Monday, April 7, 2014

Taqnin berlaku juga, bagi yang bukan Islam Dicontohkan oleh, junjungan alam



TAQNIN  DITENTANG
OLEH ULAMA WAHABI SAUDI

Taqnin berlaku juga, bagi yang bukan Islam
Dicontohkan oleh, junjungan alam
Piagam Madinah, tak pernah tenggelam
Sehingga negara, aman tenteram.

HM.RAKIB CIPTAKARYA PEKANBARU INDONESIA.2014

TAQNIN bukanlah sesuatu yang betul-betul baru sebagaimana dituduhkan oleh para ulama Wahabi Arab Saudi. Sebagaimana diketahui oleh sejarah, Nabi Muhammad pernah menetapkan Piagam Madinah yang mengatur kehidupan masyarakat, baik antara sesama muslim maupun dengan non muslim. Piagam Madinah tersebut merupakan salah satu bentuk taqnin yang pernah dilakukan oleh pemerintahan Rasulullah SAW saat itu.

 Pandangan Ulama Indonesia Dan Wahabi

A.     Pendahuluan 

Sisi Positif dan Negatif Taqnin
Ide Ibnu al-Muqaffa untuk melakukan kodifikasi hukum Islam (taqnin) tidak terlepas sama sekali dari analisis ulama di zamannya dan ulama sesudahnya.  Mereka melakukan berbagai penelitian dan pembahasan mengenai sisi negatif serta positif kodifikasi hukum Islam yang diajukan Ibnu al-Muqaffa tersebut.
Dalam pembahasan para ahli fiqh, dikemukakan beberapa sisi negatif kodifikasi hukum Islam tersebut antara lain:
1.      Munculnya kekakuan hukum. Manusia dengan segala persoalan kehidupannya senantiasa berkemdang dan perkembangan ini sering kali tidak diiringi dengan hukum yang mengaturnya. Dalam persoalan ini ulama fiqh menyatakan, “Hukum bisa terbatas, sedangkan kasus yang terjadi tidak terbatas.” Di sisi lain, fiqh Islam tidak dimaksudkan untuk berlaku sepanjang masa, tetapi hanya untuk menjawab persoalan yang timbul pada suatu kondisi, masa dan tempat tertentu. Oleh karena itu, hukum senantiasa perlu disesuaikan dengan kondisi, tempat dan zaman yang lain. Tidak jarang diteukan bahwa peristiwa yang menghendaki hukum lebih cepat berkembang dibandingkan dengan hukum itu sendiri. Oleh karena itu, kodifikasi hukum bisa memperlambat perkembangan hukum itu sendiri.
2.      Mandeknya upaya ijtihad. Kodifikasi hukum Islam dapat mengakibatkan kemandekan upaya ijtihad dikalangan ulama fiqh. Seorang ulama atau hakim bisa saja terpaku pada fiqh yang telah dikodifikasi tersebut sehingga perkembangan berpikirnya pun mandek.
Disamping sisi negatif di atas, ulama fiqh juga mengemukakan sisi positif adanya kodifikasi hukum Islam tersebut, antara lain :
1.           memudahkan para praktisi hhukum untuk merujuk hukum sesuai dengan keinginannya. Kitab-kitab fiqh yag tersebar di dunia Islam penuh dengan perbedaan pendapat yang kadang-kadang membingungkan dan menyulitkan. Dengan adanya kodifikasi hukum, para praktisi hukum tidak perlu lagi mentarjih berbagai pendapat dalam literatur fiqh.

2.      Mengukuhkan fiqh Islam dengan mengemukakan pendapat paling kuat. Fiqh Islam penuh dengan perbedaan pendapat, bukan hanya antar mazhab, tetapi juga perbedaan antarulama dalam mazhab yang sama, sehingga sulit untuk menentukan pendapat terkuat dari sekian banyak pendapat dalam satu mazhab. Keadaan seperti ini sangat menyulitkan praktisi hukum (apalagi orang awam) untuk memilih hukum yang akan diterapkan, belum lagi meneliti apakah orang itu bermazhab Hambali atau Syafi’I, sehingga hasil ijtihad Mazhab Hanafi atau Maliki tidak diterapkan kepadanya. Dalam kaitan ini, kodifikasi hukum Islam yang sesuai dengan pendapat yang kuat akan lebih prakti dan mudah dirujuk oleh para praktisi hukum, apabila di zaman modern ini para hakim pada umumnya belum memenuhi syarat-syarat mujtahid, sebagaimana yang ditetapkan oleh ulama.
3.      menghindari sikap taklid mazhab di kalangan praktis hukum, yang selama ini menjadi kendala dalam lembaga-lembaga hukum.
4.      Menciptakan unifikasi hukum bagi lembaga – lembaga peradilan. Apabila hukum dalam suatu negara tidah hanya satu, maka akan muncul perbedaan keputusan antara satu peradilan dan peradilan lainnya. Hal ini bukan hanya membingungkan umat, tetapi juga mengganggu stabilitas keputusan yang saling bertentangan antara satu peradian dan peradilann lainnya. Dalam kaitan ini, Wahbah Zuhaili, ahli fiqh dan usul fiqh kontemporer Suriah berkomentar bahwa kodifikasi hukum di zaman sekarang merupakan tuntutan zaman dan tidak dapat dihindari karena tidak semua orang mampu merujuk kitab-kitab fiqh dalam berbagai mazhab, khususnya orang yang tidak menguasai bahasa Arab. Namun demikian, menurutnya, kodifikasi hukum Islam tidak bersifat kaku.

Wacana taqnin al-ahkam dalam hukum Islam merupakan salah satu persoalan yang memicu kontroversi luas di kalangan umat Islam. Ada kubu yang menyetujui dan ada pula kubu yang menentangnya, bahkan dengan begitu sengit. Hal itu karena taqnin al-ahkam termasuk wacana yang relatif baru. Di Indonesia sendiri, wacana taqnin hukum-hukum Islam juga ramai dibicarakan ketika Orde Baru runtuh dan masuk Orde Reformasi seiring dengan ditetapkannya kebijakan otonomi di berbagai daerah. Banyak perda-perda syariat bermunculan di berbagai daerah. Yang paling banyak menyita perhatian, tentu saja kasus di Aceh yang telah menetapkan undang-undang (qanun) Syariat tentang beberapa hal tertentu.
Fenomena perda-perda syariat itu sendiri tak ayal menuai banyak tanggapan baik yang pro maupun kontra. Kalangan non-muslim tentu saja banyak yang memprotes dan menganggap bahwa hal itu adalah upaya untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Di samping itu, orang-orang Islam yang berhaluan liberal juga dengan gigih menentangnya. Formalisasi syariat dalam bentuk perda-perda, terutama perda maksiat, dituding mereka sebagai bentuk intervensi pemerintah terhadap domain privat masyarakat.
B.     Pengertian Taqnin
Secara etimologis, kata taqnin (تقنين) merupakan bentuk masdar dari qannana (قَنَّنَ), yang berarti membentuk undang-undang. Kata ini merupakan serapan dari Bahasa Romawi. Namun ada juga yang berpendapat, berasal dari Bahasa Persia. Seakar dengan taqnin adalah kata qanun (قََانُوْن) yang berarti ukuran segala sesuatu, dan juga berarti jalan atau cara (thariqah).[1]
Secara terminologis, taqnin al-ahkam berarti mengumpulkan hukum-hukum dan kaidah-kaidah penetapan hukum (tasyri’) yang berkaitan dengan masalah hubungan sosial, menyusunnya secara sistematis, serta mengungkapkannya dengan kalimat-kalimat yang tegas, ringkas, dan jelas dalam bentuk bab, pasal, dan atau ayat yang memiliki nomor secara berurutan, kemudian menetapkannya sebagai undang-undang atau peraturan, lantas disahkan oleh pemerintah, sehingga wajib para penegak hukum menerapkannya di tengah masyarakat.[2]
C.     Sejarah Awal Taqnin al-Ahkam
Menurut hemat penulis, taqnin al-ahkam juga bisa dirunut jauh ke masa Rasulullah SAW. Artinya, taqnin bukanlah sesuatu yang betul-betul baru sebagaimana dituduhkan oleh para ulama Wahabi Arab Saudi. Sebagaimana diketahui oleh sejarah, Nabi Muhammad pernah menetapkan Piagam Madinah yang mengatur kehidupan masyarakat, baik antara sesama muslim maupun dengan non muslim. Piagam Madinah tersebut merupakan salah satu bentuk taqnin yang pernah dilakukan oleh pemerintahan Rasulullah SAW saat itu. Namun meski ada upaya taqnin tersebut, Rasulullah juga masih membuka peluang perbedaan pendapat di kalangan para sahabatnya. Sikap akomodatif Rasulullah terhadap perbedaan pendapat bisa banyak ditemukan dalam sejarah hukum Islam.
Dalam perjalanan sejarah hukum Islam selanjutnya, upaya menyatukan masyarakat dalam satu pandangan atas suatu putusan hukum juga dipelopori oleh Abdullah bin al-Muqaffa. Ironisnya, Ibnu al-Muqaffa kemudian dihukum mati oleh penguasa saat itu dengan tuduhan sebagai seorang zindiq.[3] Saat itu, ia menyarankan kepada Abu Ja’far al-Manshur untuk menetapkan taqnin dalam sebuah surat yang ia namakan Risalah ash-Shahabah. Ia mengusulkan kepada sang khalifah untuk mengumpulkan hukum-hukum fikih dan mewajibkan para hakim menggunakannya dalam memutuskan perkara.[4]
Usul Ibnu al-Muqaffa kemudian betul-betul ditindaklanjuti oleh al-Manshur. Saat itu, sang khalifah bertemu dengan Imam Malik, salah seorang tokoh ulama besar saat itu. Sang ulama diminta oleh al-Manshur diminta untuk menyusun kompilasi hukum Islam. Namun, Imam Malik menolak permintaan itu dan berkata, “Masyarakat sudah terbiasa dengan berbagai macam pendapat. Mereka mendengar banyak hadis dan meriwayatkan banyak riwayat. Mereka mengambil pendapat yang diarahkan kepada mereka dan mengamalkannya meskipun mereka juga terbiasa dengan perbedaan pendapat di tengah para sahabat Rasulullah SAW. Melarang mereka untuk meyakini apa yang mereka yakini adalah sesuatu yang berbahaya. Biarkan saja masyarakat apa adanya. Biarkan setiap anggota masyarakat memilih pandangan yang sesuai dengan kondisi mereka.”[5]
Di dua abad terakhir ini, di kalangan dunia Islam, memang sudah ada upaya untuk melakukan taqnin al-ahkam. Salah satunya adalah al-Fatawa al-Hindiyah yang disusun oleh para ulama India. Dalam karya itu, disusun oleh undang-undang yang berkaitan tentang ibadah, sanksi (uqubah), dan mu’amalah. Selain al-Fatawa al-Hindiyah, ada juga al-Ahkam al-Adliyyah yang mengandung sejumlah hukum tentang jual beli, dakwaan, dan vonis. Kompilasi ini disahkan pada tahun 1869 oleh Kekhalifahan Utsmani dan memuat 1.851 masalah yang umumnya berdasarkan pada mazhab Hanafi. Kompilasi ini diberlakukan di kebanyakan negara-negara Arab hingga pada pertengahan abad 10. Hanya saja kompilasi ini kemudian tidak lagi mencukupi segala persoalan-persoalan baru yang timbul di masyarakat. Pada perkembangan berikutnya, kompilasi ini kemudian diperbaharui dan dimasukkan pengaruh-pengaruh dari undang-undang sipil.[6]
Di Arab Saudi saat diperintah oleh Raja Abdul Aziz, Ahmad bin Abdullah al-Qari, ketua Mahkamah Tinggi Syari’ah di Mekkah, juga menyusun suatu kompilasi hukum Islam berdasarkan mazhab Ahmad bin Hanbal. Al-Qari meringkas pandangan-pandangan hukum Imam Ahmad yang bersumber dari berbagai karya utamanya. Kompilasi ini mengandung 2.382 masalah dan diterbitkan dengan judul Majallah al-Ahkam al-Adliyyah. Sayang, para ulama saat itu ramai-ramai menolak kompilasi tersebut.[7]
D.    Dasar Pemikiran Taqnin di Kalangan Ulama Klasik
Meskipun istilah taqnin di kalangan ulama klasik tidak dikenal, namun hal tersebut bisa ditarik kepada permasalahan tentang hukum mewajibkan para hakim untuk memegang satu pendapat tertentu yang mereka gunakan untuk memutuskan suatu perkara dan tidak boleh melanggar pendapat tersebut meskipun secara pribadi mereka memiliki ijtihad sendiri. Tentang hal ini, para ulama klasik terbagi menjadi dua kelompok, pertama melarang dan kedua membolehkan.
Menurut kelompok pertama, tidak boleh mempersyaratkan seorang hakim untuk berpegangan pada satu mazhab tertentu dalam memutuskan suatu perkara. Pandangan ini merupakan pandangan mayoritas ulama, baik dari kalangan Maliki, Syafi’i, dan Hambali, seperti Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan yang notabene keduanya adalah murid Abu Hanifah. Abu Qudamah juga berpendapat bahwa hal pandangan itu sudah tidak diperselisihkan lagi.[8] Ibnu Taimiyyah juga berpendapat demikian dan menyepakati pandangan tersebut.[9]
Para ulama yang melarang tersebut mendasarkan pandangan mereka pada beberapa dalil, seperti ayat: Maka putuskanlah hukum di antara manusia dengan kebenaran (QS. Shad: 26). Kebenaran tidaklah terbatas pada mazhab tertentu. Terkadang kebenaran justru terdapat di luar mazhab yang diikuti oleh seorang hakim.[10] Dengan demikian, pemerintah tidak berhak melarang masyarakat untuk melaksanakan hasil ijtihadnya agar bisa meringankan dan memberikan keleluasaan kepada mereka. Karena itulah, Umar bin Abdul Aziz pernah berkata, “Aku kurang senang jika para sahabat Rasulullah SAW tidak berbeda pendapat. Hal itu jika mereka bersepakat atas suatu pendapat, maka jika ada seseorang yang berbeda dengan pendapat itu maka orang itu pun bisa dianggap tersesat. Namun jika mereka berbeda pendapat, maka orang pun bisa mengambil salah satu pendapat dan orang yang lain mengambil pendapat yang lain pula. Dengan demikian, terdapat keleluasaan untuk memilih.”[11]
Sedangkan menurut kubu kedua, penguasa boleh mewajibkan kepada para hakim atau aparat penegak hukum untuk memutuskan suatu perkara dengan satu mazhab tertentu. Pandangan ini dipegang oleh Abu Hanifah, yang kemudian tidak disetujui oleh kedua muridnya seperti yang diungkapkan di atas. Abu Hanifah beralasan, wewenang untuk mengadili dibatasi oleh waktu, tempat dan diberikan kepada orang tertentu pula. Jika penguasa mengangkat seseorang sebagai hakim, maka jabatan itu dibatasi pada tertentu, tempat, atau masyarakat tertentu. Hal ini karena orang tersebut adalah bertugas sebagai wakil penguasa. Jika penguasa melarang hakim untuk memutuskan perkara berdasarkan berbagai mazhab yang ada, maka hakim pun tidak boleh melakukannya. Ia hanya boleh memutuskan berdasarkan kitab undang yang telah disahkan penguasa.[12]
Dari uraian di atas, tampaknya pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama yang diikuti oleh mayoritas para ulama. Sedangkan alasan Abu Hanifah maka ia mungkin bisa dijawab dengan bahwa jika seorang hakim telah mengetahui persoalan sebenarnya dari perkara yang ia tangani dan ia juga mengerti hukum Allah dan rasul-Nya, maka ia wajib mengikuti kebenaran yang ia telah ketahui itu. Betapapun hukum hanyalah milik Allah dan Rasul-Nya. Inilah yang dimaksud dengan adil (al-adl), dalam ayat Alquran: Dan jika kalian memutuskan suatu perkara di tengah masyarakat, maka putuskanlah dengan adil (QS: an-Nisa: 58).[13].
E.     Para Pendukung Taqnin dan Argumentasi Mereka
Mayoritas para ulama besar kontemporer memperbolehkan taqnin al-ahkam. Di antara mereka adalah Syaikh Shalih bin Ghashun, Abdul Majid bin Hasan, Abdullah bin Mani’, Abdullah Khayyath, dan Rasyid bin Khunain.[14] Selain mereka, yang juga bisa disebut sebagai pendukung taqnin adalah Musthafa az-Zarqa,[15] Muhammad Abu Zahrah, Ali al-Khafif, Yusuf al-Qardhawi, Wahbah az-Zuhaili, dan lain-lain.[16]
Di antara dalil yang mereka gunakan untuk memperkuat pandangan mereka adalah sebagai berikut:
  1. Firman Allah Surah an-Nisa: 59
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ…. (النساء: 59)
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu…..(QS. an-Nisa: 59).
Bagi mereka, berdasarkan ayat tersebut, jika pemerintah (ulil amri) tidak memerintahkan suatu kemaksiatan dan perintah itu tidak bertentangan dengan hukum-hukum syariat, maka wajib bagi rakyat untuk menaatinya. Dalam konteks ini, keharusan untuk melakukan taqnin tidaklah mengandung unsur maksiat. Sikap para penegak hukum yang melaksanakan undang-undang dimana mereka memang diwajibkan untuk mengikutinya adalah suatu bentuk ketaatan kepada pemerintah sebagaimana diperintahkan oleh ayat tersebut.[17]
  1. Keharusan untuk mengikuti satu pendapat tertentu merupakan suatu kebijakan yang pernah terjadi di masa awal Islam pada era pemerintahan Utsman bin Affan saat ia menetapkan Mushaf Utsmani (Mushaf al-Imam) sebagai satu-satunya mushaf Alquran yang resmi. Ia kemudian memerintahkan untuk membakar mushaf-mushaf yang lain selain mushaf resmi tersebut. Hal itu dilakukan demi kemaslahatan umat dan menjaga agar Alquran mempunyai satu mushaf yang resmi sehingga tidak menimbulkan perpecahan di kalangan umat. Kebijakan Utsman bin Affan ini akhirnya diakui sebagai suatu kebijakan yang benar.[18]
  2. Suatu pendapat tertentu yang kemudian ditetapkan sebagai undang-undang yang harus diikuti oleh semua orang, haruslah dihasilkan dengan pemikiran yang mendalam dan pembahasan yang luas. Undang-undang itu juga ditetapkan harus dengan memperhatikan maqashid syariah demi kemaslahatan umat. Dengan demikian, jika undang-undang itu tidak ditaati, maka berarti menyia-nyiakan usaha keras para ulama yang telah menghasilkannya.
  3. Di sisi lain, tidak semua para hakim memiliki pengetahuan yang luas dan dalam, sehingga mereka pun tidak mampu melakukan ijtihad dan tidak bisa menetapkan mana pendapat yang paling valid di antara banyak pendapat di berbagai mazhab. Bahkan terkadang dalam satu mazhab pun, banyak pendapat yang saling berbeda satu sama lain.
  4. Di samping itu, jika pemerintah tidak menetapkan mana pendapat paling valid yang dijadikan sebagai undang-undang sehingga menjamin kepastian hukum, maka hal itu bisa menimbulkan perbedaan putusan antara satu pengadilan dengan pengadilan lain, atau antara satu hakim dengan hakim yang lain. Hal ini tentu saja akan menimbulkan ketidakpastian hukum di tengah masyarakat.
  5. Pengetahuan para hakim yang tidak sama juga bisa menimbulkan masalah jika tidak ada satu undang-undang tertentu yang harus diikuti bersama. Mungkin seorang hakim yang pengetahuannya luas, bisa memutuskan suatu perkara dengan baik. Namun seorang hakim yang pengetahuannya terbatas bisa menentang putusan itu karena ketidaktahuannya terhadap dasar keputusan itu.[19]
F.      Para Penolak Taqnin dan Argumentasi Mereka
Mereka yang menolak taqnin dan menolak kewajiban untuk menaatinya terdiri dari sebagian para ulama besar kontemporer dari Arab Saudi. Di antara mereka adalah Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid,[20] Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan,[21] Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam,[22] Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Jabirin, Abdurrahman bi Abdullah al-Ajlan, Syaikh Abdullah bin Muhammad al-Ghunaiman, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah ar-Rajihi, dan lain-lain.[23] Mereka mendasarkan pandangan mereka tersebut pada dalil-dalil Alquran, as-Sunnah, ijma’ dan logika. Berikut adalah argumentasi mereka.
1.      Allah telah memerintahkan untuk memutuskan perkara dengan adil (al-qisth) dalam firman-Nya:
وَإِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ. (المائدة: 42)
Dan jika kau memutuskan perkara di antara mereka, maka putuskanlah dengan adil (al-qisth). Sesungguhnya, Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil (QS. al-Maidah: 42).
Kata al-qisth berarti adil. Bagi seorang hakim, keputusan yang adil adalah yang sesuai dengan apa yang ia yakini setelah meneliti dalil-dalil syara’, bukan yang sesuai dengan undang-undang yang diwajibkan untuk ia ikuti.
2.      Dalam menetapkan hukum, seorang hakim harus tetap memegang teguh prinsip tauhid. Dalam hal ini, kewajiban untuk mengikuti undang-undang menunjukkan adanya unsur meremehkan prinsip tauhid, yaitu ketaatan hanya kepada hukum Allah. Hal itu karena sang hakim yang menaati undang-undang, berarti ia lebih mengutamakan pendapat yang dihasilkan oleh manusia biasa yang tidak ma’shum daripada pendapat Rasulullah yang mas’hum. Padahal Allah juga berfirman: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya (QS. al-Hujurat: 1).
3.      Sabda Rasulullah SAW:
Hakim itu ada tiga macam, dua masuk neraka dan hanya satu masuk surga. Satu, hakim yang masuk surga adalah ia yang mengetahui kebenaran dan memutuskan berdasarkan kebenaran tersebut. Dua, hakim yang mengetahui kebenaran, namun ia tidak memutuskan berdasarkan kebenaran tersebut. Hakim ini masuk neraka. Ketiga, hakim yang memutuskan perkara di antara manusia padahal ia tidak tahu kebenarannya. Hakim ini juga masuk neraka.”[24]
Hadis di atas merupakan ancaman bagi para hakim yang memutuskan perkara bukan berdasarkan kebenaran yang ia yakini. Para ulama sepakat atas haramnya para hakim yang bertindak demikian.
4.      Mengharuskan para hakim untuk memutuskan berdasarkan pendapat yang valid (rajih) yang telah ditetapkan untuk mereka adalah sesuatu yang tidak sejalan dengan apa yang telah terjadi di zaman Rasulullah SAW, Khulafa ar-Rasyidin, dan orang-orang salaf yang saleh. Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya kebijakan seperti itu terjadi di zaman Dinasti Abbasyiah. Saat itu, Abu Ja’far al-Manshur mengusulkan kepada Imam Malik, namun beliau menolak usulan tersebut. Dengan demikian, wacana taqnin adalah sesuatu yang ditolak oleh kaum salaf.
5.      Undang-undang hukum positif yang diterapkan oleh pengadilan-pengadilan sipil di berbagai negara, ternyata sering kali mengandung kontradiksi dan kekeliruan. Keputusan-keputusan pengadilan sering kali bertentangan satu sama lain. Dengan demikian, penetapan undang-undang dan kewajiban untuk mengikutinya tidak menjamin mencegah terjadi kesalahan dan kontradiksi.
6.      Keharusan untuk mengadakan taqnin akan justru akan membuat masyarakat tidak leluasa dalam menetapkan keputusan.
7.      Perselisihan dalam masalah hukum merupakan sesuatu yang juga terjadi zaman Khalifah ar-Rasyidin dan para salaf saleh. Bahkan terkadang seorang hakim bisa menghasilkan dua keputusan yang mirip. Keputusan yang kedua tidak berarti menggugurkan keputusan sebelumnya. Hal ini tidak bisa dijadikan alasan untuk melakukan taqnin dan mengharuskan hakim untuk hanya mengikuti satu pandangan tertentu saja. Bagaimana pun, orang-orang dulu justru lebih hati-hati daripada kita sekarang dalam menjaga kepentingan agama dan dalam memelihara kebebasan masyarakat untuk berbeda pendapat. Perbedaan pendapat tersebut tidak bisa dijadikan untuk meragukan kemampuan para hakim dan menuduh mereka tidak kompeten. Bagaimana pun, pada prinsipnya, seorang yang diangkat sebagai hakim adalah orang yang memiliki ilmu pengetahuan memadai, bisa dipercaya, dan bertanggung jawab.
8.      Ketika melongok kepada berbagai kitab fiqih, kita pun memaklumi bahwa di sana terdapat banyak perbedaan pendapat. Para ulama yang memiliki kompetensi memang dituntut untuk melakukan ijtihad masing-masing. Salah ataupun benar hasil ijtihad mereka, tetap mereka memperoleh pahala sebagaimana disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW. Jika memang ada pendapat yang salah, maka adalah kewajiban ulama lain untuk meluruskannya dan mengembalikannya kepada pendapat yang benar. Para ulama juga berpendapat, bahwa suatu keputusan hakim tidak bisa digugurkan kecuali jika memang bertentangan dengan dalil syara’. Dengan demikian, upaya taqnin justru akan menghilangkan kesempatan ijtihad bagi para ulama.[25]

G.    Penutup
Dari uraian tentang pandangan para ulama yang mendukung maupun menolak taqnin al-ahkam, tampak bahwa keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dari alasan-alasan yang dikemukakan para ulama Arab Saudi yang menolak taqnin al-ahkam, tampak bahwa mereka memang cenderung dipengaruhi oleh prinsip Wahabi yang sangat menekankan untuk mengikuti (ittiba’) pada tuntunan Rasulullah SAW. Upaya taqnin al-ahkam dianggap sebagai sesuatu yang baru dan tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan oleh salafus salih.
Di samping itu, prinsip tauhid yang berlebihan juga tampak diyakini sebagian oleh ulama Arab Saudi dalam melihat taqnin al-ahkam dan kewajiban orang untuk mengikutinya. Bagi mereka, mewajibkan orang untuk hanya menaati undang-undang yang telah disahkan penguasa, berarti sesuatu sikap yang lebih mengutamakan hasil pemikiran manusia biasa yang tidak ma’shum. Hal itu bisa merusak prinsip tauhid karena Allah dan Rasul-Nya harus lebih diutamakan daripada yang lain.
Alasan agar tidak mempersempit pilihan masyarakat sehingga mereka bisa lebih leluasa dan mempunyai banyak pilihan, merupakan salah satu alasan yang dikemukakan untuk menolak taqnin. Alasan tersebut memang bagus dan sejalan pula dengan prinsip pluralisme yang saat ini sering digembor-gemborkan kalangan Islam Liberal. Namun, hemat penulis, upaya menyatukan pandangan masyarakat dalam sebuah undang-undang atau pemerintah bukanlah lantas dianggap sebagai sesuatu yang mempersulit masyarakat dan merusak prinsip pluralisme. Pemerintah memang berkewajiban untuk menetapkan aturan dan perundang-undangan. Sedangkan rakyat pun wajib menaati dan mengikutinya. Pada konteks bernegara dalam Islam, ketaatan kepada undang-undang atau peraturan tersebut selama ia tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat.
Di sisi lain, harus pula diperhatikan bahwa taqnin al-ahkam juga memiliki kekurangan. Sebagaimana layaknya hukum undang-undang sipil yang lain, ketika hukum Islam dirumuskan ke dalam bentuk undang-undang atau peraturan, maka ia pun juga bisa ditentang, dicabut, dianggap keliru oleh masyarakat dan penguasa. Hal ini tentu saja jadi mengurangi kewibawaan hukum Islam. Keberadaan sebuah undang-undang sangat tergantung oleh kebijakan pemerintah dan para pihak berkuasa. Sebagai contoh kasus di Indonesia, bisa kita lihat bagaimana sejarah ditetapkannya Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Banyak penentangan, baik di kalangan orang Islam sendiri maupun non Islam, yang terjadi baik sebelum maupun sesudah undang-undang itu ditetapkan dan disahkan.
Karena resiko seperti itulah, maka taqnin al-ahkam harus betul-betul melibatkan banyak pihak yang terkait. Tata cara pembentukan undang-undang (legal drafting) juga harus betul-betul diperhatikan. Dengan demikian, ketika hukum-hukum Islam itu sudah menjadi undang-undang (qanun), maka resistensi terhadapnya bisa ditekan seminimal mungkin karena untuk menafikan sama sekali resistensi, tampaknya sesuatu yang mustahil. Setiap kebijakan pasti saja menuai pro dan kontra, sebaik apapun kebijakan itu. Wallahu a’lam.


 PUSTAKA
Abdurrahman bin Qasim, Majmu Fatwa Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah, Dar Alam al-Kutub, 1412 H.
Abdurrahman bin Sa’ad asy-Syatri, Taqnin asy-Syariah bain at-Tahlil wa at-Tahrim, Dar al-Fadhilah, 1426 H.
Abu Abdullah al-Hathtab, Mawahib al-Jalil li Syarh Mukhtashar Khalil, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1416 H.
Adz-Dzahabi, Siar A’lam an-Nubala, Muassasah ar-Risalah, 1412 H.
Al-Bassam, Taqnin asy-Syariah Adhraruhu wa Mafasiduhu.
An-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Dar al-Fikr.
Bakar Abu Zaid, Fiqh an-Nawazil, Muassasah ar-Risalah, 1412 H.
Harian al-Jazirah, tanggal 3 Jumadil Akhir 1426 H.
Ibnu Abidin, Radd al-Mukhtar ‘ala ad-Dar al-Mukhtar, Dar Ihya at-Turats al-Arabi.
Ibnu Kasir, Al-Bidayah wa an-Nihayah, Dar Hijr, 1419 H.
Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni.
Ibrahim Anis, et. al. Al-Mu’jam al-Wasith
Manna’ al-Qaththan, at-Tasyri’ wa al-Fiqh fi al-Islam Tarikhan wa Manhajan, Maktabah Wahbah, 1422 H.
Mushtafa az-Zarqa, al-Madkhal al-Fiqh al-Am, Dar al-Qalam, 1418 H.
Swiss al-Mahamid, Masirah a-Fiqh al-Islami al-Mu’ashir, Jam’iyyah Ummal al-Mathabi’, 1422 H.




[1] Al-Mu’jam al-Wasith, juz 2, hal. 763.
[2] Mushtafa az-Zarqa, al-Madkhal al-Fiqh al-Am, juz 1, hal. 313.
[3] Al-Bidayah wa an-Nihayah, juz 13, hal. 384.
[4] Muhammad Salam al-Madkur, al-Qadha fi al-Islam, hal. 115.
[5] Siar A’lam an-Nubala, juz 8, hal. 78.
[6] Manna’ al-Qaththan, at-Tasyri’ wa al-Fiqh fi al-Islam, hal. 404.
[7] Kitab at-Taqnin baina at-Tahlil wa at-Tahrim, hal. 15.
[8] Lihat, Mawahib al-Jalil, juz 8, hal. 78; al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, juz 20, hal. 128; al-Mughni, juz 14, hal. 91; Hasyiah Ibnu Abidin, juz 1, hal. 163.
[9] Majmu al-Fatawa, juz 35, hal. 357, 360, 372, dan 373.
[10] Al-Mughni, juz 14, hal. 91; al-Majmu’, juz 20, hal.128.
[11] Al-Fatawa, juz 30, hal. 79.
[12] Hasyiah Ibnu Abidin, juz 1, hal. 163.
[13] Majmu’ al-Fatawa, juz 35, hal. 361.
[14] Abhats Haiah Kibar al-Ulama, juz 3, hal. 260 dan seterusnya.
[15] Mushthafa az-Zarqa, al-Madkhal al-Fiqh al-Am, juz 1, hal. 230-231.
[16] Masirah a-Fiqh al-Islami al-Mu’ashir, hal. 438
[17] Ibid., hal. 440.
[18] Abhats Haiah Kibar al-Ulama, juz 3, hal. 269.
[19] Ibid., juz 3, hal.266.
[20] Fiqh an-Nawazil, juz 1, hal. 1 dan seterusnya.
[21] Lihat pandangan beliau dalam Harian al-Jazirah, tanggal 3 Jumadil Akhir 1426 H.
[22] Lihat, al-Bassam, Taqnin asy-Syariah Adhraruhu wa Mafasiduhu.
[23] Lihat, Taqnin asy-Syariah bain at-Tahlil wa at-Tahrim, hal. 31-32.
[24] Hadis dari Buraidah yang diriwayatkan oleh Ahli Sunan dan al-Hakim di dalam al-Mustadrak
[25] Lihat pandangan Syaikh Shalih al-Fauzan dalam Harian al-Jazirah, loc. cit

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook