ahli ijtihad, di samping tentu saja dia adalah seorang muslim, adil, mukallaf, ahli fiqh dan memliki pemikiran yang jernih. Namun as-Syaukani tidak mensyaratkan seorang mufti itu harus mujtahid, yang penting dia ahli di dalam agama Islam.
Seorang mufti juga harus memperhatikan beberapa keadaan, seperti : mengetahui secara persis kasus yang dimintakan fatwanya, mempelajari psikologi mustafti dan masyarakat lingkungannya agar dapat diketahui implikasi dari fatwa yang dikeluarkannya sehingga tidak membuat agama Allah menjadi bahan tertawaan dan permainan.
Seorang mufti tidak boleh berfatwa dengan fatwa yang bertentangan dengan nash syar’i, meskipun fatwanya itu sesuai dengan madzhabnya. Ia juga tidak boleh berfatwa dari perkataan dan pandangan yang belum mengalami proses tarjih atau analisis perbandingan dan pengambilan dalil terkuat.
Demikianlah kedudukan fatwa dalam jurisprudensi Islam. Walhasil, setiap fatwa yang bertentangan dengan nash-nash Al-Qur’an dan as-Sunnah yang qath’i adalah fatwa yang batil, tidak sah dan termasuk kebohongan atas nama Allah terhadap umat.
Di Indonesia, lembaga yang berhak mengeluarkan fatwa adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI ini di Indonesia membawahi semua kegiatan keagamaan, khususnya agama Islam.
E. Pengertian Qadha
Makna al-Qadha’ secara bahasa, Al-Qadha’ (القضاء) berasal dari kata قضى-يقضى-قضاء; jamaknya أقضية. Kata al-Qadha’ merupakan kata musytarak, memiliki banyak makna. AI-Quran mencantumkan kata al-Qadha’ dalam banyak ayat yang semuanya menggunakan makna bahasa, di antaranya: menetapkan, menentukan, memerintahkan sesuatu sebagai kepastian, memerintahkan dan memutuskan sesuatu, menyelesaikan, mengakhiri, dsb.
Makna al-Qadha’ secara syar’i, sekalipun secara bahasa kata al-Qadha’ memiliki banyak makna, secara tradisi ia akhirnya lebih difokuskan pada makna yang berkaitan dengan praktik dan putusan peradilan. Syariat pun memutlakkan istilah al-Qadha’ dalam masalah praktik dan putusan peradilan.
Para ulama memberikan beberapa definisi al-Qadha’ dalam pengertian syar’i ini. Menurut al-¬Khathib asy-Syarbini, al-Qadha’ adalah penyelesaian perselisihan di antara dua orang atau lebih dengan hukum Allah SWT. Dalam Fath al-Qadir, al-Qadha’ diartikan sebagai al-Ilzam (pengharusan); dalam Bahr al-Muhith diartikan sebagai penyelesaian perselisihan dan pemutusan persengketaan; sedangkan dalam Bada’i ash-Shana’i diartikan sebagai penetapan hukum di antara manusia dengan haq (benar).
Al-Qadha’ (peradilan) merupakan perkara yang disyariatkan di dalam al-Quran dan as¬-Sunnah. Allah SWT memerintahkan untuk memutuskan hukum atau menghukumi manusia dengan apa yang telah Allah turunkan. Rasul SAW secara langsung mengadili dan menghukumi perkara yang muncul di tengah-tengah masyarakat dengan hukum-hukum Allah. Rasul juga memberikan keputusan dalam beberapa masalah pernikahan, masalah harta, muamalah, dan uqubat umumnya; juga dalam masalah hisbah seperti ketika beliau mendapati pedagang di pasar yang mencampur gandum basah dengan gandum kering; dalam masalah mazhalim mengenai penetapan harga; dalam perselisihan antara Zubair bin Awwam dan seorang Anshar dalam masalah pengairan, dan sebagainya.
Ketika kekuasaan negara Islam semakin luas, Rasulullah SAW mengangkat beberapa sahabat sebagai qadhi (hakim) yang beliau tempatkan di beberapa daerah, seperti Mu’adz bin Jabal di daerah Janad dan Ali bin Abi Thalib di daerah Yaman. Qadhi pada masa Rasul SAW, antara lain: Umar bin al-Khathab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Masud, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, dan Mu’adz bin Jabal.
Dalam kamus ilmu politik, yudikatif adalah kekuasaan yang mempunyai hubungan dengan tugas dan wewenang peradilan. Dan dalam konsep Fiqh Siyasah, kekuasaan yudikatif ini biasa disebut sebagai Sulthah Qadhaiyyah.
Kekuasaan kehakiman adalah untuk menyelesaikan perkara-perkara perbantahan dan permusuhan, pidana dan penganiayaan, mengambil hak dari orang durjana dan mengembalikannya kepada yang punya, mengawasi harta wakaf dan persoalan-persoalan lain yang diperkarakan di pengadilan. Sedangkan tujuan kekuasaan kehakiman adalah untuk menegakkan kebenaran dan menjamin terlaksananya keadilan serta tujuan menguatkan negara dan menstabilkan kedudukan hukum kepala negara.
Penetapan syariat Islam bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan. Dalam penerapannya (syariat Islam) memerlukan lembaga untuk penegakannya. Karena tanpa lembaga (al-Qadha) tersebut, hukum-hukum itu tidak dapat diterapkan.

Bab III
Teori
A. Teori Pelaksanaan dan Penegakan Hukum Islam
Teori tentang berlakunya hukum Islam di Indonesia dalam artikel ini mencoba mendeskripsikan beberapa teori tentang berlakunya hukum Islam di Indonesia sejak kehadirannya hingga dewasa ini. Sekurang-kurangnya, ada lima teori tentang berlakunya hukum Islam di Indonesia, yaitu:
1. Teori Kredo atau Syahadat
Teori kredo atau syahadat ialah teori yang mengharuskan pelaksanaan hukum Islam oleh mereka yang telah mengucapkan dua kalimah syahadat sebagai konsekuensi logis dari pengucapan kredonya.
Teori ini sesungguhnya kelanjutan dari prinsip tauhid dalam filsafat hukum Islam. Prinsip tauhid yang menghendaki setiap orang yang menyatakan dirinya beriman kepada ke-Maha Esaan Allah swt., maka ia harus tunduk kepada apa yang diperintahkan Allah swt. Dalam hal ini taat kepada perintah Allah swt. dan sekaligus taat kepada Rasulullah saw. dan sunnahnya.
Teori Kredo ini sama dengan teori otoritas hukum yang dijelaskan oleh H.A.R. Gibb (The Modern Trends in Islam, The University of Chicago Press, Chicago, Illionis, 1950). Gibb menyatakan bahwa orang Islam yang telah menerima Islam sebagai agamanya berarti ia telah menerima otoritas hukum Islam atas dirinya.
Teori Gibb ini sama dengan apa yang telah diungkapkan oleh imam madzhab seperti Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah ketika mereka menjelaskan teori mereka tentang Politik Hukum Internasional Islam (Fiqh Siyasah Dauliyyah) dan Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah). Mereka mengenal teori teritorialitas dan non teritorialitas. Teori teritorialitas dari Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa seorang muslim terikat untuk melaksanakan hukum Islam sepanjang ia berada di wilayah hukum di mana hukum Islam diberlakukan. Sementara teori non teritorialitas dari Imam Syafi’i menyatakan bahwa seorang muslim selamanya terikat untuk melaksanakan hukum Islam di mana pun ia berada, baik di wilayah hukum di mana hukum Islam diberlakukan, maupun di wilayah hukum di mana hukum Islam tidak diberlakukan.
Sebagaimana diketahui bahwa mayoritas umat Islam di Indonesia adalah penganut madzhab Syafi’i sehingga berlakunya teori syahadat ini tidak dapat disangsikan lagi. Teori Kredo atau Syahadat ini berlaku di Indonesia sejak kedatangannya hingga kemudian lahir Teori Receptio in Complexu di zaman Belanda.
2. Teori Receptio in Complexu
Teori receptio in Complexu menyatakan bahwa bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam sebab ia telah memeluk agama Islam walaupun dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan-penyimpangan. Teori ini berlaku di Indonesia ketika teori ini diperkenalkan oleh Prof. Mr. Lodewijk Willem Christian van den Berg. Teori Receptio in Complexu ini telah diberlakukan di zaman VOC sebagaimana terbukti dengan dibuatnya pelbagai kimpulan hukum untuk pedoman pejabat dalam menyeleaikan urusan-urusan hukum rakyat pribumi yang tinggal di dalam wilayah kekuasaan VOC yang kemudian dikenal senagai Nederlandsch Indie.
3. Teori Receptie
Teori Receptie menyatakan bahwa bagi rakyat pribumi pada dasarnya berlaku hukum adat. Hukum Islam berlaku bagi rakyat pribumi kalau norma hukum Islam itu telah diterima oleh masyarakat sebagai hukum adat. Teori Receptie dikemukakan oleh Prof. Christian Snouck Hurgronye dan kemudian dikembangkan oleh van Vollenhoven dan Ter Haar. Teori ini dijadikan alat oleh Snouck Hurgronye agar orang-orang pribumi jangan sampai kuat memegang ajaran Islam dan hukum Islam. . Jika mereka berpegang terhadap ajaran dan hukum Islam, dikhawatirkan mereka akan sulit menerima dan dipengaruhi dengan mudah oleh budaya barat. Ia pun khawatir hembusan Pan Islamisme yang ditiupkan oleh Jamaluddin Al-Afgani berpengaruh di Indonesia.

 

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook