Wednesday, April 23, 2014

NIKAH MUT'AH DAN KECANDUAN SEKS



Nikah Mut'ah (Kawin Kontrak)

DEFINISI NIKAH MUT'AH

Yang dimaksud nikah mut'ah adalah, seseorang menikah dengan seorang wanita dalam batas waktu tertentu, dengan sesuatu pemberian kepadanya, berupa harta, makanan, pakaian atau yang lainnya. Jika masanya telah selesai, maka dengan sendirinya mereka berpisah tanpa kata thalak dan tanpa warisan.[4]
Bentuk pernikahan ini, seseorang datang kepada seorang wanita tanpa harus ada wali atau saksi. Kemudian mereka membuat kesepakatan mahar (upah) dan batas waktu tertentu. Misalnya tiga hari atau lebih, atau kurang. Biasanya tidak lebih dari empat puluh lima hari; dengan ketentuan tidak ada mahar kecuali yang telah disepakati, tidak ada nafkah, tidak saling mewariskan dan tidak ada iddah kecuali istibra` (yaitu satu kali haidh bagi wanita monopouse, dua kali haidh bagi wanita biasa, dan empat bulan sepuluh hari bagi yang suaminya meninggal), dan tidak ada nasab kecuali jika disyaratkan.[5]

Jadi, rukun nikah mut'ah -menurut Syiah Imamiah- ada tiga :
1. Shighat, seperti ucapan : "aku nikahi engkau”, atau “aku mut'ahkan engkau”.
2. Calon istri, dan diutamakan dari wanita muslimah atau kitabiah.
3. Mahar, dengan syarat saling rela sekalipun hanya satu genggam gandum.
4. Jangka waktu tertentu.[6]

NIKAH MUT'AH PADA MASA PENSYARIATAN, ANTARA BOLEH DAN LARANGAN
Nikah mut'ah, pada awal Islam -saat kondisi darurat- diperbolehkan, kemudian datang nash-nash yang melarang hingga hari Kiamat.

Di antara hadits yang menyebutkan dibolehkannya nikah mut'ah pada awal Islam ialah :

عَن الرَّبيِْع بن سَبْرَة عَنْ أَبِيْه ِرضى الله عنه أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُوْلِ الله صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : ياَ أَيَّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الاسْتِمْتاَعِ مِنَ النِّسَاءِ , وَ إِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ ذلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ , فَمَنْ كاَنَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخْلِ سَبِيْلَهُ , وَ لَا تَأْخُذُوْا مِمَّا آتَيْتمُوْهُنَّ شَيْئاً " .


Dari Rabi` bin Sabrah, dari ayahnya Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya ia bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda: "Wahai, sekalian manusia. Sebelumnya aku telah mengizinkan kalian melakukan mut'ah dengan wanita. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengharamkannya hingga hari Kiamat. Barangsiapa yang mempunyai sesuatu pada mereka , maka biarkanlah! Jangan ambil sedikitpun dari apa yang telah diberikan”.[7]

وَ عَنْهُ قَالَ : أَََمَرَناَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم باِلْمُتْعَةِ عَامَ اْلفَتْحِ حِيْنَ دَخَلْنَا مَكَّةَ ثُمَّ لَمْ نَخْرُجْ حَتَّى نَهَاناَ عَنْهَا


Dari beliau, juga berkata : "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk mut'ah pada masa penaklukan kota Mekkah, ketika kami memasuki Mekkah. Belum kami keluar, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengharamkannya atas kami". [8]

عَنْ سَلَمَةَ بْنِ اْلَأكْوَع ِرضى الله عنه قَالَ: رَخَّصَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَامَ أَوْطاَس فِي اْلمُتْعَةِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ ثُمَّ نَهَى عَنْهَا

Dari Salamah bin Akwa`Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan keringanan dalam mut'ah selama tiga hari pada masa perang Awthas (juga dikenal dengan perang Hunain), kemudian beliau melarang kami". [9]

Muncul pertanyaan, semenjak kapan Islam melarang mut'ah? Untuk menjawabnya, kita dapatkan riwayat-riwayat yang menerangkan masalah ini terkesan simpang-siur, disebabkan tempat dan waktu pengharaman mut'ah berbeda-beda.

Berikut kami sebutkan secara ringkas waktu pengharaman mut'ah, sesuai dengan urutan waktunya.[10]

1. Ada riwayat yang mengatakan, bahwa larangan mut'ah dimulai ketika perang Khaibar (Muharram 7H).
2. Ada riwayat yang mengatakakan pada umrah qadha (Dzul Qa`dah 7H).
3. Ada riwayat yang mengatakan pada masa penaklukan Mekkah (Ramadhan 8H).
4. Ada riwayat yang mengatakan pada perang Awthas, dikenal juga dengan perang Hunain (Syawal 8H).
5. Ada riwayat yang mengatakan pada perang Tabuk (Rajab 9H).
6. Ada riwayat yang mengatakan pada Haji Wada` (Zul Hijjah 10H).
7. Ada riwayat yang mengatakan, bahwa yang melarangnya secara mutlak adalah Umar bin Khattab Radhiyallahu 'anhu.

Berikut ini penjelasan tentang riwayat-riwayat tersebut.

• Riwayat yang menyatakan, bahwa larangan mut'ah dimulai pada umrah qadha [11], perang Tabuk[12] dan Haji Wada [13] tidak lepas dari kritikan, dan tidak dapat dijadikan pegangan.

Tinggallah tiga riwayat yang shahih, yang menerangkan pengharaman mut'ah. Yaitu saat perang Khaibar, Penaklukan kota Mekkah, perang Awthas. Riwayat-riwayat tersebut sebagai berikut :

Riwayat pengharaman nikah mut'ah pada masa perang Khaibar :

عَنْ مُحّمَّد بنِ عَلي أََنَّ عَليِاًّ رضى الله عنه قاَلَ لِابْنِ عَبَّاسٍ رضى الله عنهما : إِنَّ النَِّي صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنِ الْمُتْعَة ِوَ عِنْ لُحُوْمِ الْأَهْليِة ِزَمَنَ خَيْبَرَ

Dari Muhammad bin Ali (yang dikenal dengan sebutan Muhammad bin Hanafiah), bahwa ayahnya Ali (bin Abu Thalib) berkata kepada Ibnu Abbas Radhiyalahu 'anhuma : “Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang mut'ah dan daging keledai pada masa Khaibar”.[14]

Riwayat pengharaman nikah mut'ah pada penaklukan kota Mekkah, yaitu riwayat dari Rabi' bin Sabrah Radhiyallahu 'anhu, bahwa ayahnya berperang bersama Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pada penaklukkan kota Mekkah. Kami tinggal lima belas hari. Kemudian, oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kami diperbolehkan untuk mut'ah. Akupun keluar bersama seseorang dari kabilahku. (Kebetulan) aku mempunyai sedikit ketampanan, sedangkan kerabatku tersebut lebih mendekati jelek. Setiap kami membawa sal, salku jelek, sedangkan sal anak pamanku tersebut baru dan mengkilap. Ketika kami sampai di kaki Mekkah atau di puncaknya, kami bertemu dengan seorang gadis perawan, panjang lehernya semampai. Kami berkata,”Apakah engkau mau bermut'ah dengan salah seorang dari kami?" Dia berkata,”Dengan apa kalian bayar?” Maka setiap kami membentangkan salnya. Lalu wanita itu melihat kami, dan sahabatku itu melihat ketiaknya dan berkata: “Sesungguhnya sal dia jelek, sedangkan salku baru, mengkilap". Dia berucap,"Salnya tidak apa-apa,” dua kali atau tiga. Lalu aku melakukan mut'ah dengannya. Belum usai aku keluar dari Mekkah, kiranya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengharamkannya.[15]

Sedangkan riwayat yang mengharamkan nikah mut'ah pada saat perang Awthas, yaitu hadits Salamah bin al Akwa`.

• Mengkombinasikan antara riwayat-riwayat di atas, para ulama menggunakan dua metode.

Pertama : Metode tarjih (mengambil riwayat yang lebih kuat).
Sebagian para ulama mengatakan [16], bahwa lafadz hadits Ali, yaitu riwayat Ibnu Uyainah dari Zuhri ada kalimat yang didahulukan dan diakhirkan, karena beliau berucap kepada Ibnu 'Abbas jauh setelah kejadian [17]. Seharusnya ucapan beliau, "Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang makan daging keledai pada masa Khaibar dan melarang mut'ah". Dengan demikian, larangan mut'ah dalam riwayat ini tidak lagi ada secara tegas waktu Khaibar.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,"Para ulama berselisih, apakah mut'ah dilarang pada masa Khaibar? Ada dua pendapat. Dan yang shahih, larangan hanya pada masa penaklukan kota Makkah, sedangkan pelarangan waktu Khaibar hanya sebatas daging keledai. Hanya saja Ali berkata kepada Ibnu 'Abbas, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang mut'ah pada hari Khaibar, dan juga melarang makan daging keledai untuk memberi alasan (pengharaman) pada dua permasalahan tersebut kepada Ibnu 'Abbas. Maka para rawi menyangka, bahwa ikatan hari Khaibar kembali kepada dua hal itu, lalu mereka meriwayatkan dengan makna".[18]

Sedangkan riwayat pengharaman mut'ah pada perang Awthas atau Hunain, yaitu hadits Salamah bin Akwa`. Berhubung perang Awthas dan tahun penaklukan Mekkah pada tahun yang sama, maka sebagian ulama menjadikannya satu waktu, yaitu pada penaklukan Mekkah.

Kedua : Metode jamak (menggabungkan antara riwayat-riwayat).
Melihat pada semua riwayat yang shahih tentang pengharaman nikah mut'ah, bahwa telah berlaku pembolehan kemudian pelarangan beberapa kali. Diperbolehkan sebelum Khaibar, lalu diharamkan, kemudian diperbolehkan tiga hari penaklukan Mekkah, kemudian diharamkan hingga hari Kiamat.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata,"Tidak ada keraguan lagi, mut'ah diperbolehkan pada permulaan Islam. Sebagian ulama berpendapat, bahwa ia dihalalkan kemudian dimansukhkan (dihapus), lalu dihalalkan kemudian dimansukhkan. Sebagian yang lain berpendapat, bahwa penghalalan dan pengharaman berlaku terjadi beberapa kali." [19]

Al Qurthubi berkata,"Telah berkata Ibnul 'Arabi,'Adapun mut'ah, maka ia termasuk salah satu keunikan syari'ah; karena mut'ah diperbolehkan pada awal Islam kemudian diharamkan pada perang Khaibar, lalu diperbolehkan lagi pada perang Awthas kemudian diharamkan setelah itu, dan berlangsung pengharaman. Dan mut'ah -dalam hal ini- tidak ada yang menyerupainya, kecuali permasalahan kiblat, karena nasakh (penghapusan) terjadi dua kali, kemudian baru hukumnya stabil'."[20]

Bahkan sebagian ulama yang belum menyaring semua riwayat tentang mut'ah, mereka mengatakan telah terjadi tujuh kali pembolehan dan tujuh kali pelarangan.[21]

Kesimpulan Dari Pembahasan Di Atas.
Pertama : Telah terjadi perselisihan tentang waktu pengharaman. Ibnul Qayyim rahimahullah menguatkan riwayat yang mengatakan, bahwa pengharaman berlaku pada tahun penaklukan Mekkah.[22]

Kedua : Bagaimanapun perselisihan ini tidak mengusik haramnya nikah mut'ah; karena, sekalipun terjadi perselisihan, akan tetapi telah terjadi kesapakatan Ahlus Sunnah tentang haramnya.

Al Qurthubi berkata,”Pengharaman mut'ah telah berlaku stabil. Dan dinukilkan dari Ibnul 'Arabi, bahwa tekah terjadi Ijma' (kesepakatan) atas pengharamannya (yaitu ijma` Ahlus Sunnah yang datang kemudian, wallahu a`lam, Pen)." [23]

HUKUM ISLAM TENTANG NIKAH MUT'AH
Nikah mut'ah telah diharamkan oleh Islam dengan dalil Kitab, Sunnah dan Ijma', dan secara akal.

• Dari al Qur`an :

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ
إِلَّا عَلَىٰ أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
فَمَنِ ابْتَغَىٰ وَرَاءَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْعَادُونَ

Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela. Barangsiapa mencari yang dibalik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. [al Maarij : 29-31]

Allah Subhanahu wa Ta'ala menerangkan, sebab disahkan berhubungan badan hanya melalui dua cara. Yaitu: nikah shahih dan perbudakan. Sedangkan wanita mut'ah, bukanlah istri dan bukan pula budak. [24]

وَمَن لَّمْ يَسْتَطِعْ مِنكُمْ طَوْلًا أَن يَنكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِن مَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُم مِّن فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ۚ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِكُم ۚ بَعْضُكُم مِّن بَعْضٍ ۚ فَانكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ ۚ فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ ۚ ذَٰلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنكُمْ ۚ وَأَن تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَّكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaanya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman bagi wanita-wanita merdeka bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antaramu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [an Nisa`: 25].

Dalam ayat ini ada dua alasan. Pertama, jika nikah mut'ah diperbolehkan, maka tidak ada lagi alasan untuk tidak melakukannya bagi orang yang kesulitan menjaga diri atau keperluan untuk menikahi budak atau bersabar untuk tidak menikah [25]. Kedua, ayat ini merupakan larangan terhadap nikah mut'ah, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman "karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka". Sebagaimana diketahui, bahwa nikah seizin orang tua atau wali, itulah sebenarnya nikah yang disyariatkan, yaitu dengan wali dan dua orang saksi. Adapun nikah mut'ah, tidak mensyariatkan demikian. [26]

• Dalil dari Sunnah, yaitu semua riwayat yang telah disebutkan di atas merupakan dalil haramnya mut'ah.

• Adapun Ijma`, para ulama ahlus sunnah telah menyebutkan, bahwa para ulama telah sepakat tentang haramnya nikah mut'ah. Di antara pernyataan tersebut ialah :
1. Perkataan Ibnul 'Arabi rahimahullah , sebagaimana telah disebutkan di muka.
2. Imam Thahawi berkata,"Umar telah melarang mut'ah di hadapan para sahabat Rasulullah, dan tidak ada seorangpun yang mengingkarinya. Ini menunjukkan, bahwa mereka setuju dan menuruti apa yang telah dilarang. Dan juga bukti Ijma' mereka atas larangan tersebut adalah, bahwa hukum tersebut telah dihapus.[27]
3. Qadhi Iyadh berkata,"Telah terjadi Ijma' dari seluruh ulama atas pengharamannya, kecuali dari kalangan Rafidhah (kelompok Syi'ah, Pen)". [28
4. Dan juga disebutkan oleh al Khattabi: “Pengharaman mut'ah nyaris menjadi sebuah Ijma' (maksudnya Ijma' kaum Muslmin, Pen.), kecuali dari sebagian Syi'ah”. [29]

• Adapun alasan dari akal dan qiyas, sebagai berikut :[30]
1. Sesungguhnya nikah mut'ah tidak mempunyai hukum standar, yang telah diterangkan dalam kitab dan Sunnah dari thalak, iddah dan warisan, maka ia tidak berbeda dengan pernikahan yang tidak sah lainnya.

2. 'Umar telah mengumumkan pengharamannya di hadapan para sahabat pada masa khilafahnya dan telah disetujui oleh para sahabat. Tentu mereka tidak akan mengakui penetapan tersebut, jika pendapat 'Umar tersebut salah.

3. Haramnya nikah mut'ah, dikarenakan dampak negatif yang ditimbulkannya sangat banyak. Di antaranya
a. Bercampurnya nasab, karena wanita yang telah dimut'ah oleh seseorang dapat dinikahi lagi oleh anaknya, dan begitu seterusnya.
b. Disia-siakannya anak hasil mut'ah tanpa pengawasan sang ayah atau pengasuhan sang ibu, seperti anak zina.
c. Wanita dijadikan seperti barang murahan, pindah dari tangan ke tangan yang lain, dan sebagainya.

SEPUTAR IJTIHAD IBNU ABBAS RADHIYALLAHU 'ANHU DALAM MASALAH MUT'AH [31]
Dalam permasalahan ini, Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu mempunyai tiga pendapat.[32]

• Membolehkannya secara mutlak.
Disebutkan dari 'Atha`, beliau mendengar Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berpendapat bahwa nikah mut'ah boleh …[33]

• Membolehkannya dalam keadaan darurat. Riwayat ini yang termasyhur dari beliau.
Di antaranya riwayat dari Ubaidillah [34] : "Bahwa Abdullah bin Abbas berfatwa tentang mut'ah. Para ahli ilmu mencelanya karenanya, akan tetapi beliau tidak bergeming dari pendapatnya, hingga para ahli syair melantunkan syair tentang fatwanya :

Wahai kawan, kenapa engkau tidak melakukan fatwa Ibnu 'Abbas?
Apakah engkau tidak mau dengan si perawan sintal, dan seterusnya …

Maka berkatalah Ibnu Abbas: “Bukan itu yang aku maksud, dan bukan begitu yang aku fatwakan. Sesungguhnya mut'ah tidak halal, kecuali bagi yang terpaksa. Ketahuilah, bahwa ia tidak ubahnya seperti makan bangkai, darah dan daging babi”.

• Melarangnya secara mutlak, akan tetapi riwayat ini lemah. [35]

TANGGAPAN ULAMA TENTANG FATWA IBNU ABBAS RADHIYALLAHU A'NHU
• Tanggapan Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhu.
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Salim budak Ibnu 'Umar, ia berkata :
Dikatakan kepada Ibnu Umar: "Ibnu Abbas memberi keringanan terhadap mut'ah". Beliau (Ibnu 'Umar, Red) berkata,"Aku tidak percaya Ibnu Abbas mengucapkan itu." Mereka berkata,"Benar, demi Allah, beliau telah mengucapkannya,” lalu Ibnu Umar berkata,"Demi Allah, dia tidak akan berani mengucapkan itu pada masa Umar. Jika dia hidup, tentu dia hukum setiap yang melakukannya. Aku tidak mengetahuinya, kecuali (mut'ah, Red) itu perbuatan zina." [36]

• Khattabi berkata,"Ibnu Abbas membolehkannya bagi orang yang terdesak, karena lamanya membujang, kurangnya kemampuan. Lalu beliau berhenti dari fatwa tersebut (yaitu rujuk) [36]." Hal yang sama juga disampaikan oleh Ibnul Qayyim. [38]

• Al Hafizh Ibnu Hajar berkata,"Kalangan ulama menilai fatwa Ibnu Abbas dalam masalah mut'ah merupakan satu-satunya fatwa yang mengatakan boleh." [39]

Demikian permasalahan nikah mut'ah, atau padanan dalam bahasa kita dikenal dengan istilah kawin kontrak. Tak syak lagi, bahwa Rasulullah n telah mengharamkan praktek nikah mut'ah ini. Islam menutup sarana-sarana yang menjurus kepada perbuatan kotor dan menjijikan. Islam mengharamkan perzinaan yang berbalutkan pernikahan, atau pelacuran menggunakan baju kehormatan. Billahi taufiq.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun IX/1427H/2006M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Silahkan lihat Fiqih Sunnah, Sayyid Sabiq, Maktabah Ubaikan (2/104).
[2]. Jami' Ahkamin Nisaa`, Mushthafa al Adawi, Darus Sunnah (3/137).
[3]. Zadul Ma'ad, Ibnul Qayyim, Muassasah Risalah (5/108).
[4]. Jami' Ahkamu Nisaa` (3/169-170), dan silahkan lihat juga definisinya di dalam Subulus Salam, Ash Shan'ani, Darul Kutub Ilmiyah (3/243); al Mughni, Ibnu Qudamah, Dar Alam Kutub (10/46).
[5]. Subulus Salam, ash Shan'ani, Darul Kutub Ilmiyah (3/243).
[6]. Fiqhus Sunnah, Sayid Sabiq (2/132).
[7]. HR Muslim, 9/159, (1406).
[8]. HR Muslim, 9/159, (1406).
[9]. HR Muslim, 9/157, (1405).
[10]. Silahkan lihat pembahasan ini di dalam Jami' Ahkamin Nisaa`, Mushthafa al Adawi, Darus Sunnah (3/171-205).
[11]. Haditsnya diriwayatkan oleh Ibnu Manshur di dalam Sunan-nya (1/217), akan tetapi haditsnya mursal.
[12]. Haditsnya diriwaytakan oleh Ibnu Hibban, no.1267. Di dalam sanadnya terdapat rawi Mukmal bin Ismail dan Ikrimah bin Ammar. Keduanya tidak lepas dari kritikan, Jami' Ahkam Nisaa' (3/193).
[13]. Hadistnya diriwayatkan oleh Ahmad (3/404), Thabrani (6532), al Baihaqi di Sunan Kubra (7/204) dan yang lainnya. Riwayatnya Syaz (yaitu penyelisihan hadits ini dengan riwayat yang lebih kuat). Lihat Irwa` Ghalil (6/312).
[14]. HR Muslim, 9/161, (1407).
[15]. HR Muslim, 9/158, (1406).
[16]. Silahkan lihat Fathul Bari (9/168-169),
[17]. Di dalam riwayat Muslim disebutkan, bahwa terjadi perdebatan antara Ali yang memandang haramnya mut'ah dengan Ibnu Abbas yang awalnya membolehkan mut'ah. Kemudian Ali berkata kepadanya: “Engkau, orang yang bingung. Bahwasanya Nabi telah melarang kita dari daging keledai dan mut'ah pada perang Khaibar”.
[18]. Zadul Ma'ad, Ibnul Qayyim (4/111).
[19]. Tafsir al Qur`anil 'Azhim, Ibnu Katsir, Maktabah Ulum wal Hikam (1/449).
[20]. Jami' Ahkamil Qur`an, al Qurthubi, Dar Syi'ib (5/130-131).
[21]. Ibid. (5/131).
[22]. Silahkan lihat Zadul Ma'ad (3/460).
[23]. Jami' Ahkamil Qur`an (5/87).
[24]. Mukhtashar Itsna Asy'ariah, Mahmud Syukri al Alusi, hlm. 228.
[25]. Ibid.
[26]. Jami' Ahkamil Qur`an, al Qurthubi (5/130).
[27]. Syarh Ma'anil Atsar (3/27).
[28]. Fathul Bari, Ibnu Hajar (9/173).
[29]. Aunul Ma'bud, Khattabi, Darul Kutub Ilmiyah (6/59).
[30]. Silahkan lihat asy Syi'ah wal Mut'ah, Muhammad Malullah, Maktabah Ibnu Taimiyah, hlm.19; Mukhtashar Itsna Asy'ariah, Mahmud Syukri al Alusi, hlm. 227-228 dan Fiqih Sunnah, Sayid Sabiq (2/130-131).
[31]. Sebagian ulama menyebutkan nama sebagian sahabat yang berpendapat bolehnya mut'ah, akan tetapi sengaja tidak kami sebutkan, karena lemahnya riwayat dari mereka, atau rujuknya mereka tentang hal itu. Silahkan lihat Fahul Bari (9/174).
[32]. Silahkan lihat Irwa` Ghalil (6/319) dan Jami` Ahkamin Nisaa` (3/195).
[33]. HR Mushannaf, Abdurrazzaq (14022)
[34]. HR Muslim (9/174), dan ucapan Ibnu Abbas di atas disebutkan oleh al Baihaqi di dalam Sunan-nya (7/205).
[35]. Dikeluarkan oleh at Tirmidzi (1122) dan al Baihaqi (7/205). Dalam sanadnya terdapat Musa bin 'Ubaidah ar Rabzi, dan dia dha'if.
[36]. HRAbdur Razaq di Mushannaf-nya (14020) dengan sanad shahih. Lihat Jami` Ahkamin Nisaa' (3/199).
[37]. A'unul Ma'bud, Khattabi, Darul Kutub Ilmiyah (6/59).
[38]. Zadul Ma'ad (5/112).
[39]. Fathul Bari, Ibnu Hajar (9/173).
 
http://almanhaj.or.id/looks/default/images/btp.gif

© copyleft almanhaj.or.id

CINTA MUT'AH DAN KECANDUAN SEKS

Jangan dekati zina..LA  TQROBU   ZINA  (QS Al- Isra’ :  31)   lihat  juga  (Injil Matius 5 : 28)

Ada sebagian orang yang mengatakan bahwa ada banyak pornografi dalam Kitab Suci. Bagaimana kita harus menanggapi hal ini? Pertama- tama harus dipahami terlebih dahulu bahwa tidak semua hal yang tertulis di dalam Kitab Suci adalah sesuatu yang baik yang harus diikuti. Sebab di dalam Kitab Suci juga dituliskan tentang kejahatan manusia, agar manusia mengetahui bahwa perbuatan jahat tersebut keji di mata Allah, sehingga yang melakukannya harus menanggung akibatnya. Contohnya, perbuatan perzinahan yang dilakukan oleh Raja Daud dengan Batsyeba dicatat (lih. 2 Sam 11), bukan agar kita meniru perbuatan mereka, tetapi agar kita mengetahui bahwa setiap perbuatan dosa pasti membawa akibat negatif bagi diri kita sendiri.
Gereja Katolik mengajarkan bahwa pada saat membaca Kitab Suci, kita harus berusaha untuk memahami maksud yang hendak disampaikan oleh Allah yang bekerja melalui sang pengarang kitab tersebut. Oleh karena itu, pada saat membaca dan memahami Kitab Suci, Gereja tidak terpaku kepada suatu kata/ gaya bahasa tertentu dan menilainya dari sudut pandang manusia. Sebab manusia, oleh karena pengaruh dosa asal Adam, telah mempunyai kecenderungan berbuat dosa, sehingga pemahamannya tidak sempurna. Secara khusus, ketidaksempurnaan pemahaman ini adalah dalam hal seksualitas, yang sejak awal mula direncanakan Allah sebagai sesuatu yang sakral, dan baik adanya, namun kini cenderung tidak dipahami sebagaimana seharusnya. Dewasa ini, terdapat dua paham ekstrim tentang seksualitas, yaitu paham yang menganggap bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan seksualitas adalah tabu dan dosa; dan paham ekstrim lainnya, yang menjadikan seksualitas sebagai sesuatu yang didewa-dewakan, sehingga menjadi murahan, dan terkesan ‘diobral’. Kedua paham ini jelas ada di masyarakat dunia, dan ini secara tidak langsung dapat mempengaruhi cara pandang seseorang jika ia membaca tentang topik yang menyangkut seksualitas dalam Kitab Suci.
Pada awal mula penciptaan, Tuhan menciptakan segala sesuatunya baik adanya (bahkan dikatakan dalam Kitab Suci: bahwa Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh sangat baik (Kej 1:31) termasuk manusia dan seksualitas mereka, yang membedakan antara pria dan wanita. Maka dari sudut pandang Allah yang menjadikan manusia, seksualitas (termasuk tubuh manusia) adalah sesuatu yang baik, dan tidak vulgar ataupun kasar. Dikatakan dalam Kitab Suci bahwa pada saat diciptakan Allah, Adam dan Hawa juga tidak berpakaian (telanjang) namun mereka tidak merasa malu (Kej 1:25). Sulit membayangkan hal itu sekarang, karena pandangan kita sudah terbentuk sedemikian, karena pengaruh dosa asal Adam dan Hawa, sehingga kita cenderung untuk melihat seksualitas sebagai sesuatu yang tabu dan dosa. Hal ini disebabkan karena setelah jatuh dalam dosa, Adam dan Hawa kehilangan karunia integritas yang termasuk dalam ke-empat karunia awal/ “preternatural gifts“, yaitu 1) pengetahuan akan Allah, 2) integritas, dimana indera selalu tunduk kepada akal, 3) tidak dapat mati dan 4) tidak dapat menderita). Nah pemahaman kita yang tidak sempurna tentang seksualitas ini sedikit banyak dipengaruhi oleh hilangnya karunia integritas, yang menyebabkan tidak sinkronnya antara akal budi, kehendak dan keinginan inderawi.

Namun jika seksualitas dialami selaras dengan maksud Tuhan menciptakannya, yaitu antara sepasang suami istri, maka hal itu bukan sesuatu yang vulgar dan kasar. Hubungan seksual suami istri ataupun kekaguman suami terhadap keindahan tubuh istrinya juga bukan sesuatu yang vulgar dan kasar, sebab hal itu selaras dengan kehendak Tuhan. Menjadi vulgar dan kasar, jika ini dilakukan oleh pasangan yang bukan suami istri. Persatuan antara seorang suami dengan seorang istri yang digambarkan dengan persatuan tubuh sudah menjadi rencana Allah bagi manusia (lih. Kej 2:24; Mat 19:5; Mrk 10:10:7-8). Bahkan persatuan suami istri inilah yang tertulis dalam Kitab Suci (terutama dalam kitab Hosea, Yesaya, Yeremia dan Yehezkiel) merupakan gambaran akan keeratan persatuan kasih antara Tuhan dan umat pilihan-Nya dan kasih antara Kristus dan Gereja-Nya (Ef 5:32). Menurut ajaran Kristiani, perkawinan adalah sesuatu yang sakral dan bersifat monogam, total, dan tak terceraikan sampai mati, karena merupakan penggambaran dari kasih Allah sendiri kepada manusia.  Penggambaran ini merupakan salah satu perwujudan bahwa manusia diciptakan menurut gambaran Allah (lih. Kej 1:26), direncanakan oleh Allah untuk hidup memberikan kasih yang total, setia, tak bersyarat, seperti Allah yang adalah Kasih (1 Yoh 4:8).
Dengan dasar pemikiran ini, Gereja menerima Wahyu Allah dalam Kitab Suci seutuhnya, termasuk ayat- ayat yang menggambarkan seksualitas, dan tidak menganggapnya tabu; walaupun ayat- ayat tersebut tidak selalu mengacu kepada penggambaran yang berarti positif. Berarti positif, jika ayat- ayat tersebut mengacu kepada kekaguman pengantin pria terhadap pengantin wanita seperti dalam kitab Kidung Agung, namun berarti negatif, jika deskripsi tentang seksualitas mengisahkan bagaimana seksualitas tidak dilakukan dalam konteks suami istri namun sebagai tindakan perzinahan.
Dengan -prinsip inilah Gereja Katolik memahami maksud ayat-ayat yang kerap diperdebatkan:

1. Kej 35:22

Ayat ini mengisahkan bahwa Reuben, anak Yakub (yang disebut Israel) yang sulung, tidur dengan Bilha, yaitu gundik ayahnya. Perbuatan ini tidak berkenan di hadapan Allah, sehingga hak kesulungan Reuben diambil daripadanya dan diberikan kepada adiknya,Yehuda, seperti disebutkan oleh Yakub sesaat sebelum wafatnya dalam Kej 49, khususnya ay. 8-10. Pada garis keturunan Yehudalah, tongkat kepemimpinan Israel diberikan, dan semua saudara- saudaranya akan sujud kepadanya, demikian pula seluruh bangsa- bangsa takluk kepadanya.
Sedangkan mengapa Yakub mempunyai gundik, yang menunjukkan adanya poligami dalam Perjanjian Lama, sudah pernah dibahas di sini, silakan klik.

2. Kej 38:15-30

Mengenai maksud kisah Yehuda dan Tamar, sudah dibahas di sini, silakan klik.

3. 2 Sam 13:5-14

Perikop ini mengisahkan tentang perbuatan keji Amnon, anak sulung Daud dari Ahinoam orang Jezreel. Amnon memperkosa adik perempuan Absalom, yang bernama Tamar, yang juga adalah adiknya sendiri (adik lain ibu). Catatan: Tamar di sini tidak sama dengan Tamar dalam Kej 38.
Perbuatan Amnon ini tidak berkenan di mata Tuhan, sehingga Amnon menuai akibat perbuatannya dengan nyawanya sendiri. Ia mati dibunuh oleh orang- orang/ pegawai Absalom (lih. 2 Sam13:29).

4. 2 Sam 16:21-23

Ayat ini mengisahkan bahwa atas nasihat Ahitofel, Absalom menghampiri gundik- gundik ayahnya di depan mata seluruh Israel. Hal ini merupakan penggenapan dari hukuman yang dinyatakan Allah kepada Daud sebagaimana dikatakan oleh Nabi Natan (lih. 2 Sam 12:11) karena Daud telah menghina Tuhan dan melakukan yang jahat di mata-Nya, dengan mengambil Batsyeba istri Uria untuk menjadi istrinya, setelah ia berzinah dengannya dan untuk menutupi perbuatannya itu ia sampai membunuh Uria, suami Batsyeba. Maka dosa perzinahan yang dimulai Daud dari berjalan- jalan di atas sotoh istana (lih. 2 Sam 11:2), seolah-olah dibalas dengan perbuatan perzinahan Absalom anaknya sendiri yang menghampiri istri- istrinya, juga di atas sotoh (lih. 2 Sam 16:23). Maka perbuatan Absalom ini tentu bukan merupakan perbuatan terpuji, melainkan hal itu terjadi untuk memberikan pengajaran bahwa jika kita menabur dosa, maka kita akan juga menuai akibatnya.

5. Kej 19: 30-36

Perikop ini mengisahkan bagaimana setelah kota Sodom dan Gomorah dimusnahkan oleh Allah karena kejahatan mereka, tidak ada lagi laki- laki lain di negeri itu yang dapat memberikan keturunan kepada anak- anak perempuan Lot. Maka mereka membuat mabuk ayah mereka sendiri, agar ayah mereka tidur dengan mereka dan menyambung keturunan dari mereka. Hal incest ini memang bukan keadaan ideal, namun hal ini dicatat, juga dengan maksud tertentu. Demikianlah penjelasan The Navarre Bible, Pentateuch, Jose Maria Casciaro, ed. (Dublin: Four Court Press, 1999), p.111:
“Moab dan Amon [nama yang diambil dari nama anak-anak dari kedua anak perempuan Lot]adalah bangsa tetangga Israel, yang terletak di sisi timur sungai Yordan (lih. Bil 21:11,24). Penulis kitab kemungkinan menuliskan kejadian ini untuk memperlihatkan superioritas bangsa Israel sebagai bangsa yang diciptakan oleh rencana Allah yang sangat istimewa, mengatasi bangsa- bangsa lain di daerah itu. [Bangsa Israel diturunkan dari Abraham]. Orang- orang Moab dan Amon digambarkan sebagai bangsa yang inferior, karena asal usul mereka yang bermula dari hubungan incest, [antara Lot -keponakan Abraham- dan kedua anaknya."
Selanjutnya tentang incest/ perkawinan sesama saudara, sudah pernah dibahas di sini, silakan klik.

6. Ul 22:17

Teksnya berbunyi:
"...dan ketahuilah, ia menuduhkan perbuatan yang kurang senonoh dengan berkata: Tidak ada kudapati tanda-tanda keperawanan pada anakmu. Tetapi inilah tanda-tanda keperawanan anakku itu. Lalu haruslah mereka membentangkan kain itu di depan para tua-tua kota." (LAI)
"...He layeth to her charge a very ill name, so as to say: I found not thy daughter a virgin: and behold these are the tokens of my daughter's virginity. And they shall spread the cloth before the ancients of the city..." (Douay Rheims Bible)
"...and lo, he has made shameful charges against her, saying, "I did not find in your daughter the tokens of virginity." And yet these are the tokens of my daughter's virginity.' And they shall spread the garment before the elders of the city..." (Revised Standard Version)
"and behold, he has charged her with shameful deeds, saying, "I did not find your daughter a virgin." But this is the evidence of my daughter's virginity.' And they shall spread the garment before the elders of the city." (New American Bible)
Maka dalam Ul 22:17 (Deut 22:17) tidak dikatakan, "fathers sticking their fingers into their daughters" seperti yang anda sebutkan. Perkataan itu merupakan interpretasi pribadi orang tertentu tentang bagaimana membuktikan keperawanan seorang anak gadis. Orang itu menduga bahwa kain tersebut adalah untuk menutupi alat kelamin si gadis, dan ayahnya sendiri kemudian melakukan perbuatan tersebut. Namun di Kitab Suci sendiri tidak tertulis demikian dan tradisi Yahudi seperti yang dituliskan oleh para penulis Yahudi, juga menunjukkan bahwa bukan itu maksudnya. Kain yang dibentangkan tersebut, menurut tradisi Yahudi adalah kain seprei yang dipakai di ranjang pengantin. "Dan mereka harus membentangkan kain itu di hadapan tua- tua kota; sehingga mereka memperoleh bukti yang kelihatan dan bukti kebenaran tentang perkataannya .... Nampaknya baik ibu maupun ayah si gadis hadir dalam pembuktian ini, sebab dikatakan, "haruslah mereka membentangkan kain itu"; dan meskipun ibunya tidak bicara, ia adalah orang yang pantas untuk membawa kain ini dan membentangkannya; dan memang kain ini ada dalam pemeliharaannya, sebab demikianlah kita diberitahu... (Nachman. apud Fagium in loc. Schindler. Lex: Pentaglott. col. 260, 261) bahwa dua orang teman pengantin, masuk ke dalam kamar pengantin dan memeriksa tempat tidur.... mereka berjaga semalaman dengan suka cita seperti halnya menjaga seorang raja dan ratu (seperti gambaran pada Yoh 3:29); dan ketika pengantin pria dan wanita keluar, mereka segera masuk, memeriksa kembali tempat tidur, dan memberikan seprei yang atasnya pengantin telah berbaring kepada ibu pengantin wanita....." (dikutip dari John Gill's commentary on Deut 22:17)
Dengan demikian, penting pula dipahami keadaan budaya setempat pada waktu kitab itu ditulis, agar kita memahami makna yang ingin disampaikan oleh penulis Kitab Suci (lih. KGK 110).

7. Kid 4:5, 7:7

Kid 4:5:  "Seperti dua anak rusa buah dadamu, seperti anak kembar kijang yang tengah makan rumput di tengah-tengah bunga bakung" dan Kid 7:7 "Sosok tubuhmu seumpama pohon korma dan buah dadamu gugusannya."
Secara umum kitab Kidung Agung merupakan kumpulan kidung dan puisi cinta. Kidung tersebut merupakan puisi cinta antara sepasang kekasih yang mencapai kepenuhannya dalam perkawinan. Bangsa Yahudi menggunakan puisi cinta ini untuk merayakan kasih manusia pada perayaan perkawinan. Kitab ini dapat diinterpretasikan secara literal ataupun alegoris. Secara literal, adalah puisi cinta yang penuh simbol, yang mengisahkan kasih dan ketertarikan seksual antara seorang pria dan wanita. Namun secara alegoris, adalah kisah yang melambangkan kasih Allah kepada umat-Nya dan kasih mereka kepada Allah.
Kid 4 mengisahkan perumpamaan seorang perempuan yang cantik, yang dimaksudkan untuk menggambarkan kecantikan rohani dari sang mempelai wanita yaitu bangsa Israel (pada Perjanjian Lama), dan Gereja (pada Perjanjian Baru). Menurut interpretasi yang diajarkan oleh St. Bede,  'dua buah dada' yang disebutkan dalam Kid 4:5 adalah untuk menggambarkan adanya para pengajar dari dua bangsa, yaitu dari bangsa Yahudi dan dari bangsa-bangsa non- Yahudi. Mereka digambarkan sebagai buah dada, karena memberikan susu rohani kepada orang- orang kebanyakan yang tidak terpelajar.
Demikian pula St. Bede mengajarkan bahwa Kid 7 mengidentifikasikan keindahan seorang mempelai wanita, yaitu Gereja, yang menjulang tinggi, dan memberi makanan rohani kepada anggotanya.

8. Kej 4:1 "Kemudian manusia itu bersetubuh dengan Hawa, isterinya...."

Sesungguhnya, kata asli yang dipakai di sana adalah  יַדע (yāḏa‛), atau dalam bahasa Inggrisnya 'knew': dan dalam kamus tertulis artinya demikian: "to know, to learn, to perceive, to discern, to experience, to confess, to consider, to know people relationally, to know how, to be skillful, to be made known, to make oneself known, to make to know."
Jadi sesungguhnya kata yāḏa‛ tersebut, dalam Kitab Suci memang dapat mengacu kepada 'mengetahui/ memahami/ mengalami' pasangan secara mendalam, termasuk hubungan suami istri. Oleh karena itu, diterjemahkan oleh LAI dalam bahasa Indonesia, sebagai 'bersetubuh'.

9. Yeh 23, perikop tentang kakak beradik Ohola dan Oholiba.

Interpretasi Yeh 23: 20 tidak dapat dipisahkan dari makna keseluruhan perikop tentang kakak beradik Ohola dan Oholiba (keseluruhan Yeh 23) dan ayat- ayat lainnya dalam Kitab Suci. Dalam perikop Yeh 23 sendiri, dijelaskan bahwa kisah tersebut dimaksudkan untuk menjadi kisah perumpamaan bagi bangsa Israel yang tidak setia kepada Allah (lih. Mat 12:39). Dikatakan di Yeh 23:4, "... Ohola ialah Samaria dan Oholiba adalah Yerusalem." Samaria dan Yerusalem merupakan nama kedua kerajaan yang mewaliki suku- suku Israel dan suku Yehuda. Oholah dan Oholibah adalah kedua anak perempuan dari satu ibu, yang artinya berasal dari satu rumpun Israel. Ketika mereka di Mesir, mereka telah mengikuti kebiasaan berhala bangsa Mesir terhadap dewa- dewa mereka (lih. Yeh 20:7).
Maka 'berzinah' di perikop ini maksudnya adalah bagaimana bangsa Israel (Oholah dan Oholibah) beraliansi dengan bangsa- bangsa Asyur (lih. ay. 5 dan 11) dan berpaling/ melupakan dan membelakangi Tuhan (lih. ay. 35). Oholiba (Yerusalem) bahkan juga mengikuti kebiasaan orang Kasdim dan Babel (ay. 15-17) yaitu penyembahan berhala (ay. 37) dan ini dikatakan sebagai 'persundalan' (ay. 19, 27) atau perzinahan (ay. 37). Ayat 20, 21 merupakan penggambaran alegoris tentang bagaimana perzinahan itu dilakukan, yang merupakan kekejian yang menjijikkan di hadapan Allah, sehingga secara deskriptif digambarkan dengan ungkapan yang sedemikian. Maksudnya adalah untuk mengajar manusia, agar jangan sampai berpaling dari Allah dan menyembah allah- allah lain, sebab perbuatan tersebut merupakan hal yang menjijikkan bagi Allah.

10. Yeh 4:12-15.

".... engkau harus membakarnya [roti jelai]di atas kotoran manusia yang sudah kering….”
Walaupun nampaknya ayat ini sepertinya jorok/ tak terbayangkan, namun kenyataannya pada zaman dulu, kotoran ternak/ kotoran lembu yang sudah kering merupakan bahan bakar yang umum di daerah timur. Dengan demikian, karena dalam masa pengasingan itu bangsa Israel dalam keadaan kekurangan kayu bakar dan batu bara, mereka terpaksa menggunakan hal itu untuk mempersiapkan makanan mereka. Pada saat itu mereka terpaksa mengumpulkan segala jenis kotoran yang sudah kering. Di ayat tersebut dikatakan bahwa Nabi Yehezkiel diperintahkan untuk membakar rotinya di atas api dengan bahan bakar kotoran manusia yang sudah kering. Ini menunjukkan betapa ekstrim derajat kekurangan dan penderitaan yang harus mereka alami, karena mereka tidak dapat meninggalkan kota untuk mengumpulkan kotoran binatang buas, maka para penduduk kota pada saat pengepungan terpaksa menggunakan kotoran manusia yang kering sebagai bahan bakar. Namun demikian, akhirnya sang nabi diperkenankan mengganti bahan bakar ini dengan kotoran lembu (lih. Yeh 4:15).
Maka yang digambarkan di ayat tersebut adalah suatu fakta keadaan genting pada saat itu, dan bukannya merupakan suatu anjuran untuk diterapkan pada zaman sekarang.

11. Yehezkiel 16:1-63

Di dalam perikop ini digambarkan tentang apa yang dilakukan Tuhan terhadap bangsa Israel (kota Yerusalem), dan perbuatan mereka terhadap-Nya, dan penghukuman mereka melalui bangsa-bangsa di sekitar mereka, bahkan bangsa yang paling mereka percayai. Hal ini disampaikan dalam suatu perumpamaan tentang bagaimana kelahirannya seumpama seorang bayi yang terlantar yang diselamatkan dari kematian, diasuh, dijadikan kekasih, dan dipenuhi segala keperluannya, dihiasinya dengan limpah. Namun kemudian ia bersalah karena melakukan perbuatan yang paling menjijikkan, dengan berbuat sundal; dan karena itu menerima hukumannya. Tapi akhirnya Allah menerimanya dan memulihkannya kembali (ay. 53) dan ia menjadi malu akan perbuatannya yang salah (ay. 61).
Maka perikop ini harus dipahami dalam kaitannya dengan perumpamaan bahwa Allah begitu mengasihi bangsa Israel, yang dipungut-Nya dari keadaan yang terbuang; Allah membesarkannya dan menjadikan Yerusalem sebagai mempelai-Nya (istri-Nya), namun kemudian bangsa itu mengkhianati Allah, sebagaimana seorang istri mengkhianati suaminya dengan berbuat sundal. Persundalan ini digambarkan sedemikian rupa dengan ungkapan yang sangat gamblang, namun maksudnya adalah untuk menunjukkan betapa menjijikkannya perbuatan berhala-berhala yang dilakukan oleh bangsa Israel, yang merupakan perbuatan menduakan Tuhan. Perbuatan ini sungguh melanggar perintah Tuhan, sebagaimana disebutkan dalam perintah pertama dan utama dalam kesepuluh perintah Allah.
Maka kita tidak dapat menilai pernyataan/ ungkapan-ungkapan di ayat-ayat tersebut dengan pemahaman modern, tetapi dengan memperhitungkan makna ungkapan tersebut pada saat dan tempat yang bersangkutan, di mana ungkapan tersebut tidak diartikan sama dengan apa yang kita pahami sekarang. Tujuan dari penggunaan ungkapan-ungkapan tersebut adalah untuk meningkatkan kebencian terhadap perbuatan penyembahan berhala (menyembah allah lain selain Allah), dan untuk maksud inilah perumpamaan tersebut dituliskan

12. Hos 1:2-3; Hos 4:14

Kitab Hosea memang dimaksudkan Allah untuk mengajar umat Israel dengan melihat teladan kesetiaan Nabi Hosea yang menggambarkan kesetiaan Allah. Nabi Hosea, memang diperintahkan oleh Allah untuk menikahi seorang zânâh/ perempuan sundal, demi memberi pengajaran kepada bangsa Israel yang telah bersundal hebat dan berpaling dari Tuhan karena berhala- berhala mereka (lih. Hos 1:2; 4:14). Maka perkawinan Nabi Hosea dengan Gomer ini tidaklah untuk diinterpretasikan terpisah dari maksud Allah untuk mengajar umat-Nya, yaitu bahwa walaupun umat-Nya tidak setia, Allah tetap setia. Allah mengutus nabinya, Nabi Hosea, untuk menampakkan kasih setia Allah kepada umat-Nya, sama seperti Ia memerintahkan Hosea untuk tetap setia kepada Gomer istrinya yang telah mengkhianatinya.
Maka inti dari kitab Hosea tersebut adalah bahwa Allah memanggil bangsa pilihan-Nya untuk bertobat dari berhala mereka yang merupakan perbuatan sundal di hadapan Allah; sambil mengingatkan kepada mereka, bahwa jika mereka bertobat, Allah akan mengampuni mereka. Hal ini jelas disebutkan dalam Hos 14.
Dengan melihat makna ini, maka tidaklah benar jika seseorang menyimpulkan bahwa secara umum Allah memperbolehkan atau bahkan menyuruh seseorang menikah dengan pelacur. Karena yang terjadi pada kasus Hosea itu adalah kasus yang khusus, dan sungguh menuntut pengorbanan dan kelapangan hati dari pihak Nabi Hosea untuk tetap setia kepada istrinya yang telah mengkhianatinya dengan berzinah. Dengan demikian, kesetiaan Nabi Hosea kepada istrinya menjadi gambaran kasih setia Allah kepada Israel bangsa pilihan-Nya, walaupun bangsa itu kerap tidak setia. Namun secara umum untuk semua orang, Allah tidak menghendaki hal tersebut. Ini terlihat bahwa Allah dengan jelas melarang perzinahan (lihat perintah 6 dan 9 dari kesepuluh perintah Allah, Kel 20: 14, 17).
Agaknya dalam menginterpretasikan Kitab Suci, kita tidak boleh hanya terpaku pada apa yang secara literal tertulis tanpa berusaha memahami apa sebenarnya yang ingin disampaikan oleh para penulis Kitab Suci pada saat menuliskan Wahyu Allah itu. [Jika tidak, kita akan terperangkap dalam pemahaman sempit seperti pandangan yang anda kutip]. Sebab selalu ada kaitan antara satu ayat dengan ayat yang lain dalam kesatuan Kitab Suci, dan bahwa kita harus membaca Kitab Suci dalam kesatuan dengan Tradisi Gereja (yaitu dengan memperhatikan pengajaran para Bapa Gereja) dan bahwa kita harus memperhatikan analogi iman/ kisah iman yang ingin disampaikan (lih. KGK 112-114). Mari kita mengingat kembali apa yang disampaikan dalam Katekismus:
KGK 109    Di dalam Kitab Suci Allah berbicara kepada manusia dengan cara manusia. Penafsir Kitab Suci harus menyelidiki dengan teliti, agar melihat, apa yang sebenarnya hendak dinyatakan para penulis suci, dan apa yang ingin diwahyukan Allah melalui kata-kata mereka (Bdk. Dei Verbum 12,1).
Semoga Roh Kudus memimpin kita kepada pemahaman akan Sabda Allah dan akan makna yang disampaikannya.

About Author



Shalom Yohanes,
Dalam mengkanon-kan kitab-kitab, Gereja melihat dan menerima kitab-kitab itu secara keseluruhan, dan melihat setiap ayat Kitab Suci dalam kaitannya dengan ayat-ayat lainnya dalam Kitab Suci. Demikianlah Gereja membaca dan menginterpretasikan Kitab Suci. Gereja menerima sabda Tuhan itu apa adanya, yang menyampaikan juga suatu realita bahwa pernah terjadi hal-hal sedemikian dalam sejarah umat manusia. Kejahatan manusia, dosa-dosa ketidakmurnian karena faktor kelemahan manusia, disampaikan dengan jujur apa adanya, untuk melihat bagaimana Allah tetap memenuhi janji-Nya untuk menyelamatkan manusia, betapapun manusia telah berdosa. Adanya ayat-ayat tersebut, juga semakin menunjukkan perlunya seseorang membaca Kitab Suci dalam bimbingan Gereja, agar tidak salah menginterpretasikannya, karena membatasi diri pada pemahaman pribadi, tanpa melihat suatu ayat dalam kaitannya dengan keseluruhan Kitab Suci.
Dengan pemahaman akan inti ajaran Kitab Suci yang menyampaikan rencana keselamatan umat manusia, maka Gereja menerima kitab Kejadian apa adanya, tanpa menggunting fakta terjadinya kisah Reuben, anak sulung Yakub, yang berlaku tak sepantasnya dengan gundik ayahnya itu, sehingga Allah tak berkenan kepadanya; dan memberikan hak kesulungannya kepada adiknya, yaitu Yehuda (lih. Kej 49:8-10). Pada garis keturunan Yehuda inilah kelak Yesus terlahir sebagai keturunan bangsa Israel. Di sini terlihat, kalau orang hanya memusatkan perhatian kepada satu ayat itu (yaitu perbuatan Reuben yang tidur dengan gundik ayahnya) maka ia akan kehilangan pemahaman terhadap makna keseluruhan rencana penyelamatan Allah. Sedangkan kalau kita melihat kisah Reuben itu sebagai bagian dari keseluruhan mosaik rencana keselamatan Allah, maka kita dapat menarik beberapa point pengajaran, yaitu antara lain adalah: 1) setiap perbuatan dosa yang dilakukan manusia selalu memberikan konsekuensi; 2) Allah selalu berlaku adil; 3) walaupun manusia berdosa dan tidak setia, namun Allah selalu setia pada perjanjian-Nya; 4) Sesuai dengan janji-Nya sejak awal mula kejatuhan manusia, dan sebagaimana dijanjikan-Nya kepada Abraham, Allah tetap mengutus Kristus Putera-Nya, yang dilahirkan dari garis keturunannya yang setia menghargai perintah-perintah Allah.
Maka dalam membaca Kitab Suci, kita perlu membaca ayat-ayat dalam kaitannya dengan ayat-ayat yang lain, sebab dengan demikian, kita membacanya sesuai dengan kehendak Allah, dan dalam tuntunan Roh Kudus yang menginspirasikannya. Sedangkan kalau kita membaca Kitab Suci hanya dengan memusatkan diri pada ayat-ayat tertentu saja, apalagi dengan maksud mencari ayat-ayat yang dapat dikritik, maka kita tidak membaca ayat-ayat tersebut sesuai dengan maksud penulisannya, yaitu untuk membantu kita memahami keseluruhan rencana keselamatan Allah yang akhirnya digenapi di dalam Kristus.
Selain itu, fakta bahwa dalam Kitab Suci juga tertulis hal-hal yang tidak semuanya baik, itu juga bermaksud mendidik umat Tuhan. Perbuatan-perbuatan yang tak baik itu dicatat, bukan supaya ditiru, tetapi untuk dihindari, sebab Allah tidak berkenan akan hal itu. Fakta bahwa kejadian-kejadian negatif ini juga ditulis dalam Kitab Suci, justru semakin mendukung otentisitas Kitab Suci, yang tidak direkayasa oleh pengarangnya sampai hal-hal yang negatif tidak disampaikan. Sebaliknya kejadian-kejadian yang negatif, termasuk dosa-dosa yang dilakukan oleh orang-orang pilihan Allah, tetap dituliskan, agar memberikan pelajaran kepada kita, supaya kita tidak melakukannya, sebab perbuatan sedemikian akan merugikan diri kita sendiri.
Kitab- kitab apokrif tidak termasuk dalam Kitab Suci, sebab Gereja memandangnya bukan sebagai kitab-kitab yang ditulis atas inspirasi Roh Kudus. Sebab kata ‘apokrif’ arti harafiahnya adalah ‘tidak jelas asal usulnya’, karena tidak dapat dipastikan bahwa pengarang kitab itu adalah nama yang tertulis sebagai pengarangnya. Demikianlah tidak dapat dipastikan bahwa Tomas adalah yang mengarang injil Tomas, Yudas adalah yang mengarang injil Yudas, dan seterusnya, karena ditemukannya naskah injil-injil itu adalah berabad setelah kematian nama pengarangnya, dan tidak ada kesaksian dari tulisan di zaman itu yang mengkonfirmasi bahwa pengarang itulah yang menuliskan kitab tersebut. Dengan demikian, tak dapat dipastikan bahwa injil itu ditulis oleh orang yang bersangkutan, dan lebih lagi, tak dapat dikatakan bahwa tulisan itu diinspirasikan oleh Roh Kudus yang sama yang memberikan inspirasi kepada para Rasul. Ini berbeda dengan ke-empat Injil: Matius, Markus, Lukas dan Yohanes, yang benar-benar disusun oleh pengarang yang bersangkutan. Selanjutnya tentang hal ini, silakan membaca di artikel ini, silakan klik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
salom
itu kata penutupnya gak salah itu
semoga roh kudus memimpin kita kepada pemahaman akann sabda allah dan akan makna yang disampaikannya
pertanyaan saya mengapa allah (tuhan) bersabda bukan berfirman

[dari katolisitas: Anda dapat memakai berfirman atau bersabda. Lihat Mat 22:31 “Tetapi tentang kebangkitan orang-orang mati tidakkah kamu baca apa yang difirmankan Allah, ketika Ia bersabda:…”. Bandingkan juga dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia akan kata Firman dan Sabda.
Aku Berdoa bagi Saudara Abu Hanan yang begitu berani Mencela Tuhan dengan “Tuhan Telah Menjadi Bodoh”. Ajaran Katolik mengutamakan penghormatan atas Tuhan dari segala-galanya, karena Ia yang Empunya Langit dan Bumi dan untuk itu perbuatan spt itu adalah dosa besar. Saya mengajak saudara Abu Hanan untuk Bertobat tidak mengucap kalimat yg sama.
Keempat injil adalah dengan masing-masing pengarang. Andaikan sebuah kejadian yang dihadiri oleh empat orang maka saya sangatlah yakin metode dalam menceritakan kembali antara empat orang itu adalah berbeda tapi satu yang pasti kebenaran atau kesimpulan yg disampaikan pastilah sama. Oleh sebab itulah menurut saya meskipun cara penyampaian keempat pengarang Injil berbeda akan tetapi kesimpulannya sama bahwa Yesus ditangkap karena sebuah pengkhianatan dari salah satu muridnya.
Saya adalah Katolik yg memang tidak tahu banyak tapi saya memiliki satu keyakinan” Yesus Adalah Putra Allah” yang membebaskan manusia dari dosa-dosanya.
Katolik tidak mencela agama lain tapi kenapa saudara kita yg lain begitu membenci kita. Mungkin itulah Upah yang harus kita terima ketika memutuskan Mengikuti Kristus Juru Selamat Manusia. AMIN

[dari katolisitas: Kita ambil sisi positifnya saja, bahwa mereka mempunyai maksud baik untuk mewartakan kebenaran. Jadi, menjadi tugas kita juga untuk menggali kebenaran yang telah ada di dalam Gereja Katolik, yang berakar pada Kristus.]
Yth. Pengasuh katolisitas,
Terus terang, saya (katolik) sering risih dengan “semacam” olok-olok dari saudara-saudara kita (islam) yang mengutip ayat-ayat yang terdapat dalam Injil dan dikatakan bahwa ayat-ayat yang tersebut dibawah ini jorok dan cabul. Bagimana menjelaskan hal ini kepada mereka, karena saya sendiri “belum” bisa menafsirkan isi/kandungan dari ayat tersebut. Terima kasih.
Ini saya “copy paste” pernyataan tersebut…..
Ayat-Ayat Jorok, contohnya : silahkan buka Alkitab dan baca Yehezkiel 4:12-15
(12). Makanlah roti itu seperti roti jelai yang bundar dan engkau harus membakarnya diatas kotoran manusia yang sudah kering di hadapan mereka. (13). Selanjutnya Tuhan berfirman: “Aku akan membuang orang Israel ke tengah-tengah bangsa-bangsa dan demikianlah mereka akan memakan rotinya najis di sana.” (14). Maka kujawab: “Aduh,Tuhan Allah, sesungguhnya, aku tak pernah dinajiskan dan dari masa mudaku sampai sekarang tak pernah kumakan bangkai atau sisa mangsa binatang buas; daging yang sudah basi.” (15). Lalu firman-Nya kepadaku: “Lihat, kalau begitu Aku mengizinkan engkau memakai kotoran lembu ganti kotoran manusia dan bakarlah rotimu di atasnya.”
Ayat-Ayat Cabul (Porno), contohnya : silahkan anda baca Alkitab anda yaitu pada kitab Yehezkiel pasal 16 ayat 7-8
(7) Engkau menjadi besar dan sudah cukup umur, bahkan sudah sampai pada masa mudamu. Maka buah dadamu sudah montok, rambutmu sudah tumbuh, tetapi engkau dalam keadaan telanjang bugil. ( Maka Aku lari dari situ dan Aku melihat engkau, sungguh, engkau sudah sampai pada masa cinta birahi. Aku menghamparkan kain-Ku kepadamu dan menutupi auratmu. Dengan sumpah Aku mengadakan perjanjian dengan engkau, demikianlah firman Tuhan Allah, dan dengan itu engkau Aku punya.
Silahkan anda baca lagi dalam Alkitab yaitu pada Yehezkiel pasal 23 ayat 1-3 :
(1) Datanglah firman Tuhan kepadaku : (2) “Hai anak manusia, ada dua orang perempuan, anak dari satu ibu. (3) Mereka bersundal di Mesir, mereka bersundal pada masa mudanya; disana susunya dijamah-jamah dan dada keperawanannya dipegang-pegang.
Silahkan buka kitab Yehezkiel pasal 23 ayat 18-21 :
(18). Oleh karena ia melakukan persundalannya dengan terang terangan dan memperlihatkan sendiri auratnya, maka Aku menjauhkan diri karena jijik dari padanya, seperti Aku menjauhkan diri dari adiknya. (19) Ia melakukan lebih banyak lagi persundalannya sambil teringat kepada masa mudanya, waktu ia bersundal di tanah Mesir. (20) Ia berahi kepada kawan-kawannya bersundal, yang auratnya seperti aurat keledai dan zakarnya seperti zakar kuda. (21) Engkau menginginkan kemesuman masa mudamu, waktu orang Mesir memegang-megang dadamu dan menjamah-jamah susu kegadisanmu.
Nah sekarang silahkan anda baca dalam Alkitabmu yaitu pada kitab Yehezkiel pasal 16 ayat 25-26 berikut ini :
(25) Pada setiap persimpangan jalan yang engkau membangun bukti pengorbanan dan menjual kecantikanmu menjadi kekejian dengan merenggangkan kedua pahamu bagi setiap orang yang lewat, sehingga persundalanmu bertambah-tambah. (26) Engkau bersundal dengan orang Mesir, tetanggamu, si aurat besar itu, sehingga persundalanmu bertambah-tambah, yang menimbulkan sakit hati-Ku.
Selanjutnya silahkan anda baca lagi pada kitab yang sama yaitu kitab Yehezkiel 16:32-37.
(32) Hai isteri yang berzinah, yang memeluk orang-orang lain ganti suaminya sendiri. (33) Kepada semua perempuan sundah yang memberi upah, tetapi engkau sebaliknya, engkau yang memberi hadiah umpan kepada semua yang mencintai engkau sebagai bujukan, supaya mereka dari sekitarmu datang kepadamu untuk bersundal. (34) Maka dalam persundalanmu engkau adalah kebalikan dari perempuan-perempuan yang lain; bukan orang yang mengejar engkau tidak diberi apa-apa; itulah kebalikannya padamu. (35) Oleh karena itu, hai perempuan sundal, dengarkanlah firman tuhan! (36) Beginilah firman Tuhan Allah: Oleh karena engkau menghamburkan kemesumanmu dan auratmu disingkapkan dalam persundalanmu dengan orang yang mencintai dan dengan berhala-hala yang keji dan oleh karena darah anak-anakmu yang engkau persembahkan kepada mereka, (37) sungguh, oleh karena itu Aku akan mengumpulkan semua kekasihmu, yaitu yang merayu hatimu, baik yang engkau cintai maupun yang engkau benci; Aku akan mengumpulkan mereka dari sekitarmu untuk melawan engkau dan Aku akan menyingkap auratmu di hadapan mereka, sehingga mereka melihat seluruh kemaluanmu.
Perhatikan ayat Alkitab Hosea 1:2-3 berikut ini :
(2) Ketika Tuhan mulai berbicara dengan perantaraan Hosea, berfirmanlah Ia kepada Hosea: “Pergilah, kawinilah seorang perempuan sundal, karena negeri ini bersundal hebat dengan membelakangi Tuhan.” (3) Maka pergilan ia dan mengawnini Gomer binti Diblaim, lalu mengandungkah perempuan itu dan melahirkan bayinya seorang laki-laki.
Bahkan dalam ayat lain Tuhan berfirman bahwa Dia tidak akan menghukum pelacur dan pesundal serta para pezinah, perhatikan ayat Hosea 4:14 sebagai berikut :
“Aku tidak akan menghukum anak-anak perempuanmu sekalipun berzinah, atau menantu-menantu perempuan, sekalipun mereka bersundal, sebab mereka sendiri mengasingkan diri bersama-sama dengan perempuan-perempuan sundal dan mempersembahkan korban bersama-sama dengan sundal-sunda bakti, dan umat yang tidak berpengertian akan runtuh.
Alkitab Kejadian 19:30-36 menceriterakan Nabi Lot menghamili dua anak gadisnya:
(30) Pergilah Lot dari Zoar ia menetap bersam-sama dengan kedua anaknya perempuan di pegunungan, sebab ia tidak berani tinggal di Zoar, maka diamlah ia dalam suatu goa beserta kedua anaknya.
(31) Kata kakaknya kepada adiknya : “Ayah kita telah tua, dan tidak ada laki-laki di negeri ini yang dapt menghampiri kita, seperti kebiasaan seluruh bumi. (32) Marilah kita beri ayah minum anggur, lalu kita tidur dengan dia, supaya kita menyambung keturunan dari ayah kita.
(33) Pada malam itu mereka memberi ayah mereka minum anggur, lalu masuklah yang lebih tua untuk tidur dengan ayahnya; dan ayahnya iitu tidak mengetahui ketika anaknya itu tidur dan ketika bangun.
(34) Keesokan harinya kakaknya kepada adiknya : “Tedi malam aku telah tidur dengan ayah; baiklah malam ini juga kita beri minum anggur; masuklah engkau untuk tidur dengan dia, supaya kita menyambung keturunan dari ayah kita.”
(35) Demikianlah juga pada malam iti memeria memberi ayah mereka minum anggur, lalu bangunlah yang lebih mudas untuk tidur dengan ayahnya: dan ayahnya itu tidak mengetahui ketika anaknya itu tidur dan ketika ia bangun.
(36) lalu mengandunglah kedua anak Lot itu dari ayah mereka.

Shalom Alex,
Pertama-tama harus diketahui bahwa untuk memahami makna Kitab Suci, kita perlu memahami apa yang menjadi maksud penulisan ayat-ayat tersebut, yang tak jarang juga menggunakan kiasan dan gaya bahasa yang berlaku pada saat kitab tersebut dituliskan. Tentang hal ini maka diperlukan kerendahan hati untuk mempelajarinya, dan bukan hanya menilainya dengan pemahaman kita pada zaman sekarang, apalagi tanpa melihat konteks yang sedang dibicarakan.
Tentang topik “Pornografi di dalam Kitab Suci?” sudah pernah dibahas di sini, silakan klik.
Sekarang mari kita melihat ayat-ayat yang ditanyakan:

1. Yeh 4:12-15.

“…. engkau harus membakarnya [roti jelai] di atas kotoran manusia yang sudah kering….”
Walaupun nampaknya ayat ini sepertinya jorok/ tak terbayangkan, namun kenyataannya pada zaman dulu, kotoran ternak/ kotoran lembu yang sudah kering merupakan bahan bakar yang umum di daerah timur. Dengan demikian, karena dalam masa pengasingan itu bangsa Israel dalam keadaan kekurangan kayu bakar dan batu bara, mereka terpaksa menggunakan hal itu untuk mempersiapkan makanan mereka. Pada saat itu mereka terpaksa mengumpulkan segala jenis kotoran yang sudah kering. Di ayat tersebut dikatakan bahwa Nabi Yehezkiel diperintahkan untuk membakar rotinya di atas api dengan bahan bakar kotoran manusia yang sudah kering. Ini menunjukkan betapa ekstrim derajat kekurangan dan penderitaan yang harus mereka alami, karena mereka tidak dapat meninggalkan kota untuk mengumpulkan kotoran binatang buas, maka para penduduk kota pada saat pengepungan terpaksa menggunakan kotoran manusia yang kering sebagai bahan bakar. Namun demikian, akhirnya sang nabi diperkenankan mengganti bahan bakar ini dengan kotoran lembu (lih. Yeh 4:15).
Maka yang digambarkan di ayat tersebut adalah suatu fakta keadaan genting pada saat itu, dan bukannya merupakan suatu anjuran untuk diterapkan pada zaman sekarang.

2. Yehezkiel 16:1-63

Di dalam perikop ini digambarkan tentang apa yang dilakukan Tuhan terhadap bangsa Israel (kota Yerusalem), dan perbuatan mereka terhadap-Nya, dan penghukuman mereka melalui bangsa-bangsa di sekitar mereka, bahkan bangsa yang paling mereka percayai. Hal ini disampaikan dalam suatu perumpamaan tentang bagaimana kelahirannya seumpama seorang bayi yang terlantar yang diselamatkan dari kematian, diasuh, dijadikan kekasih, dan dipenuhi segala keperluannya, dihiasinya dengan limpah. Namun kemudian ia bersalah karena melakukan perbuatan yang paling menjijikkan, dengan berbuat sundal; dan karena itu menerima hukumannya. Tapi akhirnya Allah menerimanya dan memulihkannya kembali (ay. 53) dan ia menjadi malu akan perbuatannya yang salah (ay. 61).
Maka perikop ini harus dipahami dalam kaitannya dengan perumpamaan bahwa Allah begitu mengasihi bangsa Israel, yang dipungut-Nya dari keadaan yang terbuang; Allah membesarkannya dan menjadikan Yerusalem sebagai mempelai-Nya (istri-Nya), namun kemudian bangsa itu mengkhianati Allah, sebagaimana seorang istri mengkhianati suaminya dengan berbuat sundal. Persundalan ini digambarkan sedemikian rupa dengan ungkapan yang sangat gamblang, namun maksudnya adalah untuk menunjukkan betapa menjijikkannya perbuatan berhala-berhala yang dilakukan oleh bangsa Israel, yang merupakan perbuatan menduakan Tuhan. Perbuatan ini sungguh melanggar perintah Tuhan, sebagaimana disebutkan dalam perintah pertama dan utama dalam kesepuluh perintah Allah.
Maka kita tidak dapat menilai pernyataan/ ungkapan-ungkapan di ayat-ayat tersebut dengan pemahaman modern, tetapi dengan memperhitungkan makna ungkapan tersebut pada saat dan tempat yang bersangkutan, di mana ungkapan tersebut tidak diartikan sama dengan apa yang kita pahami sekarang. Tujuan dari penggunaan ungkapan-ungkapan tersebut adalah untuk meningkatkan kebencian terhadap perbuatan penyembahan berhala (menyembah allah lain selain Allah), dan untuk maksud inilah perumpamaan tersebut dituliskan.

3. Yeh 23:1-23

Tentang makna perikop tentang kakak beradik Ohola dan Oholiba, sudah pernah dibahas di jawaban ini silakan klik, lihat point 3.

4. Hos 1:2-3; Hos 4:14

Kitab Hosea memang dimaksudkan Allah untuk mengajar umat Israel dengan melihat teladan kesetiaan Nabi Hosea yang menggambarkan kesetiaan Allah. Nabi Hosea, memang diperintahkan oleh Allah untuk menikahi seorang zânâh/ perempuan sundal, demi memberi pengajaran kepada bangsa Israel yang telah bersundal hebat dan berpaling dari Tuhan karena berhala- berhala mereka (lih. Hos 1:2; 4:14). Maka perkawinan Nabi Hosea dengan Gomer ini tidaklah untuk diinterpretasikan terpisah dari maksud Allah untuk mengajar umat-Nya, yaitu bahwa walaupun umat-Nya tidak setia, Allah tetap setia. Allah mengutus nabinya, Nabi Hosea, untuk menampakkan kasih setia Allah kepada umat-Nya, sama seperti Ia memerintahkan Hosea untuk tetap setia kepada Gomer istrinya yang telah mengkhianatinya.
Maka inti dari kitab Hosea tersebut adalah bahwa Allah memanggil bangsa pilihan-Nya untuk bertobat dari berhala mereka yang merupakan perbuatan sundal di hadapan Allah; sambil mengingatkan kepada mereka, bahwa jika mereka bertobat, Allah akan mengampuni mereka. Hal ini jelas disebutkan dalam Hos 14.
Dengan melihat makna ini, maka tidaklah benar jika seseorang menyimpulkan bahwa secara umum Allah memperbolehkan atau bahkan menyuruh seseorang menikah dengan pelacur. Karena yang terjadi pada kasus Hosea itu adalah kasus yang khusus, dan sungguh menuntut pengorbanan dan kelapangan hati dari pihak Nabi Hosea untuk tetap setia kepada istrinya yang telah mengkhianatinya dengan berzinah. Dengan demikian, kesetiaan Nabi Hosea kepada istrinya menjadi gambaran kasih setia Allah kepada Israel bangsa pilihan-Nya, walaupun bangsa itu kerap tidak setia. Namun secara umum untuk semua orang, Allah tidak menghendaki hal tersebut. Ini terlihat bahwa Allah dengan jelas melarang perzinahan (lihat perintah 6 dan 9 dari kesepuluh perintah Allah, Kel 20: 14, 17).

5. Kej 19: 30-36

Tentang ini sudah dibahas di artikel di atas, silakan klik, lihat point 5.
Demikian yang dapat saya sampaikan tentang pertanyaan Anda. Semoga berguna. Kita perlu mengakui bahwa ada banyak ayat-ayat dalam Kitab Suci yang memang memerlukan penjelasan lebih lanjut agar kita dapat semakin memahami maknanya. Hal ini selayaknya mendorong kita untuk dengan kerendahan hati mempelajarinya, dan tidak hanya berpuas dengan pemahaman/ pengertian kita sendiri yang terbatas. 
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
  1. http://0.gravatar.com/avatar/0777e5b34532966c96912bd0428f2d77?s=40&d=http%3A%2F%2Fkatolisitas.org%2Fwp-content%2Fthemes%2Fsmart-mag%2Fimages%2Fnophoto.gif%3Fs%3D40&r=G
yusup sumarno on
Konsili Vatikan II menyatakan, “Bunda Gereja yang kudus, berdasarkan iman para Rasul, memandang Kitab-kitab Perjanjian Lama maupun Baru secara keseluruhan, beserta semua bagian-bagiannya, sebagai buku-buku yang suci dan kanonik, karena ditulis dengan ilham Roh Kudus (lih. Yoh 20:31 ; 2Tim 3:16 ; 2Ptr 1:19-21 ; 2Ptr 3:15-16), dan mempunyai Allah sebagai pengarangnya, serta dalam keadaannya demikian itu diserahkan kepada Gereja.”[26]. Kitab-kitab ini “degan jelas dan setia, tanpa kesalahan, mengajarkan kebenaran yang ingin disampaikan oleh Tuhan demi keselamatan kita melalui Kitab Suci.”[27]
Bila pernyataan di atas kita bandingkan dengan, misalnya, 2 anak gadis dalam perjanjian lama yang membuat mabok ayahnya lalu mereka bersetubuh dengan ayahnya agar punya keturunan, maka bagaimanakah Gereja menjelaskan “kebenaran” seperti itu?
mohon penjelasan. terima kasih
Buat Abu Hanan dan saudara muslim saya yang lain:
Ada satu perbedaan yang jelas dan sangat mendasar. Anda dan kami umat Katolik memiliki kacamata yang berbeda dalam memandang ayat-ayat Kitab Suci. Kami memiliki kacamata yang positif, sedangkan anda Abu Hanan memandang dengan kacamata yang cenderung mengorek atau mengekspos hal yang negatif tanpa ada keinginan untuk memandang bahwa ada hal baik yang terkandung di baliknya. Itu saja… kacamata anda dan kacamata saya berbeda. Logis sekali bukan?
yg menjadi pertanyaan mengapa nabi/rasul dihujat berbuat amoral, menurut pemahaman yg benar Nabi/Rasul adalah Maksum (dijaga Allah dari semua perbuatan dosa) bagaimana mungkin Allah memilih seseorang yg amoral utk menyampaikan wahyunya kpd umat, pasti umat akan menolak kebenaran yg disampaikannya krn cacat moral. Kalau poligami meminjam istilah diatas hanya sekedar urusan sex, itulah solusi yg legal dari pada berzina, selingkuh, atau jadi perempuan simpanan mungkin hal ini dibenarkan (tutup mata) karena norma monogami dlm pernikahan. Bagaimana pula kontradiksi antara umat yg melakukan pernikahan sedangkan mesiahnya selibat?
Terima kasih atas tanggapan dan pertanyaan anda. Seorang nabi bukanlah manusia yang tidak mempunyai dosa. Yang terpenting, kalaupun nabi tersebut melakukan kesalahan, maka dia akan kembali ke jalan yang benar. Ini menjadi contoh bagi manusia, bahwa walaupun manusia penuh dengan kelemahan, namun Tuhan mau menggunakan manusia yang lemah untuk semakin memuliakan nama Tuhan. Sebagai contoh, walaupun raja Daud telah melakukan kesalahan, namun dia bertobat dan tetap melayani Tuhan. Kita dapat melihat dari tulisan-tulisannya, seperti Mazmur yang menceritakan kasihnya kepada Tuhan, penyesalannya atas dosa-dosanya (lih. Mzm 51). Dengan demikian, pengalaman dan pengajaran yang dituliskan oleh raja Daud dapat memberikan inspirasi kepada manusia, agar kalau dia jatuh, maka jangan sampai berputus asa, namun harus terus menaruh pengharapan akan belas kasih Allah. Kalau anda menemukan tulisan-tulisan dari para nabi yang cacat moral, silakan menunjukkan di bagian mana dari tulisan di Alkitab yang anda pandang cacat moral.
Mengikuti pengajaran yang diberikan oleh Kristus, maka poligami tidak sesuai dengan iman Katolik, dan juga tidak sesuai dengan hukum kodrat. Yesus mengatakan “27 Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. 28  Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya.” (Mat 5:27-28) Yesus memberikan hukum yang lebih sempurna dibandingkan dengan hukum yang ada di dalam Perjanjian Lama. Yesus, bukan menilai sesuatu adalah baik atau buruk hanya dari perbuatan saja, namun juga dari maksud dan keinginan di dalam hati. Dengan demikian, sangat jelas sekali bahwa Kristus menginginkan agar umat Allah dapat hidup dalam kekudusan.
Yesus yang hidup selibat tidak bertentangan dengan umat yang melakukan pernikahan. Manusia dapat mencapai tujuan akhir dengan dua cara kehidupan, yaitu dengan selibat – seperti yang dilakukan oleh Yesus, dan juga berkeluarga, seperti yang dilakukan oleh kebanyakan umat. Namun, keluarga ini adalah merupakan gambaran akan kasih Allah yang di Sorga, sehingga kehidupan perkawinan ini haruslah monogami, sehingga pasangan suami istri dapat saling mencintai, saling memberikan diri, dengan total, sama seperti Allah telah memberikan Diri-Nya dan mengasihi umat Allah secara total. Bahkan Yesus mengajarkan “4  Jawab Yesus: “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? 5  Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. 6  Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” (Mat 19:4-6) Dengan demikian, Yesus juga mengajarkan bahwa perkawinan juga adalah sesuatu yang kudus, yang dapat menuntun pasangan dan anak-anak ke Sorga. Kalau anda ingin melihat pengajaran Gereja Katolik tentang perkawinan, silakan membaca artikel ini – silakan klik, dan juga ini – klik ini. Semoga penjelasan ini dapat diterima.
Kidung Agung 4 ;5 =Seperti dua anak rusa buah dadamu, seperti anak kembar kijang yang tengah makan rumput di tengah-tengah bunga bakung.
Kidung Agung 7;7 =Sosok tubuhmu seumpama pohon korma dan buah dadamu gugusannya.
Kej 4;1=Kemudian manusia itu bersetubuh dengan Hawa, isterinya,
Yeheezkiel 23;20=Ia berahi kepada kawan-kawannya bersundal, yang auratnya seperti aurat keledai dan zakarnya seperti zakar kuda.
Alki-tab terbitan LAI tahun 1970,Yehezkiel 23:20 =
Dan melampiaskan hasratnja dengan petjinta mereka, jang pelirnja seperti pelir keledai dan jang pantjarannja laksana pantjaran kuda djantan.
Maksud saya,bukanlah pornografi dilihat sebagai contoh atau pelajaran..tetapi kalimat yang vulgar dan kasar.Dan saya pikir akan membahayakan bagi anak belum umur karena tak tercemin ttg pendidikan seks pula.
salam

Shalom Abu Hanan,
Pertama- tama, Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa pada saat membaca Kitab Suci, kita harus berusaha untuk memahami maksud yang hendak disampaikan oleh Allah yang bekerja melalui sang pengarang kitab tersebut. Oleh karena itu, pada saat membaca dan memahami Kitab Suci, Gereja tidak terpaku kepada suatu kata/ gaya bahasa tertentu dan menilainya dari sudut pandang manusia. Sebab manusia, oleh karena pengaruh dosa asal Adam, telah mempunyai kecenderungan berbuat dosa, sehingga pemahamannya tidak sempurna. Secara khusus, ketidaksempurnaan pemahaman ini adalah dalam hal seksualitas, yang sejak awal mula direncanakan Allah sebagai sesuatu yang sakral, dan baik adanya, namun kini cenderung tidak dipahami sebagaimana seharusnya. Dewasa ini, terdapat dua paham ekstrim tentang seksualitas, yaitu paham yang menganggap bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan seksualitas adalah tabu dan dosa; dan paham ekstrim lainnya, yang menjadikan seksualitas sebagai sesuatu yang didewa-dewakan, sehingga menjadi murahan, dan terkesan ‘diobral’. Kedua paham ini jelas ada di masyarakat dunia, dan ini secara tidak langsung dapat mempengaruhi cara pandang seseorang jika ia membaca tentang topik yang menyangkut seksualitas dalam Kitab Suci.
Pada awal mula penciptaan, Tuhan menciptakan segala sesuatunya baik adanya (bahkan dikatakan dalam Kitab Suci: bahwa Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh sangat baik (Kej 1:31) termasuk manusia dan seksualitas mereka, yang membedakan antara pria dan wanita. Maka dari sudut pandang Allah yang menjadikan manusia, seksualitas (termasuk tubuh manusia) adalah sesuatu yang baik, dan tidak vulgar ataupun kasar. Dikatakan dalam Kitab Suci bahwa pada saat diciptakan Allah, Adam dan Hawa juga tidak berpakaian (telanjang) namun mereka tidak merasa malu (Kej 1:25). Sulit membayangkan hal itu sekarang, karena pandangan kita sudah terbentuk sedemikian, karena pengaruh dosa asal Adam dan Hawa, sehingga kita cenderung untuk melihat seksualitas sebagai sesuatu yang tabu dan dosa. Hal ini disebabkan karena setelah jatuh dalam dosa, Adam dan Hawa kehilangan karunia integritas yang termasuk dalam ke-empat karunia awal/ “preternatural gifts“, yaitu 1) pengetahuan akan Allah, 2) integritas, dimana indera selalu tunduk kepada akal, 3) tidak dapat mati dan 4) tidak dapat menderita). Nah pemahaman kita yang tidak sempurna tentang seksualitas ini sedikit banyak dipengaruhi oleh hilangnya karunia integritas, yang menyebabkan tidak sinkronnya antara akal budi, kehendak dan keinginan inderawi. Namun jika seksualitas dialami selaras dengan maksud Tuhan menciptakannya, yaitu antara sepasang suami istri, maka hal itu bukan sesuatu yang vulgar dan kasar. Hubungan seksual suami istri ataupun kekaguman suami terhadap keindahan tubuh istrinya juga bukan sesuatu yang vulgar dan kasar, sebab hal itu selaras dengan kehendak Tuhan. Menjadi vulgar dan kasar, jika ini dilakukan oleh pasangan yang bukan suami istri. Persatuan antara seorang suami dengan seorang istri yang digambarkan dengan persatuan tubuh sudah menjadi rencana Allah bagi manusia (lih. Kej 2:24; Mat 19:5; Mrk 10:10:7-8). Bahkan persatuan suami istri inilah yang tertulis dalam Kitab Suci (terutama dalam kitab Hosea, Yesaya, Yeremia dan Yehezkiel) merupakan gambaran akan keeratan persatuan kasih antara Tuhan dan umat pilihan-Nya dan kasih antara Kristus dan Gereja-Nya (Ef 5:32). Menurut ajaran Kristiani, perkawinan adalah sesuatu yang sakral dan bersifat monogam, total, dan tak terceraikan sampai mati, karena merupakan penggambaran dari kasih Allah sendiri kepada manusia.  Penggambaran ini merupakan salah satu perwujudan bahwa manusia diciptakan menurut gambaran Allah (lih. Kej 1:26), direncanakan oleh Allah untuk hidup memberikan kasih yang total, setia, tak bersyarat, seperti Allah yang adalah Kasih (1 Yoh 4:8).
Dengan dasar pemikiran ini, Gereja menerima Wahyu Allah dalam Kitab Suci seutuhnya, termasuk ayat- ayat yang menggambarkan seksualitas, dan tidak menganggapnya tabu; walaupun ayat- ayat tersebut tidak selalu mengacu kepada penggambaran yang berarti positif. Berarti positif, jika ayat- ayat tersebut mengacu kepada kekaguman pengantin pria terhadap pengantin wanita seperti dalam kitab Kidung Agung, namun berarti negatif, jika deskripsi tentang seksualitas mengisahkan bagaimana seksualitas tidak dilakukan dalam konteks suami istri namun sebagai tindakan perzinahan.
Bahwa ayat- ayat tentang seksualitas tidak serta- merta diajarkan kepada anak- anak, itu benar, sama seperti kita tidak memberikan pisau untuk memotong buah- buahan kepada anak- anak. Namun Gereja tidak menyangkal bahwa ayat- ayat tersebut termasuk bagian dari Wahyu Allah yang dimaksudkan oleh Allah untuk mengajarkan sesuatu kepada kita.
Dengan prinsip ini saya menanggapi pertanyaan anda:
1. Kid 4:5:  “Seperti dua anak rusa buah dadamu, seperti anak kembar kijang yang tengah makan rumput di tengah-tengah bunga bakung” dan Kid 7:7 “Sosok tubuhmu seumpama pohon korma dan buah dadamu gugusannya.”
Secara umum kitab Kidung Agung merupakan kumpulan kidung dan puisi cinta. Kidung tersebut merupakan puisi cinta antara sepasang kekasih yang mencapai kepenuhannya dalam perkawinan. Bangsa Yahudi menggunakan puisi cinta ini untuk merayakan kasih manusia pada perayaan perkawinan. Kitab ini dapat diinterpretasikan secara literal ataupun alegoris. Secara literal, adalah puisi cinta yang penuh simbol, yang mengisahkan kasih dan ketertarikan seksual antara seorang pria dan wanita. Namun secara alegoris, adalah kisah yang melambangkan kasih Allah kepada umat-Nya dan kasih mereka kepada Allah.
Kid 4 mengisahkan perumpamaan seorang perempuan yang cantik, yang dimaksudkan untuk menggambarkan kecantikan rohani dari sang mempelai wanita yaitu bangsa Israel (pada Perjanjian Lama), dan Gereja (pada Perjanjian Baru). Menurut interpretasi yang diajarkan oleh St. Bede,  ‘dua buah dada’ yang disebutkan dalam Kid 4:5 adalah untuk menggambarkan adanya para pengajar dari dua bangsa, yaitu dari bangsa Yahudi dan dari bangsa-bangsa non- Yahudi. Mereka digambarkan sebagai buah dada, karena memberikan susu rohani kepada orang- orang kebanyakan yang tidak terpelajar.
Demikian pula St. Bede mengajarkan bahwa Kid 7 mengidentifikasikan keindahan seorang mempelai wanita, yaitu Gereja, yang menjulang tinggi, dan memberi makanan rohani kepada anggotanya.
2. Kej 4:1 “Kemudian manusia itu bersetubuh dengan Hawa, isterinya….”
Sesungguhnya, kata asli yang dipakai di sana adalah  יַדע (yāḏa‛), atau dalam bahasa Inggrisnya ‘knew‘: dan dalam kamus tertulis artinya demikian: “to know, to learn, to perceive, to discern, to experience, to confess, to consider, to know people relationally, to know how, to be skillful, to be made known, to make oneself known, to make to know.”
Jadi sesungguhnya kata yāḏa‛ tersebut, dalam Kitab Suci memang dapat mengacu kepada ‘mengetahui/ memahami/ mengalami’ pasangan secara mendalam, termasuk hubungan suami istri. Oleh karena itu, diterjemahkan oleh LAI dalam bahasa Indonesia, sebagai ‘bersetubuh’.
3. Yeh 23, perikop tentang kakak beradik Ohola dan Oholiba.
Interpretasi Yeh 23: 20 tidak dapat dipisahkan dari makna keseluruhan perikop tentang kakak beradik Ohola dan Oholiba (keseluruhan Yeh 23) dan ayat- ayat lainnya dalam Kitab Suci. Dalam perikop Yeh 23 sendiri, dijelaskan bahwa kisah tersebut dimaksudkan untuk menjadi kisah perumpamaan bagi bangsa Israel yang tidak setia kepada Allah (lih. Mat 12:39). Dikatakan di Yeh 23:4, “… Ohola ialah Samaria dan Oholiba adalah Yerusalem.” Samaria dan Yerusalem merupakan nama kedua kerajaan yang mewaliki suku- suku Israel dan suku Yehuda. Oholah dan Oholibah adalah kedua anak perempuan dari satu ibu, yang artinya berasal dari satu rumpun Israel. Ketika mereka di Mesir, mereka telah mengikuti kebiasaan berhala bangsa Mesir terhadap dewa- dewa mereka (lih. Yeh 20:7).
Maka ‘berzinah’ di perikop ini maksudnya adalah bagaimana bangsa Israel (Oholah dan Oholibah) beraliansi dengan bangsa- bangsa Asyur (lih. ay. 5 dan 11) dan berpaling/ melupakan dan membelakangi Tuhan (lih. ay. 35). Oholiba (Yerusalem) bahkan juga mengikuti kebiasaan orang Kasdim dan Babel (ay. 15-17) yaitu penyembahan berhala (ay. 37) dan ini dikatakan sebagai ‘persundalan’ (ay. 19, 27) atau perzinahan (ay. 37). Ayat 20, 21 merupakan penggambaran alegoris tentang bagaimana perzinahan itu dilakukan, yang merupakan kekejian yang menjijikkan di hadapan Allah, sehingga secara deskriptif digambarkan dengan ungkapan yang sedemikian. Maksudnya adalah untuk mengajar manusia, agar jangan sampai berpaling dari Allah dan menyembah allah- allah lain, sebab perbuatan tersebut merupakan hal yang menjijikkan bagi Allah.
Menurut interpretasi yang diajarkan oleh St. Bede, ‘dua buah dada’ yang disebutkan dalam Kid 4:5 adalah untuk menggambarkan adanya para pengajar dari dua bangsa, yaitu dari bangsa Yahudi dan dari bangsa-bangsa non- Yahudi.
Sebetulnya saya mengharapkan penjelasan dari yesus tentang bagian2 isi PL.Termasuk mengapa ada kalimat vulgar seperti buah dada dan pelir.Simbol yang demikian itu sangat jauh dari nilai kesopanan,siapapun pengucapnya.
Ambil contoh,Budha Gautama,saya belum menemui ungkapan ulgar dari perkataan beliau.
Kesan pertama saat dibaca adalah pornografi.Kesan tersebut akan menimbulkan nuansa yang berbeda dalam hati manusia.
Seharusnya Tuhan mengajarkan kesopanan dan etika tentang bertutur kata/menyampaikan pesan (meski di masa lalu sarat dengan simbol) tanpa perlu mengambil cara yang memnag tidak pantas untuk didengar oleh anak kecil.
Saya pikir,bahwa apa saja yang diucapkan oleh suami-istri disaat berdua akan menjadi aib ketika ada pihak diluar mereka berdua yang mendengar.Yah,seperti merekam adegan “itu” dgn kamera kemudian menyebarkan.Perbedaan antara gambar dengan kata2 hanyalah dari sarana saja.Telinga dan mata.
Kita pasti sepakat bahwa Tuhan adalah Cerdas,tetapi bagi saya adalah Tuhan telah menjadi bodoh ketika mengajarkan kebaikan melalui cara yang Dia larang.
Pertanyaan saya,bagaimana batasan pornografi menurut Kristen?
salam
Shalom Abu Hanan,
1. Katekismus Gereja Katolik mengajarkan demikian dalam hal menginterpretasikan Kitab Suci:
KGK 109    Di dalam Kitab Suci Allah berbicara kepada manusia dengan cara manusia. Penafsir Kitab Suci harus menyelidiki dengan teliti, agar melihat, apa yang sebenarnya hendak dinyatakan para penulis suci, dan apa yang ingin diwahyukan Allah melalui kata-kata mereka (Bdk. Dei Verbum 12,1).
KGK 110    Untuk melacak maksud para penulis suci, hendaknya diperhatikan situasi zaman dan kebudayaan mereka, jenis sastra yang biasa pada waktu itu, serta cara berpikir, berbicara, dan berceritera yang umumnya digunakan pada zaman teks tertentu ditulis. “Sebab dengan cara yang berbeda-beda kebenaran dikemukakan dan diungkapkan dalam nas-nas yang dengan aneka cara bersifat historis, atau profetis, atau poetis, atau dengan jenis sastra lainnya” (Dei Verbum 12,2).
KGK 111    Oleh karena Kitab Suci diilhami, maka masih ada satu prinsip lain yang tidak kurang pentingnya guna penafsiran yang tepat karena tanpa itu Kitab Suci akan tinggal huruf mati saja: “Akan tetapi Kitab Suci ditulis dalam Roh Kudus dan harus dibaca dan ditafsirkan dalam Roh yang sama itu juga” (Dei Verbum 12,3). Untuk penafsiran Kitab Suci sesuai dengan Roh, yang telah mengilhaminya, Konsili Vatikan II memberikan tiga kriteria (Bdk. Dei Verbum 12,3).
KGK 112    1. Memperhatikan dengan saksama “isi dan kesatuan seluruh Kitab Suci“. Sebab bagaimanapun bedanya kitab-kitab itu, yang membentuk Kitab Suci, namun Kitab Suci adalah satu kesatuan atas dasar kesatuan rencana Allah yang pusat dan hatinya adalah Yesus Kristus….
KGK 113    2. Membaca Kitab Suci “dalam terang Tradisi hidup seluruh Gereja”. Menurut satu semboyan para bapa “Kitab Suci lebih dahulu ditulis di dalam hati Gereja daripada di atas pergamen [kertas dari kulit]“. Gereja menyimpan dalam tradisinya kenangan yang hidup akan Sabda Allah, dan Roh Kudus memberi kepadanya penafsiran rohani mengenai Kitab Suci… “menurut arti rohani yang dikaruniakan Roh kepada Gereja” (Origenes, hom. in Lev. 5,5).
KGK 114    3. Memperhatikan “analogi iman” (Bdk. Rm 12:6). Dengan “analogi iman” dimaksudkan hubungan kebenaran-kebenaran iman satu sama lain dan dalam rencana keseluruhan wahyu.
Gereja Katolik tidak membaca Kitab Suci dengan mengandalkan pemahaman manusia semata, sebab jika demikian tidak dapat diketahui maksud sesungguhnya yang ingin disampaikan dalam teks Kitab Suci. Maka untuk memahami arti yang ingin disampaikan, perlu diketahui jenis sastra, budaya, pola pikir dan pola berbicara/ berceritera pada masa teks tersebut ditulis, dan ini memang tidak dapat dinilai dan dibandingkan begitu saja dengan pola pikir dan pola berbicara kita di jaman sekarang. Lagipula, umat Kristiani percaya bahwa Kitab Suci ditulis atas ilham Roh Kudus, sehingga untuk menginterpretasikannya diperlukan bimbingan Roh Kudus, dan tidak dapat hanya berdasarkan atas pemikiran diri sendiri. Selanjutnya, Gereja Katolik mengajarkan bahwa Kitab Suci harus dibaca dalam kesatuan dengan keseluruhan Kitab Suci, dalam terang Tradisi Gereja, dan dengan memperhatikan analogi iman. Dengan demikian, suatu detail kejadian/ kisah, tidak pernah dipandang berdiri sendiri, melainkan ada dalam suatu rangkaian kejadian yang lebih besar. Prinsip ini penting dalam menginterpretasikan ayat- ayat yang ‘sulit’, karena dengan prinsip ini, ayat- ayat tersebut dapat diinterpretasikan tidak terlepas dari konteksnya, tentang maksud utama yang hendak disampaikan dalam perikop tersebut. Untuk memahami konteksnya, pola pikir, jenis sastra pada saat Kitab itu ditulis, kita memerlukan bimbingan, dan bimbingan ini kita dapatkan dari para bapa Gereja, yang memang mempelajari Kitab Suci di dalam bahasa aslinya, ataupun menerima pengajaran dari para pendahulunya, oleh bimbingan Roh Kudus, sehingga interpretasi ayat tersebut dapat sesuai dengan maksud Kitab itu dituliskan. Cara inilah yang disebut sebagai cara membaca Kitab Suci dalam terang Tradisi hidup Gereja. Dan akhirnya, Kitab Suci harus diinterpretasikan dalam terang analogi iman, sehingga kita tidak terfokus kepada detail sampai melupakan makna rohani yang lebih besar dan mendasar, yang ingin disampaikan.
Maka, nampaknya ada perbedaan titik tolak dalam cara pandang di antara kita. Kami umat Katolik memang tidak membaca Kitab Suci seperti membaca karya tulis biasa, sehingga kami ‘bebas’ menilainya. Jika ada yang tidak kami pahami, kami tidak serta merta mencap bahwa “Tuhan telah menjadi bodoh” atau Tuhan menjadi kurang cerdas. Yang kami mohon pada saat membaca ayat- ayat yang ‘sulit’ ini adalah, memohon rahmat Tuhan untuk membuka mata hati kami, agar dapat memahami “suatu pengertian yang hidup mengenai isi wahyu, artinya, mengenai keseluruhan rencana Allah dan misteri iman….” (KGK 158), dan dengan sikap rendah hati mau menerima pengajaran dari Gereja yang telah terlebih dahulu menerima wahyu Allah itu. Harus diakui bahwa “pengetahuan kita tidak lengkap, dan nubuat kita tidak sempurna. Tetapi jika yang sempurna tiba, maka yang tidak sempurna itu akan lenyap.” (1 Kor 13:9-10) Kesempurnaan itu nanti diperoleh di surga, maka kita mempunyai pengharapan bahwa segala yang tak sempurna kita ketahui di dunia ini, akan dapat kita peroleh penjelasannya dengan sempurna di surga kelak.
2. Pornografi menurut Gereja Katolik
KGK 2354    Pornografi mengambil persetubuhan yang sebenarnya atau yang dibuat-buat dengan sengaja dan keintiman para pelaku dan menunjukkannya kepada pihak ketiga. Ia menodai kemurnian, karena ia merusak hubungan suami isteri, penyerahan diri yang intim antara suami dan isteri. Ia sangat merusak martabat semua mereka yang ikut berperan (para aktor, pedagang, dan penonton). Karena mereka ini menjadi obyek kenikmatan primitif dan sumber keuntungan yang tidak diperbolehkan. Pornografi menempatkan semua yang berperan dalam satu dunia semu. Ia adalah satu pelanggaran berat. Pemerintah berkewajiban menghalang-halangi pengadaan dan penyebarluasan bahan-bahan pornografi.
KGK 2396    Masturbasi, percabulan, pornografi, dan praktek homoseksual termasuk dosa-dosa yang sangat melanggar kemurnian.
Demikian tanggapan saya, semoga berguna.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
          • http://1.gravatar.com/avatar/7a41e048c2c0f6479a8556a27eb171ea?s=40&d=http%3A%2F%2Fkatolisitas.org%2Fwp-content%2Fthemes%2Fsmart-mag%2Fimages%2Fnophoto.gif%3Fs%3D40&r=G
Apa yang menjadi batasan bahwa sesuatu adalah termasuk pornografi menurut Kristen?
Apa arti kemaluan/aurat menurut Kristen?
Keseluruhan yang saya maksud Kristen adalah Kitab Suci bukan produk Gereja (mulai surat Paulus hingga KHK dan KGK serta produk lainnya).
Salah satu contoh adalah (maaf OOT);
pertemuan Yudas Iskariot dengan Yesus ditaman Getsemani:
a. menurut Matius 26:49: Yudas berkata: salam
b. menurut Markus 14:45: Yudas berkata: Ya Rabbi
c. menurut Lukas 22: 47: Yudas tidak berkata apa-apa.
d. menurut Yohanes 18:6: Yudas tidak sempat berkata apapun karena [mereka] terjatuh.
Penafsir Kitab Suci harus menyelidiki dengan teliti, agar melihat, apa yang sebenarnya hendak dinyatakan para penulis suci, dan apa yang ingin diwahyukan Allah melalui kata-kata mereka
Saya mohon penjelasan dari anda per ayat secara hurufiah…
Point a dan b, Yudas mengatakan sesuatu.
Poin c dan d, Yudas tidak berkata.
Jika keempatnya adalah satu kesatuan, maka setidaknya ada penjelasan logis ttg perbedaan tsb.
Bertolak dari titik ini, maka saya mohon penjelasan anda ttg batasan sesuatu dinilai porno berdasarkan kitab suci (maaf,saya belum bisa menerima dasar/ayat di luar Injil 4).
salam
            • http://0.gravatar.com/avatar/ed557414b97d06559f4d3f20bcea4c3f?s=40&d=http%3A%2F%2Fkatolisitas.org%2Fwp-content%2Fthemes%2Fsmart-mag%2Fimages%2Fnophoto.gif%3Fs%3D40&r=G
Shalom Abu Hanan,
Jawaban ini merupakan jawaban terakhir saya pada anda untuk topik ini, sebab sudah menjadi kebijakan kami di Katolisitas untuk hanya memberikan kesempatan dua kali putaran (3 pertanyaan dan 3 jawaban) untuk suatu topik, mengingat masih banyaknya pertanyaan lain yang harus kami tanggapi. Sejauh ini kami sudah menanggapi pertanyaan anda, dan mohon dimengerti bahwa Gereja Katolik memang tidak membatasi pengajaran hanya dari Kitab Suci. Sebab Wahyu Ilahi disampaikan kepada Gereja tidak hanya secara tertulis dalam Kitab Suci, namun juga secara lisan dalam Tradisi Suci, yaitu pengajaran lisan dari Kristus dan para rasul yang dilestarikan oleh para penerus mereka; yaitu Magisterium (Wewenang Mengajar Gereja) sampai sekarang. Dengan demikian, pandangan yang hanya berpegang pada Kitab Suci saja, tidak sesuai dengan ajaran Gereja Katolik, dan sesungguhnya, bertentangan dengan apa yang disampaikan dalam Kitab Suci itu sendiri, seperti yang sudah pernah dibahas di artikel ini, silakan klik. Sebab sesungguhnya yang menetapkan kanon Kitab Suci (kitab- kitab apa saja yang termasuk dalam Kitab Suci) adalah Gereja, sehingga adalah tidak mungkin untuk melepaskan Gereja dari Kitab Suci dan menginterpretasikan Kitab Suci tanpa memperhitungkan ajaran Gereja.
Dengan prinsip ini saya menanggapi pertanyaan anda:
1. Kata ‘pornografi’ memang tidak secara literal tertulis dalam Kitab Suci, namun pornografi yang berhubungan dengan percabulan/ perzinahan jelas dilarang dalam Kitab Suci. Percabulan tersebut termasuk dalam perbuatan daging yang membuat seseorang tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah. Ayat-ayat yang jelas menyebutkan tentang hal ini, contohnya adalah:
“Jangan berzinah” (Kel 20:14)
“Atau tidak tahukah kamu, bahwa orang-orang yang tidak adil tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah? Janganlah sesat! Orang cabul, penyembah berhala, orang berzinah, banci, orang pemburit, pencuri, orang kikir, pemabuk, pemfitnah dan penipu tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah. (1 Kor 6:9-10)
“Perbuatan daging telah nyata, yaitu: percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya. Terhadap semuanya itu kuperingatkan kamu seperti yang telah kubuat dahulu bahwa barangsiapa melakukan hal-hal yang demikian, ia tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah.” (Gal 5:19-21)
Selanjutnya Rasul Paulus mengajarkan agar jemaat menjauhi percabulan, sebab percabulan adalah dosa yang melanggar kemurnian tubuh yang adalah bait Roh Kudus:
“Tetapi tubuh bukanlah untuk percabulan, melainkan untuk Tuhan, dan Tuhan untuk tubuh….Tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah anggota Kristus? Akan kuambilkah anggota Kristus untuk menyerahkannya kepada percabulan? Sekali-kali tidak! Atau tidak tahukah kamu, bahwa siapa yang mengikatkan dirinya pada perempuan cabul, menjadi satu tubuh dengan dia? Sebab, demikianlah kata nas: “Keduanya akan menjadi satu daging.” Tetapi siapa yang mengikatkan dirinya pada Tuhan, menjadi satu roh dengan Dia. Jauhkanlah dirimu dari percabulan! Setiap dosa lain yang dilakukan manusia, terjadi di luar dirinya. Tetapi orang yang melakukan percabulan berdosa terhadap dirinya sendiri. Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah -dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!” (1 Kor 6:13-20)
Selain itu, hubungan seksual yang dipisahkan dari tujuan utamanya -yaitu untuk membangkitkan keturunan- juga dilarang oleh Tuhan, seperti yang terjadi pada kisah Onan (lih. Kej 38:8-10). Tuhan tidak berkenan atas perbuatan Onan, dan Onan mati setelah melakukan perbuatan itu yang disebut sebagai perbuatan ‘jahat di mata Tuhan’.
Dengan demikian, dari ayat-ayat di atas, kita ketahui bahwa perbuatan persetubuhan dengan perempuan yang bukan istri (demikian juga dengan pria yang bukan suami), ataupun perbuatan seksual lainnya yang dilakukan di luar perkawinan adalah perbuatan dosa yang melanggar kemurnian tubuh. Hal ini menjadi dasar batasan pornografi yang disebut dalam Katekismus Gereja Katolik 2354 dan 2396.
2. Demikian juga tentang ‘aurat’. Kata ‘aurat’ memang tidak secara khusus dijabarkan artinya dalam Kitab Suci, namun dari penyebutannya dalam beberapa ayat Kitab Suci diketahui bahwa ‘aurat’ dapat mempunyai konotasi sebagai organ perkembangbiakan, dan hukum Taurat menentukan batasan garis keturunan ataupun kekerabatan yang tidak boleh dilanggar sehubungan dengan perkembangbiakan ini (lih. Im 18). “Aurat” juga mempunyai konotasi sebagai bagian tubuh yang sifatnya privat dan harus ditutupi, seperti disebutkan dalam Kej 9:23. Namun demikian, kata ‘aurat’ juga dapat memberikan konotasi negatif; yaitu jika kata tersebut digunakan untuk menggambarkan persundalan ataupun penyembahan berhala (lih. Yeh 16:26; Yeh 23:20, 29).
3. Tentang Pertemuan Yudas Iskariot dengan Yesus di Taman Getsemani.
Anda menyoroti mengapa ada perbedaan detail kejadian dalam Injil Matius, Markus, Lukas dan Yohanes. Lalu anda menanyakan dengan adanya perbedaan ini apakah yang ingin diwahyukan Allah melalui para penulis suci itu. Untuk itu, marilah kita melihat teks tersebut satu persatu, dan membaca ayat sebelum dan sesudahnya, agar kita memahami konteksnya dan maksud yang ingin disampaikan:
Menurut Injil Matius: Waktu Yesus masih berbicara datanglah Yudas, salah seorang dari kedua belas murid itu, dan bersama-sama dia serombongan besar orang yang membawa pedang dan pentung, disuruh oleh imam-imam kepala dan tua-tua bangsa Yahudi. Orang yang menyerahkan Dia telah memberitahukan tanda ini kepada mereka: “Orang yang akan kucium, itulah Dia, tangkaplah Dia.” Dan segera ia maju mendapatkan Yesus dan berkata: “Salam Rabi,” lalu mencium Dia. Tetapi Yesus berkata kepadanya: “Hai teman, untuk itukah engkau datang?Maka majulah mereka memegang Yesus dan menangkap-Nya. (Mat 26:47-50)
Menurut Injil Markus: Waktu Yesus masih berbicara, muncullah Yudas, salah seorang dari kedua belas murid itu, dan bersama-sama dia serombongan orang yang membawa pedang dan pentung, disuruh oleh imam-imam kepala, ahli-ahli Taurat dan tua-tua. Orang yang menyerahkan Dia telah memberitahukan tanda ini kepada mereka: “Orang yang akan kucium, itulah Dia, tangkaplah Dia dan bawalah Dia dengan selamat.” Dan ketika ia sampai di situ ia segera maju mendapatkan Yesus dan berkata: “Rabi,” lalu mencium Dia. Maka mereka memegang Yesus dan menangkap-Nya. (Mrk 14:44-46)
Menurut Injil Lukas: Waktu Yesus masih berbicara datanglah serombongan orang, sedang murid-Nya yang bernama Yudas, seorang dari kedua belas murid itu, berjalan di depan mereka. Yudas mendekati Yesus untuk mencium-Nya. Maka kata Yesus kepadanya: “Hai Yudas, engkau menyerahkan Anak Manusia dengan ciuman?” (Luk 22:47-48)
Menurut Injil Yohanes: Maka Yesus, yang tahu semua yang akan menimpa diri-Nya, maju ke depan dan berkata kepada mereka: “Siapakah yang kamu cari?” Jawab mereka: “Yesus dari Nazaret.” Kata-Nya kepada mereka: “Akulah Dia.” Yudas yang mengkhianati Dia berdiri juga di situ bersama-sama mereka. Ketika Ia berkata kepada mereka: “Akulah Dia,” mundurlah mereka dan jatuh ke tanah…. Maka pasukan prajurit serta perwiranya dan penjaga-penjaga yang disuruh orang Yahudi itu menangkap Yesus dan membelenggu Dia. (Yoh 18:4-6, 12)
Maka yang ingin disampaikan di sini adalah: Yesus ditangkap oleh orang- orang Yahudi, karena seorang dari kedua belas murid-Nya, Yudas, mengkhianati-Nya. Ke-empat Injil menyebutkan tentang pengkhianatan Yudas yang memimpin serombongan orang Yahudi untuk menangkap-Nya. Injil Matius, Markus, Lukas menjabarkan dengan lebih detail bagaimana pengkhianatan itu dilakukan, yaitu dengan ciuman. Di sini detail apakah Yudas menyapa Yesus atau tidak, tidak menjadi pesan utama dari keseluruhan kisah penangkapan Yesus. Bahwa Yohanes tidak mencatat detail ini (sapaan ataupun ciuman Yudas) bukan berarti hal itu tidak terjadi. Di sini, Yohanes hanya memberikan penekanan lainnya, yaitu ketika Yesus mengaku bahwa Ia adalah Yesus yang mereka cari, maka orang- orang yang ingin menangkap-Nya malah jatuh ke tanah.
Harap dipahami bahwa penulisan Kitab Suci yang merupakan inspirasi Roh Kudus, juga melibatkan pengalaman ataupun akal budi sang penulisnya. Maka dapat terjadi bahwa penulis memberikan penekanan yang berbeda sesuai dengan pengamatannya. Perbedaan ini tidak untuk dipertentangkan, tetapi untuk dilihat sebagai fakta yang saling melengkapi. Sebagai contoh lain, Injil Matius menjabarkan bahwa ajaran tentang delapan Sabda Bahagia itu diberikan di bukit (lih. Mat 5:1, 3-12); sedangkan perikop padanannya di Injil Lukas menjabarkan bahwa khotbah itu diberikan pada suatu tempat yang datar (lih. Luk 6:17, 20-26). Jika kita melihat ke lokasi pengajaran itu diberikan (sekarang di sana dibangun gereja Delapan Sabda Bahagia/ the Beatitudes), maka kita akan melihat bahwa kedua penjabaran ini benar, sebab memang khotbah itu memang diberikan di sebuah bukit kecil (dekat Tabgha), yang karena ketinggiannya kita dapat memandang Danau Galelia; namun di bukit itu ada permukaan yang relatif datar. Matius menekankan lokasi secara general, yaitu di bukit, sedangkan Lukas melihat ke lokasi secara spesifik, yaitu di situ ada tempat yang relatif datar.
Copyright katolisitas - 2008-2014 All rights reserved. Silakan memakai material yang ada di website ini, tapi harus mencantumkan "www.katolisitas.org", kecuali pemakaian dokumen Gereja. Tidak diperkenankan untuk memperbanyak sebagian atau seluruh tulisan dari website ini untuk kepentingan komersial.

Jakarta, Cinta antara dua sejoli diyakini sebagai ikatan yang suci. Tapi cinta saja tak cukup kuat untuk membina hubungan agar tetap langgeng, seringkali nafsu dan seks ikut terlibat di dalamnya. Bahkan, cinta dan nafsu seringkali terbolak-balik, susah dibedakan.

Ketika sesorang mengungkapkan rasa cinta kepada kekasih, pada dasarnya dia sedang mengatakan bahwa dia tidak ingin rasa yang menyenangkan tersebut sirna. Sensasi menyenangkan tersebut juga dirasakan ketika bercinta, sebab tubuh mengeluarkan hormon yang sama, yaitu dopamin.

"Sulit untuk menyebut banyak bahan kimia otak yang tidak terlibat ketika terjadi ketertarikan fisik dan emosional pada 2 orang. Namun, pemain terbesarnya adalah senyawa neurokimia yang disebut dopamin, yang memicu munculnya gairah," kata dr David Moore, psikolog dan profesional ketergantungan kimia Argosy University’s Seattle Campus seperti dilansir New York Daily News, Senin (10/6/2013).

Efek dari pengeluaran hormon dopamin ini akan menimbulkan sensasi senang, sehingga perasaan yang muncul saat memenangkan lotre serupa dengan perasaan saat mencapai klimaks dalam hubungan seksual. Namun pada aktifitas seksual, tak hanya dopamin saja yang dikeluarkan, tetapi juga mekanisme endorphine yang membuat ketergantungan.

Menurut dr Moore, semakin besar imbalan atau reward yang diperoleh secara fisik ataupun emosional, maka semakin cepat pula dopamin dikeluarkan dan memunculkan perasaan cinta. Hal serupa juga berlaku pada kecanduan minuman keras dan obat bius. Namun bagaimana membedakannya dalam hubungan asmara?

"Dopamin membuat pria berulang kali mencari imbalan (reward). Semakin lama mereka tidak mendapat imbalan, semakin mereka mengulang upaya untuk mendapatkannya dan pengulangan tersebut akan membangun hubungan yang kuat," kata Susan Kuchinskas, penulis buku 'The Chemistry Of Connection'.

Sedangkan bagi wanita, selain dopamin, hormon oksitosin juga merupakan perekat cinta. Pengeluaran hormon ini dirangsang oleh sentuhan, kepercayaan dan perasaan terlindungi. Semakin lama menahan diri dari hubungan seksual, maka semakin besar pula kepercayaan yang dapat terbangun.


SHALAHUDDIN al-AYYUBI
By  Drs.Muhammad Rakib SH.,M.Ag. Pekanbaru- Riau Indonesia.2014

Shalahuddin al-Ayyubi adalah seorang panglima Mujahidin sangat terkenal..Dalam bahasa Inggris, kata Mujahidin tercatat sejak tahun 1958, dari Pakistan, diadopsi dari bahasa Persia dan Arab, sebagai jamak dari mujahid "orang yang berjuang dalam jihad", dalam penggunaan modern, untuk "gerilyawan Muslim."
Pada akhir
abad ke-20 dan awal abad ke-21, istilah "mujahidin" menjadi nama berbagai pejuang bersenjata yang menganut ideologi Islam dan mengidentifikasi diri mereka sebagai mujahidin.

                                                                                                                                      

Mujahidin Afghanistan 
Mujahidin Afghanistan 
Dari berbagai kelompok Mujahidin yang ada di seluruh dunia, yang paling terkenal tentu saja selalu Mujahidin Afghanistan. Pada awalnya, kaum Mujahidin berperang melawan pemerintah Afghanistan yang disetir Soviet pada akhir 1970-an. Uni Soviet keluar dari Afghanistan di akhir 1980-an karena tidak kuat melawan para mujahidin.
Banyak muslim dari negara-negara lain menawarkan diri untuk membantu kelompok mujahidin di Afghanistan, dan memperoleh pengalaman yang signifikan dalam perang gerilya. Pada periode ini, Mujahidin yang paling terkenal adalah Abdullah bin Azzam.
  

                                                                                                                                      

Mujahidin Bosnia-Herzegovina 
Mujahidin Bosnia-Herzegovina 
Mujahidin juga lahir di Bosnia selama perang Bosnia 1992-1995 setelah pembantaian yang dilakukan oleh tentara Serbia terhadap Muslim sipil Bosnia. Jumlah kaum Mujahidin saat itu dikabarkan mencapai 4.000. Mereka datang dari tempat-tempat seperti Arab Saudi, Pakistan, Afghanistan, Yordania, Mesir , Irak dan Palestina.

Bukti-bukti menunjukkan bahwa relawan asing tiba di pusat Bosnia pada paruh kedua tahun 1992 dengan tujuan untuk membantu saudara-saudara Muslim mereka melawan penjajah Serbia. Kebanyakan mereka datang dari
Afrika Utara, Timur Dekat dan Timur Tengah. Relawan asing berbeda jauh dari penduduk setempat, bukan hanya karena penampilan fisik mereka dan bahasa mereka berbicara, tetapi juga karena metode bertempur mereka.

                                          

Mujahidin di Checnya 
Mujahidin di Checnya 
Kaum Mujahidin memainkan peran dalam perang kedua Chechnya. Setelah runtuhnya Uni Soviet dan kemudian deklarasi kemerdekaan Chechnya, pejuang mulai memasuki berbagai kawasan. Banyak dari mereka merupakan veteran perang Soviet-Afganistan dan sebelum invasi Rusia, mereka menggunakan keahlian mereka untuk melatih para pejuang Chechnya. Selama Perang Chechnya Pertama mereka ditakuti karena taktik gerilya mereka, menimbulkan korban berat pada pasukan Rusia. Setelah penarikan pasukan Rusia dari Chechnya, sebagian besar mujahidin memutuskan untuk tetap tinggal di Negara itu.


  

Mujahidin di Kosovo
Mujahidin di Kosovo
Menurut Serbia dan negara Eropa lainnya, sebagian besar pejuang Mujahidin dari Timur Tengah dan bagian-bagian lain dunia bergabung dengan Tentara Pembebasan Kosovo melawan pasukan Serbia pada perang 1997-1999. Diduga sebagian dari mereka membentuk unit mereka sendiri dengan pemimpin yang fasih berbahasa Arab. Setelah perang sebagian besar relawan asing kembali ke tanah asal mereka, dan beberapa dari mereka tetap di Kosovo di mana mereka menjadi warga negaranya.
Sesungguhnya, masih banyak lagi kaum Mujahidin yang lainnya di seluruh dunia, namun para Mujahidin Afghanistan, Chechnya, Bosnia-Herzegovina, dan Kosovo akan selalu dikenang karena kegigihan mereka dalam melawan para penjajah. 



2. Janissary 

Janissary 
Janisari (berasal dari bahasa Turki Utsmaniyah: ينيچرى (Yeniçeri) yang berarti "pasukan baru") adalah pasukan infanteri yang dibentuk oleh Sultan Murad I dari Kekalifahan Bani Seljuk pada abad ke-14. Pasukan ini berasal dari bangsa-bangsa Eropa Timur yang wilayahnya berhasil dikuasai oleh Turki. Utsmani Tentara ini dibentuk tak lama setelah Kekaisaran Byzantium kalah oleh Turki Utsmani. Alasan utama pembentukan laskar Janisari adalah karena tentara Turki Utsmani yang ada tidak memadai, terutama karena terdiri dari suku-suku yang kesetiaanya diragukan. Janisari awalnya adalah para tahanan perang (terutama yang asalnya dari Eropa Timur - Balkan) yang diampuni tetapi dengan syarat harus membela Kekaisaran Turki Utsmani.

Sejalan dengan waktu, untuk memastikan kesetiaan kesatuan ini, selanjutnya Sultan punya ide untuk merekrut pasukan Janisari ini dari budak yang masih bocah, sehingga mereka bisa diajari (didoktrin) untuk membela dan mengawal Sultan. Pada masa itu, pasukan Janisari ini adalah pasukan terkuat di dunia. Konon pasukan ini adalah pasukan yg pertama sekali memakai senapan.(yang kemudian ditiru oleh orang Eropa). Saat itu Turki memiliki persediaan mesiu yang cukup banyak (dimana pada saat itu di daerah lain masih langka). Pasukan ini adalah pasukan kedua setelah Mongol yang berhasil menjajah Eropa.

Janisari adalah brigade terpisah dari pasukan reguler Turki yang bertugas mengawal Sultan Dinasti Utsmani (Ottoman Empire). Sedangkan Bani Seljuk adalah Dinasti sebelum Utsmani. Utsman diambil dari pemimpin kabilah Osmani yg mempunyai kekuatan yang besar sewaktu Bani Seljuk masih berkuasa. Waktu Seljuk pecah, kabilah yang dipimpin Osmani menyatukannya kembali dibawah bendera baru. Kekuasaan Turki Utsmani mencapai seluruh wilayah di Balkan dan Eropa Tenggara. Kota Wina dua kali diserang oleh kakuatan Turki Utsmani, tetapi karena seluruh kerajaan di Eropa bersatu untuk membendung dengan kekuatan penuh dan logistik yang memadai, ambisi Turki Utsmani untuk menguasai seluruh Eropa tidak berhasil.

Pakaian khas Janisari adalah sejenis long musket. Ciri khasnya adalah topinya yang memakai tutup kain dari depan ke belakang leher, menyerupai sorban.

Kisah terkenal mengenai kehebatan pasukan ini adalah ketika Byzantine kalah total saat Constantinopel ditaklukan oleh Turki Utsmani yang dipimpin oleh Sultan Mahmud Al-Fatih, beliau anak dari Sultan Murad II. Saat itu Janisari adalah pasukan yang berperan penting dalam pertempuran tersebut. Yang menarik, pada zaman Sultan Mahmud, Pasukan Janisari termasuk yang ikut bertempur melawan Dracula si Penyula dari Wallachia dekat Transevalnia yang haus darah. Dracula (Vlad Teppes) sempat dikalahkan adiknya sendiri yaitu Radu yang saat itu menjadi pemimpin Janisari untuk menaklukan Dracula. ( Dracula artinya anak Dracul atau anak naga karena bapaknya adalah Vlad Dracul yang menjadi anggota Ordo Naga ).



Jannisary sendiri dibagi manjadi dua kesatuan, yaitu: infantri dan kavaleri.Selain Janisari, Turki Utsmaniyah juga masih mempunyai kesatuan elite lainnya, yaitu: Tentara Ghulam, Cavalary Sipahi, dan tentunya pasukan Onta.

Selama beberapa abad Janisari bertahan sebagai pasukan elit pengawal Sultan. Karena statusnya itu Janisari, baik secara jumlah dan status berkembang semakin besar. Sekitar abad 19 Janisari dibubarkan oleh Sultan Mahmud II pada tahun 1826 karena terjadinya insiden Auspicious, dimana laskar Janisari mencoba melakukan kudeta terhadap kekaisaran Turki Ottoman.
(Sumber : "militerislam.blogspot.com")


3. Mameluk 

Mameluk

Mamluk atau Mameluk (Bahasa Arab:مملوك, mamlūk (tunggal), مماليك, mamālīk (jamak)) adalah tentara  budak yang telah memeluk Islam dan berdinas untuk khalifah Islam dan Kesultanan Ayyubi pada Abad Pertengahan. Mereka akhirnya menjadi tentara yang paling berkuasa dan juga pernah mendirikan Kesultanan Mamluk di Mesir. 

Selayang pandang 


Pasukan Mamluk pertama dikerahkan pada zaman Abbasiyyah pada abad ke-9. Bani Abbasiyyah merekrut tentara-tentara ini dari kawasan Kaukasus dan Laut Hitam dan mereka ini pada mulanya bukanlah orang Islam. Dari Laut Hitam direkrut bangsa Turki dan kebanyakan dari suku Kipchak.

Keistimewaan tentara Mamluk ini ialah mereka tidak mempunyai hubungan dengan golongan bangsawan atau pemerintah lain. Tentera-tentera Islam selalu setia kepada syekh, suku dan juga bangsawan mereka. Jika terdapat penentangan tentara Islam ini, cukup sulit bagi khalifah untuk menanganinya tanpa bantahan dari golongan bangsawan. Tentaa budak juga golongan asing dan merupakan lapisan yang terendah dalam masyarakat. Sehingga mereka tidak akan menentang khalifah dan mudah dijatuhkan hukuman jika menimbulkan masalah. Oleh karena itu, tentara Mamluk adalah aset terpenting dalam militer.

Organisasi Mameluk 




Setelah memeluk Islam, seorang Mamluk akan dilatih sebagai tentara berkuda. Mereka harus mematuhi Furisiyyah, sebuah aturan perilaku yang memasukkan nilai-nilai seperti keberanian dan kemurahan hati dan juga doktrin mengenai taktik perang berkuda, kemahiran menunggang kuda, kemahiran memanah dan juga kemahiran merawat luka dan cedera.

Tentara Mamluk ini hidup di dalam komunitas mereka sendiri saja. Masa lapang mereka diisi dengan permainan seperti memanah dan juga persembahan kemahiran bertempur. Latihan yang intensif dan ketat untuk anggota-anggota baru Mamluk juga akan memastikan bahawa kebudayaan Mamluk ini abadi.

Setelah tamat latihan, tentara Mamluk ini dimerdekakan tetapi mereka harus setia kepada khalifah atau sultan. Mereka mendapat perintah terus dari khalifah atau sultan. Tentara Mamluk selalu dikerahkan untuk menyelesaikan perselisihan antara suku setempat. Pemerintah setempat seperti amir juga mempunyai pasukan Mamluk sendiri tetapi lebih kecil dibandingkan pasukan Mamluk Khalifah atau Sultan.

Pada mulanya, status tentara Mamluk ini tidak boleh diwariskan dan anak lelaki tentara Mamluk dilarang mengikuti jejak langkah ayahnya. Di sebagian kawasan seperti Mesir, tentara Mamluk mulai menjalin hubungan dengan pemerintah setempat dan akhirnya mendapat pengaruh yang luas.

Kemajuan di bidang Ilmu kemiliteran 

Pada era Dinasti Al-Mamluk produksi buku mengenai ilmu militer itu berkembang pesat. Sedangkan, pada zaman Shalahuddin, ada buku manual militer karya AT-Thurtusi (570 H/1174 M) yang membahas keberhasilan menaklukan Yerussalem. Semenjak awal Islam memang menaruh perhatian khusus mengenai soal perang. Bahkan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah meminta agar para anak lelaki diajari berenang, gulat, dan berkuda. Berbagai kisah peperangan seperti legenda Daud dan Jalut juga dikisahkan dengan apik dalam Al-Qur'an. Bahkan, ada satu surat di Al-Qur'an yang berkisah tentang `heroisme’ kuda-kuda yang berlari kencang dalam kecamuk peperangan.

” Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah-engah. Dan kuda yang mencetuskan api dengan pukulan (kuku kakinya). Dan kuda yang menyerang dengan tiba-tiba di waktu pagi. Maka, ia menerbangkan debu dan menyerbu ke tengah kumpulan musuh.” (Al-‘aAdiyat 1-4).

Kaum muslim sebenarnya pun sudah menulis berbagai karya mengenai soal perang dan ilmu militer. Berbagai jenis buku mengenai 'jihad' dan pengenalan terhadap seluk beluk kuda, panahan, dan taktik militer. Salah satu buku yang terkenal dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris The Catologue yang merupakan karya Ibnu Al-Nadim (wafat antara 380H-338 H/990-998 M).

Dalam karya itu, Al-Nadim menulis berbagai kategori mengenai cara menunggang kuda, menggunakan senjata, tentang menyusun pasukan, tentang berperang, dan menggunakan alat-alat persenjataan yang saat itu telah dipakai oleh semua bangsa. Karya semacam ini pun kemudian banyak muncul dan disusun pada masa Khalifah Abbasiyah, misalnya oleh Khalifah al-Manshur dan al-Ma’mun. Bahkan, pada periode kekuasaan Daulah Al-Mamluk produksi buku mengenai ilmu militer itu berkembang sangat pesat. Minat para penulis semakin terpacu dengan keinginan mereka untuk mempersembahkan sebuah karya kepada kepada para sultan yang menjadi penguasa saat itu. Pembahasan sering dibahas adalah mengenai seluk beluk yang berkaitan dengan serangan bangsa Mongol.



Pada zaman Shalahuddin, ada sebuah buku manual militer yang disusun oleh At-Tharsusi, sekitar tahun 570 H/1174 M. Buku ini membahas mengenai keberhasilan Shalahuddin di dalam memenangkan perang melawan bala tentara salib dan menaklukan Yerussalem. Buku ini ditulis dengan bahasa Arab, meski sang penulisnya orang Armenia. Manual yang ditulisnya selain berisi tentang penggunaan panah, juga membahas mengenai ‘mesin-mesin perang’ saat itu, seperti mangonel (pelempar batu), alat pendobrak, menara-menara pengintai, penempatan pasukan di medan perang, dan cara membuat baju besi. Buku ini semakin berharga karena dilengkapi dengan keterangan praktis bagaimana senjata itu digunakan.

Buku lain yang membahas mengenai militer adalah karya yang ditulis oleh Ali ibnu Abi Bakar Al Harawi (wafat 611 H/1214 M). Buku ini membahas secara detail mengenai soal taktik perang, organisasi militer, tata cara pengepungan, dan formasi tempur. Kalangan ahli militer di Barat menyebut buku ini sebagai sebuah penelitian yang lengkap tentang pasukan muslim di medan tempur dan dalam pengepungan. Pada lingkungan militer Daulah Mamluk meng
hasilkan banyak karya tentang militer, khususnya keahlian menunggang kuda atau fu'usiyyah. Dalam buku ini dibahas mengenai bagaimana cara seorang calon satria melatih diri dan kuda untuk berperang, cara menggunakan senjatanya, dan bagaimana mengatur pasukan berkuda atau kavaleri.

Contoh buku yang lain adalah karya Al-Aqsara’i (wafat74 H/1348 M) yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris menjadi An End to Questioning and Desiring (Further Knowledge) Concering the Science of Horsemenship. Buku ini lebih komplet karena tidak hanya membahas soal kuda, pasukan, dan senjata, namun juga membahas mengenai doktrin dan pembahasan pembagaian rampasan perang.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook