Wednesday, December 25, 2013

QANUN BERKAITAN DENGAN KETETAPAN HUKUM Haji M.Rakib SH., M.Ag., Drs.

DIKENAL  PULA,  ISTILAH  QANUN
BERKAITAN DENGAN KETETAPAN HUKUM

Haji M.Rakib SH., M.Ag., Drs.


Dalam bahasa sehari-hari kata hukum sering dikonotasikan dengan peraturan dan sejenisnya. Namun sesungguhnya kata hukum yang digunakan oleh masyarakat itu sendiri berasal dari bahasa arab yang diserap menjadi bahasa Indonesia yaitu “ﺤﮑﻢ“ (hukm) jamak dari ahkam yang berarti “putusan” (judgement, verdict, decision), “ketetapan” (provision), “perintah” (command), “pemerintahan” (government), “kekuasaan” (authority, power), “hukuman” (sentences) dan lain-lain. Kata kerjanya hakama yahkumu yang bermakna “memutuskan”, “mengadili”, “menetapkan”, “memerintahkan”, “menghukum”, “mengendalikan” dan lain sebagainya.
Selain dalam bahasa arab, istilah “hukum” juga dikenal dalam bahasa lain seperti law dalam bahasa inggris, recht dalam bahasa Jerman dan Belanda atau kata latin Ius. Kata “hukum” kemudian dipergunakan lebih jauh dalam perbendaharaan kata dalam bahasa Indonesia seperti kata “hukuman”, “terhukum”, “penegak hukum”, “hakim”, “kehakiman”, “mahkamah” dan banyak lagi.
Kata hukum dalam al-Qur’an dipahami sebagai “putusan” atau “ketetapan” terhadap suatu masalah. Putusan atau ketetapan yang tidak hanya mengatur hubungan antara khaliq (pencipta) dan makhluq (yang diciptakan) tapi juga antar manusia yang didalamnya mengatur tentang hukum amaliyah (fiqh), hukum tauhid (aqidah) maupun yang berhubungan dengan hukum etika (akhlaq). Oleh karena itu sering kita mendengar bahwa Islam paling tidak terdiri dari iman dan amal, yaitu keyakinan monotheis manusia yang dilingkupi dengan kompetensi keilmuan yang luas untuk secara tepat dan benar di amalkan baik untuk hubungannya dengan khaliq (sang pencipta) maupun dengan makhluq (yang diciptakan).
Kata hukum yang dikenal dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab hukm yang berarti putusan (judgement) atau ketetapan (Provision). Dalam buku Ensiklopedi Hukum Islam, hukum berarti menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakannya. Sementara dalam A Dictionary of Law dijelaskan tentang pengertian hukum sebagai berikut:
Law is “the enforceable body of rules that govern any society or one of the rules making up the body of law, such as Act of Parliament.
(Hukum adalah suatu kumpulan aturan yang dapat dilaksanakan untuk mengatur/memerintah masyarakat atau aturan apa pun yang dibuat sebagai suatu aturan hukum seperti tindakan dari Parlemen).
Selain berbagai makna syariat yang berkonotasi hukum, syariat dalam arti luas juga berarti segala hal yang ditetapkan oleh Allah. kepada mahluknya tentang berbagai kaidah dan tata aturan yang disampaikan kepada umatnya melalui nabi-nabinya termasuk Muhammad SAW baik yang berkaitan dengan hukum amaliyah (fiqh), hukum tauhid (aqidah) maupun yang berhubungan dengan hukum etika (akhlaq).
Ungkapan hukum-hukum syar’i menunjukkan bahwa hukum tersebut dinisbatkan kepada syara’ atau diambil darinya sehingga hukum akal (logika), seperti: satu adalah separuh dari dua, atau semua lebih besar dari sebagian, tidak termasuk dalam definisi, karena ia bukan hukum yang bersumber dari syariat. Begitu pula dengan hukum-hukum indrawi, seperti api itu panas membakar, dan hukum-hukum lain yang tidak berdasarkan syara’.
Hukum-hukum syar’i dalam fiqh juga harus bersifat amaliyyah (praktis) atau terkait langsung dengan perbuatan mukallaf, seperti ibadahnya, atau muamalahnya. Jadi menurut definisi ini hukum-hukum syar’i yang bersifat i’tiqadiyyah (keyakinan) atau ilmu tentang yang ghaib seperti dzat Allah, sifat-sifat-Nya, dan hari akhir, bukan termasuk ilmu fiqh, karena ia tidak berkaitan dengan tata cara beramal, dan dibahas dalam ilmu tauhid (aqidah).
Ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliah ini juga harus diperoleh dari dalil-dalil rinci melalui proses penelitian mendalam terhadap dalil-dalil tersebut. Berarti ilmu Allah atau ilmu Rasul-Nya tentang hukum-hukum ini tidak termasuk dalam definisi, karena ilmu Allah berdiri sendiri tanpa penelitian, bahkan Dialah Pembuat hukum-hukum tersebut, sedangkan ilmu Rasulullah saw diperoleh dari wahyu, bukan dari kajian dalil. Demikian pula pengetahuan seseorang tentang hukum syar’i dengan mengikuti pendapat ulama, tidak termasuk ke dalam definisi ini, karena pengetahuannya tidak didapat dari kajian dan penelitian yang ia lakukan terhadap dalil-dalil.
Hukum Islam yang tertuang dalam syari`at dapat dibagi atas tiga kelompok besar yaitu Hukum tentang `Aqidah yang mengatur keyakinan manusia terhadap Allah dan lebih bersifat privat yaitu antara manusia dengan tuhan, Hukum tentang Akhlaq yang mengatur etika berhubungan dengan manusia dan Hukum yang berkaitan dengan prilaku manusia (`Amaliyah atau Fiqh) yaitu hukum yang menata kehidupan manusia dengan manusia sehari-hari baik dalam fungsi vertikal (ibadah), pengaturan (muamalah) maupun penindakan (jinayah).
Karena ketiga fungsi tersebut, hukum Amaliyah dibagi dalam dua kategori yaitu `Ibadat (dimensi vertikal) dan Mu`amalat (dimensi Horizontal) yang terdiri atas Hukum Keluarga (Family Law), Hukum ekonomi, finansial dan transaksi, Peradilan, Hukum tentang warganegara asing (Musta’min) dalam Negara Islam, Hukum Antar Bangsa (International Law), Hukum Tata Negara dan Politik (siyasah), Hukum tentang Sumber-sumber Pendapatan Negara dan Hukum Pidana.
Hukum yang diatur dalam fiqh Islam itu terdiri dari hukum wajib, sunat, mubah, makruh dan haram; disamping itu ada pula dalam bentuk yang lain seperti sah, batal, benar, salah, berpahala, berdosa dan sebagainya.
Secara garis besar kandungan dalam Ilmu Fiqh ada tiga macam; Hubungan seorang hamba dengan Tuhan, dengan dirinya, dan dengan masyarakat luas. Sehingga semua masalah manusia diatur oleh Fiqh Islam, karena Fiqh bukan hanya mengurus urusan dunia saja namun juga urusan akhirat. Fiqh juga merupakan agama dan negara. Fiqh Islam selalu relevan hingga hari kiamat. Sehingga konsep yang ditawarkan oleh Fiqh Islam menjanjikan kebahagiaan abadi dunia dan akhirat. Dari alasan itulah pembahasan di dalam Fiqh Islam mencakup semua aspek kehidupan manusia dan kalau diperhatikan pembahasan Fiqh Islam dibagi menjadi tujuh kategori:
1. Hukum-hukum yang berhubungan dengan muamalah seorang hamba terhadap Tuhannya, seperti; shalat, puasa, zakat, haji, dan lain sebagainya. Hukum-hukum ini disebut al-Ibadat.
2. Hukum-hukum yang berkaitan dengan rumah tangga, seperti; pernikahan, perceraian, nafkah, dan lain-lain. Hukum-hukum ini disebut Ahwal al- Syakhsiyah.
3. Hukum yang berhubungan dengan pekerjaan, perekonomian, dan interaksi antara satu dan lainnya, seperti; jual beli, perdagangan, pegadaian, dan pengadilan. Hukum-hukum ini disebut Muamalah (perdata)
4. Hukum-hukum yang berhubungan dengan pemerintahan beserta pelaksanaannya dan politik. Hukum-hukum ini disebut Ahkamu Sulthaniah atau Siasah Syar’iah.
5. Hukum-hukum yang berhubungan dengan hukuman orang yang berbuat kesalahan, menjatuhkan kehormatan orang, dan mengganggu keamanan umum. Hukum-hukum ini disebut Jinayat (Pidana)
6. Hukum-hukum yang berkaitan dengan hubungan antara Negara Islam dan Negara lain. Hukum-hukum ini disebut Syi’ar (Diplomatik)
7. Hukum-hukum yang berhubungan dengan tingkah laku lahiriah seorang Muslim dengan sesama manusia. Hukum-hukum ini disebut Fiqhul Adab.
Sedangkan Prof. T.M. Hasbi Ashiddiqqie, merinci lebih lanjut pembagian tersebut dengan mengembangkan menjadi delapan topik bahasan, yaitu:
A. Ibadah
Pada bagian ini dibicarakan beberapa masalah masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan berikut seperti Thaharah (bersuci); Ibadah (sembahyang); Shiyam (puasa); Zakat; Zakat Fithrah; Haji; Janazah (penyelenggaraan jenazah); Jihad (perjuangan); Nadzar; Udhiyah (kurban);
B. Ahwal al-Syakhshiyyah
Satu bahasan yang terhimpun dalam bab ini membicarakan masalah-masalah yang terkonsentrasi seputar aturan hukum pribadi (privat) manusia, kekeluargaan, harta warisan, yang antara lain meliputi persoalan: Nikah; Khithbah (melamar); Mu’asyarah (bergaul); Nafaqah; Talak; Khulu’; Fasakh; Li’an; Zhihar; Ila’; ‘Iddah; Rujuk; Radla’ah; Hadlanah; Wasiat; Warisan; Hajru; dan Perwalian.
C. Muamalah Madaniyah
Biasanya disebut muamalah saja yang didalamnya terdapat pembicaraan masalah-masalah harta kekayaan, harta milik, harta kebutuhan, cara mendapatkan dan menggunakan, yang meliputi masalah: Buyu’ (jual-beli); Khiyar; Riba (renten); Sewa-menyewa; Hutang-piutang; Gadai; Syuf’ah; Tasharruf; Salam (pesanan); Wadi’ah (Jaminan); Mudlarabah dan Muzara’ah (perkongsian); Hiwalah; Pinjam-meminjam; Syarikah; Luqathah; Ghasab; Qismah; Hibah dan Hadiyah; Kafalah; Waqaf ; Perwalian; Kitabah; dan Tadbir.
D. Muamalah Maliyah
Kadang-kadang disebut Baitul mal saja. Inilah bagian dalam hukum Islam yang mengulas tentang harta kekayaan yang dikelola secara bersama, baik masyarakat kecil atau besar seperti negara (perbendaharaan negara=baitul mal). Pembahasan di sini meliputi: Status milik bersama baitul mal; Sumber baitul mal; Cara pengelolaan baitul mal; Macam-macam kekayaan atau materi baitul mal; Obyek dan cara penggunaan kekayaan baitul mal; Kepengurusan baitul maal; dan lain-lain.
E. Jinayah dan ‘Uqubah (pelanggaran dan hukuman)
Biasanya dalam kitab-kitab fiqh ada yang menyebut jinayah saja. Dalam bab ini di bicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan pelanggaran, kejahatan, pembalasan, denda, hukuman dan sebagainya. Pembahasan ini meliputi:
Pelanggaran; Kejahatan; Qishash (pembalasan); Diyat (denda); Hukuman pelanggaran dan kejahatan; Hukum melukai/mencederai; Hukum pembunuhan; Hukum murtad; Hukum zina; Hukuman Qazaf; Hukuman pencuri; Hukuman perampok; Hukuman peminum arak; Ta’zir; Membela diri; Peperangan; Pemberontakan; Harta rampasan perang; Jizyah.
F. Murafa’ah atau Mukhashamah
Pokok bahasan dalam bagian ini menjelaskan berbagai masalah yang dapat dikategorikan ke dalam kelompok persoalan peradilan dan pengadilan. Pembahasan pada bab ini meliputi: Peradilan dan pendidikan; Hakim dan Qadi; Gugatan; Pembuktian dakwaan; Saksi; Sumpah dan lain-lain.
G. Ahkamud Dusturiyyah
Bagian ini adalah bidang hukum tata Negara dalam Islam yang umumnya membicarakan berbagai masalah-masalah yang menyangkut seputar ketatanegaraan. Pembahasannya antara lain meliputi: Kepala negara dan Waliyul amri; Syarat menjadi kepala negara dan Waliyul amri; Hak dan kewajiban Waliyul amri; Hak dan kewajiban rakyat; Musyawarah dan demokrasi; Batas-batas toleransi dan persamaan; dan lain-lain
H. Ahkamud Dualiyah (Hukum Internasional)
Bagian ini lebih tepat bila disebut sebagai kelompok masalah hubungan internasional. Pembicaraan pada bab ini meliputi: Hubungan antar negara, sama-sama Islam, atau Islam dan non-Islam, baik ketika damai atau dalam situasi perang; Ketentuan untuk orang dan damai; Penyerbuan; Masalah tawanan; Upeti, Pajak, rampasan; Perjanjian dan pernyataan bersama; Perlindungan; Ahlul ‘ahdi, ahluz zimmi, ahlul harb; dan Darul Islam, darul harb, darul mustakman.
C. Istitusi Pranata Sosial dan Organisasi
Menurut Horton dan Hunt (1987), yang dimaksud dengan pranata sosial (lembaga sosial) adalah suatu sistem norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dipandang penting. Dengan kata lain, pranata sosial adalah sistem norma yang mengatur segala tindakan manusia dalam memenuhi kebutuhan pokoknya dalam hidup bermasyarakat.
Sistem norma yaitu sejumlah aturan sosial, atau patokan perilaku yang pantas, yang menjadi kesepakatan semua anggota masyarakat untuk dipegang dan dijadikan pedoman untuk mengatur kehidupan bersama.
Istilah pranata sosial berhubungan erat dengan apa yang disebut “lembaga” meskipun keduanya berlainan arti. Dua istilah tersebut berakar dari satu ungkapan bahasa Latin institure yang berarti “mendirikan”. Kata benda dari istilah tersebut adalah institutio yang berarati “pendirian” atau “apa yang didirikan”. Institutio tersebut diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan dua istilah yang berbeda yaitu institusi (pranata) dan institut (lembaga).
Pranata sosial adalah tradisi-tradisi dalam kehidupan manusia yang terbentuk sebagai kombinasi antara reaksi kemanusiaan atas tantangan dan dinamika lingkungannya, dengan etos yang menjadi nilai dasar kehidupannya. Bagi umat Islam, nilai etos itu terbentu dari ajaran-ajaran dasar yang dekembangkan A;-Quran dan al-Sunah .
Adapun Keberadaan lembaga sosial tidak lepas dari adanya nilai dan norma dalam masyarakat. Di mana nilai merupakan sesuatu yang baik, dicita- citakan, dan dianggap penting oleh masyarakat. Oleh karenanya, untuk mewujudkan nilai sosial, masyarakat menciptakan aturan-aturan yang tegas yang disebut norma sosial. Nilai dan norma inilah yang membatasi setiap perilaku manusia dalam kehidupan bersama. Sekumpulan norma akan membentuk suatu sistem norma. Inilah awalnya lembaga sosial terbentuk. Sekumpulan nilai dan norma yang telah mengalami proses institutionalization menghasilkan lembaga sosial.
Lembaga sosial merupakan tata cara yang telah diciptakan untuk mengatur hubungan antar manusia dalam sebuah wadah yang disebut dengan Asosiasi. Lembaga dengan Asosiasi memiliki hubungan yang sangat erat. Namun memiliki pengartian yang berbeda. Lembaga yangg tidak mempunyai anggota tetap mempunyai pengikut dalam suatu kelompok yang disebut asosiasi. Asosiasi merupakan perwujudan dari lembaga sosial. Asosiasi memiliki seperangkat aturan, tatatertib, anggota dan tujuan yang jelas. Dengan kata lain Asosiasi memiliki wujud kongkret, sementara Lembaga berwujud abstrak. Istilah lembaga sosial oleh Soerjono Soekanto disebut juga lembaga kemasyarakatan. Istilah lembaga kemasyarakatan merupakan istilah asing social institution. Akan tetapi, ada yang mempergunakan istilah pranata sosial untuk menerjemahkan social institution. Hal ini dikarenakan social institution menunjuk pada adanya unsur-unsur yang mengatur perilaku para anggota masyarakat. Sebagaimana Koentjaraningrat mengemukakan bahwa pranata sosial adalah suatu sistem tata kelakukan dan hubungan yang berpusat pada aktivitas- aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Istilah lain adalah bangunan sosial, terjemahan dari kata sozialegebilde (bahasa Jerman) yang menggambarkan bentuk dan susunan institusi tersebut. Namun, pembahasan ini tidak mem- persoalkan makna dan arti istilah-istilah tersebut. Dalam hal ini lebih mengarah pada lembaga kemasyarakatan atau lembaga sosial, karena pengertian lembaga lebih menunjuk pada suatu bentuk sekaligus juga mengandung pengertian yang abstrak tentang adanya norma-norma dalam lembaga tersebut. Menurut Robert Mac Iver dan Charles H. Page, mengartikan lembaga kemasyarakatan sebagai tata cara atau prosedur yang telah diciptakan untuk mengatur hubungan antarmanusia dalam suatu kelompok masyarakat. Sedangkan Leopold von Wiese dan Howard Becker melihat lembaga dari sudut fungsinya. Menurut mereka, lembaga kemasyarakatan diartikan sebagai suatu jaringan dari proses- proses hubungan antarmanusia dan antarkelompok manusia yang berfungsi untuk memelihara hubungan-hubungan tersebut serta pola- polanya, sesuai dengan kepentingan-kepentingan manusia dan sekelompoknya. Selain itu, seorang sosiolog yang bernama Summer melihat lembaga kemasyarakatan dari sudut kebudayaan. Summer meng- artikan lembaga kemasyarakatan sebagai perbuatan, cita-cita, dan sikap perlengkapan kebudayaan, yang mempunyai sifat kekal serta yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Oleh karenanya, keberadaan lembaga sosial mempunyai fungsi bagi kehidupan sosial. Fungsi-fungsi tersebut antara lain: a. Memberikan pedoman kepada anggota masyarakat tentang sikap dalam menghadapi masalah di masyarakat, terutama yang menyangkut kebutuhan pokok. b. Menjaga keutuhan dari masyarakat yang bersangkutan. c. Memberi pegangan kepada anggota masyarakat untuk mengadakan pengawasan terhadap tingkah laku para anggotanya.
Dengan demikian, lembaga sosial merupakan serangkaian tata cara dan prosedur yang dibuat untuk mengatur hubungan antarmanusia dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, lembaga sosial terdapat dalam setiap masyarakat baik masyarakat sederhana maupun masyarakat modern. Hal ini disebabkan setiap masyarakat menginginkan keteraturan hidup.
Secara garis besar organisasi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu organisasi formal dan organisasi informal. Pembagian tersebut tergantung pada tingkat atau derajat mereka terstruktur. Namur dalam kenyataannya tidak ada sebuah organisasi formal maupun informal yang sempurna.
v Organisasi Formal
Organisasi formal memiliki suatu struktur yang terumuskan dengan baik, yang menerangkan hubungan-hubungan otoritasnya, kekuasaan, akuntabilitas dan tanggung jawabnya. Struktur yang ada juga menerangkan bagaimana bentuk saluran-saluran melalui apa komunikasi berlangsung. Kemudian menunjukkan tugas-tugas terspesifikasi bagi masing-masing anggotanya. Hierarki sasaran organisasi formal dinyatakan secara eksplisit. Status, prestise, imbalan, pangkat dan jabatan, serta prasarat lainya terurutkan dengan baik dan terkendali. Selain itu organisasi formal tahan lama dan mereka terencana dan mengingat bahwa ditekankan mereka beraturan, maka mereka relatif bersifat tidak fleksibel. Contoh organisasi formal ádalah perusahaan besar, badan-badan pemerintah, dan universitas-universitas .
v Organisasi informal
Keanggotaan pada organisasi-organisasi informal dapat dicapai baik secara sadar maupun tidak sadar, dan kerap kali sulit untuk menentukan waktu eksak seseorang menjadi anggota organisasi tersebut. Sifat eksak hubungan antar anggota dan bahkan tujuan organisasi yang bersangkutan tidak terspesifikasi. Contoh organisasi informal adalah pertemuan tidak resmi seperti makan malam bersama. Organisasi informal dapat dialihkan menjadi organisasi formal apabila hubungan didalamnya dan kegiatan yang dilakukan terstruktur dan terumuskan. Selain itu, organisasi juga dibedakan menjadi organisasi primer dan organisasi sekunder menurut Hicks:
• Organisasi Primer, organisasi semacam ini menuntut keterlibatan secara lengkap, pribadi dan emosional anggotanya. Mereka berlandaskan ekspektasi rimbal balik dan bukan pada kewajiban yang dirumuskan dengan eksak. Contoh dari organisasi semacam ini adalah keluarga-keluarga tertentu.
• Organisasi Sekunder, organisasi sekunder memuat hubungan yang bersifat intelektual, rasional, dan kontraktual. Organisasi seperti ini tidak bertujuan memberikan kepuasan batiniyah, tapi mereka memiliki anggota karena dapat menyediakan alat-alat berupa gaji ataupun imbalan kepada anggotanya. Sebagai contoh organisasi ini adalah kontrak kerjasama antara majikan dengan calon karyawannya dimana harus saling setuju mengenai seberapa besar pembayaran gajinya.
D. Pranata Zakat, Pranata Wakaf dan Pranata Perkawinan
Pranata Zakat
Memajukan kesejahteraan umum merupakan salah satu tujuan nasional negara Republik Indonesia yang diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan tujuan nasional tersebut, bangsa Indonesia senantiasa melaksanakan pembangunan yang bersifat fisik materiil dan mental spiritual, antara lain melalui pembangunan di bidang agama yang mencakup terciptanya suasana kehidupan beragama yang penuh keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, meningkatnya akhlak mulia, terwujudnya kerukunan hidup umat beragama yang dinamis sebagai landasan persatuan dan kesatuan bangsa, dan meningkatnya peran serta masyarakat dalam pembangunan nasional. Guna mencapai tujuan tersebut, perlu dilakukan berbagai upaya, antara lain dengan menggali dan memanfaatkan dana melalui zakat.
Zakat sebagai rukun Islam merupakan kewajiban setiap muslim yang mampu membayarnya dan diperuntukkan bagi mereka yang berhak menerimanya. Dengan pengelolaan yang baik, zakat merupakan sumber dana potensial yang dapat dimanfaatkan untuk memajukan kesejahteraan umum bagi seluruh masyarakat.
Agar sumber dana yang dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat terutama untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan dan menghilangkan kesenjangan sosial, perlu adanya pengelolaan zakat secara profesional dan bertanggung jawab yang dilakukan oleh masyarakat bersama pemerintah. Dalam hal ini pemerintah berkewajiban memberikan perlindungan, pembinaan, dan pelayanan kepada muzzaki, mustahiq, dan pengelola zakat. Untuk maksud tersebut, perlu adanya undang-undang tentang pengelolaan zakat yang berasaskan keimanan dan takwa dalam rangka mewujudkan keadilan sosial, kemaslahatan, keterbukaan, dan kepastian hukum sebagai pengamalan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Tujuan pengelolaan zakat adalah meningkatkannya kesadaran masyarakat dalam penunaian dan dalam pelayanan ibadah zakat, meningkatnya fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial, serta meningkatnya hasil guna dan daya guna zakat.
Undang-undang tentang Pengelolaan zakat juga mencakup pengelolaan infaq, shadaqah, hibah, wasiat, waris, dan kafarat dengan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan agar menjadi pedoman bagi muzzaki dan mustahiq, baik perorangan maupun badan hukum dan/atau badan usaha
Untuk menjamin pengelolaan zakat sebagai amanah agama dalam undang-undang ini ditentukan adanya unsur pertimbangan dan unsur pengawas yang terdiri atas ulama , kaum cendekia, masyarakat, dan pemerintah serta adanya sanksi hukum terhadap pengelola
Dengan dibentukknya Udang-undang tentang Pengelolaan Zakat , diharapkan dapat ditngkatkan kesadaran muzzaki untuk menunaikan kewajiban zakat dalam rangka menyucikan diri terhadap harta yang dimilikinya, mengangkat derajat mustahiq, dan meningkatnya keprofesionalan pengelola zakat, yang semuanya untuk mendapatkan ridha Allah SWT.
Pranata Wakaf
Dua dekade terakhir kita menyaksikan kebangkitan lembaga-lembaga keuangan Islam di bumi Indonesia. Fenomena ini sungguh menarik bila dikaitkan dengan semakin menguatnya pusaran ekonomi kapitalis-liberal dalam tata ekonomi global. Menjamurnya Bank Muamalat, BMT, dan Bank Syariah yang menginduk pada bank-bank konvensional, asuransi Islam (takaful), lembaga zakat dan lain sebagainya, adalah pertanda awall kebangkitan ekonomi umat. Pemikiran dan usaha-usaha praktis untuk memperkuat basis perekonomian umat masih terus berlanjut. M. Amien Rais, misalnya, mencoba menggulirkan wacana zakat profesi, dan ada yang mengusulkan adanya wakaf produktif atau wakaf tunai sebagai ikhtiar untuk lebih memberdayakan ekonomi umat
Wakaf merupakan salah satu lembaga keuangan Islam di samping zakat, infak dan shadakah yang berurat berakar di bumi Indonesia. Islam sebagai pesan keagamaan sangat menekankan solidaritas sesama manusia,, persaudaraan, kesamaan nasib sebagai makhluk Allah s.w.t., dan kesamaan tujuan dalam menyembah-Nya. Salah satu manifestasinya adalah melalui lembaga keuangan dan ekonomi dengan tujuan membantu sesama manusia dan sesama umat beriman .
Wakaf adalah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tanpa musnah seketika dan untuk penggunaan yang mubah, serta dimaksudkan untuk mendapatkan keridhaan Allah swt http://ekisonline.com/component/content/article/35-ekonomi-makro/281-wakaf-dan-pemberdayaan-ekonomi-umat.html – _ftn2. Atau dengan kalimat lain, wakaf ialah menahan asal dan mengalirkan hasilnya http://ekisonline.com/component/content/article/35-ekonomi-makro/281-wakaf-dan-pemberdayaan-ekonomi-umat.html – _ftn3. Dengan cara demikian, harta wakaf dapat dipergunakan untuk kepentingan publik dan kemaslahatan umum secara berkelanjutan tanpa menghilangkan harta asal.

 

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook