Wednesday, December 18, 2013

KEBOHONGAN PANCAINDRA DAN PERASAAN





KEBOHONGAN PANCAINDRA

DAN PERASAAN

By  Muhammad Rakib,S.H.,M.Ag.,Drs. Pekanbaru  Riau Indonesia Asia Tenggara

Kebohongan perasaan ialah pesawat antar benua  yang  yang terbang dengan kecepatan 1000 KM perjam, menurut persaan, tidak berjalan sama sekali. Menurut pandangan mata, pesawat itu tidak berjalan..Begitulah kebohongan empirisme yang bekerjanya adalah berdasarkan pengalaman inderawi atau pengalaman yang bisa ditangkap oleh panca indera manusia.
Kelemahan aliran ini adalah sangat banyak :
  1. Indera terbatas ; Benda yang jauh kelihatan kecil.
  2. Indera menipu ; Orang yang sedang sakit malaria, gula rasanya pahit.
  3. Terkadang objek yang menipu, seperti ilusi dan patamorgana.
  4. Kekurangan terdapat pada indera dan objek sekaligus; indera (dalam hal ini mata) tidak bisa melihat kerbau secara keseluruhan, begitu juga kerbau tidak bisa dilihat secara keseluruhan.
Pada dasarnya Empirisme sangat bertentangan dengan Rasionalisme. Rasionalisme mengatakan bahwa pengenalan yang sejati berasal dari ratio, sehingga pengenalan inderawi merupakan suatu bentuk pengenalan yang kabur. sebaliknya Empirisme berpendapat bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman sehingga pengenalan inderawi merupakan pengenalan yang paling jelas dan sempurna.
Seorang yang beraliran Empirisme biasanya berpendirian bahwa pengetahuan didapat melalui penampungan yang secara pasip menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan betapapun rumitnya dapat dilacak kembali dan apa yang tidak dapat bukanlah ilmu pengetahuan. Empirisme radikal berpendirian bahwa semua pengetahuan dapat dilacak sampai kepada pengalaman inderawi dan apa yang tidak dapat dilacak bukan pengetahuan. Lebih lanjut penganut Empirisme mengatakan bahwa pengalaman tidak lain akibat suatu objek yang merangsang alat-alat inderawi, kemudian di dalam otal dipahami dan akibat dari rangsangan tersebut dibentuklah tanggapan-tanggapan mengenai objek yang telah merangsang alat-alat inderawi tersebut.
Empirisme memegang peranan yang amat penting bagi pengetahuan, malah barangkali merupakan satu-satunya sumber dan dasar ilmu pengetahuan menurut penganut Empirisme. Pengalaman inderawi sering dianggap sebagai pengadilan yang tertinggi.
b. Tokoh-tokohnya.
1. Francis Bacon (1210 -1292)
2. Thomas Hobbes ( 1588 -1679)
3. John Locke ( 1632 -1704)
4. George Berkeley ( 1665 -1753)
5. David Hume ( 1711 -1776)
6. Roger Bacon ( 1214 -1294)
b.  Metode Rasionalisme
Para penganut rasionalisme berpandangan bahwa satu-satunya sumber pengetahuan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal) seseorang. Perkembangan pengetahuan mulai pesat pada abad ke-18. Orang yang dianggap sebagai bapak rasionalisme adalah Rene Descartez (1596-1650) yang juga dinyatakan sebagai bapak filsafat modern. Semboyannya yang terkenal adalah cogito ergo sum (saya berpikir, jadi saya ada).
Berbeda dengan penganut empirisme, karena rasionalisme memandang bahwa metode untuk memperoleh pengetahuan adalah melalui akal pikiran. Bukan berarti rasionalisme menegasikan nilai pengalaman, melainkan pengalaman dijadikan sejenis perangsang bagi akal pikiran untuk memperoleh suatu pengetahuan. Menurut Rene Descartes (Bapak Rasionalisme), bahwa kebenaran suatu pengetahuan melalui metode deduktif melalui cahaya yang terang dari akal budi. Maka akal budi dipahamkan sebagai:
-   Sejenis perantara khusus, yang dengan perantara itu dapat dikenal kebenaran.
-   Suatu teknik deduktif yang dengan memakai teknik tersebut dapat ditemukan kebenaran-kebenaran yaitu dengan melakukan penalaran.
Fungsi pengalaman inderawi bagi penganut rasionalisme sebagai bahan pembantu atau sebagai pendorong dalam penyelidikannya suatu memperoleh kebenaran.
Rasionalisme adalah merupakan faham atau aliran atau ajaran yang berdasarkan ratio, ide-ide yang masuk akal.Selain itu, tidak ada sumber kebenaran yang hakiki. Zaman Rasionalisme berlangsung dari pertengahan abad ke XVII sampai akhir abad ke XVIII. Pada zaman ini hal yang khas bagi ilmu pengetahuan adalah penggunaan yang eksklusif daya akal budi (ratio) untuk menemukan kebenaran.
Ternyata, penggunaan akal budi yang demikian tidak sia-sia, melihat tambahan ilmu pengetahuan yang besar sekali akibat perkembangan yang pesat dari ilmu-ilmu alam. Maka tidak mengherankan bahwa pada abad-abad berikut orang-orang yang terpelajar Makin percaya pada akal budi mereka sebagai sumber kebenaran tentang hidup dan dunia. Hal ini menjadi menampak lagi pada bagian kedua abad ke XVII dan lebih lagi selama abad XVIII antara lain karena pandangan baru terhadap dunia yang diberikan oleh Isaac Newton (1643 -1727). Berkat sarjana geniaal Fisika Inggeris ini yaitu menurutnya Fisika itu terdiri dari bagian-bagian kevil (atom) yang berhubungan satu sama lain menurut hukum sebab akibat.
Semua gejala alam harus diterangkan menurut jalan mekanis ini. Harus diakui bahwa Newton sendiri memiliki suatu keinsyafan yang mendalam tentang batas akal budi dalam mengejar kebenaran melalui ilmu pengetahuan. Berdasarkan kepercayaan yang makin kuat akan kekuasaan akal budi lama kelamaan orang-orang abad itu berpandangan dalam kegelapan. Baru dalam abad mereka menaikkan obor terang yang menciptakan manusia dan masyarakat modern yang telah dirindukan, karena kepercayaan itu pada abad XVIII disebut juga zaman Aufklarung (pencerahan).
b. Tokoh-tokohnya
1. Rene Descartes (1596 -1650)
2. Nicholas Malerbranche (1638 -1775)
3. B. De Spinoza (1632 -1677 M)
4. G.W.Leibniz (1946-1716)
5. Christian Wolff (1679 -1754)
6. Blaise Pascal (1623 -1662 M)
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka perlu disimpulkan beberapa hal :
  1. Ilmu pengetahuan adalah ilmu yang mencoba menjawab segala permasalahan atau gejala-gejala alam dan lingkungan atau masyarakat dengan menggunakan metode-metode ilmiah
  2. Ilmu pengetahuan bersifat relatif, artinya ilmu pengetahuan itu tidak kaku sehingga ia akan terus berkembang seiring dengan kerja dan usaha manusia dalam memenuhi kebutuhannya akan kebenaran dan pemanfaatan hidup yang lebih berarti. Juga teori-teori yang telah dibangun oleh para ilmuwan tidak akan bertahan sepanjang masa. ia akan dibantah oleh teori-teori baru yang lebih mendekati kepada kebenaran dan efesiensi kerja ilmiah.
  3. Rasionalisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang berpendirian bahwa sumber pengetahuan yang mencukupi dan dapat dipercaya adalah akal. Rasionalisme tidak mengingkari peran pengalaman, tetapi pengalaman dipandang sebagai perangsang bagi akal atau sebagai pendukung bagi pengetahuan yang telah ditemukan oleh akal. Akal dapat menurunkan kebenaran-kebenaran dari dirinya sendiri melalui metode deduktif. Rasionalisme menonjolkan “diri” yang metafisik, ketika Descartes meragukan “aku” yang empiris, ragunya adalah ragu metafisik.
  4. Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang berpendapat bahwa empiri atau pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan. Akal bukanlah sumber pengetahuan, akan tetapi akal berfungsi mengolah data-data yang diperoleh dari pengalaman. Metode yang digunakan adalah metode induktif. Jika rasionalisme menonjolkan “aku” yang metafisik, maka empirisme menonjolkan “aku” yang empiris.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Asmoro.  Filsafat Umum. Cet. V; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.
Anees, Bambang Q- dan Radea Juli A. Hambali. Filsafat Untuk Umum. Cet. I; Jakarta: Prenada Media, 2003.
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Cet. IX; Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Ravertz, Jerome R.  The Philosophy of Science. Diterjemahkan oleh Saut Pasaribu dengan judul Filsafat Ilmu, Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasan. Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Mustansyir, Rizal  dan Misnal Munir. Filsafat Ilmu. Cet. VII; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Nakosteen, Mehdi. History of Islamic Origins of Western Education A. D. 800-1350 with an Introduction to Medieval Muslim Education. Diterjemahkan oleh Joko S. Kahhar dan Supriyanto Abdullah dengan judul Kontribusi Islam atas dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis abad kemasan Islam. Cet. I; Surabaya: Risalah Gusti, 1996.
Suriasumantri, Jujun S. Ilmu dalam perspektif. Cet. XVI; Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003.
Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum. Cet. VI; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1998.
Titus, Harold H., et al. Living Issues in philosophy. Diterjemahkan oleh H.M. Rasjidi dengan judul Persoalan-Persoalan Filsafat. Cet.  I; Jakarta: PT Bulan Bintang, 1984.
Zaqzu>q, Mah}mu>d H{amdiy. Dira>sa>t fi> al-Falsafat al-H{adi>sah. Cet. II; Kairo: Da>r al-T{iba>‘at al-Muh}ammadiyyah, 1988….

FIQIH TENTANG KASUS-KASUS BARU
(Drs.H.M.RAKIB,S.H.,M.Ag)

Setiap zaman memiliki nawâzil (kasus-kaus baru) yang khusus. Pada zaman ini perkembangan nawâzil begitu cepat. Kemungkinan penyebabnya kembali kepada dua perkara:

Pertama: Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Kemajuan Tekhnologi.
Abad ini telah terjadi revolusi teknologi yang sangat besar. Dengan adanya penemuan tenaga listrik maka sarana-sarana transportsi-pun berubah, yaitu dengan diciptakan mobil, pesawat terbang dan kereta api. Berkembang pula sarana-sarana komunikasi, informasi, dan pengajaran; ditandai denan pengadaan telepon, radio, komputer, parabola dan internet. Dikembangkan pula alat-alat medis modern yang belum dikenal sebelumnya, Sebagaimana juga ditemukan juga berbagai nutrisi dan obat-obat baru yang bisa dipergunakan pada manusia, hewan dan tanaman. Berbagai perkembangan yang mengagumkan ini memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap terjadinya nawâzil dan masalah-masalah yang muncul.

Kedua: Penyimpangan.
Yaitu sikap manusia yang kurang konsekwen dalam menjalankan hukum-hukum agama. Akibat dari perbuatan mereka yang kurang konsekwen itu atau bahkan ini merupakan wujud dari tidak konsekwenan mereka yaitu bermewah-mewah dalam berbagai kenikmatan seperti ; makanan, perumahan, kendaraan, pakaian; tersibukkan dengan berbagai permainan, usaha memperbanyak pemasukan dan tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir. Kondisi seperti ini telah diisyaratkan dalam perkataan ‘Umar bin Abdul Azîz rahimahullah : “Permasalahan-permasalahan akan bermunculan seukuran dengan penyimpangan yang dilakukan manusia”.[1]

HUKUM IJTIHAD PADA NAWAZIL
Melakukan Ijtihâd dalam nawâzil hukumnya wajib kifayah bagi umat ini. Namun terkadang menjadi wajib ‘ain bagi orang-orang (Ulama-pent) yang ditugaskan untuk mengkaji berbagai nawâzil. Bagi orang-orang ini, mengkaji nawazil hukumnya wajib ‘ain pada mereka itu.[2]

Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah menyebutkan bahwa mayoritas Ulama tidak suka memikirkan masalah-masalah yang belum terjadi, dan (membenci) memperpanjang pembicaraan tentang sesuatu yang belum terjadi. Mereka menilainya sebagai perbuatan menyibukkan diri dengan sesuatu yang tidak bermanfaat.[3]

Tentang hal ini ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam ad-Dârimi di dalam Sunannya, 1/49, dari Wahb bin ‘Umair, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَعْجَلُواْ بِالْبَلِيَّةِ قَبْلَ نُزُوْلِهَا فَإِنَّكُمْ إِنْ لاَ تَعْجَلُوْهَا قَبْلَ نُزُوْلِهَا لاَ يَنْفَكُّ الْمُسْلِمُونَ وَفِيهِمْ إِذَا هِيَ نَزَلَتْ مَنْ إِذَا قَالَ وُفِّقَ وَسُدِّدَ وَإِنَّكُمْ إِنْ تَعْجَلُوْهَا تَخْتَلِفْ بِكُمْ اْلأَهْوَاءُ فَتُأْخَذُوْا هَكَذَا وَهَكَذَا وَأَشَارَ بَيْنَ يَدَيْهِ وَعَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ

Janganlah kamu tergesa-gesa (membicarakan) suatu masalah sebelum masalah itu terjadi ! Sesungguhnya jika kamu tidak tergesa-gesa (membicarakan) masalah sebelum masalah itu terjadi, maka ketika masalah itu terjadi, di kalangan kaum Muslimin itu akan selalu ada orang yang diberi taufiq dan benar jika dia berbicara. Namun jika kalian tergesa-gesa (membicarakan) masalah itu (sebelum terjadi -pent), maka hawa nafsu-hawa nafsu akan menjadikan kalian saling berselisih. Kalina akan diseret ke sana dan ke sana”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk ke arah depan, ke kanan, dan ke kiri”.

Oleh karena itu di antara syarat-syarat permasalahan yang boleh diijtihâdkan, adalah masalah-masalah tersebut telah terjadi di kalangan kaum Muslimin. Sedangkan masalah-masalah yang belum terjadi, maka terkadang melakukan ijtihâd pada masalah itu hukumnya makruh, dan terkadang haram. Demikian pula tidak wajib mengkaji masalah-masalah yang hanya terjadi di tengah masyarakat kafir, seperti masalah bank sperma.

URGENSI IJTIHAD PADA NAWAZIL
Melakukan Ijtihâd pada nawâzil zaman sekarang ini terlihat urgensinya pada point-point berikut ini :

1. Menjelaskan bahwa syari’at ini cocok untuk setiap zaman dan tempat, dan menjelaskan bahwa syari’at Islam ini merupakan syari’at yang kekal serta bisa memberikan solusi yang mujarab terhadap semua problem dan masalah yang rumit.

2. Membangkitkan dan mengingatkan umat ini terhadap bahaya berbagai masalah yang menimpa kaum Muslimin. Juga hal-hal yang sangat bertentangan dengan kaedah-kaedah dan tujuan-tujuan agama Islam. Dan Sangat disayangkan bahwa permasalahan-permasalahan itu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat Islam sedangkan hakekat (hukum) syari’at terhadap permasalahan-permasalahan itu telah hilang dari mayoritas kaum Muslimin di zaman ini.

3. Memberikan hukum-hukum syari’at yang sesuai pada masalah-masalah yang baru muncul tersebut merupakan tuntutan dan seruan yang tegas menuju penerapan hukum syari’at di dalam seluruh sisi kehidupan. Hal itu merupakan penerapan praktis yang akan menampakkan keindahan Islam dan menunjukkan ketinggian aturan-aturannya.

4. Adanya kebutuhan untuk mewujudkan informasi lengkap berdasarkan petunjuk syari’at Islam yang mencakup permasalahan-permasalahan zaman ini dan masalah-masalah yang baru.

5. Tidak diragukan bahwa dengan memberikan hukum-hukum syari’at yang sesuai pada masalah-masalah yang baru muncul di setiap zaman tersebut merupakan tugas utama dalam tajdîd agama (pembaharuan menuju syari’at), dan menghidupkan rambu-rambu tajdîd yang telah pudar.

(Diterjemahkan dari kitab Fikih Nawazil 1/23-34 oleh Ustadz Abu Ismail Muslim al-Atsari)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIII/1430H/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat: Al-Muntaqa Syarhul Muwath-tha, karya al-Bâji, 6/140
[2]. Lihat: Al-Majmû’ Syarhul Muhadz-dzab, 1/28, 45
[3]. Lihat: Jâmi’ Bayânil Ilmi wa Fadh-lihi, 2/139; I’lâmul Muwaqqi’în, 1/69; Jâmi’ul Ulûm wal Hikam, 1/240-252; dan Syarhul Kaukabil Munîr, 4/584-588..

Dalam Al-Muhalla [1:25], Ibnu Hazm berkata,  “Adapun para syuhada, Allah berfirman tentang mereka;
وَلا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَكِنْ لا تَشْعُرُونَ
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah bahwa mereka itu mati. Bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (al-Baqarah: 154).
Juga firmanNya;
وَلا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتً
ا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
“Dan janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang mati terbunuh fi sabilillah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Rabbnya, mereka diberi rezki dalam keadaan girang dengan apa yang dianugerahkan oleh Allah kepada mereka dari karuniaNya.” (Ali ‘Imran: 169).
Tidak ada selisih di antara umat islam bahwa para Nabi kedudukannya lebih tinggi dan lebih utama di sisi Allah Azza wa Jalla dibanding selain mereka. Yang menyalahi pandangan ini ia bukan seorang muslim.”
Barangsiapa yang ingin memperdalam masalah ini, silakan merujuk ke kitab Hayatul Anbiyaa’ tulisan al-Baihaqi, dan Inba ‘ul Adzkiyaa’ karya as-Suyuthi. Juga silakan baca karangan Ibnul Qayyim, Ar-Ruuh. Yang ingin memperluas masalah tertolaknya penggunaan kata-kata untuk yang ghaib “assalaamu ‘alannabiy”, silakan menelaah kitab Syeikh kami, Muhaddits Abdullah bin Shiddiq yang berjudul Al-Qaulul Muqni.
(Syeikh Hasan Ali As-Saqqaaf Al-Qurasyi Al-Hasyiimi , Shahiih Shifat Shalaat An-Nabiy min At-Takbiir ilaa At-Tasliim Ka’annaka Tanzhur Ilaihaa, halaman 122-123)

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook