Sunday, April 27, 2014

CACAT SISI KEPRIBADIAN M.Rakib, LPMP Riau Indonesia.2014




PENDIDIKAN YANG
CACAT SISI KEPRIBADIAN

M.Rakib, LPMP Riau Indonesia.2014

Media berbagi pengetahuan

CACAT EPISTIMOLOGI BERPNGARUH TERHADAP PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN

Menyontek atau membeli kunci jawaban bangi siswa SMA- SMP..sangat berpengaruh terhadap kepribadian yang dimiliki siswa atau seseorang melalui kebiasaan yang tidak baik  ia dilahirkan dan disekolahkan. Lalu apakah yang dapat ketahui tentang cacatnya kepribadian?
1. Pengertian Kepribadian
Kepribadian menunjuk pada pengaturan sikap-sikap seseorang untuk berbuat, berpikir, dan merasakan, khususnya apabila dia berhubungan dengan orang lain atau menanggapi suatu keadaan. Kepribadian mencakup kebiasaan, sikap, dan sifat yang dimiliki seseorang apabila berhubungan dengan orang lain. Konsep kepribadian merupakan konsep yang sangat luas, sehingga sulit untuk merumuskan satu definisi yang dapat mencakup keseluruhannya. Oleh karena itu, pengertian dari satu ahli dengan yang lainnya pun juga berbeda-beda. Namun demikian, definisi yang berbeda-beda tersebut saling melengkapi dan memperkaya pemahaman kita tentang konsep kepribadian. Apakah kepribadian itu? Secara umum yang dimaksud kepribadian adalah sifat hakiki yang tercermin pada sikap seseorang yang membedakan dengan orang lain. Untuk memahami lebih jauh mengenai pengertian kepribadian, berikut ini definisi yang dipaparkan oleh beberapa ahli.
a. M.A.W. Brower
Kepribadian adalah corak tingkah laku sosial yang meliputi corak kekuatan, dorongan, keinginan, opini, dan sikap-sikap seseorang.
b. Koentjaraningrat
Kepribadian adalah suatu susunan dari unsur-unsur akal dan jiwa yang menentukan tingkah laku atau tindakan seseorang.
c. Theodore R. Newcomb
Kepribadian adalah organisasi sikap-sikap yang dimiliki seseorang sebagai latar belakang terhadap perilaku.
d. Yinger
Kepribadian adalah keseluruhan perilaku dari seorang individu dengan sistem kecenderungan tertentu yang berinteraksi dengan serangkaian situasi.
e. Roucek dan Warren
Kepribadian adalah organisasi faktor-faktor biologis, psikologis, dan sosiologis yang mendasari perilaku seseorang. Dari pengertian yang diungkapkan oleh para ahli di atas, dapat kita simpulkan secara sederhana bahwa yang dimaksud kepribadian ( personality ) merupakan ciri-ciri dan sifat-sifat khas yang mewakili sikap atau tabiat seseorang, yang mencakup polapola pemikiran dan perasaan, konsep diri, perangai, dan mentalitas yang umumnya sejalan dengan kebiasaan umum.
2. Unsur-Unsur dalam Kepribadian
Kepribadian seseorang bersifat unik dan tidak ada duanya. Unsur-unsur yang memengaruhi kepribadian seseorang itu adalah pengetahuan, perasaan, dan dorongan naluri.
a. Pengetahuan
Pengetahuan seseorang bersumber dari pola pikir yang rasional, yang berisi fantasi, pemahaman, dan pengalaman mengenai bermacam-macam hal yang diperolehnya dari lingkungan yang ada di sekitarnya. Semua itu direkam dalam otak dan sedikit demi sedikit diungkapkan dalam bentuk perilakunya di masyarakat.
b. Perasaan
Perasaan merupakan suatu keadaan dalam kesadaran manusia yang menghasilkan penilaian positif atau negatif terhadap sesuatu atau peristiwa tertentu. Perasaan selalu bersifat subjektif, sehingga penilaian seseorang terhadap suatu hal atau kejadian akan berbeda dengan penilaian orang lain. Contohnya penilaian terhadap jam pelajaran yang kosong. Mungkin kamu menganggap sebagai hal yang tidak menyenangkan karena merasa rugi tidak memperoleh pelajaran. Lain halnya dengan penilaian temanmu yang menganggap sebagai hal yang menyenangkan. Perasaan mengisi penuh kesadaran manusia dalam hidupnya.
c. Dorongan Naluri
Dorongan naluri merupakan kemauan yang sudah menjadi naluri setiap manusia. Hal itu dimaksudkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup manusia, baik yang bersifat rohaniah maupun jasmaniah. Sedikitnya ada tujuh macam dorongan naluri, yaitu untuk mempertahankan hidup, seksual, mencari makan, bergaul dan berinteraksi dengan sesama manusia, meniru tingkah laku sesamanya, berbakti, serta keindahan bentuk, warna, suara, dan gerak.
3. Faktor-Faktor yang Membentuk Kepribadian
Secara umum, perkembangan kepribadian dipengaruhi oleh lima faktor, yaitu warisan biologis, warisan lingkungan alam, warisan sosial, pengalaman kelompok manusia, dan pengalaman unik.
a. Warisan Biologis (Heredity)
Warisan biologis memengaruhi kehidupan manusia dan setiap manusia mempunyai warisan biologis yang unik, berbeda dari orang lain. Artinya tidak ada seorang pun di dunia ini yang mempunyai karakteristik fisik yang sama persis dengan orang lain, bahkan anak kembar sekalipun. Faktor keturunan berpengaruh terhadap keramah-tamahan, perilaku kompulsif (terpaksa dilakukan), dan kemudahan dalam membentuk kepemimpinan, pengendalian diri, dorongan hati, sikap, dan minat. Warisan biologis yang terpenting terletak pada perbedaan intelegensi dan kematangan biologis. Keadaan ini membawa pengaruh pada kepribadian seseorang. Tetapi banyak ilmuwan berpendapat bahwa perkembangan potensi warisan biologis dipengaruhi oleh pengalaman sosial seseorang. Bakat memerlukan anjuran, pengajaran, dan latihan untuk mengembangkan diri melalui kehidupan bersama dengan manusia lainnya.
b. Warisan Lingkungan Alam (Natural Environment)
Perbedaan iklim, topografi, dan sumber daya alam menyebabkan manusia harus menyesuaikan diri terhadap alam. Melalui penyesuaian diri itu, dengan sendirinya pola perilaku masyarakat dan kebudayaannyapun dipengaruhi oleh alam. Misalnya orang yang hidup di pinggir pantai dengan mata pencaharian sebagai nelayan mempunyai kepribadian yang berbeda dengan orang yang tinggal di daerah pertanian. Mereka memiliki nada bicara yang lebih keras daripada orang-orang yang tinggal di daerah pertanian, karena harus menyamai dengan debur suara ombak. Hal itu terbawa dalam kehidupan sehari-hari dan telah menjadi kepribadiannya.
c. Warisan Sosial (Social Heritage) atau Kebudayaan
Kita tahu bahwa antara manusia, alam, dan kebudayaan mempunyai hubungan yang sangat erat dan saling memengaruhi. Manusia berusaha untuk mengubah alam agar sesuai dengan kebudayaannya guna memenuhi kebutuhan hidup. Misalnya manusia membuka hutan untuk dijadikan lahan pertanian. Sementara itu kebudayaan memberikan andil yang besar dalam memberikan warna kepribadian anggota masyarakatnya.
d. Pengalaman Kelompok Manusia (Group Experiences)
Kehidupan manusia dipengaruhi oleh kelompoknya. Kelompok manusia, sadar atau tidak telah memengaruhi anggota-anggotanya, dan para anggotanya menyesuaikan diri terhadap kelompoknya. Setiap kelompok mewariskan pengalaman khas yang tidak diberikan oleh kelompok lain kepada anggotanya, sehingga timbullah kepribadian khas anggota masyarakat tersebut.
e. Pengalaman Unik ( Unique Experience )
Setiap orang mempunyai kepribadian yang berbeda dengan orang lain, walaupun orang itu berasal dari keluarga yang sama, dibesarkan dalam kebudayaan yang sama, serta mempunyai lingkungan fisik yang sama pula. Mengapa demikian? Walaupun mereka pernah mendapatkan pengalaman yang serupa dalam beberapa hal, namun berbeda dalam beberapa hal lainnya. Mengingat pengalaman setiap orang adalah unik dan tidak ada pengalaman siapapun yang secara sempurna menyamainya.
Menurut Paul B. Horton, pengalaman tidaklah sekedar bertambah, akan tetapi menyatu. Pengalaman yang telah dilewati memberikan warna tersendiri dalam kepribadian dan menyatu dalam kepribadian itu, setelah itu baru hadir pengalaman berikutnya.
Selain kelima faktor pembentuk kepribadian yang telah kita bahas di atas, F.G. Robbins dalam Sumadi Suryabrata (2003), mengemukakan ada lima faktor yang menjadi dasar kepribadian, yaitu sifat dasar, lingkungan prenatal, perbedaan individual, lingkungan, dan motivasi.
a. Sifat Dasar
Sifat dasar merupakan keseluruhan potensi yang dimiliki seseorang yang diwarisi dari ayah dan ibunya. Dalam hal ini, Robbins lebih menekankan pada sifat biologis yang merupakan salah satu hal yang diwariskan dari orang tua kepada anaknya.
b. Lingkungan Prenatal
Lingkungan prenatal merupakan lingkungan dalam kandungan ibu. Pada periode ini individu mendapatkan pengaruh tidak langsung dari ibu. Maka dari itu, kondisi ibu sangat menentukan kondisi bayi yang ada dalam kandungannya tersebut, baik secara fisik maupun secara psikis. Banyak peristiwa yang sudah ada membuktikan bahwa seorang ibu yang pada waktu mengandung mengalami tekanan psikis yang begitu hebatnya, biasanya pada saat proses kelahiran bayi ada gangguan atau dapat dikatakan tidak lancar.
c. Perbedaan Individual
Perbedaan individu merupakan salah satu faktor yang memengaruhi proses sosialisasi sejak lahir. Anak tumbuh dan berkembang sebagai individu yang unik, berbeda dengan individu lainnya, dan bersikap selektif terhadap pengaruh dari lingkungan.
d. Lingkungan
Lingkungan meliputi segala kondisi yang ada di sekeliling individu yang memengaruhi proses sosialisasinya. Proses sosialisasi individu tersebut akan berpengaruh pada kepribadiannya.
e. Motivasi
Motivasi adalah dorongan-dorongan, baik yang datang dari dalam maupun luar individu sehingga menggerakkan individu untuk berbuat atau melakukan sesuatu. Dorongandorongan inilah yang akan membentuk kepribadian individu sebagai warna dalam kehidupan bermasyarakat.
4. Teori-Teori Perkembangan Kepribadian
Ada beberapa teori yang membahas mengenai perkembangan kepribadian dalam proses sosialisasi. Teori-teori tersebut antara lain Teori Tabula Rasa, Teori Cermin Diri, Teori Diri Antisosial, Teori Ralph Conton, dan Teori Subkultural Soerjono Soekanto.
a. Teori Tabula Rasa
Pada tahun 1690, John Locke mengemukakan Teori Tabula Rasa dalam bukunya yang berjudul " An Essay Concerning Human Understanding." Menurut teori ini, manusia yang baru lahir seperti batu tulis yang bersih dan akan menjadi seperti apa kepribadian seseorang ditentukan oleh pengalaman yang didapatkannya. Teori ini mengandaikan bahwa semua individu pada waktu lahir mempunyai potensi kepribadian yang sama. Kepribadian seseorang setelah itu semata-mata hasil pengalaman-pengalaman sesudah lahir (Haviland, 1989:398). Perbedaan pengalaman yang dialami seseorang itulah yang menyebabkan adanya bermacam-macam kepribadian dan adanya perbedaan kepribadian antara individu yang satu dengan individu yang lain.
Teori tersebut tidak dapat diterima seluruhnya. Kita tahu bahwa setiap orang memiliki kecenderungan khas sebagai warisan yang dibawanya sejak lahir yang akan memengaruhi kepribadiannya pada waktu dewasa. Akan tetapi juga harus diingat bahwa warisan genetik hanya menentukan potensi kepribadian setiap orang. Tumbuh dan berkembangnya potensi itu tidak seperti garis lurus, namun ada kemungkinan terjadi penyimpangan. Kepribadian seseorang tidak selalu berkembang sesuai dengan potensi yang diwarisinya.
Warisan genetik itu memang memengaruhi kepribadian, tetapi tidak mutlak menentukan sifat kepribadian seseorang. Pengalaman hidup, khususnya pengalaman-pengalaman yang diperoleh pada usia dini, sangat menentukan kepribadian individu.
b. Teori Cermin Diri
Teori Cermin Diri (The Looking Glass Self) ini dikemukakan oleh Charles H. Cooley . Teori ini merupakan gambaran bahwa seseorang hanya bisa berkembang dengan bantuan orang lain. Setiap orang menggambarkan diri mereka sendiri dengan cara bagaimana orang-orang lain memandang mereka. Misalnya ada orang tua dan keluarga yang mengatakan bahwa anak gadisnya cantik. Jika hal itu sering diulang secara konsisten oleh orang-orang yang berbedabeda, akhirnya gadis tersebut akan merasa dan bertindak seperti seorang yang cantik. Teori ini didasarkan pada analogi dengan cara bercermin dan mengumpamakan gambar yang tampak pada cermin tersebut sebagai gambaran diri kita yang terlihat orang lain.
Gambaran diri seseorang tidak selalu berkaitan dengan faktafakta objektif. Misalnya, seorang gadis yang sebenarnya cantik, tetapi tidak pernah merasa yakin bahwa dia cantik, karena mulai dari awal hidupnya selalu diperlakukan orang tuanya sebagai anak yang tidak menarik. Jadi, melalui tanggapan orang lain, seseorang menentukan apakah dia cantik atau jelek, hebat atau bodoh, dermawan atau pelit, dan yang lainnya.
Ada tiga langkah dalam proses pembentukan cermin diri.
1) Imajinasi tentang pandangan orang lain terhadap diri seseorang, seperti bagaimana pakaian atau tingkah lakunya di mata orang lain.
2) Imajinasi terhadap penilaian orang lain tentang apa yang terdapat pada diri masing-masing orang. Misalnya, pakaian yang dipakai.
3) Perasaan seseorang tentang penilaian-penilaian itu, seperti bangga, kecewa, gembira, atau rendah diri.
Meskipun demikian, teori ini memiliki dua kelemahan yang menjadi sorotan banyak pihak. Apa sajakah itu?
Pertama, pandangan Cooley dinilai lebih cocok untuk memahami kelompok tertentu saja di dalam masyarakat yang memang berbeda dengan kelompok-kelompok lainnya. Misalnya anak-anak belasan tahun, memang peka menerima pendapat orang lain tentang dirinya. Sedangkan orang dewasa tidak mengacuhkan atau menghiraukan pandangan orang lain, apabila memang tidak cocok dengan dirinya.
Kedua, teori ini dianggap terlalu sederhana. Cooley tidak menjelaskan tentang suatu kepribadian dewasa yang bisa menilai tingkah laku orang lain dan juga dirinya.
c. Teori Diri Antisosial
Teori ini dikemukakan oleh Sigmund Freud . Dia berpendapat bahwa diri manusia mempunyai tiga bagian, yaitu id, superego, dan ego.
1) Id adalah pusat nafsu serta dorongan yang bersifat naluriah, tidak sosial, rakus, dan antisosial.
2) Ego adalah bagian yang bersifat sadar dan rasional yang mengatur pengendalian superego terhadap id. Ego secara kasar dapat disebut sebagai akal pikiran.
3) Superego adalah kompleks dari cita-cita dan nilai-nilai sosial yang dihayati seseorang serta membentuk hati nurani atau disebut sebagai kesadaran sosial.
Gagasan pokok teori ini adalah bahwa masyarakat atau lingkungan sosial selamanya akan mengalami konflik dengan kedirian dan selamanya menghalangi seseorang untuk mencapai kesenangannya. Masyarakat selalu menghambat pengungkapan agresi, nafsu seksual, dan dorongan-dorongan lainnya atau dengan kata lain, id selalu berperang dengan superego . Id biasanya ditekan tetapi sewaktu-waktu ia akan lepas menantang superego, sehingga menyebabkan beban rasa bersalah yang sulit dipikul oleh diri. Kecemasan yang mencekam diri seseorang itu dapat diukur dengan bertitik tolak pada jauhnya superego berkuasa terhadap id dan ego . Dengan cara demikian, Freud menekankan aspek-aspek tekanan jiwa dan frustasi sebagai akibat hidup berkelompok.
d. Teori Ralph dan Conton
Teori ini mengatakan bahwa setiap kebudayaan menekankan serangkaian pengaruh umum terhadap individu yang tumbuh di bawah kebudayaan itu. Pengaruh-pengaruh ini berbeda antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain, tetapi semuanya merupakan bagian dari pengalaman bagi setiap orang yang termasuk dalam masyarakat tertentu (Horton, 1993:97). Setiap masyarakat akan memberikan pengalaman tertentu yang tidak diberikan oleh masyarakat lain kepada anggotanya. Dari pengalaman sosial itu timbul pembentukan kepribadian yang khas dari masyarakat tersebut. Selanjutnya dari pembentukan kepribadian yang khas ini kita mengenal ciri umum masyarakat tertentu sebagai wujud kepribadian masyarakat tersebut.
e. Teori Subkultural Soerjono Soekanto
Teori ini mencoba melihat kaitan antara kebudayaan dan kepribadian dalam ruang lingkup yang lebih sempit, yaitu kebudayaan khusus (subcultural). Dia menyebutkan ada beberapa tipe kebudayaan khusus yang memengaruhi kepribadian, yaitu sebagai berikut.
1) Kebudayaan Khusus Atas Dasar Faktor Kedaerahan
Di sini dijumpai kepribadian yang berbeda dari individuindividu yang merupakan anggota suatu masyarakat tertentu, oleh karena masing-masing tinggal di daerahdaerah yang berlainan dengan kebudayaan khusus yang berbeda pula.
2) Cara Hidup di Kota dan di Desa yang Berbeda
Ciri khas yang dapat dilihat pada anggota masyarakat yang hidup di kota besar adalah sikap individualistik. Sedangkan orang desa lebih menampakkan diri sebagai masyarakat yang mempunyai sikap gotong royong yang sangat tinggi.
3) Kebudayaan Khusus Kelas Sosial
Dalam kenyataan di masyarakat, setiap kelas sosial mengembangkan kebudayaan yang saling berbeda, yang pada akhirnya menghasilkan kepribadian yang berbeda pula pada masing-masing anggotanya. Misalnya kebiasaan orang-orang yang berasal dari kelas atas dalam mengisi waktu liburannya ke luar negeri. Kebiasaan tersebut akan menghasilkan kepribadian yang berbeda dengan kelas sosial lainnya di masyarakat.
4) Kebudayaan Khusus Atas Dasar Agama
Agama juga mempunyai pengaruh yang besar untuk membentuk kepribadian individu. Adanya mazhabmazhab tertentu dalam suatu agama dapat melahirkan kepribadian yang berbeda-beda di kalangan anggotaanggota mazhab yang berlainan itu.
5) Kebudayaan Khusus Atas Dasar Pekerjaan atau Keahlian
Pekerjaan atau keahlian yang dimiliki seseorang juga mempunyai pengaruh terhadap kepribadiannya. Contohnya kepribadian seorang guru pasti berbeda dengan militer. Profesi-profesi tersebut mempunyai cara yang berbeda dalam mendidik anak dan cara bergaul.
5. Tahap-Tahap Perkembangan Kepribadian
Tahap-tahap perkembangan kepribadian setiap individu tidak dapat disamakan satu dengan yang lainnya. Tetapi secara umum dapat dirumuskan sebagai berikut.
a. Fase Pertama
Fase pertama dimulai sejak anak berusia satu sampai dua tahun, ketika anak mulai mengenal dirinya sendiri. Pada fase ini, kita dapat membedakan kepribadian seseorang menjadi dua bagian penting, yaitu sebagai berikut.
1) Bagian yang pertama berisi unsur-unsur dasar atas berbagai sikap yang disebut dengan attitudes yang kurang lebih bersifat permanen dan tidak mudah berubah di kemudian hari. Unsur-unsur itu adalah struktur dasar kepribadian (basic personality structure) dan capital personality . Kedua unsur ini merupakan sifat dasar dari manusia yang telah dimiliki sebagai warisan biologis dari orang tuanya.
2) Bagian kedua berisi unsur-unsur yang terdiri atas keyakinan-keyakinan atau anggapan-anggapan yang lebih fleksibel yang sifatnya mudah berubah atau dapat ditinjau kembali di kemudian hari.
b. Fase Kedua
Fase ini merupakan fase yang sangat efektif dalam membentuk dan mengembangkan bakat-bakat yang ada pada diri seorang anak. Fase ini diawali dari usia dua sampai tiga tahun. Fase ini merupakan fase perkembangan di mana rasa aku yang telah dimiliki seorang anak mulai berkembang karakternya sesuai dengan tipe pergaulan yang ada di lingkungannya, termasuk struktur tata nilai maupun struktur budayanya.
Fase ini berlangsung relatif panjang hingga anak menjelang masa kedewasaannya sampai kepribadian tersebut mulai tampak dengan tipe-tipe perilaku yang khas yang tampak dalam hal-hal berikut ini.
1) Dorongan-Dorongan (Drives)
Unsur ini merupakan pusat dari kehendak manusia untuk melakukan suatu aktivitas yang selanjutnya akan membentuk motif-motif tertentu untuk mewujudkan suatu keinginan. Drivers ini dibedakan atas kehendak dan nafsu-nafsu. Kehendak merupakan dorongan-dorongan yang bersifat kultural, artinya sesuai dengan tingkat peradaban dan tingkat perekonomian seseorang. Sedangkan nafsu-nafsu merupakan kehendak yang terdorong oleh kebutuhan biologis, misalnya nafsu makan, birahi (seksual), amarah, dan yang lainnya.
2) Naluri (Instinct)
Naluri merupakan suatu dorongan yang bersifat kodrati yang melekat dengan hakikat makhluk hidup. Misalnya seorang ibu mempunyai naluri yang kuat untuk mempunyai anak, mengasuh, dan membesarkan hingga dewasa. Naluri ini dapat dilakukan pada setiap makhluk hidup tanpa harus belajar lebih dahulu seolah-olah telah menyatu dengan hakikat makhluk hidup.
3) Getaran Hati (Emosi)
Emosi atau getaran hati merupakan sesuatu yang abstrak yang menjadi sumber perasaan manusia. Emosi dapat menjadi pengukur segala sesuatu yang ada pada jiwa manusia, seperti senang, sedih, indah, serasi, dan yang lainnya.
4) Perangai
Perangai merupakan perwujudan dari perpaduan antara hati dan pikiran manusia yang tampak dari raut muka maupun gerak-gerik seseorang. Perangai ini merupakan salah satu unsur dari kepribadian yang mulai riil, dapat dilihat, dan diidentifikasi oleh orang lain.
5) Inteligensi (Intelligence Quetient-IQ)
Inteligensi adalah tingkat kemampuan berpikir yang dimiliki oleh seseorang. Sesuatu yang termasuk dalam intelegensi adalah IQ, memori-memori pengetahuan, serta pengalaman-pengalaman yang telah diperoleh seseorang selama melakukan sosialisasi.
6) Bakat (Talent)
Bakat pada hakikatnya merupakan sesuatu yang abstrak yang diperoleh seseorang karena warisan biologis yang diturunkan oleh leluhurnya, seperti bakat seni, olahraga, berdagang, berpolitik, dan lainnya. Bakat merupakan sesuatu yang sangat mendasar dalam mengembangkan keterampilan-keterampilan yang ada pada seseorang. Setiap orang memiliki bakat yang berbeda-beda, walaupun berasal dari ayah dan ibu yang sama.
c. Fase Ketiga
Pada proses perkembangan kepribadian seseorang, fase ini merupakan fase terakhir yang ditandai dengan semakin stabilnya perilaku-perilaku yang khas dari orang tersebut.
Pada fase ketiga terjadi perkembangan yang relatif tetap, yaitu dengan terbentuknya perilaku-perilaku yang khas sebagai perwujudan kepribadian yang bersifat abstrak. Setelah kepribadian terbentuk secara permanen, maka dapat diklasifikasikan tiga tipe kepribadian, yaitu kepribadian normatif, kepribadian otoriter, dan kepribadian perbatasan.
1) Kepribadian Normatif ( Normative Man )
Kepribadian ini merupakan tipe kepribadian yang ideal, di mana seseorang mempunyai prinsip-prinsip yang kuat untuk menerapkan nilai-nilai sentral yang ada dalam dirinya sebagai hasil sosialisasi pada masa sebelumnya. Seseorang memiliki kepribadian normatif apabila terjadi proses sosialisasi antara perlakuan terhadap dirinya dan perlakuan terhadap orang lain sesuai dengan tata nilai yang ada di dalam masyarakat. Tipe ini ditandai dengan kemampuan menyesuaikan diri yang sangat tinggi dan dapat menampung banyak aspirasi dari orang lain.
2) Kepribadian Otoriter ( Otoriter Man )
Tipe ini terbentuk melalui proses sosialisasi individu yang lebih mementingkan kepentingan diri sendiri daripada kepentingan orang lain. Situasi ini sering terjadi pada anak tunggal, anak yang sejak kecil mendapat dukungan dan perlindungan yang lebih dari lingkungan orang-orang di sekitarnya, serta anak yang sejak kecil memimpin kelompoknya.
3) Kepribadian Perbatasan ( "text-align: justify;">Kepribadian ini merupakan tipe kepribadian yang relatif labil di mana ciri khas dari prinsip-prinsip dan perilakunya seringkali mengalami perubahan-perubahan, sehingga seolah-olah seseorang itu mempunyai lebih dari satu corak kepribadian. Seseorang dikatakan memiliki kepribadian perbatasan apabila orang ini memiliki dualisme budaya, misalnya karena proses perkawinan atau karena situasi tertentu hingga mereka harus mengabdi pada dua struktur budaya masyarakat yang berbeda.


Pendidikan yang yang hanya mengandalkan kelulusan akademis, tidak bermanfaat secara sosiologis, merupakan pendidikan yang cacat secara epistimologis. Dalam bidang keagamaan juga demikian, adanya kekerasan yang ditanamkan dalam fiqih keagamaan, sampai mirip dengan prinsip teroris, merupakan hal yang cacat secara epistimologis. Misalnya banyak pemikir kontemporer memandang ushul fiqh klasik tanpa cacat epistemologis apapun, karena kajian metodelogi klasik yang dikerangkakan ulama’ masa dahulu memang sudah tuntas dan sempurna, sehingga kewajiban umat yang datang kemudian bukan untuk mengubahnya, tetapi mengikuti dan melaksanakannya.

Pemikiran Ushul Fiqh Kontemporer
A. 
Di sinilah cendekiawan muslim modern melontarkan kritikan, mereka menganggap sebuah metodelogi yang sejatinya lahir dari publik intelektualitas manusia yang nisbi telah diposisikan sebagai suatu yang mutlak tak terbantah. Mestinya metodelogi islam klasik diletakkan dalam konfigurasi (bentuk wujud) dan konteks umum pemikiran pada saat formatifnya. Sebab, fakta akademi kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan klasik tersebut.

B
Titik tolak pemikiran  tentang perlunya metodologi baru dalam memahami teks Al-Qur’an dimulai dengan penelitian historisnya mengenai evolusi perkembangan empat prinsip dasar (Al-Qur’an, Sunnah, Ijtihad dan Ijma’), yang diungkapkannya dalam buku Islamic Methodology in History (1965). Pandangan Fazlur Rahman ini dilatarbelakangi oleh pergumulannya dalam upaya-upaya pembaruan (hukum) Islam di Pakistan, yang kemudian mengantarkannya pada agenda yang lebih penting lagi; yaitu perumusan kembali penafsiran Al-Qur’an yang merupakan titik-pusat ijtihadnya
Dalam kajian historisnya ini, Fazlur Rahman menemukan adanya hubungan organis antara sunnah ideal Nabi s.a.w. dan aktifitas ijtihad-ijma’. Bagi Fazlur Rahman, sunnah kaum Muslim awal merupakan hasil ijtihad personal, melalui instrumen qiyas, terhadap sunnah ideal Nabi s.a.w. yang kemudian menjelma menjadi ijma’ atau sunnah yang hidup. Di sini, secara tegas Fazlur Rahman menarik garis yang membedakan antara sunnah ideal Nabi s.a.w. di satu sisi, dengan sunnah hidup kaum Muslim awal atau ijma’ sahabat di sisi lain.

Dengan demikian, ijma’ pada asalnya tidaklah statis, melainkan berkembang secara demokratis, kreatif dan berorientasi ke depan. Namun demikian, karena keberhasilan gerakan penulisan hadis secara besar-besaran menggantikan proses sunnah-ijtihad-ijma’ tersebut, proses ijtihad-ijma’ terjungkirbalikkan menjadi ijma’-ijtihad. Akibatnya, ijma’ yang tadinya berorientasi ke depan menjadi statis dan mundur ke belakang: mengunci rapat kesepakatankesepakatan masa lampau. Puncak dari proses reifikasi (proses pembendaan, pembakuan) ini adalah tertutupnya pintu ijtihad, sekitar abad ke empat Hijrah atau sepuluh masehi.
Dari hasil kajian historisnya ini, Fazlur Rahman kemudian menolak doktrin tertutupnya pintu ijtihad, ataupun pemilahannya ke dalam ijtihad muthlaq, ijtihad fil masail, dan ijtihad fil madzhab. Fazlur Rahman mengkritik doktrin ini, menurutnya “ijtihad bukanlah hak privilege eksklusif golongan tertentu dalam masyarakat Muslim”, dia juga menolak kualifikasi ganjil mengenai ilmu gaib misterius sebagai syarat ijtihad; kemudian dia mengajukan perlunya memperluas cakupan ranah ijtihad klasik. Hasilnya adalah satu kesimpulan Fazlur Rahman: ijtihad baik secara teoritis maupun secara praktis senantiasa terbuka dan tidak pernah tertutup.

Sementara itu untuk mengantisipasi pertumbuhan ijtihad yang liar, sewenang-wenang, serampangan dan tidak bertanggung jawab, Fazlur Rahman mengajukan metodologi tafsirnya, yang disusun belakangan pada periode Chicago. Dalam konteks inilah metodologi tafsir Fazlur Rahman yang dipandangnya sebagai “the correct prosedure for understanding the Qur’an” atau “ the correct method of Interpreteting The Qur’an” memainkan peran sentral dalam seluruh bangunan pemikirannya. Metodologi tafsir Fazlur Rahman merupakan jantung ijtihadnya sendiri. Hal ini selain didasarkan pada fakta bahwa Al-Qur’an sebagai sumber pokok ijtihad, juga yang lebih penting lagi adalah didasarkan pada pandangannya bahwa seluruh bangunan syari’ah harus diperiksa di bawah sinaran bukti Al-Qur’an:
Seluruh kandungan syari’ah mesti menjadi sasaran penilikan yang segar dalam sinaran bukti Al-Qur’an. Suatu penafsiran Al-Qur’an yang sistematis dan berani harus dilakukan.”

Akan tetapi, persoalannya terleetak pada kemampuan kaum Muslim untuk mengkonsepsi Al-Qur’an secara benar. Fazlur Rahman menegaskan:
“..bukan hanya kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah sebagai mana yang dilakukan pada masa lalu, tetapi suatu pemahaman terhadap keduanyalah yang akan memberikan pimpinan kepada kita dewasa ini. Kembali ke masa lampau secara sederhana, tentu saja kembali keliang kubur. Dan ketika kita kembali kepada generasi Muslim awal, pasti kita temui pemahaman yang hidup terhadap Al-Qur’an dan sunnah.”
b.      Muhammad Syahrur
Syahrur mengusung satu model, yaitu kembali ke teks (return to texts). Apa yang dimaksud dengan kembali ke teks menurut Syahrur adalah upaya membaca kitab suci dengan perangkat epistemologi yang diturunkan dari teks suci. Dalam pembacaannya, Syahrur mendasarkan pada asumsi-asumsi dasar yang dapat kita lihat pada Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-qur’an bahwa ”Jika Islam bersifat relevan pada setiap ruang dan waktu, maka harus dipahami bahwa al-Kitab juga diturunkan kepada kita yang hidup dua puluh ini, seolah-olah Nabi Muhammad baru saja wafat dan telah menyampaikan sendiri kepada kita.”. Oleh sebab itu, Syahrur memahami al-Kitab dengan nalar zaman abad dua puluh sehingga al-Kitab dapat merefleksikan problemtika sosial, ekonomi dan politik sesuai zamannya.

Disini, Syahrur lebih bermain pada linguistik dengan bersandar pada tiga pondasi, yaitu metode linguistik Abu Ali al-Farisi, perspektif linguistik Ibnu Jinni dan Abdul Qadir al-Jurjani. Hingga menghasilkan produk akhir ilmu linguistik modern yang menyatakan bahwa bahasa manapun tidak memiliki karakter sinonim.
Syahrur membedakan istilah al-Kitab dan Al-qur’an. Al-Kitab ialah sekumpulan tema yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad yang terdiri dari ayat-ayat dalam mushaf. Sedangkan Al-qur’an ialah ayat-ayat mutasyabihat yang sering dinamakan as-sab’ al-masani. Perbedaan antara al-kitab dan al-qur’an sejajar dengan perbedaan konsep Nubuwwah (kenabian) dan al-Risalah  (kerasulan). Yang pertama menunjukkan perbedaan antara realitas dan khayalan atau ilusi, sedangkan yang kedua berisi hukum dan aturan tingkah laku. Dengan kata lain yang pertama bersifat objektif dan independen sementara yang kedua bersifat subjektif dan tergantung pada pengetahuan manusia.

Metode ijtihadnya antara lain, Syahrur hanyalah merupakan pseudo ijtihad sebagai tandingan dalam mendekonstruksi hukum-hukum Islam, mengesampingkan keterangan muhkamat dan tsawabit menjadi mutasyabihat dan mutaghayyirat.
Syahrur telah keluar dari epistemologi Islam yang mengugat dan mendekonstruksi ushul fiqih dengan epistemologi berlandaskan worldview (pandangan dunia) Barat yang mengedepankan rasionalitas yang tunduk pada realitas dengan pendekatan hermeneutika. Sunnah Nabi saw. yang selama 15 abad diyakini sebagai sumber hukum, sebagai bayan Al-qur’an dinegasikan posisinya oleh akal yang mempertimbangkan kondisi sosial. Sumber hukum Islam lainnya seperti Ijma’ pun didekonstruksi. Selain itu, Ia pun menggugurkan konsep qiyas, yang dikatakannya mengacu dan membawa masalah ke masa lampau serta tidak berarti sama sekali. Karena menurutnya, dia berulang kali katakan, bahwa penerapan hukum pada alam realitas adalah aplikasi relatif-historis. Prinsip yang ia gunakan hanya akal pikiran dengan realitas objektif.

Buah dari pemikirannya tersebut melahirkan sebuah teori yang aplikatif, yakni nazhariyyah al-hudud (limit theory/teori batas). Teori batas ini terdiri dari batas bawah (al-hadd al-adna/minimal) dan batas atas (al-hadd al-a’la/maksimal). Syahrur mendasarkan konsepnya dalam menyusun teori batas ini pada Alqur’an surat an-Nisa’ ayat 13-14. Ia membagi  enam bentuk dalam teori batas yang dapat digambarkan dalam bentuk matematis, yaitu Halah al-had al-a’la (posisi batas maksimal), Halah al-hadd al-adna (posisi batas minimal), Halah al-haddayn al-a’la wa al-adna ma’an (posisi batas maksimal bersamaan dengan batas minimal), Halah al-mustaqim (posisi lurus tanpa alternatif), Halah al-hadd al-a’la li hadd al-muqarib duna al-mamas bi al-hadd abadan (posisi batas maksimal cenderung mendekat tanpa bersentuhan), dan Halah al-hadd al-a’la mujaban wa al-hadd al-adna saliban (posisi batas maksimal positif dan batas minimal negatif).

Wilayah ijitihad manusia, menurut Syahrur berada di antara batas minimum dan maksimum itu tadi. Elastisitas dan fleksibilitas hukum Allah tadi dapat digambarkan seperti posisi pemain bola yang bebas bermain bola, asalkan tetap berada pada garis-garis lapangan yang telah ada. Pendek kata, selagi seorang muslim masih berada dalam wilayah hudud-u-lLah (ketentuan Allah antara batas minimum dan maksimum tadi), maka dia tidak dapat dianggap keluar dari hukum Allah.
Contoh aplikasi dalam teori batas mengenai pakaian dan aurat wanita. ketika menafsirkan QS. [24]: 31, “Atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita”. Syahrur mengartikan aurat dengan apa yang membuat seseorang malu apabila terlihat dan aurat tidak berkaitan dengan halal haram, baik dari dekat maupun jauh. Ia membuat contoh, “Apabila ada orang yang botak dan tidak suka orang melihat kepalanya yang botak, maka dia akan memakai rambut palsu, sebab ia menganggap botak kepalanya sebagai aurat. Kemudian ia mengutip hadits Nabi, “Barang siapa menutupi aurat mukmin, niscaya Allah akan menutupi auratnya.” Dia berkomentar, menutupi aurat mukmin dalam hadits itu, bukan berarti meletakkan baju padanya agar tidak terlihat. Maka ia menyimpulkan bahwa aurat berangkat dari rasa malu, yakni ketidaksukaan seseorang ketika terlihatnya sesuatu, baik dari tubuhnya maupun perilakunya. Sedang malu menurutnya relatif, berubah-ubah sesuai dengan adat istiadat, zaman, dan tempat. Maka ketika ada ayat yang menyuruh memakai jilbab dalam QS. [33]: 59.
c.       Hasan al-Turabi

Hasan al-Turabi mengusulkan perluasan makna qiyās dan istishāb. Menurut al-Turabi, sebenarnya pengertian qiyās luas sekali, mencakup makna lepas (‘afw) dan makna teknis yang harus dipatuhi oleh para ahli fikih dalam menyamakan hukum far` dengan hukum ashl karena memiliki alasan hukum (‘illah) yang serupa, syarat hukum asal, hukum cabang, dan tujuan hukum. Berbagai persoalan khusus (juz’iyat) dalam qiyās harus diperluas dengan menentukan sekumpulan nash dan mengambil konklusi tentang tujuan atau kemaslahatan agama dari berbagai situasi dan peristiwa itu. Kemudian diterapkan untuk situasi dan peristiwa baru. Pola kerja seperti ini, menurut al-Turabi yang dimaksud dengan fikih Umar ibn al-Khattab. Sebuah fikih kemaslahatan umum yang tidak membahas secara terperinci penyesuaian berbagai peristiwa khusus dan kemudian menghukuminya berdasarkan analogi dengan berbagai peristiwa serupa sebelumnya. Akan tetapi, ia berangkat dari orientasi perjalanan syariat awal dan dengannya berusaha mengarahkan kehidupan saat ini. Jadi setiap qiyās mengharuskan adanya abstraksi kondisi tertentu sebelumnya berdasarkan nash.    
Sebagai contoh al-Turabi menukil sebuah riwayat di mana seorang pria datang pada Nabi SAW dan berkata:” Celakalah aku. Aku telah menggauli istri pada siang hari di bulan Ramadhan…”. Menurut al-Turabi, kasus seperti ini tidak akan pernah terulang lagi secara persis sama. Mungkin kasus serupa bisa terjadi pada orang lain dengan istrinya sendiri, tapi kita tidak mengambil pelajaran (i’tibār) dari peristiwa itu dan menjatuhkan hukum di antara keduanya. Karena bisa jadi penyebab batal puasanya adalah persoalan lain semisal makan atau minum. Persoalannya kemudian, apakah kita juga akan mengabstraksikannya dengan menganggap cara itu dan berpegang pada segala bentuk pembatalan puasa dan kemudian memperluas penentuan hukumnya? Selanjutnya al-Turabi menyatakan bahwa keluasan dan kesempitan qiyās yang dipergunakan ditentukan pada taraf abstraksi kondisi pertama untuk memperoleh tujuan hukum utama. Qiyās mujmal yang lebih luas atau qiyās mashlahah mursalah lebih tinggi derajatnya dalam mencari inti tujuan hukum dengan cara mengambil sejumlah hukum agama yang disandarkan pada sejumlah peristiwa dan diambil unsur kemaslahatan umum darinya.
d.      Abdullahi Ahmed an Na’im

Setiap tokoh pasti memiliki ciri dan karakter tersendiri dalam merumuskan pemikiran yang merupakan hasil dari pemahaman masing-masing, Model paradigma barunya An-Na’im, beliau berpendapat bahwa syari’ah tidak cukup hanya dengan reformasi hukum Islam akan tetapi lebih dari itu yaitu dengan rekonstruksi, reaktualisasi atau bahkan mungkin harus dengan dekonstruksi. Karena Islam lahir dalam setting masyarakat yang sama sekali berbeda dengan masyarakat kontemporer yang tengah berlangsung dalam kehidupan modern saat ini.
Pemikiran dekonstruksi Abdullahi Ahmed an-Naim nampaknya layak dan bisa menjadi garansi atas wacana pembaharuan hukum Islam kontemporer. Bagi Abdullahi Ahmed an-Na’im seperti bisa dibaca pada karyanya kesempurnaan syari’ah Islam bukanlah terletak pada kebekuannya (yang dianggap sudah berakhir dengan wafatnya Nabi Muhammad SAW), melainkan justru pada kemampuannya untuk terus berkembang maju sesuai dengan tuntutan kehidupan yang juga semakin berkembang maju. An-Naim membangun metodologi dengan teori yang selama ini baru. Hukum islam harus didekrontuksi secara total, agar bisa koheren dengan modernitas, namun tetap islam. Pemikiran rekronstuktifnya An-Na’im cenderung skeptipis dan apatis terhadap metodelogi yang telah ada sebelumnya yaitu fiqh klasik.
e.       Hassan Hanafi
Hasan Hanafi menengarai perlunya sikap kritis terhadap tradisi kita dan tradisi mereka. Proyeknya yang terkenal adalah al-turats wa al-tajdid yang berupaya meletakkan landasan teoritis pada kerangka lingkaran piramida peradaban. Kerangka teoritis tersebut berisi bahwa manusia tidak bisa dipisahkan dari tiga akar pijakan berfikir; kemarin (al-madhi), yang dipersonifikasikan dengan turats qodim (khazanah klasik). Esok (al-mustaqbal) yang dipersonifikasikan dengan turats gharbi (khazanah barat), dan sekarang (al-hali), yang dipersonifikasikan dengan al waqi’ (realitas kontemporer).
f.       Nashr Hamid Abū Zayd

Sementara Nashr Hamid dengan konsep makna dan signifikansi (maghzā) mencoba melakukan pembacaan ulang konsep ‘illah dalam ushul fikih. Dalam pandangan Abū Zayd, perbedaan antara makna dan signifikansi dapat dilihat dari dua dimensi yang tidak terpisahkan satu sama lainnya. Dimensi pertama, bahwa makna memiliki ciri historis, maksudnya bahwa ia dapat diraih hanya dengan pengetahuan yang cermat mengenai konteks linguistik (internal) dan konteks kultural-sosiologis (eksternal). Sementara signifikansi (maghzā), meskipun tidak dapat dipisahkan dari makna, bahkan saling bersentuhan dan berangkat dari makna, memiliki corak kontemporer dalam pengertian ia merupakan hasil dari pembacaan masa di luar atau berbeda dengan masa (terbentuknya) teks.
Dimensi kedua dan ini dianggap sebagai konsekuensi dari dimensi pertama, adalah bahwa makna memiliki aksentuasi yang relatif stabil dan mapan, sementara signifikansi memiliki corak yang bergerak (dinamis) seiring dengan perubahan horison-horison pembacaan, meskipun hubungannya dengan makna mengendalikan dan mengarahkan geraknya, karena memang demikianlah yang harus dilakukan (oleh pembacaan). Apabila dicermati, model pembacaan ini, yakni keharusan maghzā (signifikansi) bersentuhan dengan makna dan harus berangkat dari horison-horisonnya tampak tidak berbeda secara mendasar dengan analogi fiqhiyah yang didasarkan pada temuan ‘illah, dan menjadikan temuan tersebut sebagai pengikat bagi pengembangan pengertian ke peristiwa-peristiwa yang serupa yang tidak dieksplisitkan teks.

 Namun demikian, kemiripan ini hanya tampak di permukaan saja, sementara perbedaannya sangat mendasar dan dalam. ‘Illah yang merupakan tempat bergantungnya hukum menurut ulama ahli fikih bisa jadi merupakan bagian dari pengertian dan makna, maksudnya ditegaskan secara eksplisit atau implisit, dan terkadang dicapai hanya dengan sekedar ijtihad ahli fiqh. Dalam kedua konteks ini analogi bersifat partikular (parsial), maksudnya berkaitan dengan hukum partikular dari hukum-hukum syariat, dan tidak melampauinya sampai pada hukum-hukum lainnya, apalagi merambah pada teks-teks non-hukum. Ahli fiqh kuna tidaklah menyingkapkan signifikansi, dan puncak yang diraihnya hanya pembicaraan mengenai tujuan-tujuan umum (al-maqāshid al-kulliyyah) yang sudah dibatasi pada upaya memelihara agama, jiwa, harga diri dan harta. Kata “memelihara” di sini tidak lepas dari konotasi yang menyingkapkan watak dari sikap fikih lama.

 Dengan demikian, signifikansi, bagi Abū-Zayd, bukan merupakan tujuan-tujuan umum (maqāshid kulliyah) sebagaimana yang didefinisikan oleh para ulama fikih. Hal ini karena dua alasan mendasar. Pertama, signifikansi merupakan hasil dari pengukuran gerak yang ditimbulkan oleh teks dalam struktur bahasa, dan karenanya juga dalam kebudayaan dan realitas. Bersamaan dengan pengukuran gerak, orientasi gerak harus dibatasi, sebab beberapa tidak hanya mengulang bahasa yang sudah umum, dan karenanya memapankan gerak realitas dan kebudayaan semata, tetapi juga dalam struktur bahasanya kembali ke masa lalu dengan mengulanginya dan mengembalikan kebudayaan dan realitas ke belakang. Kedua, signifikansi ditentukan secara lebih ketat oleh tujuan-tujuan real wahyu.

Bertolak dari pembedaan makna dan signifikansi tersebut, kemudian Abū-Zayd merumuskan prosedur pembacaan teks yang harus ditaati seorang penganalisis. Menurutnya, sekalipun pembacaan berangkat dari signifikansi kontemporer, namun ia harus tetap berpangkal pada makna historis teks terlebih dahulu. Sebab, makna historis teks selain dapat memberikan “objektivitas” pemahaman, ia juga yang menentukan batas-batas yang mengarahkan pergeseran teks. Sementara itu, signifikansi juga memiliki peran di dalam menentukan segi-segi tertentu dari teks yang hendak diungkapkan. Ini karena, sifat signifikansi yang mengajukan “kriteria kontemporer” bagi upaya penyingkapan makna historis teks itu sendiri. Dalam pengertian ini, makna bukanlah sesuatu yang sudah final, tetapi turut ditentukan oleh horison harapan pembaca. Hal ini menunjukkan bahwa pembacaan merupakan gerak dialektika antara makna dan signifikansi, antara masa lampau dan masa kini, dan antara teks dan pembacanya. Mengabaikan salah satu unsur tersebut akan menjerumuskan pembacaan kepada ideologisasi (qirā’ah talwiniyah).
2)      Kasus-kasus fiqh kontemporer

·         Lembaga perbankan adalah suatu lembaga yang belum dikenal pada masa Nabi. Maka pada masa sekarang ini, ketika perbankan (khususnya perbankan konveksional) memperkenalkan sistem bunga, pertanyaan muncul apakah ini termasuk kategori riba? Disinilah awal dari perdebatan itu. Persoalan prinsip ada pada uang apakah ia bisa dijadikan sebagai alat komoditi? Karena pada dasarnya bank adalah lembaga yang bergerak dalam usaha dagang. Karenanya, keuntungan menjadi sasaran penting dalam usahanya, dan barang dagang bank adalah uang dan jasa. Untuk menyelesaikan persoalan bunga bank itu riba atau bukan, maka alat yang digunakan untuk menganalisis masalah ini adalah melalui penalaran bayani yang lebih menitihberatkan pada pemahaman teks. Dan penalaran ta’lili, yang lebih berusaha mencari ‘illat hukum diharamkannya riba. Sehingga tidak terjebak pada pemaknaan riba adalah semata-mata “penambahan atas modal”, tanpa melihat kausa prima diharamkannya riba.

·         Dalam masalah poligami
Ayat Al-Qur’an 4:3 mensyaratkan keadilan di antara para isteri sebagai persyaratan poligami, Artinya:” Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”
Dan karena ayat 4:129 menyatakan bahwa keadilan yang dipersyaratkan itu tidak mungkin dicapai dalam praktik, Allah berfirman “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isterimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”

Maka selanjutnya dikatakan bahwa sesungguhnya maksud Al- Qur’an adalah menghapuskan poligami. Jadi seluruh teks itu disebut oleh para intelektual muslim modernis dalam rangka mendukung pembatasan poligami justru membolehkan poligami untuk suatu pengecualian. Inilah hasil konsep nasakh yang ditawarkan Abdullahi Ahmed an Na’im.
·         kasus pelarangan atas rokok menurut syahrur. Selama ini, para ulama menyatakan bahwa hukumnya rokok adalah makruh dengan didasarkan pada riwayat hadis Nabi yang lemah. Bagi Syahrūr, adanya hukum yang melarang merokok adalah didasarkan pada kenyataan objektif atau bukti ilmiah yang dihasilkan oleh ilmu kedokteran bahwa di dalam rokok terdapat zat-zat yang berbahaya bagi tubuh manusia terutama jantung dan paru-paru. Temuan ilmiah kedokteran inilah yang menurutnya menjadi al-syāhid al-awwal dalam konsep qiyās, dan manusia yang hidup di masa ini adalah al-syāhid al-tsānī .

D.    SIMPULAN.

Gagasan teori Ushul Fiqh Kontemporer itu lebih menekankan metodologi menafsirkan atau menemukan hukum yang tidak hanya mengacu pada teks, tapi harus berpacu pada realitas sosial bukan pada undang-undang atau kepastian hukum semata.
          Fazlur Rahman, dengan menggunakan konsep double movmentnya, Rahman mencoba menafsirkan ayat atau undang-undang dengan menghubungkan unsur yang dialektis antara dua unsur yang terdapat dalam Al-Qur'an yaitu wahyu ketuhanan yang suci di satu sisi dan sebagai sejarah kemanusian yang profan disisi yang lain.          Muhammad Syahrur dengan teori batasnya, yang menghubungkan antara garis lurus teks dengan menguhungungkan dengan realitas masyrakat sekarang

Nasr Hamid Abu Zaid dengan teori ta'wilnya. Yaitu dihubungkan dengan panafsiran yang tidak hanya mengungkap makna teks secara linguistik gramatikal saja tetapi lebih jauh lagi menyentuh pada spirit teks yang nantinya akan terartikulasikan dalam makna signifikansi. 
E.    

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook