Thursday, April 10, 2014

Banyak hiburan, perusak akhlak Agama akan, tersingkir mutlak




             Banyak hiburan, perusak akhlak
            Agama akan, tersingkir mutlak
             Siraman rohani, kurang bergerak
             Pendidikan, jangan sampai rusak.

Moral di selangkangan Lady Gaga



Bisakah Bangsaku di Ambang

Penghacuran Moral

Dikutip  dari  Ahmad Y. Samantho



Bahwa Virus penyakit epidemik global zaman kini, –yang ditularkan oleh para pembuka kotak Pandora, yang sadar tak sadar telah menjadi pengikut sekte satanic post-moderenisme– mulai makin memperlihatkan gejala deman sosio-politik-ekonomi-kulturalnya di Indonesia.

Betapa tidak, Post-Modernisme, sebagai sebuah bentuk pseudo filsafat ideology kontemporer, salah satu dewa berhalanya bernama prinsip dekonstruksionalisme (aliran penghancuran segala sesuatu) adalah antitesa dan kontra-ideology dari developmentalis konstruktifisme (pembangunanisme) moderenisme. Post-modernisme kini telah memunculkan banyak fenomena yang direkayasa untuk menghegemoni wacana & praksis sosio-ekonomi-politik-kultural publik bangsa kita ini. Sebutlah beberapa rentetan issue aktual berikut:

Telah muncul statement salah satu elit politik sebuah partai: Pramono Anung dari PDIP, yang bertekad dan mencanangkan figure pornoaksi terkenal “Inul Daratista” sebagai “icon” partainya untuk strategi kampanye pemilu yang akan datang. Sebagai sebuah partai yang mengklaim diri sebagai partai terbesar, terpopuler dan partainya “wong cilik”, PDIP mempertontonkan, mohon maaf, sebagaimana disebut dalam kolom Rehat di pojok halaman depan Koran Republika, Sabtu, 13 September 2003, sebagai “pertanda Banteng tak lagi mengandalkan kepalanya”. Artinya, tinimbang mereka menggunakan kekuatan akal di kepala (logika rasional), mereka lebih suka menggunakan kekuatan pesona goyang “ngebor dan ngecor”-nya pantat Inul sebagai Icon penarik simpati dan promosi partainya untuk meraih kemenangan politik dalam pesta-“mabuk”- demokrasi, tahun depan.

Akal sehat saya mencerna, kalau memang begitu, pantat Inul sebagai “icon” (lambang) partai, pada hakekatnya sudah, sedang dan akan menjadi berhala penarik dukungan massa, yang diharapkan akan kuat menyedot “basic instinct” bagian penting naluri hewaniyah manusia. “Icon Inul”, sudah tentu akan merangsang dan meng-hyperactive-kan bagian otak reptil dan otak mamalia manusia, dalam kesatuaan yang seharusnya Otak “Three in One”. Dan mengalah-lumpuhkan bagian lapisan otak neocortex-nya, yang seharusnya menjadi cirri khas kemanusiaan sejatinya. Artinya, pikiran akal sehat (rasionalitas ilmiah) akan dikalahkan demi hawa nafsu bahimiyah (kebinatangan) umat manusia. Sedang dan akan terjadi proses pembodohan massal ketika nafsu dikedepankan sambil menyingkirkan rasionalitas akal sehat dalam wacana & praktek politik publik, sekiranyanya partai “Inul” yang menang nanti. Naudzu billah min Dzalik”.

Lho mengapa harus “naudzu billah min dzalik”? Ya..ya..ya, sebab fungsi neokortek & “God Spot” dalam kepala saya, dan juga mungkin masih banyak persediaan akal sehat dan fitrah keimanan pada kalangan anak bangsa ini, walau masih “silent majority”, tidak akan rela, jika hajat hidup rakyat banyak, urusan politik kenegaraan dan kehidupan ekonomi-sosial-budaya diserahkan sepenuhnya kepada para pemuja berhala seksualitas-sensualisme tersebut.

Kenapa? Mudah-mudahan kekuatan rasio yang terbimbing “fitrah ilahi” dari silent majority, masih mampu menyadari, ketika hawa nafsu liar menjadi dominan dan menghegemoni seluruh sendi kehidupan masyarakat manusia, maka kerusakan dan kehancuran moral-peradaban bangsa menjadi sangat niscaya. AIDS dan berbagai penyakit kelamin akibat perzinahan akan menjadi epidemik dan endemic; kerusakan struktur sosial dan institusi keluarga sebagai basisnya akan lebih cepat lagi akibat angka penyelewengan seksual para suami dan para istri makin tinggi., freesex remaja makin popular, trendy dan funky. Para bapak akan makin larut dalam pelukan pelacur atau “perek” dan lupa diri pada tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga, suami dan bapak pengayom bagi anak-anak dan istrinya. Lalu para Ibu sedang dan akan semakin asyik bermain sex dengan masing-masing selingkuhannya atau para gigolo. Naudzu billah min dzalik. Lalu kemanakah anak-anaknya ? Ya bisa juga jadi pengikut dan penyembah berhala sex, freesex, promotor dan salesman/salesgirl seks. Atau mungkin jadi korban “broken home” yang terjerat jaringan bandar narkoba. Atau jadi kriminal cilik di jalanan kota dan kampung-kampung. Atau jadi anak-anak idiot, cacat mental, imbisil, dll. Naudzu billah min dzalik.

Memang dahsyat penyebaran virus penyakit moral yang keluar dari kotak pandora sekte satanic post-mo tersebut. Bagaimana tidak? Dekonstruksionisme (aliran ideologi penghancur) tersebut telah dapat menghancurkan potensi fitrah ilahiyah salah seorang kawan saya sesama guru pendidik di sekolah. Berhala hipersexualitas-mashocis, transeksualitas, homosex, lesbianisme, dll, dalam karya tulis sastranya, telah mengubah wajah ayu sang guru muslimah, kawan saya itu. Padahal 4-5 tahun yang lalu, Dinar Rahayu, begitu popular, disukai dan dicintai anak-anak murid kami. Dulu, kepadanya kami bersimpati. Tapi sayang kini, wajahnya tak lagi ceria dan cemerlang dengan cahaya Nur-Ilahi. Wajah, yang walau masih terbungkus rapi jilbab nan anggun, ironisnya kini semakin pucat dan kelabu, tertutupi make-up zaman reformasi yang kebablasan, terkontaminasi oleh bedak dan gincu dekonstruksionisme posmo. Akhirnya dia terusir dari oase intelektual-spiritual di sekolah tempat kami mengajar dulu.

Dengan kesedihan dan keprihatinan yang sangat mendalam, saya terpaksa mengatakan bahwa Dinar kawan saya itu, kini telah menjadi salah satu gerbong novelis-cerpenis yang ditarik oleh lokomotif gerakan pornografi, pornoaksi, pornojurnalitik, dan sastraporno, Arswendo Atmowiloto and “His Yellowpaper Syndicate with Their Red & Blak Conspiracy”. Berikut gerbong-gerbong lainnya yang aktif cari penumpang seperti Djenar Maesa Ayu, Ayu Utami, Hudan Hidayat, Anny Arrow, Tommy F. Awuy, dll.

Namun dalam hati kecilku, aku masih berharap, Dinar yang kukenal, dan juga novelis-cerpenis lain yang kini bergelimang dosa itu akan segera bertobat & sadar mencari hidayah Allah SWT. Sebagaimana taubat dan sadarnya sastrawan terkenal Almarhum Motinnggo Busye di dekade akhir hayatnya, Setelah sekian ratus novel & cerpen porno karyanya mengharu-biru jagat atmosfir bangsa kita di era tahun 1960-1970-an. Hingga konon karya-karya itu ditampung khusus dalam sebuah ruang dan rak-rak perpustakaan kepresidenan di Washington DC USA. Semoga saja.

Lalu, akan dibawa ke manakah bangsaku ini berlayar? Dengan perahu retak yang makin dibolongi lambungnya oleh sebagian penumpang dan awak, bahkan nakhoda perahu negeriku, yang makin hiperaktif dan rada bonek tersebut. Apakah kita atau kami harus rela dan tenang-tenang saja duduk di dek kapal perahu retak dan bocor tersebut. Lalu kita pasrah bongkokan ditenggelamkan secara massal sebagai sebuah bangsa di badai gelombang samudra globalisasi yang kian kacau cuacanya dan iklimnya? Atau kita biarkan negeri kita tenggelam dan hancur, seperti hancurnya negeri Sodom & Gomorah-nya kaum nabi Luth di Timur Tengah sana dulu.

Masih adakah perahu Nabi Nuh yang akan menyelamatkan kita dari amukan badai gelombang samudra globalisasi, liberalisasi post-moderenisme yang menghancurkan (dekonstruksionisme destruktif) ini.

Lihatlah demam sosio-kultural bangsa ini makin parah, akibat kezaliman dan kemaksiatan yang dipelihara dan dibiarkan berkembang di masyarakat. Bertahun-tahun, hampir 2 dekade lewat, seorang kyai yang dipanggil santrinya sebagai Abi di sebuah pesantren di Bogor, dibiarkan bebas mempekosa secara homosex dan mensodomi santri-santri laki-lakinya yang masih cilik dan lugu, tanpa sedikitpun dapat tercegah oleh aparat hukum dan keadilan, juga politik. Dan lihatlah berita perkosaan dan pembunuhan makin banyak dan akhirnya seolah menjadi berita biasa-biasa saja, yang tak menyentuh lagi dawai nurani publik bangsa ini. Pelacuran dilegalkan dan dilindungi media massa dengan promosinya dan pelembutan bahasa penyebutannya sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK). Mestinya pelacur ya sebut saja pelacur, penzina ya penzina, ndak usah ditutup-tutupi dan dibuat sopan sebutannya untuk sesuatu yang memang asusila.

Lihatlah dan saksikanlah betapa kini kami para guru & pendidik semakin sulit saja membina dan membimbing jiwa dan ruhani serta akhlak sebagian murid-murid kami di sekolah. Karena sebagian mereka lebih tertarik dengan pesona luar biasa berhala-berhala hiper-realitas sexual yang disajikan media massa. Berhala-berhala MTV, penis & vagina serta organ-organ sexual lainnya lalu menjadi icon-icon yang memenuhi jaringan syarat dan sel-sel otak reptil dan mamalia sebagian murid-murid kita. Hingga lapisan otak neocortex-nya lumpuh. Kehabisan energi dan oksigen. Jadi tak kuat lagi belajar dan latihan beribadah. Jadi tak kuat lagi konsentrasi menuntut ilmu dan mengasah lifeskill dan mudah “BeTe” di kelas. Buku catatannya pun lebih dipenuhi gambar-gambar “si Totong Sang penis” dan atau artis-artis setengah telanjang.

“Akankah… kita kembali ke masa lalu? Masa jahiliyah! Masa kebodohan. Masa kesesesatan… manusiaaaa…..”, terngiang kembali lengkingan nyanyian anak-anak PAS (Pembinaan Anak masjid Salman) ITB Bandung 20 tahun yang lalu binaan Mas Edi Ibadurahman, dkk.


http://rusdimathari.files.wordpress.com/2012/05/lady-gaga.jpg?w=150&h=132Apa yang salah dengan Lady Gaga, dan mengapa di sini, konsernya harus dilarang? Mengapa untuk urusan aurat, banyak orang tiba-tiba tampil sebagai orang paling suci,  merasa berbakti kepada Tuhan dan kemanusiaan?
oleh Rusdi Mathari
Lady Gaga dipastikan tak akan bisa menggelar konser di Jakarta. Sekitar sebulan sebelum pertunjukannya di awal Juli mendatang, pejabat polisi di Jakarta sudah menghadang Gaga dengan tidak memberikan rekomendasi untuk konsernya. Keputusan itu final dengan beberapa alasan.
Selain ada permintaan dari sejumlah kelompok Islam, Gaga dianggap bisa mengganggu keamanan. Polisi tidak menerangkan lebih jauh keamanan siapa dan yang bagaimana yang diganggu, kecuali sebuah penjelasan: penampilan Gaga dianggap seronok, mengumbar aurat, dan karena itu bisa merangsang lawan jenis. [Hei mengapa yang sejenis tidak pula disebut polisi?]
Gaga  –nama itu diambil dari lagu Queen berjudul “Radio Ga Ga”—  adalah ikon musik pop yang saat ini termasuk paling banyak diperbincangkan di dunia. Ia disukai anak-anak muda, justru karena penampilan dan juga atraksinya yang nyentrik di atas panggung. Mirip dengan penyanyi Madonna yang pada zamannya juga sering membuat sensasi di atas panggung, termasuk dengan melempar celana dalam yang dikenakan kepada penggemarnya sewaktu konser di London.  Tapi Gaga lebih berani ketimbang Madonna.
Bagian dalam lengan kirinya ditato, juga pantat dan buah dadanya. Berpose untuk sampul majalah Rolling Stones, Gaga tampil hampir telanjang.  Dia menutupi tubuhnya hanya dengan bola-bola plastik yang transparan. Sewaktu digelar acara MTV Video Music Award 2010, Gaga mengagetkan banyak orang karena tubuhnya dibalut gaun yang terbuat dari lembaran-lembaran daging mentah. Di Twitter, dia sengaja memajang foto payudaranya. Bila bernyanyi di atas panggung, Gaga menari-nari yang oleh sebagian orang digambarkan mirip gerakan orang bersenggama. Hak sepatunya bahkan berbentuk penis.
Karena semua penampilan dan gayanya itu, sebagian orang menyebut Gaga sebagai pemuja setan. Lirik di beberapa lagunya, dinilai mirip dengan mantra untuk memanggil dan menyembah Iblis. Dia juga dicap sering menggunakan lambang-lambang yang dianggap sebagai simbol pengikut setan. Di video klip untuk lagunya berjudul “Judas,” penampilan Gaga bahkan dilaknat karena berusaha menggambarkan Yesus dan murid-muridnya sebagai anggota geng motor. Apalagi di video itu Gaga menonjolkan busana dengan warna serba ungu, yang dalam tradisi Kristen dilukiskan sebagai cawat dan BH yang dikenakan pelacur Babel.
Mencintai Yesus
Orang Nasrani karena itu memberi cap Gaga sebagai antiKristus. Orang Islam menyebutnya sebagai pengikut Dajjal, –monster bermata satu, Eye of Horus itu. Sebuah stigma yang juga pernah ditempelkan kepada penyanyi Madonna, yang niscaya ditolak oleh Gaga sebagaimana dulu, Madonna pun pernah menepisnya.
Diwawancarai wartawan E!Online, dia merasa tidak menyerang [ajaran] Kristen dan sebaliknya menganggap penampilannya di video klip “Judas” sebagai pernyataan sosial dan budaya. Gaga pun menyatakan sebagai penganut Katolik. Menjawab pertanyaan para penggemar dan pembencinya di Google, dia mengatakan justru sangat mencintai Yesus dan karena itu sangat mengherankan ada yang menganggapnya sebagai pengikut Iblis. Kepada Oprah Winfrey, Gaga karena itu mengaku serba salah dan sering merasa tidak berharga dengan apa yang dilakukannya. “Apakah bisa, saya menjadi [pengikut] setan?”
Sebuah pernyataan yang oleh banyak orang Nasrani akan dianggap hanya sebagai dalil. April silam, kelompok-kelompok Kristen fanatik di Korea Selatan melarang keras anak-anak mereka menonton konser Gaga “Born this Way” di stadion Olimpiade Seoul. Tapi penolakan orang-orang Kristen itu, lebih banyak didorong oleh alasan penampilan dan tarian Gaga yang dianggap cabul dan porno.
Kini Gaga ditolak di Indonesia oleh sejumlah kelompok Islam dengan alasan yang kurang lebih sama dengan alasan kelompok-kelompok Kristen di Korea itu: Gaga mengumbar aurat. Tapi benarkah Gaga pemuja setan dan pengumbar syahwat?
Untuk beberapa alasan yang masih bisa diperdebatkan, anggapan itu mungkin ada benarnya. Tapi Gaga dan penampilannya, mestginya juga dianggap hanya membawa pesan agar manusia tidak hipokrit. Dia adalah produk dari perlawanan anak-anak muda terhadap ketabuan yang selalu diajarkan oleh mereka yang merasa berhak menjaga dan menafsirkan moral. Penampilan dan tariannya yang menabrak batas yang sejauh ini dianggap maksiat karena itu justru menyihir anak-anak muda memuja Gaga, dan itu bukan kali ini saja terjadi.
Madonna, The Beatles, dan di sini Rhoma Irama— pada zamannya, pernah pula dianggap sebagai pendobrak terhadap kemapanan ajaran agama yang selalu berhenti pada dogma yang kaku, justru ketika anak-anak muda itu membutuhkan jawaban. Di sisi lain, mereka mendengar dan menyaksikan perilaku-perilaku yang justru bertentangan dengan ajaran agama yang dilakukan banyak tokoh agama, dan pejabat pemerintah yang sibuk menjaga moral rakyatnya.
Di Indonesia, misalnya, polisi yang melarang konser Gaga justru masih dianggap sebagai salah satu lembaga yang paling korup. Polisi itu juga yang membiarkan sekelompok orang menggunakan kekerasan fisik untuk memaksa orang beribadah dan tidak beribadah, dan melarang orang berdiskusi. Polisi bahkan memperkarakan mereka yang berlainan keyakinan dengan kelompok yang lebih besar. Semua aksi itu celakanya menggunakan dalil dan ajaran agama, dan atas nama Tuhan.
Jadi apa yang salah dengan Gaga, dan mengapa konsernya harus dilarang? Mengapa untuk urusan aurat, banyak orang termasuk pejabat polisi yang terhormat itu, tiba-tiba tampil sebagai orang paling suci yang merasa berbakti kepada Tuhan dan kemanusiaan? Lalu bersalah dan berdosakah anak-anak muda itu jika percaya, moral dan ajaran agama itu justru berada di selangkangan Gaga?

Share this:

Related

Navigasi tulisan

10 pemikiran pada “Moral di selangkangan Lady Gaga”

  1. http://1.gravatar.com/avatar/daeb25f017c2a195708004c5e081abb8?s=32&d=http%3A%2F%2F1.gravatar.com%2Favatar%2Fad516503a11cd5ca435acc9bb6523536%3Fs%3D32&r=GDiposedicigp8 berkata:
kalau saya sih musik apapun yang saya suka pasti saya dengar, entah gimana cara performnya mau jungkir balik, salto, dll. Toh gaga juga ga bakalan telanjang bulat-bulat saat live show. just listening to the music. Saya heran kalo urusan syahwat beberapa kelompok baik agamis maupun selain itu pasti pada terbakar emosinya. Padahal kalo yang saya lihat di televisi-televisi, para koruptor yang “bertelanjang dada” korupsinya, ga ada tuh kelompok2 tadi untuk menyerukan antikorupsi. apakah korupsi harus disertai dengan urusan syahwat baru para kelompok tadi bertindak? IMHO :mrgreen:
jawabannya simpel. karena “ketidaktahuan”. lady gaga secara gamblang jelas tokoh negatif (dalam pemikiran mereka), mereka tahu dan melarang gaga tampil dsb. Koruptor tidak secara gamblang terlihat, setidaknya mereka tidak merasa yakin (tau sendiri kan hukum kita gimana), sehingga tidak bisa bertindak banyak. Sehingga pelarangan konser gaga, menurut saya, merupakan tindakan yang “yah…bolehlah”.
Tambahan:
(faktanya) tidak seluruh kejahatan bisa kita babat habis, namun apakah salah jika kita membabat kejahatan yang sanggup kita babat??? yang terpenting, dan mohon fokus, adalah apakah itu kebaikan atau keburukan…jika keburukan (besar or kecil) lalu dibabat, oke (titik)
  1. http://1.gravatar.com/avatar/1fcd668a5345418a412f65d29ed05bd1?s=32&d=http%3A%2F%2F1.gravatar.com%2Favatar%2Fad516503a11cd5ca435acc9bb6523536%3Fs%3D32&r=Gfajarsubkhi29 berkata:
halo bung Rudi, maaf ya sepertinya kritik anda terhadap para polisi yg korup, pejabat yg korup, ataupun ada salah satu tokoh agama yg tidak patut dicontoh itu ada sisi benarnya. itu karena mereka melanggar norma agama. Tetapi itu jangan lah bung jadikan sebagai alasan pembenaran terhadap suatu tindakan apapun yang juga melanggar norma agama. Itu artinya bung sama saja dengan mereka. Kemudian dari sisi budaya orang timur yang masih memegang nilai-nilai moral, etika, dan sopan santun, sepertinya juga kurang tepat. Mari kita pegang teguh norma agama yang kita yakini masing-masing. Mudah-mudahan dengan begitu kita dapat berpikir yang jernih dalam menanggapi segala situasi, kondisi, maupun persoalan hidup di dunia ini. Kami juga mohon maaf apabila dalam pendapat kami ada yang kurang berkenan, dan semoga bermanfaat.
  1. http://2.gravatar.com/avatar/e0f6a202adafb6e27fc7eafa9aa99cfe?s=32&d=http%3A%2F%2F2.gravatar.com%2Favatar%2Fad516503a11cd5ca435acc9bb6523536%3Fs%3D32&r=GBjl berkata:
yang bikin bingung sampe sekarang adalah zinah tetap diperbolehkan tapi dilokalisasikan (alias mbayar pajak), kenapa ormas2 dan pak polisi itu gak nggeruduk itu aja dulu? asli bingung…
  1. http://0.gravatar.com/avatar/cc929c752b612281be4f5332530c26b8?s=32&d=http%3A%2F%2F0.gravatar.com%2Favatar%2Fad516503a11cd5ca435acc9bb6523536%3Fs%3D32&r=GBilly A Marwoen berkata:
Zaman sudah berubah bung.!, hukum revolusi darwin berlaku., learn what we want to learn, and just close ur eyes to what you don’t want to see, toh pdhal semua juga gk akan tutup mata (dalam arti sebenarnya)
  1. http://0.gravatar.com/avatar/09bac27f7a5f2a08472d2c8c101ea1de?s=32&d=http%3A%2F%2F0.gravatar.com%2Favatar%2Fad516503a11cd5ca435acc9bb6523536%3Fs%3D32&r=GBakrush berkata:
Indonesia kan udah banyak tuh yang jelek2.. kayak lokalisasi, dangdut kopolo busuk, sinetron yang isinya cuma fitnah2an,,apalagi ya??? nah itu gara2 orang2 dulu ngebiarin hal2 kayak gitu berkembang.. kalo di tambah lagi bakal gak kebayang nanti indonesia mau jadi apa! Negara yang dulunya santun jadi gak karu2an.. sekarang tugas kita bray.. nyelametin anak2 kita..biar gak ngesex sembarangan.. biar gak sering mikir kotor…!! jangan egois gara2 pengen liat Artis Import.
Terima Kasih pak Bakrush, akhirnya ada yang berpikir bijak untuk masa depan generasi muda kita, tidak cuma berpikir tentang kesenangan pribadi yang gagal terwujud.
  1. http://2.gravatar.com/avatar/e1df7a0f59495f14c4a7a43e3468b398?s=32&d=http%3A%2F%2F2.gravatar.com%2Favatar%2Fad516503a11cd5ca435acc9bb6523536%3Fs%3D32&r=Ghujairin berkata:
Biar saja orang menentang penampilan Lady Gaga karena itu tantangan buatnya yang tampil membawakan seni dengan pakem moral yang bertentangan dengan khalayak. Yang jadi pertanyaan justru kenapa Bung Rusdi seolah lebih mendukung Lady Gaga ketimbang menentang korup dan amoralnya pejabat koruptor?
Apakah jika sudah ada suatu penyimpangan trus kemudian sah-sah saja diikuti penyimpangan yg lain? saat ada orang yang ingin meluruskan dan Bung Rusdi menganggap mereka munafik? Kalau begitu penentang pelaku korupsi dsb juga munafik donk Bung.. Bung juga kalo dikasih duit, gratifikasi + selangkangan juga mau toh..
Nggak usah bela2in Lady Gaga dan tidak usah sibuk sama korupsi..You must learn to see what you want to see and close your eyes to what you don’t want to see.. gitu aja kok repot
  1. http://0.gravatar.com/avatar/f03b98124a5b1ffcb8f009c81eae5165?s=32&d=http%3A%2F%2F0.gravatar.com%2Favatar%2Fad516503a11cd5ca435acc9bb6523536%3Fs%3D32&r=Gmas bagus berkata:
kalo pengin nonton (bukan meniru) pake uang dan mata sendiri silakan, kalo gak mau nonton (karena menganggap porno lah seks lah) ya gausah nonton dan janganlah melarang yg pengin nonton,
kalo yg menolak gaga mau nonton konser yg sopan, lil monster juga gak ngelarang….. so …. biarlah bumi berputar, pendosa d alim masing2 menerima upah d akibatnya, gak perlu repot2 ngurus orang lain…. dengan dalih norma… urus diri sendiri dulu…

MAZHAB WAHABI SALAFY
MAZHAB LAIN, TIDAK  DIHINA
WALAUPUN PENDAPATNYA BERBEDA
TIDAK RELA, SALING MEMAKSA
BEDA MAZHAB, MEMBUAT DEWASA

https://fbcdn-profile-a.akamaihd.net/hprofile-ak-prn1/v/t1.0-1/c12.19.155.155/s56x56/400362_109703199155280_905196490_a.jpg?oh=1e8f9f9e8d567d0bfae05212c0d85ee4&oe=53C39838&__gda__=1405760690_a81e5d0584586187eb1962fad03c6e3b 
Yang bukan menganut mazhab Salafy Wahabi jangan sampai dicerca, dicaci maki, seperti yang pernah dilakukan oleh mazhab Maliki di Andalusia tempo dulu.
Para ulama yang tidak bermadzhab Maliki saat itu tidak pernah lepas dari cercaan bahkan penyiksaan seperti yang dialami oleh al-Alammah Baqa bin Mukhlid, seorang ulama besar bermadzhab Hanafi. Imam Syathibi melukiskan ulama ini sebagai ulama besar yang tidak ada tandingannya saat itu, ia pernah belajar dari Abu Hanifah, Ahmad bin Hambal dan ulama-ulama lainnya yang berada di luar Andalus.
MENGUBAH  BID’AH  MENJADI  SUNNAH

Bakar Kemenyan, gaharu, terlanjur dituduh bid’ah  syirik,,setanggi syirik , ternyata Suunah.  Namun menjadi syirik  apabila untuk memuja jin

Penggunaan bekas perasap untuk membakar kemenyan, setanggi dan kayu gaharu bagi mengeluarkan bau-bauan yang harum di haruskan dalam Islam selagi ia tidak bercampur dengan unsur pemujaan yang membawa kepada syirik.

Malah menurut Ketua Jabatan Akidah dan Pemikiran Islam, Bahagian Pengajian Usuluddin, Akedemi Pengajian Islam, Universiti Malaya (UM), Dr.Johari Mat, Rasulullah s.a.w sendiri mengalakkan penggunaan bau-bauan yang harum semasa solat dan sebagainya untuk keselesaan umatnya.Tambahan lagi masjid-masjid di negeara Timur Tengah, masih lagi menggunakan bekas perasap.


"Bagaimanapun kita harus faham tujuan sebenar bekas perasap iti digunakan.Jika hanya untuk mengeluarkan bauan yang harum, hukumnya harus atau 
mubah asal saja tidak ada unsur-unsur stirik,"katanya semasa ditemui baru-baru ini.


Keraguan mengenai penggunaan bekas perasap timbul atas dakwaan asap merupakan makanan jin.Tetapi sebenarnya konsep penggunaan perasap di Indonesia  dan Malaysia amat berbeda antara masyrakat Islam di Timur Tengah dan negara ini.



"Dinegara-geraa Arab, kayu gaharu dibakar semata-mata untuk mengeluarkan bau harum semasa majlis keramaian, kenduri-kendara, majlis imu, kematian dan sebagainya.Malah dalam buan Ramadhan, semasa solat Tarawikh, kayu gaharu juga dibakar di dalam masjid bagi mengeluarkan bau harum untuk kelselesaan para jemaah,"jelasnya. ..    
Imam Syathibi bangkit menentang dan melawan para ulama Granada saat itu. Ia mencoba meluruskan dan mengembalikan bid’ah ke sunnah serta membawa masyarakat dari kesesatan kepada kebenaran. Perseteruan sengit antara Imam Syathibi dan para ulama Granada saat itu tidak dapat dielakkan. Setiap kali Imam Syathibi berfatwa halal, mereka sebaliknya, berfatwa haram tanpa melihat terlebih dahulu kepada nash. Karena itulah, Imam Syathibi kemudian dilecehkan, dicerca, dikucilkan dan dianggap telah keluar dari agama yang sebenarnya.

        Hal lain yang disoroti Imam Syathibi adalah praktek tasawwuf para ulama saat itu yang telah menyimpang. Mereka berkumpul malam hari, lalu berdzikir bersama dengan suara sangat keras kemudian diakhiri dengan tari dan nyanyi sampai akhir malam. Sebagian dari mereka ada yang memukul-mukul dadanya bahkan kepalanya sendiri. Imam Syathibi bangkit mengharamkan praktek tersebut karena dinilai telah menyimpang dari ajaran yang sesugguhnya. Menurut Imam Syathibi, setiap cara mendekatkan diri yang ditempuh bukan seperti yang dipraktekkan Rasulullah Saw dan para sahabatnya adalah bathil dan terlarang.]

           Fatwa Syathibi tentang praktek tasawwuf yang menyimpang ini juga dikuatkan oleh salah seorang ulama ahli tasawwuf saat itu Abul Hasan an-Nawawi. Ia mengatakan bahwa barangsiapa yang melihat orang yang mendekatkan diri kepada Allah Swt dengan jalan yang keluar dari Ilmu Syari’ah, maka janganlah mendekatinya.

Imam Syathibi juga menyoroti ta’ashub berlebihan yang dipraktekan para ulama Granada dan masyarakat Andalusia saat itu terhadap madzhab Maliki. Mereka memandang setiap orang yang bukan madzhab Maliki adalah sesat. Sebagaimana diketahui bersama bahwa masyarakat Andalus memegang erat madzhab Maliki ini sejak raja mereka Hisyam al-Awwal bin Abdurrahman ad-Dakhil yang memerintah dari tahun 173-180H menjadikan madzhab ini sebagai madzhab resmi negara.

Menurut salah satu riwayat, kecenderungan Hisyam al-Awwal untuk mengambil madzhab Maliki ini adalah ketika dia bertanya kepada dua orang ulama yang satu bermadzhab Hanafi serta yang lain bermadzhab Maliki. Hisyam al-Awwal saat itu bertanya: “Dari mana asalnya Abu Hanifah itu?” Ulama Hanafi menjawab: “Dari Kufah”. Lalu ia bertanya kembali kepada ulama Maliki: “Dari mana asal Imam Malik?” Ulama Maliki ini menjawab: “Dari Madinah”. Hisyam lalu berkata: “Imam yang berasal dari tempat hijrah Rasulullah Saw cukup bagi kami”.
[14]

Mulai saat itu, seolah sudah merupakan amar resmi, masyarakat Andalus memegang kokoh madzhab Maliki. Saking berlebihannya ta’asub mereka, mereka tidak lagi mengenal bahkan cenderung tidak bersahabat dengan madzhab-madzhab lainnya terutama madzhab Hanafi sehingga Muhammad Fadhil bin Asyur melukiskan mereka: “Mereka tidak lagi mengenal selain al-Qur’an dan al-Muwatha’ Imam Malik”.
[15]

Para ulama yang tidak bermadzhab Maliki saat itu tidak pernah lepas dari cercaan bahkan penyiksaan seperti yang dialami oleh al-Alammah Baqa bin Mukhlid, seorang ulama besar bermadzhab Hanafi. Imam Syathibi melukiskan ulama ini sebagai ulama besar yang tidak ada tandingannya saat itu, ia pernah belajar dari Abu Hanifah, Ahmad bin Hambal dan ulama-ulama lainnya yang berada di luar Andalus. Namun, sayang meninggal karena hukuman dari amir saat itu.
[16]

Sekalipun Imam Syathibi seorang ulama Maliki—bahkan Muhammad Makhluf menjadikannya sebagai ulama Maliki tingkatan ke-16 cabang Andalus
[17]—namun ia tetap menghargai ulama-ulama madzhab lainnya termasuk madzhab Hanafi yang saat itu selalu menjadi sasaran tembak nomor satu. Bahkan, dalam berbagai kesempatan ia sering menyanjung Abu Hanifah dan ulama lainnya. Kitab al-Muwafaqat sendiri—yang akan kita bahas—sengaja disusun oleh Imam Syathibi dalam rangka menjembatani ketegangan yang terjadi saat itu antara Madzhab Maliki dan Hanafi.


Sedangkan sebagai respon terhadap bid’ah dan khurafat yang berkembang saat itu, Imam Syathibi menyusun sebuah karya monumental lainnya yaitu al-I’tisham.


Demikian sekelumit kehidupan Imam Syathibi dan kondisi masyarakat sekitarnya yang melatarbelakangi disusunnya karya-karya agung.

Karya-karya Imam Syathibi


Karya-karya Imam Syathibi semuanya mengacu kepada dua bidang ilmu yang menurut istilah Hammadi al-Ubaidy, ulum al- wasilah dan ulum al-maqasid. Ulum al-wasilah adalah ilmu-ilmu bahasa Arab yang merupakan wasilah untuk memahami Ilmu Maqasid. Untuk lebih jelasnya, berikut ini sekilas tentang karya-karya Imam Syathibi:

1. Kitab al-Muwafaqat


Kitab ini adalah kitab paling monumental sekaligus paling dikenal di antara karya-karya Imam Syathibi lainnya. Kitab ini terdiri dari 4 juz dan awalnya kitab ini berjudul al-Ta’rif bi Asrar al-Taklif kemudian setelah Imam Syathibi bermimpi, dirubah menjadi al-Muwafaqat sebagaimana akan dijelaskan lebih jauh di penghujung bahasan ini

2. Kitab al-I’tisham


Buku ini terdiri dari dua juz dan ditulis setelah Kitab al-Muwafaqat. Buku ini mengupas secara panjang lebar tentang bid’ah dan seluk beluknya. Ditulis oleh Imam Syathibi dalam suatu perjalanan khusus dan beliau meninggal terlebih dahulu sebelum merampungkan tulisannya ini.
[18]

3. Kitab al-Majalis


Kitab ini merupakan syarah dari Kitab al-Buyu’ yang terdapat dalam Shahih al-Bukhari. Attanbakaty melihat faidah buku ini dengan menyebutnya: “minal fawaid wa al-tahqiqat ma la ya’lamuhu illallah”.
[19]

4. Syarah al-Khulashah


Buku ini adalah buku Ilmu Nahwu yang merupakan syarah dari Alfiyyah Ibn Malik. Terdiri dari 4 juz besar dan menurut Attanbakaty buku ini merupakan syarah Alfiyyah Ibn Malik terbaik dari segi kedalaman dan keluasan ilmu yang dipaparkannya.
[20]


5. Unwan al-Ittifaq fi ‘Ilm al-Isytiqaq


Buku tentang Ilmu Sharf dan Fiqh Lughah. Buku ini sebanding dengan buku al-Khulashah karya Ibn Jinny. Hanya saja sayang buku ini sudah hilang semenjak Imam Syathibi masih hidup.
[21]

6. Ushul an-Nahw


Buku ini membahas tentang Qawaid Lughah dalam Ilmu Sharf dan Ilm Nahwu. Di dalamnya dibahas Qawaid Ashliyyah seputar ilmu tersebut hanya saja sayang buku ini sudah hilang semenjak dahulu.
[22]

7. Al-Ifadaat wa al-Insyadaat

Buku ini khusus dibuat sebagai gambaran perjalanan hidup Imam Syathibi sekaligus menyebutkan guru-guru dan murid-muridnya.

8. Fatawa al-Syathibi

Buku ini adalah buku paling bontot. Hanya saja buku ini bukan dikarang langsung oleh Imam Syathibi hanya merupakan kumpulan fatwa-fatwanya yang tersebar dalam Kitab al-I’tisham dan al-Muwafaqat.

Di antara sekian banyak karya Imam Syathibi ini, yang dicetak hanya tiga buah yaitu Kitab al-Muwafaqat, Kitab al-I’tisham dan al-Ifaadat wa al-Insyadaat.

Sekilas Tentang al-Muwafaqat

Qalilun minka yakfiini wa lakin qaliluka la yuqalu lahu qalil”. Demikian salah satu syair yang dikemukakan Rasyid Ridha terhadap dua buah kitab karya Syathibi, yaitu al-Muwafaqat dan al-I’tisham dalam Muqaddimah Kitab al-I’tisham yang ditulisnya. Bahkan ia lebih jauh memberikan dua buah gelar bagi Imam Syathibi yaitu Mujaddid fi al-Islam dengan Kitab al-Muwafaqat-nya dan al-Mushlih dengan Kitab al-I’tisham-nya.
[23]

Memang layak Imam Syathibi menyandang dua gelar di atas karena dalam al-Muwafaqat ia mencoba memperbaharui pemahaman syari’ah dengan jalan membawa aqal untuk memahami maqasid dan rahasia-rahasia yang terkandung di dalamnya. Sementara dalam al-I’tisham ia mencoba mengembalikan bid’ah kepada sunnah serta mencoba menawarkan konsep untuk membangun sebuah kehidupan masyarakat yang sesuai dengan apa yang dipraktekkan pada masa Rasulullah Saw dan al-Khulafa al-Rasyidun.


Awalnya buku al-Muwafaqat ini diberi judul al-Ta’rif bi Asrar al-Taklif karena mengungkap rahasia-rahasia di balik hukum taklif. Akan tetapi Imam Syathibi merasa kurang cocok dengan nama ini sampai suatu hari ia bermimpi. Dalam mimpinya ini Imam Syathibi bertemu dengan salah seorang syaikhnya, keduanya berjalan dan bercerita dengan seksama. Lalu gurunya itu berkata kepada Imam Syathibi: “Kemarin saya bermimpi melihat kamu membawa sebuah buku hasil karyamu sendiri. Lalu saya bertanya kepadamu tentang judul buku itu dan kamu mengatakan bahwa judulnya adalah al-Muwafaqat. Saya lalu bertanya kembali maknanya dan kamu menjawab bahwa kamu mencoba menyelaraskan dua madzhab yaitu Maliki dan Hanafi”. Setelah mimpi itu, Imam Syathibi menggantinya dengan nama al-Muwafaqat.
[24]

Dari ungkapan Imam Syathibi di atas tampak bahwa ia mencoba menyamakan kedudukan Imam Malik dan Abu Hanifah. Ia mengangkat kedudukan Imam Malik dan menjadikan Abu Hanifah sejajar dengan kedudukan Ibn al-Qasim, salah seorang murid Imam Malik.

Buku ini terdiri dari 4 juz akan tetapi dilihat dari segi temanya terbagi kepada 5 bagian:


1. Al-Muqaddimah

Ada 13 masalah yang dipaparkan dalam mukaddimah ini sebagai langkah awal dan dasar dalam memahami pembahasan kitab al-Muwafaqat berikutnya.

2. Al-Ahkam

Membahas lima hukum taklifi dan lima hukum wadh’i di samping itu dijelaskan pula keterkaitannya dengan maqasid al-Syari’ah.

3. Al-Maqasid

Pembahasan ini dibahas dalam juz II sampai selesai. Dalam kesempatan ini penulis hanya akan membedah bab ini saja mengingat persoalan ini yang membuat al-Muwafaqat membumbung tinggi.

4. Al-Adillah

Bab ini membahas tentang dua dalil yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah serta hukum-hukum lain yang berkaitan dengannya seperti naskh, amr, nahyi dan lainnya.

5. Al-Ijtihad wa al-Tajdid

Bab ini mengupas seputar persoalan ijtihad dan taqlid atau yang lebih dikenal dengan Ahkam al-Ijtihad wa al-Taqlid.

Buku al-Muwafaqat ini pertama kali dikenal di Tunis oleh para mahasiswa dan para ulama Tunis saat itu. Kemudian untuk pertama kalinya dicetak di Tunisia pada tahun 1302H atau 1884M di Mathba’ah al-Daulah al-Tunisiyyah dengan tashih dari tiga ulama besar Tunisia saat itu yaitu: Syaikh Ali al-Syanufi, Syaikh Ahmad al-Wartany dan Syaikh Shalih Qayiji. Sedangkan di Mesir baru dicetak pertama kali tahun 1341H / 1922M atau setelah kurang lebih 38 tahun dicetak di Tunisia.
[25] Oleh karena itu, apa yang ditulis Abdullah Darraz dalam Mukaddimah al-Muwafaqat bahwa buku ini pertama kali dicetak di Mesir, menjadi terbantahkan.[26]

Kitab ini mulai dikenal di Mesir semenjak Muhammad Abduh mengadakan kunjungan ke Tunisia tahun 1884M. Sejak kunjungan itulah, Abduh kemudian memperkenalkannnya kepada Mesir dan langsung dicetak dua kali cetakan, yang pertama ditahkik oleh Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid (dicetak oleh Maktabah Shabih di Mesir tahun 1969M) dan yang kedua ditahkik oleh Syaikh Abdullah Darraz (dicetak oleh al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra di Mesir tanpa tahun cetakan).
[27]

Di antara ulama yang mempunyai peranan sangat penting dalam mempopulerkan kitab ini adalah Muhammad Abduh dan muridnya Muhammad Rasyid Ridha serta murid Rasyid Ridha, Abdullah Darraz. Bahkan Rasyid Ridha melihat kitab al-Muwafaqat ini sebanding dengan al-Muqaddimah-nya Ibn Khaldun.
[28]

Kitab al-Muwafaqat ini kini menjadi sangat populer bukan hanya di Timur Tengah, tetapi juga di Barat. Di Kanada, Belanda dan Amerika misalnya, al-Muwafaqat menjadi buku pegangan wajib bagi mereka yang mengambil syu’bah Islamic Studies.

Karya-karya besar pun telah banyak dihasilkan, terutama dalam bentuk disertasi dan thesis, dari mengkaji buku ini. Di antara karya-karya dimaksud—sepengetahuan penulis untuk lingkungan Timur Tengah—adalah Ahmad Raisuni; Nadhariyyatul Maqasid Maqasid ‘Inda al-Imam al-Syathibi; Hammadi al-Ubaidhi; al-Syathibi wa Maqasid al-Syari’ah, Abdurrahman Zaid al-Kailani; Qawaid al-Maqasid ‘Inda al-Imam al-Syathibi, Abdul Mun’in Idris; Fikru al-Maqashid ‘Inda al-Syathibi min Khilal Kitab al-Muwafaqat, Abd Majid Najar; Masalik al-Kasyf ‘an Maqasid al-Syari’ah Baina al-Syathibi wa Ibn ‘Asyur, Jailani al-Marini; al-Qawaid al-Ushuliyyah ‘Inda al-Syathibi, Basyir Mahdi al-Kabisi; al-Syathibi wa Manhajatuhu fi Maqasid al-Syari’ah dan Habib Iyad; Maqasid al-Syari’ah fi Kitab al-Muwafaqat li al-Syathibi.

B. Sejarah Maqashid AL-Syari’ah

Apakah sebelum Imam Syathibi Maqahid al-Syari’ah sudah ada? Pertanyaan inilah yang hendak penulis bahas dalam sub bab kali ini.

Betul bahwa Imam Syathibi adalah Bapak Maqashid al-Syari’ah pertama sekaligus peletak dasar Ilmu Maqashid, namun itu tidak berarti bahwa sebelumnya tidak ada Ilmu Maqashid. Imam Syathibi lebih tepat disebut orang yang pertama menyusun secara sistematis Maqashid al-Syari’ah sebagaimana Imam Syafi’i—menurut kaum Sunni—dengan ilmu Ushul Fiqhnya.

Kata al-maqashid sendiri menurut Ahmad Raisuni,
[29] pertama kali digunakan oleh at-Turmudzi al-Hakim, ulama yang hidup pada abad ke-3. Dialah, menurut Raisuni, yang pertama kali menyuarakan Maqashid al-Syari’ah melalui buku-bukunya, al-Shalah wa Maqashiduhu, al-Haj wa Asraruh, al-‘Illah, ‘Ilal al-Syari’ah, ‘Ilal al-‘Ubudiyyah dan juga bukunya al-Furuq yang kemudian diadopsi oleh Imam al-Qarafi menjadi judul buku karangannya.

Setelah al-Hakim kemudian muncul Abu Mansur al-Maturidy (w. 333) dengan karyanya Ma’khad al-Syara’ disusul Abu Bakar al-Qaffal al-Syasyi (w.365) dengan bukunya Ushul al-Fiqh dan Mahasin al-Syari’ah. Setelah al-Qaffal muncul Abu Bakar al-Abhari (w.375) dan al-Baqilany (w. 403) masing-masing dengan karyanya, diantaranya, Mas’alah al-Jawab wa al-Dalail wa al ‘Illah dan al-Taqrib wa al-Irsyad fi Tartib Thuruq al-Ijtihad.

Sepeninggal al-Baqillany muncullah al-Juwaeny
[30], al-Ghazali,[31] al-Razy,[32] al-Amidy,[33] Ibn Hajib, al-Baidhawi, al-Asnawi, Ibn Subuki, Ibn Abdissalam, al-Qarafi,[34] al-Thufi,[35] Ibn Taimiyyah dan Ibn Qayyim.[36]

Urutan di atas adalah versi Ahmad Raisuni, sedangkan menurut Yusuf Ahmad Muhammad al-Badawy, sejarah Maqashid al-Syari’ah ini dibagi dalam dua fase yaitu fase sebelum Ibn Taimiyyah dan fase setelah Ibn Taimiyyah.
[37]

Adapun menurut Hammadi al-Ubaidy orang yang pertama kali membahas Maqashid al-Syari’ah adalah Ibrahim an-Nakha’i (w.96H), seorang tabi’in sekaligus gurunya Hammad bin Sulaiman gurunya Abu Hanifah.

Setelah itu lalu muncul al-Ghazali, Izzuddin Abdussalam, Najmuddin at-Thufi dan terakhir Imam Syathibi.
[38]

Meskipun dengan versi yang beraneka ragam, namun dapat diambil kesimpulan bahwa sebelum Imam Syathibi, Maqashid al-Syari’ah sudah ada dan sudah dikenal hanya saja susunannya belum sistematis sehingga datangnya Imam Syathibi.

C. Sekilas Tentang Maqashid al-Syari’ah MenurutImam Syathibi

Imam Syathibi membahas tentang Maqashid al-Syari’ah ini dalam kitabnya al-Muwafaqat juz II sebanyak 313 halaman (menurut buku cetakan Dar al-Kutub al-Ilmiyyah). Persoalan yang dikemukakan di dalamnya sebanyak 62 masalah.

Dalam pembahasannya, Imam Syathibi membagi al-Maqashid ini kepada dua bagian penting yakni Maksud Syari’ (qashdu al-syari’) dan Maksud Mukallaf (qashdu al-mukallaf). Maksud Syari’ kemudian dibagi lagi menjadi 4 bagian yaitu:

1. Qashdu al-Syari’ fi Wadh’i al-Syari’ah (maksud syari dalam menetapakan syariat).

Dalam bagian ini ada 13 permasalahan yang dikemukakan. Namun semuanya mengacu kepada suatu pertanyaan: “Apakah sesungguhnya maksud syari dengan menetapkan syari’atnya itu?”

Menurut Imam Syathibi, Allah menurunkan syariat (aturan hukum) tiada lain selain untuk mengambil kemaslahatan dan menghindari kemadaratan (jalbul mashalih wa dar’ul mafasid). Dengan bahasa yang lebih mudah, aturan-aturan hukum yang Allah tentukan hanyalah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Syathibi kemudian membagi maslahat ini kepada tiga bagian penting yaitu dharuriyyat (primer), hajiyyat (skunder) dan tahsinat (tersier,lux).

Maqashid atau Maslahat Dharuriyyat adalah sesuatu yang mesti adanya demi terwujudnnya kemaslahatan agama dan dunia. Apabila hal ini tidak ada, maka akan menimbulkan kerusakan bahkan hilangnya hidup dan kehidupan
[39] seperti makan, minum, shalat, shaum dan ibadah-ibadah lainnya. Yang termasuk maslahat atau maqashid dharuriyyat ini ada lima yaitu: agama (al-din), jiwa (al-nafs), keturunan (an-nasl), harta (al-mal) dan aqal (al-aql).[40]


Cara untuk menjaga yang lima tadi dapat ditempuh dengan dua cara yaitu:

1. Dari segi adanya (min nahiyyati al-wujud) yaitu dengan cara manjaga dan memelihara hal-hal yang dapat melanggengkan keberadaannya

2. Dari segi tidak ada (min nahiyyati al- ‘adam) yaitu dengan cara mencegah hal-hal yang menyebabkan ketiadaannya.

Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh berikut ini:

a. Menjaga agama dari segi al-wujud misalnya shalat dan zakat
b. Menjaga agama dari segi al-‘adam misalnya jihad dan hukuman bagi orang murtad
c. Menjaga jiwa dari segi al-wujud misalnya makan dan minum
d. Menjaga jiwa dari segi al-‘adam misalnya hukuman qishash dan diyat
e. Menjaga aqal dari segi al-wujud misalnya makan dan mencari ilmu
f. Menjaga aqal dari segi al-‘adam misalnya had bagi peminum khamr
g. Menjaga an-nasl dari segi al-wujud misalnya nikah
h. Menjaga an-nasl dari segi al-‘adam misalnya had bagi pezina dan muqdzif
i. Menjaga al-mal dari segi al-wujud misalnya jual beli dan mencari rizki
j. Menjaga al-mal dari segi al-‘adam misalnya riba, memotong tangan pencuri.

Sebelum penulis memaparkan lebih jauh cara kerja dan aflikasi dari al-dharuriyyat al-khams ini, perlu penulis sampaikan terlebih dahulu urutan kelima dharuriyyat ini baik menurut Imam Syathibi maupun ulama ushul lainnya. Hal ini sangat penting karena berpengaruh pada kesimpulan hukum yang akan dihasilkan.

Urutan kelima dharuriyyat ini bersifat ijtihady bukan naqly, artinya ia disusun berdasarkan pemahaman para ulama terhadap nash yang diambil dengan cara istiqra. Dalam merangkai kelima dharuriyyat ini (ada juga yang menyebutnya dengan al-kulliyyat al-khamsah), Imam Syathibi terkadang lebih mendahulukan aql dari pada nasl, terkadang nasl terlebih dahulu kemudian aql dan terkadang nasl lalu mal dan terakhir aql. Namun satu hal yang perlu dicatat bahwa dalam susunan yang manapun Imam Syathibi tetap selalu mengawalinya dengan din dan nafs terlebih dahulu.

Dalam al-Muwafaqat I/38, II/10, III/10 dan IV/27 urutannya adalah sebagai berikut: ad-din (agama), an-nafs (jiwa), an-nasl (keturunan), al-mal (harta) dan al-aql (akal).

Sedangkan dalam al-Muwafaqat III/47: ad-din, an-nafs, al-aql, an-nasl dan al-mal.

Dan dalam al-I’tisham II/179 dan al-Muwafaqat II/299: ad-din, an-nafs, an-nasl, al-aql dan al-mal.

Perbedaan urutan di atas, menunjukkan bahwa semuanya sah-sah saja karena sifatnya ijtihadi.

Para ulama ushul lainnya pun tidak pernah ada kata sepakat tentang hal ini. Bagi al-Zarkasyi misalnya, urutan itu adalah:
[41] an-nafs, al-mal, an-nasab, ad-din dan al-‘aql.

Sedangkan menurut al-Amidi:
[42] ad-din, an-nafs, an-nasl, al-aql dan al-mal.

Bagi al-Qarafi:
[43] an-nufus, al-adyan, al-ansab, al-‘uqul, al-amwal atau al-a’radh.

Sementara menurut al-Ghazali:
[44] ad-din, an-nafs, al-‘aql, an-nasl dan al-mal.

Namun urutan yang dikemukakan al-Ghazali ini adalah urutan yang paling banyak dipegang para ulama Fiqh dan Ushul Fiqh berikutnya. Bahkan, Abdullah Darraz, pentahkik al-Muwafaqat sendiri, memandang urutan versi al-Ghazali ini adalah yang lebih mendekati kebenaran.
[45]

Cara kerja dari kelima dharuriyyat di atas adalah masing-masing harus berjalan sesuai dengan urutannya. Menjaga al-din harus lebih didahulukan daripada menjaga yang lainnya; menjaga al-nafs harus lebih didahulukan dari pada al-aql dan nasl begitu seterusnya. Salah satu contoh yang dapat penulis kemukakan adalah membunuh diri atau menceburkan diri dalam kebinasaan adalah sesuatu yang dilarang sebagaimana bunyi teks dalam surat al-Baqarah. Akan tetapi kalau untuk kepentingan berjihad dan kepentingan agama Allah, menjadi boleh karena sebagaimana telah disinggung diatas bahwa menjaga agama harus didahulukan dari pada menjaga jiwa. Oleh kerena itu, sebagian besar para ulama membolehkan istisyhad para pejuang Palestina dengan pertimbangan hukum di atas.


Akan tetapi bagaimana dengan kasus orang sakit yang kerena suatu kebutuhan pengobatan boleh dilihat auratnya atau musafir yang boleh mengqashar shalat, bukankah itu berarti an-nafs lebih didahulukan dari pada ad-din?

Persoalan ini sesungguhnya bukanlah persoalan baru. Al-Amidy dalam al-Ahkam-nya, misalnya, telah mengulas secara panjang lebar yang tidak mungkin penulis kutipkan di sini. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat langsung dalam al-Ahkam fi Ushul al-Ahkam (sebagian membacanya al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, akan tetapi penulis lebih condong membacanya al-Ahkam) juz IV halaman 243-245. Dalam kesempatan ini penulis hanya akan mengutip pendapat Abdullah Darraz karena lebih ringkas. Menurutnya bahwa dalam tataran umum agama harus lebih didahulukan daripada yang lainnya karena ini menyangkut ushul al-din, sedangakan dalam hal tertentu jiwa dan harta terkadang lebih didahulukan dari pada agama (mustatsnayyat). Disinilah dibutuhkan kejelian seorang mujtahid.
[46]

Maqashid atau Maslahah Hajiyyat adalah sesuatu yang sebaiknya ada agar dalam melaksanakannya leluasa dan terhindar dari kesulitan. Kalau sesuatu ini tidak ada, maka ia tidak akan menimbulkan kerusakan atau kematian hanya saja akan mengakibatkan masyaqah dan kesempitan.
[47] Misalnya, dalam masalah ibadah adalah adanya rukhsah; shalat jama dan qashar bagi musafir.

Maqashid atau Maslahah Tahsinat adalah sesuatu yang sebaiknya ada demi sesuainya dengan keharusan akhlak yang baik atau dengan adat. Kalau sesuatu ini tidak ada, maka tidak akan menimbulkan kerusakan atau hilangnya sesuatu juga tidak akan menimbulkan masyaqah dalam melaksanakannya, hanya saja dinilai tidak pantas dan tidak layak manurut ukuran tatakrama dan kesopanan. Di antara contohnya adalah thaharah, menutup aurat dan hilangnya najis.
[48]

Ada beberapa qaidah penting yang dikemukakan Imam Syathibi dalam menerangkan keterkaitan atau cara kerja ketiga maslahah di atas yang tidak mungkin penulis kemukakan di sini mengingat panjangnya pembahasan dimaksud. Namun untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam masalah ke-4 halaman 13 buku al-Muwafaqat.


2. Qashdu al-Syari’ fi Wadh’I al-Syari’ah lil Ifham (maksud Syari’ dalam menetapkan syari’ahnya ini adalah agar dapat dipahami).

Bagian ini merupakan pembahasan yang peling singkat karena hanya mencakup 5 masalah. Dalam menetapkan syari’atnya, Syari’ bertujuan agar mukallaf dapat memahaminya, itulah maksud dari bagian kedua.

Ada dua hal penting yang dibahas dalam bagian ini. Pertama, syari’ah ini diturunkan dalam Bahasa Arab sebagaimana firmanNya dalam surat Yusuf ayat 2; as-Syu’ara:195. Oleh kerena itu, untuk dapat memahaminya harus terlebih dahulu memahami seluk beluk dan uslub bahasa Arab.

Dalam hal ini Imam Syathibi berkata: “Siapa orang yang hendak memahaminya, maka dia seharusnya memahami dari sisi lidah Arab terlebih dahulu Karena tanpa ini tidak mungkin dapat memahaminya secara mantap. Inilah yang menjadi pokok dari pembahasan masalah ini”.
[49]

Dengan bahasa lebih mudah, di samping mengetahui bahasa Arab, untuk memahami syari’at ini juga dibutuhkan ilmu-ilmu lain yang erat kaitannya dengan lisan Arab seperti Ushul Fiqh, Mantiq, Ilmu Ma’ani dan yang lainnya. Karenanya, tidaklah heran apabila bahasa Arab, Ushul Fiqh termasuk salah satu persyaratan pokok yang harus dimiliki seorang mujtahid.

Kedua, bahwa syari’at ini ummiyyah, maksudnya untuk dapat memahaminya tidak membutuhkan bantuan ilmu-ilmu alam seperti ilmu hisab, kimia, fisika dan lainnya. Hal ini dimaksudkan agar syari’ah mudah dipahami oleh semua kalangan manusia. Apabila untuk memahami syari’at ini memerlukan bantuan ilmu lain seperti ilmu alam, paling tidak ada dua kendala besar yang akan dihadapi manusia umumnya, yaitu kendala dalam hal pemahaman dan dalam pelaksanaan.
[50] Syari’ah mudah dipahami oleh siapa saja dan dari bidang ilmu apa saja karena ia berpangkal kepada konsep maslahah (fahuwa ajraa ‘ala i’tibari al-maslahah).[51]

Di antara landasan bahwa syari’at ini ummiyyah adalah karena pembawa syari’at itu sendiri (Rasulullah Saw) adalah seorang yang ummi sebagaimana ditegaskan dalam firmanNya surat al-Jum’ah ayat 2, al-Araf ayat 158, al-Ankabut 48 dan keterangan-keterangan lainnya.

Ada kecenderungan berlebihan dari sebagian ulama yang tidak sesuai dengan sifat syari’ah ummiyyah ini, lanjut Syathibi, yaitu bahwa al-Qur’an mencakup semua bidang keilmuan, baik keilmuan lama ataupun modern. Betul, lanjut Syathibi, al-Qur’an menyinggung dan sesuai dengan berbagai disiplin ilmu, namun tidak berarti al-Qur’an mencakup semuanya, itu semua hanyalah isyarat saja dan bukan sebagai legitimasi semua disiplin ilmu.

Ayat yang sering dijadikan dalil adalah surat an-Nahl 89 yang berbunyi: “Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an untuk menjelaskan segala sesuatu”, dn surat al-An’am ayat 38 yang berbunyi: “Tidaklah Kami lewatkan sesuatupun dari al-Qur’an”. Menurut Syathibi, kedua ayat di atas mempunyai makna tertentu. Ayat pertama dimaksudkan mengenai masalah taklif dan ibadah sedangkan maksud al-kitab dalam ayat kedua adalah allauh al-mahfudz.
[52]


3. Qashdu al-Syari’ fi Wadh’I al-Syari’ah li al-Taklif bi Muqtadhaha

Bagian ini dimaksudkan bahwa maksud Syari’ dalam menentukan syari’at adalah untuk dilaksanakan sesuai dengan yang dituntutNya.

Masalah yang dibahas dalam bagian ini ada 12 masalah, namun semuanya mengacu kepada dua masalah pokok yaitu:

Pertama, taklif yang di luar kemampuan manusia (at-taklif bima laa yuthaq).Pembahasan ini tidak akan dibahas lebih jauh karena sebagaimana telah diketahui bersama bahwa tidaklah dianggap taklif apabila berada di luar batas kemampuan manusia.
[53] Dalam hal ini Imam Syathibi mengatakan: “Setiap taklif yang di luar batas kemampuan manusia, maka secara Syar’i taklif itu tidak sah meskipun akal membolehkannya”.[54]

Apabila dakan teks Syari’ ada redaksi yang mengisyaratkan perbuatan di luar kemampuan manusia, maka harus dilihat pada konteks, unsur-unsur lain atau redaksi sebelumnya. Misalnya, furman Allah: “Dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan muslim”. Ayat ini bukan berarti larangan untuk mati karena mencegah kematian adalah di luar batas kemampuan manusia. Maksud larangan ini adalah larangan untuk memisahkan antara keislalman dengan kehidupan di dunia ini karena datangnya kematian tidak akan ada yang mengetahui seorangpun.

Begitu juga dengan sabda Nabi: “Janganlah kamu marah” tidak berarti melarang marah, karena marah adalah tabiat manusia yang tidak mungkin dapat dihindari. Akan tetapi maksudnya adalah agar sedapat mungkin menahan diri ketika marah atau menghindari hal-hal yang mengakibatkan marah.

Kedua, taklif yang di dalamnya terdapat masyaqah, kesulitan (al-taklif bima fiihi masyaqqah). Persoalan inilah yang kemudian dibahas panjang lebar oleh Imam Syathibi. Menurut Imam Syathibi, dengan adanya taklif, Syari’ tidak bermaksud menimbulkan masyaqah bagi pelakunya (mukallaf) akan tetapi sebaliknya di balik itu ada manfaat tersendiri bagi mukalla.
[55] Bila dianalogkan kepada kehidupan sehari-hari, obat pahit yang diberikan seorang dokter kepada pasien, bukan berarti memberikan kesulitan baru bagi sang pasien akan tetapi di balik itu demi kesehatan si pasien itu sendiri pada masa berikutnya.


Dalam masalah agama misalnya, ketika ada kewajiban jihad, maka sesungguhnya tidak dimaksudkan dengannya untuk menceburkan diri dalam kebinasaan, tetapi untuk kemaslahatan manusia itu sendiri yaitu sebagai wasilah amar makruf nahyil munkar. Demikian pula dengan hukum potong tangan bagi pencuri, tidak dimaksudkan untuk merusak anggota badan akan tetapi demi terpeliharanya harta orang lain.

Apabila dalam taklif ini ada masyaqah, maka sesungguhnya ia bukanlah masyaqah tapi kulfah, sesuatu yang tidak mungkin dapat dipisahkan dari kegiatan manusia sebagaimana dalam kacamata adat, orang yang memikul barang atau bekerja siang malam untuk mencari kehidupan tidak dipandang sebagai masyaqah, tetapi sebagai salah satu keharusan dan kelaziman untuk mencari nafkah. Demikian juga halnya dengan masalah ibadah. Masyaqah seperti ini menurut Imam Syathibi disebut Masyaqah Mu’tadah karena dapat diterima dan dilaksanakan oleh anggota badan dan karenanya dalam syara’ tidak dipandang sebagai masyaqah.
[56]

Yang dipandang sebagai masyaqah adalah apa yang disebutnya dengan Masyaqah Ghair Mu’tadah atau Ghair ‘Adiyyah yaitu masaqah yang tidak lazim dan tidak dapat dilaksanakan atau apabila dilaksanakan akan menimbulkan kesulitan dan kesempitan. Misalnya, keharusan berpuasa bagi orang sakit dan orang jompo. Semua ini adalah masyaqah ghair mu’tadah yang dikecam oleh Islam. Untuk mengatasi masyaqah ini, Islam memberikan jalan keluar melalui rukhshah atau keringanan.


4. Qashdu al-Syari’ fi Dukhul al-Mukallaf Tahta Ahkam al-Syari’ah

Pembahasan bagian terakhir ini merupakan pembahasan paling panjang mencakup 20 masalah. Namun semuanya mengacu kepada pertanyaan: “Mengapa mukallaf melaksanakan hukum Syari’ah?” Jawabannya adalah untuk mengeluarkan mukallaf dari tuntutan dan keinginan hawa nafsunya sehingga ia menjadi seorang hamba yang dalam istilah Imam Syathibi disebut: hamba Allah yang ikhtiyaran dan bukan yang idthiraran.
[57] Atau dalam istilah Dr. Ahmad Zaid: Ikhrajul ‘abd min da’iyatil hawa ila dairatil ‘ubudiyyah.[58]

Untuk itu, setiap perbuatan yang mengikuti hawa nafsu, maka ia batal dan tidak ada manfa’atnya. Sebaliknya, setiap perbuatan harus senantiasa mengikuti petunjuk Syari’ dan bukan mengikuti hawa nafsu.

Ada beberapa kaidah penting yang perlu dipahami dalam bagian ini dan penulis tidak dapat menjelaskannya dalam bahasa Indonesia. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam al-Muwafaqat Juz II hal. 128-150.

Demikian sekilas tentang Maqashid al-Syari’ah menurut Imam Syathibi. Gambaran di atas tentunya tidak memberikan pemahaman yang menyeluruh tentang Maqashid Syari’ah itu sendiri, namun paling tidak tergambar bahwa rumusan Imam Syathibi ini lebih sistematis dan lengkap dibandingkan rumusan-rumusan para ulama Ushul sebelumnya.

Apa yang tertulis dalam al-Muwafaqat khususnya dan karya-karta Imam Syathibi lainnya betul-betul telah mempengaruhi pemikiran para ulama berikutnya semisal Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha, Abdullah Darraj, Muhammad Thahir bin Asyur dan ‘Allal Fasy.

Muhammad Abduh adalah orang pertama yang mengumumkan pentingnya ulama-ulama dan para mahasiswa Timur Tengah untuk mempelajari karya-karya Imam Syathibi terutama al-Muwafaqat.
[59] Sama halnya dengan muridnya, Rasyid Ridha. Bahkan bukan saja terpengaruh dengan ide maqashidnya Imam Syathibi, ia juga sangat terpengaruh dengan al-I’tishamnya demi menghidupkan kembali harakah salafiyyah yang sejak lama diusungnya.

Demikian juga dengan Thahir bin Asyur. Ulama asal Tunis ini telah mengarang sebuah buku berjudul Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah yang sempat menggegerkan ulama Ushul Timur Tengah karena idenya yang mencoba mengenyampingkan Ushul Fiqh dan menggantinya dengan Maqashid al-Syari’ah. Baginya, Maqashid al-Syari’ah merupakan ilmu yang berdiri sendiri (‘ilm mustaqil) dan terlepas dari Ilmu Ushul bahkan Ilmu Ushul dipandangnya sebagai ilmu yang telah usang dan produk fiqhnya cenderung kurang manusiawi. Namun demikian, idenya lahir karena pengaruh dari Imam Syathibi, bahkan Abdul Majid Turki memandang buku Thahir bin Asyur ini sebagai mustalhaman min kitab al-Muwafaqat (jiplakan dari kitab al-Muwafaqat).
[60]

Allal Fasy, ulama asal Maroko, juga termasuk meraka yang terpengaruh oleh ide Syathibi. Bukunya Difa’ ‘an al-Syari’ah dan Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah wa Makarimuha merupakan perluasan dan terkadang pengulangan dari apa yang tertulis dalam al-Muwafaqat. Karena besarnya pengaruh Syathibi dengan al-Muwafaqatnya inilah, ulama-ulama Ushul kemudian sepakat menjadikan Imam Syathibi sebagai Bapak Maqashid al-Syari’ah pertama yang telah menyusun teori-teorinya secara lengkap, sistematis dan jelas.

Wallahu a’lam bis shawab

Aep Saepulloh Darusmanwiati, anak bimbing Dompet Dhuafa Republika, mahasiswa pasca sarjana Universitas al-Azhar Kairo, Fakultas Syari’ah jurusan Ushul Fiqh dan santri Madrasah al-Thibrasiyyah li Tahfidz al-Qur’an Masjid al-Azhar Kairo.

[1]Musthafa Said al-Khin, al-Kafi al-Wafi fi Ushul al-Fiqh al-Islamy, Beirut: Muassasah risalah, 2000, hal. 8.

[2]Hasan al-Turaby, Qadhaya al-Tajdid: Nahwa Manhaj Ushuly, Dar al-Hady, 2000, hal. 18.

[3]Muhammad Thahir bin Asyur, Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah, Malaysia: Dar al-Fajr, 1999, hal. 180

[4]Buku-buku ini tidak banyak menyinggung konsep maqashidnya, tapi lebih bersifat memaparkan perjalanan hidup Imam Syathibi. Buku ini dicetak oleh Muassasah Risalah.

[5]Sebetulnya tempat kelahiran Imam Syathibi tidak diketahui secara persis apakah di Granada atau di Sativa. Karena dalam teks buku al-Ifadaat sendiri hanya disebutkan bahwa Imam Syathibi itu nasya’a bi gharnathah, hanya tumbuh bukan dilahirkan. Demikian juga dengan tahun kelahirannya. Akan tetapi karena tidak ada keterangan lain, maka para penulis berikutnya menjadikan Granada sebagai tempat kelahirannya. Demikian juga dengan tahun kelahirannya, ada yang mengatakan ia lahir sebelum tahun 720H ada juga yang setelahnya. Lihat at-Tanbakaty, Nailul Ibtihaj, hal. 46, Abu al-Ajfan, al-Ifadat hal. 151 dan Hammady al-Ubaidy, al-Syathibi wa Maqashid al-Syari’ah, hal. 11.

[6]Hammady al-Ubaidy, Ibid., hal 12.

[7]Nama Syulair adalah bahasa Latin yang berarti al-musyammir artinya yang berjemur karena pantulan sinar mataharinya terhadap salju yang terdapat dalam gunung tersebut. Kadang Syulair ini disebut juga Siranqada yang dalam bahasa Spanyol berarti arrummanaal, pusar dan perut sekitarnya, dan juga berarti jabal al-tsalj, gunung es. Lihat Hammady al-Ubaidy, Ibid., hal 27.

[8]Daulah ini berjaya selama dua abad enam puluh dua tahun yaitu sejak tahun 635H-897H. dengan runtuhnya Bani Ahmar ini sekaligus mengakhiri kehadiran Islam di Andalusia.

[9]Hammady, Ibid., hal. 29

[10]Ibid., hal. 31.

[11]Imam Syathibi, al-I’tisham, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1982, juz I, hal., 264.

[12]Ibid., hal.96.

[13]Muhammad Fadhil bin Asyur, A’lam al-Fikr al-Islamy, Tunisia: Maktabah an-Najah, t.th., hal. 10.

[14]Ibid., hal. 77

[15]Ibid.

[16]Imam Syathibi, Op.Cit., Juz II, hal., 348

[17]Muhammad Makhluf, Syajarah an-Nur al-Zakiyyah, Beirut: Dar al-Kutub al-Araby, 1349H., hal. 231.

[18]Muhammad Rasyid Ridha, Mukaddimah Kitab al-I’tisham, Juz I, hal.4.

[19]Attanbakaty, Op.Cit., hal. 48.

[20]Ibid.

[21]Ibid., hal. 49.

[22]Ibid.

[23]Muhammad Rasyid Ridha, Op.Cit., hal. 4

[24]Imam Syathibi, al-Muawafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th., Juz I, hal. 17

[25]Muhammad Fadhil bin Asyur, Op.Cit., hal. 76.

[26]Lihat Mukaddimah Kitab al-Muwafaqaat, Juz I, hal. 11.

[27]Hammady, Op.Cit., hal. 101.

[28]Lihat Mukaddimah Kitab al-I’tisham, Juz I, hal. 4.

[29]Ahmad Raisuni, Nadhariyyat al-Maqashid ‘Inda al-Imam al-Syathibi, Beirut: al-Muassasah al-Jami’iyyah Liddirasat wan Nasyr wa al-Tauzi’, 1992, hal. 32.

[30]Nama lengkapnya adalah Abul Ma’ali ‘Abdl Malik bin Abdullah bin Yusuf bin Muhammad bin Abdullah bin Hayuwiyah al-Juwainy. Di antara karyanya adalah: al-Burhan, al-Waraqaat, al-Ghiyatsi, Mughitsul Khalq. Wafat tahun 478H. Lihat Ibn Subuki, Thabaqat al-Syafi’iyyah, Juz V, hal. 165.

[31]Nama lengkapnya Muhammad bin Muhammad al-Ghazaly al-Thusy, seorang faqih, ushuly, filosof, sekaligus sufi. Karyanya kurang lebih 200 buah di antaranya: al-Mustashfa, al-Mankhul, al-Wajiz, Ihya Ulumiddin dan Syifa al-Ghalil. Wafat tahun 505H. Lihat Ibn Subuki, Ibid., juz VI, hal.191.

[32]Nama lengkapnya Muhammad bin Umar bin Hasan bin Husain at-Taimy al-Bikry. Dia adalah seorang mufassir yang lebih dikenal dengan nama Ibn Khatib ar-Ray. Di antara karyanya adalah Mafatih al-Ghaib, al-Aayat al-Bayyinaat, al-Mahshul dan Asas at-Taqdis. Wafat tahun 606H. Lihat az-Zarkaly, al-A’lam, juz VI, hal. 313.

[33]Nama lengkapnya Ali bin Abi Ali bin Muhammad bin Salim as-Tsa’laby yang lebih dikenal dengan nama Saifuddin al-Amidi seorang ulama ushul, theolog dan ahli mantiq. Di antara karyanya: al-Ahkam, dan Ghayatul Maram. Wafat tahun 631H. Lihat Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, juz XIII, hal. 140.


[34]Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Idris bin Abdurrahman as-Shanhaji al-Maliki. Diantara karyanya adalah: Nafais al-Ushul, Syarh al-Mahshul, al-Furuq, al-Ihkam fi Tamyiz al-Fatawa ‘an al-Ahkam wa Tasharruf al-Qadhi wal Imam. Wafat tahun 684H. Muhammad Makhluf, Op.Cit., hal. 188.

[35]Nama lengkapnya Sulaiman bin Abdul Qawy bin Sai’d at-Thufi ash-Sharshari Najmuddin. Di antara karyanya: Mukhtashar al-Raudhah wa Syarhuhu dan al-Iksar fi Qawaid at-Tafsir. Wafat tahun 716H. Lihat at-Thufi, Syarh Mukhtashar ar-Raudah, tahkik Ibrahim Ali Ibrahim, juz I, hal. 21.

[36]Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abu Bakar bin Ayyub bin Sa’ad bin Hariz az-Zur’I ad-Dimasyqi yang lebih dikenal dengan Ibn Qayyim al-Jauziyyah seorang faqih sekaligus ushuli. Di antara karyanya: Zadul Ma’ad, I’lam al-Muwaqi’in, Syifa al-‘Alil dan Miftah Dar al-Sa’adah. Wafat tahun 751H. Lihat Bakar Abu Zaid, at-Taqrib li Fiqh Ibn Qayyim, juz I, hal., 19.

[37]Yusuf Ahmad Muhammad al-Badawy, Maqashid al-Syari’ah ‘Inda Ibn Taimiyyah, Yordan: Dar an-Nafais, 2000, hal. 75-114.

[38]Hammady, Op.Cit., hal. 134.

[39]Imam Syathibi, al-Muwafaqat…, Op.Cit., Juz II, hal. 7.

[40]Ibid., hal 8.

[41]Az-Zarkasyi, al-Bahr al-Muhith, Kuwait: Wizarat al-Auqaf wa al-syu’un al-Islamiyyah, 1993, Jilid VI, hal. 612.

[42]Al-Amidi, al-Ahkam fi Ushul al-Ahkam, Muassasah al-Halaby, 1991, Juz IV, hal. 252.

[43]Al-Qarafi, Syarh Tanqih al-Fushul, Maktabah al-Kulliyyah al-Azhariyyah, t.th., hal. 391.

[44]Al-Ghazali, al-Mustashfa, Beirut: dar al-Fikr, 1997, Juz I, hal. 258.

[45]Komentar Abdullah Darraz dalam al-Muwafaqat, Juz II, hal. 153.

[46]Ibid., hal. 154.

[47]Imam Syathibi, Op.Cit., hal. 9

[48]Ibid.

[49]Ibid., hal 50

[50]Ibid., hal 53.

[51]Ibid.

[52]Ibid., hal 61.

[53]Akan tetapi dalam salah satu pendapatnya, Abu Hasan al-Asy’ari membolehkan taklif yang di luar kemampuan manusia, baik yang sifatnya menolak atau menetapkan dan ini tentunya menyalahi Jumhur Ulama Ushul, lihat al-Ghazali, al-Mustasyfa, Juz I, hal. 81.

[54]Imam Syathibi, Op.Cit., hal. 82.

[55]Ibid., hal. 93.

[56]Ibid., hal 94.

[57]Ibid., hal. 128.

[58]Ahmad Zaid, dalam muhadharah Fiqh Maqashid yang diselenggarakan Syathibi Center, Wisma Nusantara, 13 Agustus 2002.

[59]Abdul Majid Turki, Munadharat fi Ushul al-Syari’ah al-Islamiyyah Baina Ibn Hazm wa al-Baji, Beirut: Dar al-Garb al-Islamy, 1986, hal. 513.

[60]Ibid., hal. 477.
Komentar Masuk (8 komentar)
dalam memahami teks Al-Qur'an dan Sunnah dapat digunakan kaidah " Al-Ibrah fi al-hukmi bi maqashid al-Syari'ah la biumum al-lafzd wala bikhusus al-sabab. Kaidah ini lebi tepat sasaran ketimbang kaidah kebahasaan dan sabab nuzul. inilah nilai plus dari teori maqashid al-syari'ah
#1. aseparifin at 2012-04-01 17:56:48
Genealogi maqashid syariah menurut kedangkalan pemahamanku adalah memiliki akar yang amat kuat pra al-Syathibi. Secara genealogis rancang bangun pemikiran maqhasid syari’ah bukanlah temuan baru. Maqhasid syari’ah bukanlah hasil capaian para sarjana kontemporer, karena dalam tradisi ushul fiqh klasik, term maqashid telah ditemukan dalam kitab-kitab ‘anggitan’ para sarjana ushul fikih klasik, namun hal itu masih terangkum dan tercecer dalam pembahasan tentang qiyas.

Dr.Ahmad Raysuni (guru besar ushul fiqh Universitas Muhammad V, Rabat, Maroko) mengurai asal-usul dan sejarah perkembangan maqhasid syari’ah. Abu `Abdillah Muhammad bin ‘Ali al-Tirmidzi yang populer dengan sebutan al-Hakim al-Tirmidzi (W.akhir abad ke-3 H. adalah orang pertama yang mempergunakan kata maqhasid dalam karyanya yang berjudul al-Shalat wa Maqhasiduha, dalam kitab itu al-Hakim menjelaskan hikmah-hikmah dari tata cara shalat, mulai dari hikmah menghadap kiblat, hikmah takbir dan seterusnya.

Setelah al-Hakim menggulirkan ide genialnya tentang hikmah-hikmah shalat, kemudian muncullah Abu Bakar al-Qaffal (w.365), beliau telah menulis sebuah kitab berjudul Mahasin al-Syariah, segala puji hanya milik Allah, kitab ini sudah dicetak beberapa kali, bahkan menurut DR. Raysuni manuskrip kitab ini ada di Turki dan Maroko. Kitab ini mendapat apresiasi yang sangat baik dari ulama sekaliber Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dan Abu Bakar Ibnu ‘Arabi. Keduanya memuji karya al-Qaffal, terutama Ibnu Qayyim yang merasa patut untuk berterima kasih kepada al-Qaffal yang telah ‘menyudahi’ tesis-tesis muktazilah tentang baik-buruk.[5]

Selain al-Qaffal, ada ulama syi’ah yang juga disebut sebagai “ulama maqhasidi”, yakni Abu Ja’far Muhammad Bin ‘Aly (W.381 H), kitab terpenting beliau yang membahas isu-isu maqashid adalah kitab yang bertitel (‘Ilal al-Syara’I’), kitab berhaluan syiah ini mejelaskan tentang ‘illat-‘illat hukum madzhab syi’ah.Pada era ini juga ada ulama maqhasidi selain Abu Ja’far, Abu Hasan al-Amiri (W.381), beliau adalah filsuf yang juga intens dalam mengkaji maqashid. Karyanya yang mengupas maqashid syari’ah terekam dalam kitab al-I’lam bi Manaqib al-Islam’ , salah satu isu terpenting dalam kitab itu adalah tentang ‘dharuriyat al- khams’ yang kemudian menjadi prinsip maqashid syariah itu sendiri.

Gagasan yang dicetuskan al-Amiri mengilhami Abu al-Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah al-Juwayni (w.478 H) - guru dari hujjatul Islam Muhammad Bin Muhammad al-Ghazali (w.505H) – untuk memetakan maqashid syariah menjadi kulliyah-universal dan juz’iyyah-parsial. Setiap satu dari kedua prinsip ini dipetakan lagi menjadi lima prinsip, yakni Hifdz al-Din, Hifdz al-Nafs, Hifdz al-mal, Hifdz al-Nasl dan Hifdz ‘Ird.
Silahkan baca dalam makalah saya ttg tafsir maqashidi; sebuah penafsiran alternatif
#2. muhamad idris at 2010-05-05 08:43:37
tuisan yang lengkap n bagus. kang aep, ane setuju, kita (indonesia) terlalu kaku dalam memahami fiqih. hal ini terjadi karena ulama kita malas mengelaborasi pemikiran-pemikiran brilian para pendahulu kita, seperti asyathibi.good luck kang aep.
#3. abdul syukur at 2009-12-18 16:04:19
buku berjudul diatas kalau mau pesan atau beli dimana ya? saya butuh sekali
#4. buku al muwafaqat fi ushl syarah, beli dimana ya? at 2009-11-18 05:04:24
alhamdulillahirabbil ,alamin...
terimakasih atas tulisan ini, tulisan ini sangat membantu saya dalam memahami maqashidusyari'ah karena saya sendiri tidak memiliki kemampuan berbahasa arab.. barakallahulaka... semoga allah memnerikan pahala yang pantas untuk ilmu ini
#5. ulia dewi at 2009-06-10 04:57:30


SEBENARNYA HIKMAH ITU ?

Menguak Rahasia  dan Ilmu Hikmah


H.M.Rakib , S.H.,M.Ag..Drs.  Pekanbaru…Riau  2014
         Ada yang berpendapat, bahwa ilmu hikmah itu bukan bagian dari tasawuf…
Apa sebenarnya HIKMAH itu ?
Mengapa kami membuat "KATA-KATA HIKMAH" ?
Dalam Al Quran Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya) :

”Allah menganugrahkan AL- HIKMAH  kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugrahi AL-HIKMAH itu, ia benar-benar telah dianugrahi KARUNIA yang BANYAK. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran.” (QS Al Baqarah : 269)

Definisi AL-HIKMAH  secara bahasa menurut kamus bahasa Arab, AL-HIKMAH berarti : kebijaksanaan, pendapat atau pikiran yang bagus, pengetahuan, filsafat, kenabian, keadilan, peribahasa (kata-kata bijak), dan al-­Qur’anul karim.

Sedangkan Imam al-Jurjani rahimahullah dalam kitabnya memberikan makna AL-HIKMAH secara bahasa artinya : ilmu yang disertai amal (perbuatan), atau perkataan yang logis dan bersih dari kesia-siaan.  
AL-HIKMAH juga bermakna : kumpulan keutamaan dan kemuliaan yang mampu membuat pemiliknya menempatkan sesuatu pada tempatnya (proporsional/ADIL)
 AL-HIKMAH juga merupakan ungkapan dari perbuatan seseorang yang dilakukan pada waktu yang tepat dan dengan cara yang tepat pula.

Orang yang ahli ilmu HIKMAH disebut al-Hakim, bentuk jamaknya (plural) adalah al-Hukama. Yaitu orang-orang yang perkataan dan perbuatannya sesuai dengan sunnah Rasulullah.”.
        Melanjutkan tulisan tentang Khoriqul adah ( perkara yang diluar kebiasaan ) Ada satu lagi yang termasuk Khoriqul adah, yaitu kelebihan yang diberikan Allah didasari dari laku riyadhoh atau membaca sesuatu dengan dosis yang ditentukan pula, ilmu ini sering disebut ; ilmu hikmah, maka ilmu ini bisa dicapai atau dimiliki oleh siapapun, tidak memerlukan bakat khusus, siapa yang memenuhi persyaratan dan melaksanakan tata-caranya, dia akan memperolehnya.
       Syariat Islam itu Indah‘ pun dihadirkan Pustaka Al-Kautsar tidak lain guna memperkenalkan syariat Islam apa adanya kepada kaum Muslimin-khususnya-dan juga semua orang. Melalui buku yang ringkas namun bernas ini, pembacanya dapat melihat jelas alangkah sempurnanya Islam. Betapa aturan hidup dari Ilahi ini selalu cocok untuk diterapkan di segala waktu dan tempat. Setiap perintah, anjuran, kebolehan, dan larangan mengandung hikmah dan rahasia masing-masing.
        Semoga, dengan pencerahan ini, tiada lagi kaum Muslimin yang menolak penerapan syariat agama mereka sendiri. Juga, diharapkan tidak ada minoritas nonmuslim yang menentang penerapan syariat Islam di negara mayoritas Muslim. Sebab, ‘undang-undang langit’ ini pada hakikatnya bermanfaat bagi semua ras manusia, jin, hewan, tumbuhan, dan seluruh alam semesta, tanpa terkecuali. Manfaatnya tidak terbatas hanya bagi umat Islam sendirian. Dengan melaksanakannya, sempurnalah kasih sayang, keadilan, dan keberkahan Allah dinikmati semua hamba-Nya, agar mereka memperoleh kebahagiaan di dunia sebelum di akhirat kelak.
         Ada yang berpendapat, bahwa ilmu hikmah itu bukan bagian dari tasawuf, meskipun ada ulama-ulama sufi yang memberikan ilmu hikmah, ilmu hikmah bisa berupa do’a atau wirid-wirid semacam hizib, asma atau berupa wifiq\wafak ( rajah-rajah berupa angka maupun huruf hijaiyyah ).
Ulama-ulama yang menerangkan tentang ilmu hikmah ini semisal ; Syaikh Ali al-Buny dengan kitab man’baul hikmah yang masyhur, Abi hasan as-Syadzili dengan kitab Sirrul jalil yang membuat juga hizib nashor yang melegenda.
      Tatkala Nabi Musa menghidupkan orang mati terbunuh dengan cara dipukul dengan bagian (lidah/ buntut) sapi/ Al- Baqoroh, maka menjadi musyriklah bila seseorang percaya bahwa yang memiliki kekuatan menghidupkan adalah bagian BUNTUT/ LIDAH sapi atau kekuatan nabi Musa sendiri, sebagaimana yang dilakukan oleh nabi Isa menghidupkan orang mati dan banyak yang percaya bahwa itu adalah kekuatan nabi Isa sendiri, bukannya kekuatan Allah Yang Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan yang diberikan kepada nabi Musa dan Isa….. Tatkala Nabi Musa membelah lautan dengan TONGKAT nya, maka menjadi musyriklah seseorang yang percaya bahwa tongkatnya itulah yang memiliki kekuatan membelah lautan…. Tatkala nabi Muhammad menyatakan bahwa “Habbah sauda’” itu obat dari segala penyakit kecuali kematian” – shohih, maka menjadi kafirlah seseorang yang percaya bahwa “HABBAH SAUDA’ itu memang memiliki kekuatan sendiri yang menyembuhkan, bukan khasiyat kekuatan dari Allah……
       Ketika nabi Muhammad menyatakan bahwa “AIR ZAMZAM” itu mempunyai khasiyat sesuai apa niat peminumnya”- shohih, maka menjadi musyriklah seseorang yang mendewakan” air zamzam… Tatkala seseorang percaya bahwa opium dan heroin itu mempunyai sifat dan kekuatannya sendiri yang merusak tubuh dan jiwa, maka orang tersebut ada dalam bahaya kekafiran.
Ketika seorang pasien mendatangi seorang dokter (atau dukun) dan diberi paracetamol, kemudian pasien itu percaya bahwa kesembuhannya karena PARACETAMOL atau karena sang dokter, maka menjadi rusaklah keimanan dia, kecuali kalau ia percaya bahwa ALLAH TELAH MELETAKKAN KHASIAT (Content) PENURUN PANAS pada paracetamo



Bila seorang meyakini bahwa Uranium. Plutonium, Radium dll memiliki Khasiyat (content) “GAIB” tak kelihatan mata yang dapat merusak tubuh dan dapat merangsang mutasi gen yang dapat menimbulkan Cancer, serta memiliki kekuatan “JIN ATOMIC” maka selama ia meyakini yang memberikan CONTENT/ khasiyat itu adalah Allah, maka itu tak menjadi masalah.
Contoh- contoh diatas menjelaskan kepada kita bahwa Allah tidak mustahil menempatkan khasiyat dan content tertentu kepada benda- namun hati- hati jangan diyakini bahwa benda itulah yang memiliki kekuatan sendiri.
Tatkala nabi Dawud berdo’a “Robbana afrigh alaina shobron watsabbit aqdaaman wan shurna alal qoumil kafiriin”, tentu saja dengan bahasa Ibrani (nabi Dawud keturunan Bani Israel yang berbahasa Ibrani)dan tentu terasa aneh ditelinga kita yang tak mengerti bahas Ibrani- seperti mantra saja-, maka do’a yang setara dengan itu DENGAN BAHASA APAPUN yang tujuannya hanya kepada Allah adalah terpuji dan do’a itu bernilai ibadah, KARENA DO’A TIDAK HARUS MEMAKAI BAHASA ARAB.
Sebaliknya segala do’a WALAU PAKAI BAHASA ARAB, bila mengandung keyakinan KEKUATAN SELAIN ALLAH, maka do’a itu adalah DO’A YANG TERTOLAK.
Hizib apapun yang dibaca dengan mengharap meyakini akan datangnya pertolongan Allah, maka itu baik.
Hizib apapun yang diyakini PUNYA KEKUATAN SENDIRI, maka itu tertolak….
Akhirnya, kami ingatkan pesan nabi tentang Hizb agar bagi para pengamal Hizib, jangan melalaikan Hizbnya;
‘An Umar bin al- Khottob Qoola, Qoola Rasulillahi SAW: “Man Naama ‘ala HIZBIHI minallail au min syai-in minhu faqoro’ahuu maa baina sholatil fajri washolatid dhuhri kutiba lahuu ka annamaa qoro’ahuu minal lail”. = Barang siapa ketiduran dari HIZB nya disuatu malam atau sebagian darinya kemudian ia membacanya diwaktu antara sholat subuh dan solat dhuhur, maka ia dituliskan seperti telah membaca hizb nya dimalam hari. Shohih, H.R. Muslim – Ryadhus sholihin bab Fil mukhafadhoh ‘alal a’maal .no,2 halaman 92.
Kajiannya sangat menarik dan kayaknya kyai pengamal Hizib juga .
1. Sebuah hadits,dari Imran bin Husain,Radhiyallahu Anhu,menuturkan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam melihat seorang laki-laki terdapat di tangannya gelang kuningan,maka beliu bertanya :”apakah ini?Orang itu menjawab :”Penangkal sakit”.Nabi pun bersabda:”Lepaskan itu, karena dia hanya akan menambah kelemahan pada dirimu;soalnya kalau kamu mati sedang dia itu masih ada pada tubuhmu , kamu tidak akan beruntung selama lamanya” hadits riwayat imam ahmad.
2.Dirwayatkan hadits marfu dari Abdullah bin Ukaim: Barangsiapa menggantungkan sesuatu barang (dengan anggapan bahwa barang itu bermanfaat atau dapat melindungi dirinya), niscaya Allah menjadikan dia selalu
mengandalkan barang tersebut.(hadits riwayat Imam Ahmad dan at-Turmidzi).
Kedua petikan hadits ini berkaitan dengan :
1.Ruqyah;yaitu yang di sebut pula Azimah ini khusus diizinkan selama penggunannya bebas dari hal-hal syirik,soalnya Rasulullah telah memberi keringanan dalam hal ini .
2.Tamimah :sesuatu yang di kalungkan di leher anak-anak sebagai penangkal atau pengusir penyakit,pengaruh jahat yang di sebabkan rasa dengki seseorang ,dst.
3.Wadaah:sesuatu yang di ambil dari laut, menyerupai rumah kerang: menurut anggapan orang-orang Jahiliyah dapat digunakan sebagai penagkal penyakit .Termasuk dalam pengertian ini adalah jimat.
4.Tiwalah:sesuatu yang dibuat dengan anggapan bahwa hal tersebut dapat membikin istri mencintai suami,atau seorang suami mencintai istrinya.
Keempat hal ini menurut Ibnu Masud Radhiyallahu Anhu adalah perbuatan yang terlarang
Gelang, benang dan sejenisnya tidak berguna untuk menolak atau mengusir sesuatu penyakit,bahkan berbahaya , karena Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda :<>
Betul, tapi saya hanya mengamalkan HIZB MA’TSUUROOT, yakni semua bacaa’an YANG PERNAH DIBACA dan diajarkan Rasululloh.
kata nya kitab karangan imam al buni itu kitab sesat.ap benar itu.& kitab ilmu hikmah itu juga kitap sesat yang tidak di ajarkan rasulullah saw.& menyimpang dari ajaran islam.mohon penjelasan ny ustadz.
Mohon klarifikasinya, jangan sampe salah antara Ilmu Hikmah dan Al-Hikmah. untuk Al-Hikmah, karena itu sangat amat berbeda.
Antum bisa baca disini : http://perguruan-al-hikmah.blogspot.com/.
aslm, maaf numpang berkomentar menurut pengalaman ana, kitab yang antum sebutkan seperti samsul ma’arif karya syaikh al-buni asli orang syiah ternyata hanya menjadikan dukun berkedok ustadz tidak lain amalan yg ada di dalam kitab itu hanya mendatangkan jin yg pada akhirnya membuat kita menjadi paranormal atau sebangsanya. Ada seorang ustadz,dia mengamalkan yg ada di kitab itu katanya bisa mendatangkan malaikat yg katanya bisa disuruh2 yg bernama abdur rohman padahal ustadz tersebut tidak tahu itu tipu daya jin. Dia mengaku2 sebagai malaikat padahal kita tahu sendiri pd riwayat2 yg mutawatir bahwa malaikat jibril tidak datang kepada nabi muhamad saw kecuali atas perintah allah swt bukan atas kehendak beliau. jadi ustadz tersebut dibohongi oleh jin yg mengaku sebagai malaikat abdur rohman, jadi kita sebaiknya sebagai umat islam utk menjauhi karya karya ulama perdukunan seperti itu


AKSIOLOGI YANG DIINGINKAN
H.M.Rakib, S.H.,M.Ag.,Drs.

Aksiologi merupakan teori nilai, yaitu sesuatu yang diinginkan, disukai atau yang baik. Sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki satu kesatuan dasar aksiologis, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Hukum Islam atau dalam Pancasila pada hakikatnya juga merupakan suatu kesatuan. Aksiologi Hukum Islam dan Pancasila mengandung arti bahwa kita membahas tentang filsafat nilai Pancasila.
Manfaat Belajar Filsafat Hukum
Adapun  masalah Manfaat Belajar Filsafat Hukum , berkaitan  dengan Urgensi dan relevansi filsafat hukum… Berfilsafat adalah berfikir. Hal ini tidak berarti setiap berfikir adalah berfilsafat, karena berfilsafat itu berfikir dengan ciri-ciri tertentu. Ada beberapa ciri berpikir secara kefilsafatan, yaitu :

1. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara radikal. Radikal berasal dari kata Yunani, radix yang berarti “akar”. Berfikir secara radikal adalah berfikir sampai ke akar-akarnya. Berfikir sampai ke hakikat, essensi, atau samapai ke substansi yang dipikirkan. manusia yang berfilsafat tidak puas hanya memperoleh pengetahuan lewat indera yang selalu berubah dan tidak tetap. Manusia yang berfilsafat dengan akalnya berusaha untuk dapat menangkap pengetahuan hakiki, yaitu pengetahuan yang mendasari segala pengetahuan inderawi.

2. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara universal (umum). Berfikir secara universal adalah berfikir tentang hal-hal serta proses-proses yang bersifat umum. Filsafat bersangkutan dengan pengalaman umum dari ummat manusia (common experience of mankind). Dengan jalan penjajakan yang radikal, filsafat berusaha untuk sampai pada kesimpulan-kesimpulan yang universal. Bagaimana cara atau jalan yang ditempuh untuk mencapai sasaran pemikirannya dapat berbeda-beda. Akan tetapi yang dituju adalah keumuman yang diperoleh dari hal-hal khusus yang ada dalam kenyataan.
3. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara konseptual. Yang dimaksud dengan konsep di sini adala hasil generalisasi dan abstraksi dari pengalaman tentang hal-hal sertya proses-proses individual. Berfilsafat tidak berfikir tentang manusia tertentu atau manusia khusus, tetap[i berfikir tentang manusia secara umum. Dengan ciri yang konseptual ini, berfikir secara kefilsafatan melampoi batas pengalaman hidup sehari-hari.
4. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara koheren dan konsisten. Koheren artinya sesuai dengan kaidah-kaidah berfikir (logis). Konsisten artinya tidak mengandung kontradiksi. Baik koheren maupun konsisten, keduanya dapat diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, yaitu runtut. Adapun yang dimaksud runtut adalah bagan konseptual yang disusun tidak terdiri atas pendapat-pendapat yang saling berkontradiksi di dalamnya.
5. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara sistematik. Sistematik berasal dari kata sistem yang artinya kebulatan dari sejumlah unsur yang saling berhubungan menurut tata pengaturan untuk mencapai sesuatu maksud atau menunaikan sesuatu peranan tertentu. Dalam mengemukakan jawaban terhadap sesuatu masalah, digunakan pendapat atau argumen yang merupakan uraian kefilsafatan yang saling berhubungan secara teratur dan terkandung adanya maksud atau tujuan tertentu.

6. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara komprehensif. Komprehensif adalah mencakup secara menyeluruh. Berfikir secara kefilsafatan berusaha untuk menjelaskan fenomena yang ada di alam semesta secara keseluruhan sebagai suatu sistem.
7. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara bebas. Sampai batas-batas yang luas, setiap filsafat boleh dikatakan merupakan suatu hasil dari pemikiran yang bebas. Bebas dari prasangka-prasangka sosial, historis, kultural, atau religius. Sikap-sikap bebas demikian ini banyak dilukiskan oleh filsuf-filsuf dari segala zaman. Socrates memilih minum racun dan menatap maut daripada harus mengorbankan kebebasannya untuk berpikir menurut keyakinannya. Spinoza karena khawatir kehilangan kebebasannya untuk berfikir, menolak pengangkatannya sebagai guru besar filsafat pada Universitas Heidelberg.
8. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan dengan pemikiran yang bertanggungjawab. Pertangungjawaban yang pertama adalah terhadap hati nuraninya. Di sini tampak hubungan antara kebebasan berfikir dalam filsafat dengan etika yang melandasinya.
Sebagaimana berfikir secara kefilsafatan, maka pemikiran filsafat hukum juga memiliki beberapa sifat atau karakteritik khusus yang membedakannya dengan ilmu-ilmu lain. Pertama, filsafat hukum memiliki karakteristik yang bersifat menyeluruh dan universal. Dengan cara berfikir holistik tersebut, maka siapa saja yang mempelajari filsafat hukum diajak untuk berwawasan luas dan terbuka. Mereka diajak untuk menghargai pemikiran, pendapat dan pendirian orang lain. Itulah sebabnya dalam filsafat hukumpun dikenal pula berbagai aliran pemikiran tentang hukum, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dengan demikian diharapkan para cendekiawan hukum, tidak bersikap arogan dan apriori, bahwa disiplin ilmu yang dimilikinya lebih tinggi dengan disiplin ilmu yang lainnya.

            Kemudian filsafat hukum dengan sifat universalitasnya, memandang kehidupan secara menyeluruh, tidak memandang hanya bagian-bagian dari gejala kehidupan saja atau secara partikular. Dengan demikian filsafat hukum dapat menukik pada persoalan lain yang relevan atau menerawang pada keseluruhan dalam perjalanan reflektifnya, tidak sekedar hanya memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Dalam filsafat hukum, pertimbangan-pertimbangan di luar obyek adalah salah satu ciri khasnya. Filsafat hukum tidak bersifat bebas nilai. Justru filsafat hukum menimba nilai yang berasal dari hidup dan pemikiran.

Ciri yang kedua, filsafat hukum juga memiliki sifat yang mendasar atau memusatkan diri pada pertanyaan-pertanyaan mendasar (basic or fundamental questions). Artinya dalam menganalisis suatu masalah, seseorang diajak untuk berpikir kritis dan radikal. Dengan mempelajari dan memahami filsafat hukum berarti diajak untuk memahami hukum tidak dalam arti hukum positif belaka. Orang yang mempelajari hukum dalam arti positif belaka, tidak akan mampu memanfaatkan dan mengembangkan hukum secara baik. Apabila orang itu menjadi hakim misalnya, dikhawatirkan ia akan menjadi hakim yang bertindak selaku “corong undang-undang” semata.
Ciri berikutnya yang tidak kalah pentingnya adalah sifat filsafat yang spekulatif. Sifat ini tidak boleh diartikan secara negatif sebagai sifat gambling. Sebagai dinyatakan oleh Suriasumantri , bahwa semua ilmu yang berkembang saat ini bermula dari sifat spekulatif tersebut. Sifat ini mengajak mereka yang mempelajari filsafat hukum untuk berpikir inovatif, selalu mencari sesuatu yang baru. Memang, salah satu ciri orang yang berpikir radikal adalah senang kepada hal-hal yang baru. Tentu saja tindakan spekulatif yang dimaksud di sini adalah tindakan yang terarah, yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dengan berpikir spekulatif dalam arti positif itulah hukum dapat dikembangkan ke arah yang dicita-citakan bersama. Secara spekulatif, filsafat hukum terjadi dengan pengajuan pertanyaan-pertanyaan mengenai hakekat hukum. Pertanyaan-pertanyaan itu menimbulkan rasa sangsi dan rasa terpesona atas suatu kebenaran yang dikandung dalam suatu persoalan. Apabila jawaban-jawabannya diperoleh maka jawaban-jawaban itu disusun dalam suatu sistem pemikiran yang universal dan radikal.

Kemudian ciri yang lain lagi adalah sifat filsafat yang reflektif kritis. Melalui sifat ini, filsafat hukum berguna untuk membimbing kita menganalisis masalah-masalah hukum secara rasional dan kemudian mempertanyakan jawaban itu secara terus menerus. Jawaban tersebut seharusnya tidak sekedar diangkat dari gejala-gejala yang tampak, tetapi sudah sampai kepada nilai-nilai yang ada dibalik gejala-gejala itu. Analisis nilai inilah yang membantu kita untuk menentukan sikap secara bijaksana dalam menghadapi suatu masalah kongkret. Secara kritis, filsafat hukum berusaha untuk memeriksa gagasan-gagasan tentang hukum yang sudah ada, melihat koherensi, korespodensi dan fungsinya. Filsafat hukum berusaha untuk memeriksa nilai dari pernyataan-pernyataan yang dapat dikategorikan sebagai hukum.
Filsafat itu juga bersifat introspektif atau mempergunakan daya upaya introspektif. Artinya, filsafat tidak hanya menjangkau kedalaman dan keluasan dari permasalahan yang dihadapi tetapi juga mempertanyakan peranan dari dirinya dan dari permasalahan tersebut. Filsafat mempertanyakan tentang struktur yang ada dalam dirinya dan permasalahan yang dihadapinya. Sifat introspektif dari filsafat sesuai dengan sifat manusia yang memiliki hakekat dapat mengambil jarak (distansi) tidak hanya pada hal-hal yang berada di luarnya tetapi juga pada dirinya sendiri.
Sebagai bahan perbandingan, Radhakrisnan dalam bukunya The History of Philosophy, mengemukakan pula tentang arti penting mempelajari filsafat, termasuk dalam hal ini mempelajari filsafat hukum, bukanlah sekedar mencerminkan semangat masa ketika kita hidup, melainkan membimbing kita untuk maju. Fungsi filsafat adalah kreatif, menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan arah, dan menuntun pada jalan baru. Filsafat hendaknya mengilhamkan keyakinan kepada kita untuk menopang dunia baru, mencetak manusia-manusia yang tergolong ke dalam berbagai bangsa, ras dan agama itu mengabdi kepada cita-cita mulia kemanusiaan. Filsafat tidak ada artinya sama sekali apabila tidak universal, baik dalam ruang lingkupnya maupun dalam semangatnya.
Adanya karakteristik khusus dari pemikiran filsafat hukum di atas sekaligus juga menunjukkan arti pentingnya. Dengan mengetahui dan memahami filsafat hukum dengan berbagai sifat dan karakternya tersebut, maka sebenarnya filsafat hukum dapat dijadikan salah satu alternatif untuk ikut membantu memberikan jalan keluar atau pemecahan terhadap berbagai krisis permasalahan yang menimpa bangsa Indonesia dalam proses reformasi ini. Tentu saja kontribusi yang dapat diberikan oleh filsafat hukum dalam bentuk konsepsi dan persepsi terhadap pendekatan yang hendak dipakai dalam penyelesaian masalah-masalah yang terjadi. Pendekatan mana didasarkan pada sifat-sifat dan karakter yang melekat pada filsafat hukum itu sendiri.
Dengan pendekatan dan analisis filsafat hukum, maka para para pejabat, tokoh masyarakat, pemuka agama dan kalangan cendekiawan atau siapapun juga dapat bersikap lebih arif dan bijaksana serta mempunyai ruang lingkup pandangan yang lebih luas dan tidak terkotak-kotak yang memungkinkan dapat menemukan akar masalahnya. Tahap selanjutnya diharapkan dapat memberikan solusi yang tepat. Karena penyelesaian krisis yang terjadi di negara kita itu tidak mungkin dapat dilakukan sepotong-potong atau hanya melalui satu bidang tertentu saja, tapi harus meninjau melalui beberapa pendekatan lain sekaligus (interdisipliner.atau multidisipliner).
Tidak ada lagi pihak-pihak yang merasa dirinya paling benar atau paling jago dengan pendapatnya sendiri dan menafikan pendapat yang lain. Atau dengan kata lain hanya ingin menangnya sendiri tanpa mau menghargai pendapat orang lain. Karena masing-masing bidang atau cara pandang tertentu, mempunyai kelebihan dan keterbatasannya masing-masing. Justru pandangan-pandangan yang berbeda kalau dapat dikelola dengan baik, dapat dijadikan alternatif penyelesaian masalah yang saling menopang satu sama lain.

Apalagi krisis permasalahan yang melanda bangsa Indonesia sesungguhnya amat kompleks dan multidimensional sifatnya, mulai krisis ekonomi, politik, hukum, pemerintahan serta krisis moral dan budaya, yang satu sama lain berkaitan sehingga diperlukan cara penyelesaian yang terpadu dan menyeluruh yang melibatkan berbagai komponen bangsa yang ada. Dalam konteks ini diperlukan adanya kerjasama dan sinergi yang erat dari berbagai komponen tersebut. Maka pejabat pemerintah harus mendengar aspirasi dari rakyat, para pakar mau mendengar pendapat pakar lainnya, tokoh masyarakat harus saling menghormati terhadap dengan tokoh masyarakat yang lain. Semua bekerja bahu membahu dan menghindarkan diri dari rasa curiga, kebencian dan permusuhan…

Dalam filsafat Hukum Islam  Pancasila, terdapat tiga tingkatan nilai, yaitu nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praktis.
·         Nilai-nilai dasar dari Pancasila adalah nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan.
·         Nilai instrumental, adalah nilai yang berbentuk norma sosial dan norma hukum yang selanjutnya akan terkristalisasi dalam peraturan dan mekanisme lembaga-lembaga negara.
·         Nilai praktis, adalah nilai yang sesungguhnya kita laksanakan dalam kenyataan. Nilai ini merupakan batu ujian apakah nilai dasar dan nilai instrumental itu benar-benar hidup dalam masyarakat.
Nilai-nilai dalam Pancasila termasuk nilai etik atau nilai moral merupakan nilai dasar yang mendasari nilai intrumental dan selanjutnya mendasari semua aktivitas kehidupan masyarakat, berbansa, dan bernegara.
Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai Pancasila (subscriber of value Pancasila), yaitu bangsa yang berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang berkerakyatan dan berkeadilan sosial.
Aksiologi menyelidiki pengertian, jenis, tingkatan, sumber dan hakikat nilai secara kesemestaan. Aksiologi Pancasila pada hakikatnya sejiwa dengan ontologi dan epistemologinya. Pokok-pokok aksiologi itu dapat disarikan sebagai berikut:
  • Tuhan yang Maha Esa sebagai mahasumber nilai, pencipta alam semesta dan segala isi beserta antarhubungannya, termasuk hukum alam. Nilai dan hukum moral mengikat manusia secara psikologis-spiritual: akal dan budi nurani, obyektif mutlak menurut ruang dan waktu secara universal. Hukum alam dan hukum moral merupakan pengendalian semesta dan kemanusiaan yang menjamin multieksistensi demi keharmonisan dan kelestarian hidup.
  • Subyek manusia dapat membedakan hakikat mahasumber dan sumber nilai dalam perwujudan Tuhan yang mahaesa, pencipta alam semesta, asal dan tujuan hidup manusia (sangkan paraning dumadi, secara individual maupun sosial).
  • Nilai-nilai dalam kesadaran manusia dan dalam realitas alam semesta yang meliputi: Tuhan yang mahaesa dengan perwujudan nilai agama yang diwahyukan-Nya, alam semesta dengan berbagai unsur yang menjamin kehidupan setiap makhluk dalam antarhubungan yang harmonis, subyek manusia yang bernilai bagi dirinya sendiri (kesehatan, kebahagiaan, etc.) beserta aneka kewajibannya. Cinta kepada keluarga dan sesama adalah kebahagiaan sosial dan psikologis yang tak ternilai. Demikian pula dengan ilmu, pengetahuan, sosio-budaya umat manusia yang membentuk sistem nilai dalam peradaban manusia menurut tempat dan zamannya.
  • Manusia dengan potensi martabatnya menduduki fungsi ganda dalam hubungan dengan berbagai nilai: manusia sebagai pengamal nilai atau ‘konsumen’ nilai yang bertanggung jawab atas norma-norma penggunaannya dalam kehidupan bersama sesamanya, manusia sebagai pencipta nilai dengan karya dan prestasi individual maupun sosial (ia adalah subyek budaya). “Man created everything from something to be something else, God created everything from nothing to be everything.” Dalam keterbatasannya, manusia adalah prokreator bersama Allah.
  • Martabat kepribadian manusia secara potensial-integritas bertumbuhkembang dari hakikat manusia sebagai makhluk individu-sosial-moral: berhikmat kebijaksanaan, tulus dan rendah hati, cinta keadilan dan kebenaran, karya dan darma bakti, amal kebajikan bagi sesama.
  • Manusia dengan potensi martabatnya yang luhur dianugerahi akal budi dan nurani sehingga memiliki kemampuan untuk beriman kepada Tuhan yang mahaesa menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Tuhan dan nilai agama secara filosofis bersifat metafisik, supernatural dan supranatural. Maka potensi martabat manusia yang luhur itu bersifat apriori: diciptakan Tuhan dengan identitas martabat yang unik: secara sadar mencintai keadilan dan kebenaran, kebaikan dan kebajikan. Cinta kasih adalah produk manusia – identitas utama akal budi dan nuraninya – melalui sikap dan karyanya.
  • Manusia sebagai subyek nilai memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap pendayagunaan nilai, mewariskan dan melestarikan nilai dalam kehidupan. Hakikat kebenaran ialah cinta kasih, dan hakikat ketidakbenaran adalah kebencian (dalam aneka wujudnya: dendam, permusuhan, perang, etc.).
  • Eksistensi fungsional manusia ialah subyek dan kesadarannya. Kesadaran berwujud dalam dunia indra, ilmu, filsafat (kebudayaan/ peradaban, etika dan nilai-nilai ideologis) maupun nilai-nilai supranatural.
Skema pola antarhubungan sosial manusia meliputi:
1.    hubungan sosial-horisontal, yakni antarhubungan pribadi manusia (P) dalam antarhubungan dan antaraksinya hingga yang terluas yaitu hubungan antarbangsa (A2-P-B2);
2.    hubungan sosial-vertikal antara pribadi manusia dengan Tuhan yang mahaesa (C: Causa Prima) menurut keyakinan dan agama masing-masing (garis PC).
  • kualitas hubungan sosial-vertikal (garis PC) menentukan kualitas hubungan sosial horisontal (garis APB);
  • kebaikan sesama manusia bersumber dan didasarkan pada motivasi keyakinan terhadap Ketuhanan yang mahaesa;
  • kadar/ kualitas antarhubungan itu ialah: garis APB ditentukan panjangnya oleh garis PC. Tegasnya, garis PC1 akan menghasilkan garis A1PB1 dan PC2 menghasilkan garis A2PB2. Jadi, kualitas kesadaran akan Ketuhanan yang mahaesa menentukan kualitas kesadaran kemanusiaan.
Seluruh kesadaran manusia tentang nilai tercermin dalam kepribadian dan tindakannya. Sumber nilai dan kebajikan bukan saja kesadaran akan Ketuhanan yang mahaesa, tetapi juga adanya potensi intrinsik dalam kepribadian, yakni: potensi cinta kasih sebagai perwujudan akal budi dan nurani manusia (berupa kebajikan). Azas dan usaha manusia guna semakin mendekati sifat-sifat kepribadiannya adalah cinta sesama. Nilai cinta inilah yang menjadi sumber energi bagi darma bakti dan pengabdiannya untuk selalu berusaha melakukan kebajikan-kebajikan. Azas normatif ini bersifat ontologis pula, karena sifat dan potensi pribadi manusia berkembang dari potensialitas menuju aktualitas, dari real-self menuju ideal-self, bahkan dari kehidupan dunia menuju kehidupan kekal. Garis menuju perkembangan teleologis ini pada hakikatnya ialah usaha dan dinamika kepribadian yang disadari (tidak didasarkan atas motivasi cinta, terutama cinta diri).
Cinta diri cenderung mengarahkan manusia ke egosentrisme, mengakibatkan ketidakbahagiaan. Kebaikan dan watak pribadi manusia bersumber pula pada nilai keseimbangan proporsi cinta pribadi dengan sesama dan dengan Tuhan yang mahaesa. Dengan perkataan lain, kesejahteraan rohani dan kebahagiaan pribadi manusia yang hakiki ialah kesadarannya dalam menghayati cinta Tuhan dan hasrat luhurnya mencintai Tuhan dan sesamanya.
Nilai instrinsik ajaran filsafat Pancasila sedemikian mendasar, komprehensif, bahkan luhur dan ideal, meliputi: multi-eksistensial dalam realitas horisontal; dalam hubungan teleologis; normatif dengan mahasumber kesemestaan (Tuhan dengan ‘ikatan’ hukum alam dan hukum moral yang psikologis-religius); kesadaran pribadi yang natural, sosial, spiritual, supranatural dan suprarasional. Penghayatannya pun multi-eksistensial, bahkan praeksistensi, eksistensi (real-self dan ideal-self), bahkan demi tujuan akhir pada periode post-existence (demi kehidupan abadi), menunjukkan wawasan eksistensial yang normatif-ideal.
Secara instrinsik dan potensial, nilai-nilai Pancasila memenuhi tuntutan hidup manusia karena nilai filsafat sejatinya adalah untuk menjamin keutuhan kepribadian dan tidak mengakibatkan konflik kejiwaan maupun dilematika moral. Bersyukurlah kita punya Pancasila!

PENUTUP

 Kesimpulan
Setelah kami berusaha untuk menguraikan pembahasan mengenai filsafat, kami dapat menyimpulkan bahwa unsur – unsur  Hukum Islam Pancasila memang telah dimiliki dan di jalankan oleh bangsa Indonesia sejak dahulu. Oleh karena bukti – bukti sejarah sangat beraneka ragam wujudnya maka perlu diadakan analisa yang seksama. Karena bukti – bukti sejarah sebagian ada yang berupa symbol maka diperlukan analisa yang teliti dan tekun berbagai bahan – bahan bukti itu dapat diabstaksikan sedemikian rupa sehingga diperoleh hasil – hasil yang memadai. Melalui cara – cara tersebut hasilnya dapat bersifat kritik dan tentu saja ada kemungkinan yang bersifat spekulatif. Demikian pula adaunsur – unsur yang di suatu daerah lebih menonjol dari daerah lain misalnya tampak pada perjuangan bangsa Indonesia dengan peralatan yang sederhana serta tampak pada bangunan dan tulisan dan perbuatan yang ada
Demikian makalah yang kami buat dengan materi pancasila sebagai filsafat, kajian ontologis,epistemologis,dan aksiologi pancasila dan pancasila sebagai sistemetika politik dan pancasila sebagai paradigma pembangunan semoga dapat melengkapi tugas kewarganegaraan dan dapat bermanfaat bagi yang membacanya.
Tentu kita sadari bahwa tidak semua materi yang ada dituangkan dihalaman makalah ini dan sebaliknya tidak semua yang tertuang dalam makalah ini akan sesuai dengan pemikiran ahli yang lain . Hal ini karena semata mata keterbatasan pembuat makalah.
Oleh karena itu apabila dalam penyusunan makalah ini dirasa ada yang kurang mohon ditanyakan kepada sumbernya .terimakasih,semoga bermanfaat .
Amin......
Saran
Saran kepada pembaca dalam pembuatan makalah ini penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan – kekurangan baik dari bentuk maupun isinya.
kami menyarankan kepada pembaca agar ikut peduli dalam mengetahui sejauh mana pembaca mempelajari tentang filsafat Pancasila
Semoga dengan makalah ini para pembaca dapat menambah cakrawala ilmu pengetahuan
Pengembangan ilmu pengetahuan yang berlandaskan Pancasila merupakan bagian penting bagi keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara di masa mendatang (Pranarka, 1985:391).
Sejak dulu, ilmu pengetahuan mempunyai posisi penting dalam aktivitas berpikir manusia. Istilah ilmu pengetahuan terdiri dari dua gabungan kata berbeda makna, ilmu dan pengetahuan. Segala sesuatu yang kita ketahui merupakan definisi pengetahuan, sedangkan ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara sistematis menurut metode tertentu.
Sikap kritis dan cerdas manusia dalam menanggapi berbagai peristiwa di sekitarnya, berbanding lurus dengan perkembangan pesat ilmu pengetahuan. Namun dalam perkembangannya, timbul gejala dehumanisasi atau penurunan derajat manusia. Hal tersebut disebabkan karena produk yang dihasilkan oleh manusia, baik itu suatu teori mau pun materi menjadi lebih bernilai ketimbang penggagasnya. Itulah sebabnya, peran Pancasila harus diperkuat agar bangsa Indonesia tidak terjerumus pada pengembangan ilmu pengetahuan yang saat ini semakin jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.


DAFTAR PUSTAKA

Achmad Notosoetarjo 1962, Kepribadian Revolusi Bangsa Indonesia
A.T. Soegito, 1983, Pancasila Tinjauan dari Aspek Historis, FPIPS – IKIP, Semarang.
                         A.T. Soegito, 1999, Sejarah Pergerakan Bangsa Sebagai Titik Tolak Memahami Asal Mula Pancasila, Makalah Internship Dosen-Dosen Pancasila se Indonesia, Yogyakarta.
Alhaj dan Patria, 1998.BMP.Pendidikan Pancasila.Penerbit Karunika,Jakarta 4 – 5.
Bakry Noor M, 1998, Pancasila Yuridis Kenegaraan, Liberty, Yogyakarta.  Dardji Darmodihardjo, 1978, Santiaji Pancasila, Lapasila, Malang.  Harun Nasution, 1983.    
Filsafat Agama, NV Bulan Bintang. Jakarta.
http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2105602-makna-pancasila-sebagai-dasar-negara/
http:// www. Pancasila.org/situs/sebagai_ etika _.politik.Via google.view15-I-2010
Kaelan, 1993, Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan, Paradigma, Yogyakarta.
K.Wantjik Saleh 1978,Kitab Kumpulan Peraturan Perundang RI,Jakarta PT.Gramedia
Notonagoro, Pnacasila Dasar Filsafat Negara RI I.II.III
                     Notonagoro. 1980. Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila, Cet. 9. Jakarta: Pantjoran Tujuh
           Soediman Kartohadiprojo 1970, Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila, Bandung Alumni
Salam, H. Burhanuddin, 1998. Filsafat Pancasilaisme. Jakarta: Rineka Cipta

            Di     mana pengetahuan itu ditemukan, akal budi ataukah pengalaman inderawi, serta apakah pengetahuan kita tentang hukum dapat dipertanggungawabkan?
            Epistemologi hukum adalah filsafat pengetahuan hukum (yang tentunya berbeda dengan ilmu hukum), yaitu refleksi kritis tentang pengetahuan hukum dan apa yang kita ketahui di bidang filsafat hukum. Epistemologi hukum itu tentu saja berdasarkan pada epistemologi atau filsafat pengetahuan. Karena itu, sebelum lebih jauh mengetahui epistemologi hukum, pemahaman dasar tentang epistemologi sendiri menjadi mutlak diperlukan. Dengan belajar tentang epistemologi kita akan terbantu untuk dapat mengetahui, apakah pengetahuan kita sendiri tentang hukum adalah pengetahuan yang sungguh-sungguh kita ketahui. Yang mau dikemukakan disini adalah epistemologi ketika masih hidup.
B.  Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah diatas penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1.      Apakah pengertian epistemologi?
2.      Apakah jenis-jenis epistemologi?
3.      Apakah aliran-aliran epistemologi?

PEMBAHASAN
A.  Pengertian epistemologi
            Episteme berasal dari epistamai yang artinya mendudukkan, menempatkan atau meletakkan. Maka kata episteme dapat diartikan “pengetahuan sebagai upaya intelektual untuk menempatkan sesuatu dalam kedudukan setepatnya (J. Sudarminta, 2002: 18). Berdasarkan etimologi kata epistemologi tersebut, dapat dikatakan bahwa epistemologi adalah ilmu tentang pengetahuan manusia atau sering disebut juga sebagai teori pengetahuan. J. Sudarminta mengatakan bahwa sebagai cabang ilmu filsafat, epistemologi bermaksud mangkaji dan mencoba menemukan ciri-ciri umum dan hakiki dari pengetahuan manusia. Pertanyaannya adalah bagaimana pengetahuan itu pada dasarnya diperoleh dan diuji kebenarannya? Manakah ruang lingkup atau batas-batas kemampuan manusia untuk mengetahui?
            Dapat juga dikatakan menurut P. Hardono Hadi (1994: 6), bahwa epistemologi membahas masalah-masalah dasar dalam pengetahuan, misalnya apa itu pengetahuan, di manakah pengetahuan umumnya ditemukan, dan sejauh manakah apa yang biasanya kita anggap sebagai pengetahuan benar-benar merupakan pengetahuan? Apakah indera dan budi dapat memberi pengetahuan, serta apakah hubungan antara pengetahuan dan keyakinan yang benar? Pertanyaan-pertanyaan epistemologis ini dapat kita ajukan juga terhadap pengetahuan kita tentang hukum. Pertanyaan-pertanyaan itu hendaknya tidak dianggap sebagai aneh.
            Tujuan yang mau dicapai oleh epistemologis adalah bukan hanya apakah saya atau kita dapat mengetahui, melainkan juga untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan kita dapat tahu dan jangkauan batas-batas pengetahuan kita. P. Hardono Hadi misalnya, mengatakan bahwa pentingnya mempelajari epistemologi sebagai filsafat ini adalah agar orang, terutama juga di bidang hukum menjadi “bijaksana”. Menurutnya, dengan memahami permasalahan epistemologis, orang diharapkan mampu bersikap tepat di dalam menanggapi berbagai pembicaraan (disini tentang hukum) tanpa terjerumus di dalam prasangka sempit dan semangat primordialisme yang kaku. Epistemologi hukum cukup membantu kita untuk bersikap terbuka dan bertanggung jawab terhadap apa yang diketahui tentang hukum.

B.  Jenis-jenis Epistemologi
            Berdasarkan cara kerja dan pendekatannya, epistemologi dibagi menjadi epistemologi metafisis dan epistemologi skepsis.
1.      Epistemologi metafisis
     Epistemologi ini melakukan pendekatan terhadap gejala pengetahuan bertitik tolak dari pengandaian metafisis tertentu, berangkat dari kenyataan dan membahas bagaimana manusia mengetahui kenyataan itu. Contohnya adalah epistemologi Plato. Menurut Plato, kenyataan adalah ide-ide. Idealisme Plato ini membuat semua yang dinamakan kenyataan sebetulnya hanya bersifat semu, karena kenyataan sesungguhnya hanya ada dalam dunia ide. Di samping itu, dala epistemologi ada pengandaian bahwa semua orang tahu tentang kenyataan, dialami dan dipikirkan, sibuk dengan pengetahuan seperti itu dan cara perolehannya. Hal ini dikritik sebagai kurang memadai dan kontroversial. Pertanyaan kita sekarang adalah bagaimanakah dengan hukum: kenyataan yang diketahui sebagai ide-ide? Di sini penulis mengusulkan agar kita coba kembali melihat sejarah pemikiran mengenai hukum. Bagaimana orang bisa sampai tahu adanya hukum? Dia diciptakan oleh pikiran karena kenyataan ataukah karena “memang ada hukum yang diketahui?” dan diberi komentar atau penafsiran?  Dari buku klasik Dennis Lloyd The Idea of Law (1977) dapat dikatakan bahwa ide hukum itu muncul karena pembacaan terhadap kenyataan sebagai suatu keharusan “normatif”.
2.      Epistemologi Skepsis
     Boleh disebut peletak dasar epistemologi ini adalah Rene Descartes (1596-1650). Sebagaimana diketahui, filsuf besar ini adalah orang yang ragu-ragu, atau memiliki kesangsian metodis. Segala sesuatu itu diragukan. Yang ia tidak ragukan ialah dirinya sendiri yang sedang ragu-ragu. Dengan kata lain, yang tidak diragukannya ialah keragu-raguan itu sendiri. Berdasarkan filsafatnya dapat dikatakan bahwa kita harus membuktikan apa yang kita ketahui sebagai sungguh-sungguh nyata atau benar-benar tidak dapat diragukan lagi dengan menganggap sebagai tidak nyata atau keliru segala sesuatu yang kebenarannya masih dapat diragukan. Dengan kata lain, kita pun harus dapat membuktikan, apakah kita sungguh-sungguh dapat mengetahui sesuatu?
     Repotnya, kalau ini dikaitkan secara sewenang-wenang alias ngawur terhadap hukum, maka kita dapat saja meragukan, pertama, apakah hukum itu sungguh-sungguh nyata dan tidak diragukan lagi adanya? Kita harus mampu membuktikannya. Atau kita boleh saja meragukan hukum itu. Jangan-jangan hukum itu sesuatu yang keliru karena masih dapat diragukan kebenarannya. Yang gampang ialah, saya dan anda dapat meragukan apakah positivisme itu benar dalam memandang hukum sebagai kenyataan inderawi model ilmu alam? Kedua, ada keraguan bahwa manusia dapat mengetahui segala sesuatu. Dengan kata lain jangan-jangan manusia itu sebetulnya tidak tahu apapun. Ini tentu seja melawan “akal sehat umum”, bahwa manusia mengetahui segala sesuatu. Keragu-raguan ekstrim atau ketika orang terlalu skeptis terhadap segala sesuatu dan konsisten dengan itu, maka ia akan terus hidup dalam keragu-raguan dan karenanya sulit mengambil keputusan untuk melakukan sesuatu.
     Keraguan ilmiah dan juga moril itu benar, sejauh dipakai untuk menguji ilmu pengetahuan atau tingkah laku, apakah benar ataukah salah. Dengan kata lain, keraguan tersebut demi kepastian kebenaran dan kebaikan atau keutamaan perilaku. Seorang jaksa yang profesional misalnya boleh saja meragukan, apakah pasal-pasal kitab hukum pidana yang dipakainya untuk menjerat si terdakwa itu sudah benar, sesuai dengan peristiwa hukum (tindak pidana) itu ataukah tidak. Yang dipelukan disini sebetulnya adalah epistemologi kritis, yaitu berangkat dari asumsi, prosedur dan kesimpulan pemikiran akal sehat atau asumsi, prosedur dan kesimpulan pemikiran ilmiah lalu ditanggapi secara kritis atau menguji kebenarannya. Epistemologi kritis ini dapat dipakai di dunia hukum.
            Kemudian berdasarkan objek yang dikaji, epistemologi dapat dibagi menjadi epistemologi individual dan epistemologi sosial.
1.      Epistemologi individual
     Epistemologi ini berurusan dengan subjek yang mengetahui dan yang diketahui, lepas dari konteks sosial. J. Sudarminta mengemukakan bahwa epistemologi individual adalah epistemologi sejak pra-sokrates sampai sekarang. Kajian tentang pengetahuan, baik tentang status kognitifnya maupun proses perolehannya, dianggap sebagai dapat didasarkan atas kegiatan mausia individual sebagai subjek yang mengetahui lepas dari konteks sosialnya. Struktur pikiran manusia sebagai individu bekerja dalam proses mengetahui dianggap cukup mewakili untuk menjelaskan bagaimana semua pengetahuan manusia pada umumnya diperoleh. Secara lain dapat dikatakan bahwa bagi epistemologi ini tidak penting bagaimana konteks sosial budaya dan juga “nilai-nilai” yang ada dalam masyarakat itu bekerja. Yang penting adalah bahwa manusia dapat mengetahui hanya dengan modal struktur pikiran dan cara mengetahuinya sendiri yang terdapat dalam otaknya saja. Pengetahuan manusia tentang hukum itu diperoleh karena kegiatan berpikir saja (a priori) dan dianggap sudah mewakili apa yang memang diketahui manusia tentang hukum melalui pikiran. Apa dan bagaimana konteks sosialnya tidak begitu penting untuk dipertimbangkan.
2.      Epistemologi Sosial
     Epistemologi ini berurusan dengan kajian filosofis terhadap pengetahuan sebagai data sosiologis, yaitu terkait dengan hubungan sosial, kepentingan sosial dan lembaga-lembaga sosial. Semuanya ini adalah faktor yang menentukan dalam proses dan cara memperoleh pengetahuan. Epistemologi ini barangkali cocok untuk ilmu, termasuk ilmu hukum. Orang dapat tahu tentang hukum juga karena ada bersama dalam keserbaterhubungan etis dengan segala sesuatu yang lain, termasuk sesama manusia dalam suatu komunitas masyarakat. Kenyataan sosial memproyeksikan dirinya sendiri kepada subjek-subjek yang sadar, yang kemudian menangkap itu dalam akal sehatnta dan kemudian ia menjadi tahu tentang maksud kenyataan yang “berbicara” kepadanya. Selanjutnya ia mengatakan bahwa ia tahu tentang “hukum” yang hidup dan berkembang dalam hubungan antarmanusia, kepentingan-kepentingan dan lembaga-lembaga.

C.  Aliran-aliran Epistemologi
    
1.      Skeptisime
     Skeptisisme telah dimulai sejak zaman Yunani Kuno (315 SM), misalnya pada pandangan Zeno dari Elea. Dia meragukan adanya gerak. Menurut dia, gerak itu sebenarnya tidak ada, karena sesuatu tetap berada dalam substansinya. Hanya kelihatan saja bahwa sesuatu itu bergerak, namun sesungguhnya tetap “diam” dalam substansinya. Ini dianggap sebagai suatu sikap skeptis terhadap ada atau tidak gerak itu.
     Skeptisisme berasal dari kata dalam bahasa Yunani “skeptomai” yang berarti “saya pikirkan dengan seksama” atau “saya lihat dengan teliti”. Kemudian kata ini populer diartikan sebagai “saya meragukan”. Intinya, dalam skeptisisme ini orang selalu mempertanyakan, meragukan, termasuk meragukan, apakah manusia sungguh-sungguh mengetahui dan apakah pengetahuan itu benar. Keraguan yang berlebih-lebihan dapat saja membuat orang menjadi kehilangan pegangan, sebab segala-galanya diragukan, hidupnya penuh dengan keragu-raguan….


EPISTEMOLOGI HUKUM ISLAM
Rahasia Hukum Islam (Asrarul Ahkam)
·        Menempa ketakwaan
·        Memupuk disiplin
·        Meraih kebahagiaan dunia dan akhirat

Epistemologi Potensi bawaan lahir manusia
1.  daya (nafsu) ofensif (quwwatul syhwat) yang mendorong untuk berbuat jahat (amarah)
2.  daya defensif (quwwatul ghadhab) yang mendorong untuk melakukan kebaikan (lawwamah)
3.  daya akal (quwwatul aql) yang menimbang antara kedua di atas (muthmainnah)

akal perlu dibimbing untuk bisa membuat keputusan terbaik yang mampu mengendalikan nafsu.


manusia dan hukum
upaya pencarian manusia untuk mengarungi hidup perlu dituntun agar terarah. Karenanya aturan hukum perlu mendampingi manusia agar betul selamat dunia akhirat.

Sumber dan metode hukum Islam
Sumber ada 2, yaitu asli (ilahiy, naqli, non ijtihadi, qat’iy) yang  meliputi Alquran dan Assunnah dan tabi’iy (insaniy, aqli, ijtihadi, zanniy) yang meliputi ijma’ qiyas dst.

Pengetahuan manusia  dibagi 2, yaitu tentang Tuhan (agama) dan hukum-hukum tuhan (segala yang ada). Pengetahuan itu merupakan ilmu yang bermula dari agama yang  kemudian dibuktikan oleh empirik. Berbicara soal pengetahuan berarti bicara epistemologi dengan berbagai pendekatan

Di barat epistemologi memiliki lima pendekatan yaitu empirisme, rasionalisme, fenomenologisme, intuisi dan empiris cum rasio.
Di Islam, epistmeologi ada 4, empirisme (alhissiyyah), rasional (aqliyah), intuisi (kasyfiyyah) dan otoritatif (sami’iyyah).

Pengetahuan tentang agama memiliki dua model, yaitu khabariyyah i’tiqadiyyah (info yang diyakini kebenarannya) ini dianggap otoritatif seperti tauhid dan Thalabiyyah i’tiqadiyah (info yang diteliti baru yakin) yang diangap non otoritatif seperti fiqh.

Alat memperoleh pengetahuan
Alat untuk memperoleh pengetahuan ada 3, qalbu, mata dan telinga. (lihat 16:78; 32:9; 17:36; 67:23; 46:26; 2:7; 7:179; 22:46; 25:49; 50:37; 10:42; 6:25;

Alat-alat yang mampu memperoleh pengetahuan harus diatur dalam sebuah tata azaz, jika tidak akan terjadi anomali. Untuk itu dikenal metode istinbath hukum. Dalam islam Metode istinbath hukum adalah naqliyah-aqliyah; yang terdiri dari; tajribah al-hissiyyah (empirik), al-mutawatirat (transmisi premis) dan istiqra’ (penelitian induktif). Istinbaht sah dilakukan dengan tetap mengacu pada prinsip hukum dalam Islam yaitu;

Prinsip hukum Islam
1.  Tauhid
2.  Keadilan
3.  Amar makruf nahi mungkar
4.  al-Hurriyyah (kebebasan)
5.  al-Musawah (egaliter)
6.  Ta’awun (tolong menolong)
7.  Tasammuh (toleransi)

Seluruh produk hukum yang digali dari teks oleh akal harus mengacu kepada hikmah hukum dalam Islam kerangka berikut ini;
Rahasia Hukum Islam (Asrarul Ahkam)
·        Menempa ketakwaan
·        Memupuk disiplin
·        Meraih kebahagiaan dunia dan akhirat

Karakteristik Hukum Islam (Thawabiul Ahkam)
·        Sempurna (perfect/kaffah); Sumber Quran dan Hadis dianggap mampu mengcover seluruh problem yang bakal muncul (Shaalih likulli zamaan) dengan bekal ijtihad (terhadap 96% ayat)
·        Elastisitas; Bisa lentur (beradaptasi) menghadapi rupa-rupa persoalan baru sepanjang tidak aneh-aneh. Contoh: Berbelanja di Mall.
·        Universal dan Dinamis; Bisa dipakai pada zaman dan tempat apapun. Contoh: Piagam Madinah
·        Sistematis; Hukum Islam secara keseluruhan saling berkaitan secara organis, tidak sepenggal-sepenggal atau partial yang kesemuanya mengarah kepada titik tata kosmos.
·        Taaqquli dan Taabbudi; integralitas antara rasio, spiritual dan empiri.

Ciri Khas Hukum Islam (Khashaaishul Ahkam)
·        Berdasarkan kepada wahyu yang dibangun diatas pondasi aqidah dan rasio
·        Memiliki sangsi dunia dan akhirat
·        Mengatur manusia untuk mencapai kesejahteraan hidup secara kolektif.

Prinsip Dasar Hukum Islam (Mabaadiul Ahkam)
·        Menghindari hal-hal yang akan menyempitkan dan memberatkan (Adamul Haraj) = Laa Dharara walaa Dhirar, Addiinu Yusrun, Yassiruu walaa Tuassiruu, Laa yukallfullaahu Nafsan illa wusaha, Yuridullahu bikumul yusra, Addharuuratu tubiihul Mahzhuraat.
·        Memperkecil beban/realistis (taqliilu takliif) = Sholat jika tidak bisa berdiri, duduk saja, tidur saja atau disholatkan = Yuridullahu anyukhaffifa angkum
·        Bertahap dalam pemberian beban (tadarruj) contoh proses pengharaman khamar.
·        Berorientasi kepada kemaslahatan manusia secara universal; Setiap hukum lahir karena memang dibutuhkan untuk hadir untuk menata kehidupan guna mencapai ketertiban dan keteraturan hidup masyarakat sendiri.= Al hukmu yaduuru maal illati
·        Bercita rasa keadilan bagi semua (tidak berpihak dalam memberi taklif).= Walaa yajrimannakum syana aanu qaumin ala alla tadiluu.
Dasar-dasar Hukum Islam (Da aimul Ahkaam)
·        Musyawarah
·        Kebebasan
·        Toleransi
·        Solidaritas

Tujuan Hukum dan Islam
Tidak ada tujuan lain kecuali mewujudkan kebaikan, ketentraman, kenyamanan dan keamanan buat manusia (kemaslahatan), baik secara individu maupun social (Maqaashidus Syariiah) Kemasalahatan yang terpokok meliputi agama, jiwa, akal, nasab dan ekonomi. Dalam hal ini ada skala prioritas. (1) Tujuan yang pokok/primer (Dharuriyyat) (2) Tujuan yang dibetul-betul dibutuhkan/sekunder (Hajjiyat) (3) Tujuan yang sekedar tertier/Tahsiniyyat.
1.  Memelihara Agama; D= Sholat; H=Sholat berjamaah; T=Sholat pakai sorban
2.  Memelihara Jiwa; D=Makan; H=Makan di Texas; T=Makan pakai sumpit
3.  Memelihara Akal; D=Menghindari Narkoba; H=Menghindari merokok; T=Tidak banyak angan-angan.
4.  Memelihara Keturunan; D=nikah; H=Mahar; T=Resepsi di gedung
5.  Memelihara Harta; D=Memperoleh harta secara legal; H= Memperoleh harta lewat konsinyasi ; T= Memperoleh harta tanpa ada unsur gharar sama sekali.

Problem muncul dalam menentukan kemasalahatan (apa parameternya). Ada 4 jalan dalam menemukan kemaslahatan; a. diterangkan secara zahir oleh teks. B. ditemukan secara batin oleh orang yang memiliki otoritas c. melalui penerawangan rasio. d. tekstual cum rasio. Dari sinilah polemic hokum berkecamuk. (telusuri polemic hokum dalam 5 bidang, yaitu social-budaya, politik pemerintahan, HAM, lingkungan dan Kesehatan).


Keutamaan Hukum Islam (Mazaaya atau Mahaasin Al-Ahkam)
·        Terletak pada adanya interelasi yang harmonis antara hukum (peraturan) dengan dimensi moral atau etika. Sehingga dalam Islam: Hukum berdampingan dengan moral. Bukan hukum lebih dipentingkan dari pada moral atau sebaliknya. Jika hukum menepikan moral akan melahirkan kezaliman, sedangkan moral tanpa hukum melahirkan ketidak pastian hukum (anarkis)…




Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi dalam Hukum Islam
Oleh H.M.Rakib, SH.,M.Ag. Pekanbaru- Riau
Apa hukum itu, secara esensi, kata ontologi
Dari mana asalnya, kata Epistemologi
Baimana menerapkannya, kata aksiologi
Memburu makrifah, sangat berarti,

P
          Menarik kajian tentang ontologi sebagai dasar ilmu berusaha untuk menjawab ”apa” yang menurut Aristoteles merupakan The First Philosophy dan merupakan ilmu mengenai esensi benda-benda. Ontologi sebagai bagian dari ilmu pengetahuan lebih berkonsentrasi untuk mengkaji tentang hakikat sesuatu. Kaitannya dengan hukum Islam, ontologi berusaha memaparkan asal-muasal (hakikat) dari hukum Islam itu sendiri. Dengan mengetehui ontologi dari hukum Islam maka akan berpengaruh terhadap proses selanjutnya, yaitu epistemologi untuk kemudian bermuara pada “aksi” (aksiologi).
Jangan seperti penafasiran Wahabi, yang terlalu kaku mengikat diri pada tels, atau nash Hukum Islam sebagai sebuah ilmu, memang  berangkat dari nash-nash (teks-teks) agama yang nilai kebenarannya memang absolut (mutlak). Hukum Islam hadir sebagai jawaban dari realitas kehidupan manusia yang menghendaki keteraturan dalam hidupnya. Dalam Islam, sandaran paling populer berkaitan dengan disiplin ilmu ini adalah wahyu Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril. Wahyu tersebut yang sampai saat ini terus eksis yang familiar disebut dengan Al-Quran. Berangkat dari nash utama tersebut kemudian muncul hadits Rasul, selain sebagai bayān (penjelas) juga sebagai penafsiran lebih jauh dalam konteks praktis.
Epistemologi atau teori pengetahuan ialah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengendalian-pengendalian, dan dasar-dasarnya serta pengertian mengenai pengetahuan yang dimiliki. Mula-mula manusia percaya bahwa dengan kekuatan pengenalannya ia dapat mencapai realitas sebagaimana adanya.[4] Dalam bahasa yang lebih lugas, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa epistemologi adalah the way atau cara untuk memperoleh pengetahuan. Epistemologi bergerak dalam kebebasan ruang (the free space) yang menjelaskan motode yang benar untuk menggapai ilmu yang dimaksud. Dengan hadirnya epistemologi yang jelas maka sebuah ilmu dapat difahami dengan benar, namun masih dalam tataran teori.
Epistemologi hukum Islam mengacu kepada usaha untuk memahami Islam secara benar melalui proses pembelajaran yang benar pula. Dalam bahasa lain, epistemologi (mungkin) masih berkaitan dengan “ijtihad” dalam konstelasi hukum Islam itu sendiri. Ijtihad merupakan sebuah metode untuk menentukan hukum yang terikat dengan nilai. Dalam konteks ini, epistemologi memang harus “berurusan” dengan nilai agar tidak keluar dari kaidah yang benar. Hal ini karena dalam beragama, umat manusia harus terus melaju dalam medan yang lurus (ash-shirāth al-mustaqīm). Keterikatan dengan nilai ini memang harus dijaga karena pada purnanya, hukum Islam akan memasuki wilayah praktis, bukan sekadar teoritis.
Ilmu merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia, karena dengan ilmu semua keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah.[5] Inilah yang dikenal dengan istilah aksiologi, yaitu bagaimana ilmu pengetahuan mampu menyelesaikan permasalahan yang hadir di tengah-tengah masyarakat. Substansi dari kegunaan ilmu akan benar-benar kentara ketika (mampu) memasuki wilayah aksiologis. Sehingga wajar jika kemudian ilmu-ilmu yang tidak banyak memberikan kontribusi terhadap kehidupan harus rela hati untuk dimasukkan ke “keranjang sampah”. Hal ini karena memang segala sesuatu, termasuk ilmu akan mengalami proses seleksi yang memang sangat bergantung kepada keadaan.
Secara aksiologis, hukum Islam tentu sangat berperan untuk memberikan jalan hidup yang benar bagi umat manusia. Dengan adanya hukum, umat Islam dapat menjalankan kehidupannya dengan baik dan terarah. Arah dan tujuan hidup tersebut pada akhirnya akan menuju kepada Tuhan Yang Maha Segalanya, Allah SWT. Belakangan, betapa banyak masalah kontemporer yang dihadapi umat Islam. Realitas ini harus dijawab dengan segenap kesiapan yang selaiknya tetap memberikan kesempatan umat untuk menerima jawaban tersebut. Sehingga pada akhirnya, hukum Islam akan terlihat akomodatif, tidak kaku alias rigid.
Hukum Islam, tidak kaku,
Asal pemahaman, tidak keliru
Dapat aturan yang bermutu
Tenang dan damai selalu.

[1] [Sebuah Pengantar]. Ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu dan Logika di Pondok Pesantren Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (PPM UII).
[2] Santriwan Ponpes UII dan Mahasiswa Jurusan Hukum Islam (Syarī’ah) Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Nomor Induk Mahasiswa (NIM): 09 421 021.
[3] Fakultas Syariah IAIN-SU, “Dasar-dasar Ilmu (ONTOLOGI-EPISTEMOLOGI-AKSIOLOGI)”, http://my.opera.com/mid-as/blog/2011/01/26/dasar-dasar-ilmu-ontologi-epistemologi-aksiologi, diakses Senin (23/01), pukul 14.08 Wib.
[4] Ibid.,
[5] Ibid., “Dasar-dasar…”

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook