Saturday, April 26, 2014

FIQIH TIDAK SAKLEK



FIQIH TIDAK SAKLEK
Drs.M.Rakib, S.H.,M.Ag. Pekanbaru Riau Indonesia

SAKLEK (sakelijk). Bagaimana jika fiqih itu SAKLEK? Saklek memiliki arti tidak bisa ditawar-tawar lagi atau harus dilakukan. Dalam komunikasi, pengertian dan kelapangan dada untuk mengerti kondisi lawan bicara sangatlah dibutuhkan. Sikap saklek seolah membuat lawan bicara dituntut untuk melakukan keinginan yang memuaskan Anda. Komunikasi yang baik seharusnya bisa menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan dan keinginan pribadi. Komunikasi yang saklek akan membuat lawan bicara tak nyaman saat berkomunikasi dengan Anda.LETTERLIJK ZAKELIJK, jadi "saklek" alias ndak bisa/mau fleksibel. Padahal arti aslinya berarti "business" verdieping, jadi lantai atas yang dibuat dari beton.

Sakleknya fiqih, ada pengelompokan pemikiran Islam, terbagi  kedalam Islam pluralis, Islam liberal, dan Islam substantif telah masuk ke dalam relung-relung masyarakat dan budaya Islam melalui banyak tulisan. Hal ini terjadi sebagai proses interaksi pemikiran, meskipun pemasungan dan hujatan dari kelompok-kelompok yang tidak sepaham, telah dapat dihindari, model pemikiran Islam kategoritatif tidak pernah akan surut.

Islam Sebagai Syari’ah

Lapangan syari’ah lebih luas daripada lapangan fiqih, karena lapangan syari’ah adalah apa saja yang tercakup dalam ilmu tauhid, ilmu fiqih dan ilmu tasawuf / akhlaq. Atau dengan kata lain, fiqih adalah sebagian dari isi syari’ah, karena pengertian syari’ah ialah keseluruhan agama bukan fiqih ansich. Segi pemisahan yang lain ialah bahwa fiqih tidak mendapat kedudukan dan penghormatan yang tinggi seperti syari’ah, karena fiqih sebagai ilmu adalah hasil pikiran manusia, sedang syari’ah datang dari Tuhan.

Fiqih Sebagai Hasil Interpretasi Syari’ah

Dalam epistomologi keilmuan Islam klasik, Fiqih sebagai salah satu cabang keilmuan dalam Islam seakan topik bahasan yang tidak ada habisnya, topik-topik keilmuan fiqih pada zaman klasik dianggap sebagai (mahadewa) yang tiada tandingannya. Konsepsi tentang fiqih yang dianggap sebagai (Undang-Undang Ketiga) dan yang berkuasa mengatur kehidupan umat Islam seakan menyamai popularitas dari (Teologi Kalam) yang pernah ada dan mensejarah dalam kazanah keilmuan Islam.

          Fiqih klasik yang diplot menjadi produk ilmu hukum Islam yang mengatur pelaksanaan ibada-ibadah ritual, yang menguraikan tentang detail perilaku Muslim dan kaitannya dengan lima prinsip pokok (wajib, sunnah, haram, makruh, mubah), serta yang membahas tentang hukum-hukum kemasyarakat (muamalat), sampai saat ini dirasa oleh sebagian kalangan sebagai ilmu yang sempurna, dan seakan tidak akan pernah tergoyahkan dan bahkan tidak sedikit dari berbagai kalangan tersebut melestarikan tadisi fiqih yang menjadi produk keilmuan pada masa lalu.

Sebuah pertanyaan besar yang ada di masa sekarang adalah, apakah fiqih klasik masih dapat dan bisa digunakan sebagai solusi untuk menjawab persoalan-persoalan ke-ummatan, sedangkan fiqih klasik adalah produk lama yang dimiliki ummat Islam, dan dengan melihat motif, illat (sebab), dan kondisi sosial yang jauh berbeda dengan masa sekarang, apakah pola fikir klasik juga tidak perlu direkontruksi? Jawaban dari pertanyaan itulah yang mendasari pemikiran imajiner tehadap kemunculan istilah fiqih kontemporer dengan berlandaskan dari sebuah Ijtihad kontemporer.

Dalam masa sekarang ini, kelompok Islam modernis (kontemporer) yang dimotori oleh para pembaharu Islam seperti Yusuf Al-Qordhawi dan yang lain, memandang bahwa kajian fiqih seharusnya tidak saklek dan menjustifikasi sebuah hukum pada masa lampau sebagai sebuah kebenaran mutlaq, dan harusnya fiqih menjadi bahasan aktulal yang mendorong terhadap adanya kemungkinan untuk melakukan sebuah Ijtihad baru yang benar dan dipertanggungjawabkan . Pendapat ini didasarkan atas pemikiran bahwa dalam sejarah fiqih Islam, fungsi Ijtihad ini pernah mengalami kemandekan, karena munculnya institusi ijtihad yang telah dibatasi oleh kelembagaan para mujtahid mutlaq, seperti istitusi empat Imam Mazhab yang sangat populer.

          Senada dengan pertimbangan di atas, banyak dari beberapa tokoh kontemporer yang menyatakan bahwa akibat dari timbulnya empat mazhab, ummat Islam banyak mengalami kemunduran dan era taqlid yang begitu panjang, dan terlepas dari kualitas dasar-dasar fiqih (Ushul Fiqih dan Qawaidul Fiqih) yang telah ditatarkan oleh para imam tersebut , disisi lain mereka menganggap bahwa persoalan keilmuan fiqih tidak hanya berhenti di situ saja, persoalan sosial yang masuk dalam kajian ilmu fiqih selalu berkembang sesuai dengan konteks dan perkembangan zaman.

Nalar-kritis Metode-metode Klasik

Perkembangan pemikiran keislaman dalam sepanjang sejarahnya telah menunjukkan adanya varian-varian yang khas sesuai dengan semangat zamannya. Varian-varian itu berupa semacam metode, visi, dan kerangka berpikir yang berbeda-beda antara satu pemikiran dengan pemikiran lainnya.

Ajaran dan semangat Islam akan bersifat universal (melintasi batas-batas zaman, ras, dan agama), rasional (akal dan hati nurani manusia sebagai partner dialog), dan necessary (suatu keniscayaan dan keharusan yang fitri), tetapi respon historis manusia dimana tantangan zaman yang mereka hadapi sangat berbeda dan bervariasi, maka secara otomatis akan menimbulkan corak dan pemahaman yang berbeda pula. Dalam konteks ini, ijtihad merupakan sesuatu yang tak pernah ditutup tetapi harus selalu digelorakan.

Dalam kontek mengelorakan ijtihad, Ilmu ushul Fiqih merupakan perangkat metodologi baku yang telah dibuktikan perannya oleh para pemikir Islam semisal Imam mazhab dalam menggali hukum Islam, dan dalam bidang yang lain, dari sumber aslinya (al-Qur’an dan as-Sunnah). Namun dewasa ini fiqih Islam dianggap mandul karena peran kerangka teoritik ilmu ushul fiqih dirasa kurang relevan lagi untuk menjawab problem kontemporer. Hal ini memunculkan kesulitan-kesulitan dalam menjawab problem kontemporer.

Kesulitan-kesulitan yang dihadapi pemikiran Islam kontemporer menjadi lebih akut oleh kenyataan bahwa penggunaan metode muslim klasik tidak dapat dengan mudah menggantikan tugas menanggulangi ketidakcukupan ilmu-ilmu Barat. Ini karena ilmu-ilmu klasik dengan sendirinya tidak memadai untuk mengarahkan aktivitas-aktivitas ilmiah modern. Ketidak cukupan ini telah menjadi sorotan sejumlah pakar muslim. Al-Faruqi misalnya menyatakan bahwa ketidakcukupan metode-metode  tersebut terungkap dalam dua kecenderungan yang saling berlawanan secara diametral. Kecenderungan pertama adalah pembatasan lapangan ijtihad ke dalam penalaran legalistik yakni memasukkan problem-problem modern di bawah kategori-kategori legal, sehingga dengan cara demikian mereduksi mujtahid kepada faqih (jurist) dan mereduksi ilmu ke dalam fiqih. Kecenderungan kedua adalah menghilangkan seluruh criteria dan standar rasional dengan menggunakan "metodologi yang murni intuitif dan esoteris".

Keprihatinan serupa juga disampaikan oleh Abdul Hamid Sulayman yang mengaitkan krisi intelektualisme muslim modern dengan ketidakcukupan metodologis yang menimpa pemikiran muslim kontemporer, yang memanifestasikan dengan sendirinya dalam penggunaan pola pikir yang semata-mata linguistik dan legalistik. Konsekuensinya meskipun seorang faqih dididik untuk menangani problem-problem legal spesifik, kenyataannya dia terus dipahami sebagai orang yang serba bisa, intelektual universal yang mampu memecahkan seluruh problem masyarakat modern. Akibatnya untuk menjawab problem-problem kontemporer masih selalu mengandalkan informasi dari kitab-kitab klasik secara tektual tanpa diimbangi kemauan menangkap makna substansinya apalagi metode berpikirnya.

Aspek lain dari ketidakcukupan metode-metode klasik diungkapkan oleh Muna Abu Fadl. Alasan metode klasik tidak memadai, menurutnya, adalah bahwa bila studi fenomena sosial mengharuskan suatu pendekatan holistic yang dengan cara itu relasi-relasi sosial disistematisasikan menurut aturan-aturan universal, metode klasik bersifat atomistik yang pada dasarnya disandarkan pada penalaran analogis. Oleh karenanya, kiranya cukup alasan jika muncul banyak tawaran metodologi baru dari para pakar Islam kontemporer dalam usaha menggali hukum Islam dari sumber aslinya untuk disesuaikan dengan dinamika kemajuan zaman.

Kenyataan ini tidak bisa ditolak karena fenomena keangkuhan modernitas dan industrialisasi global telah menghegemoni seluruh lini kehidupan anak manusia sehingga memicu dinamika pemikiran Islam kontemporer dengan segala perangkat-perangkatnya termasuk metodologi ushul al-fiqh dan qawaid al-Fiqhiyyah. Dinamika yang dimaksud adalah bahwa perlu dilakukan upaya inkorporasi wahyu ke dalam penelitian ilmiah guna membebaskan sarjana- sarjana muslim dari paksaan epistemologi Barat. Hal ini merupakan pekerjaan besar yang harus dilakukan dalam rangka membangun cita diri Islam di tengah kehidupan modern yang senantiasa berubah dan berkembang. Di Indonesia pada dasawarsa terakhir telah muncul perkembangan pemikiran hukum Islam yang disesuaikan dengan kondisi riil kehidupan di Indonesia. Hal ini dilatarbelakangi oleh kesadaran bahwa fiqih klasik sudah tidak mampu menjawab persoalan-persoalan kontemporer.

Fikih Kontemporer Sebagai Korporasi Wahyu dan Metode Ilmiah (Pendekatan Burhani)

Menjadi kebiasaan para mujtahid, mereka tidak pernah memaksakan hasil ijtihadnya kepada orang lain untuk mengikutinya, bahkan mempersilahkan meninggalkannya ketika didapatkan hasil ijtihad yang lebih valid.

Pada zaman modern, Islam berada dalam ujian yang sangat berat, khususnya ujian epistemologis. Ilmu ushul fiqih yang mestinya dapat berperan sebagai metodologi baku bagi seluruh pemikiran intelektual Islam, dipersempit wilayah kerjanya hanya terbatas dalam bidang hukum Islam. Oleh karenanya sangat beralasan jika dikatakan bahwa kemunduran fiqih Islam dikarenakan kurang relevannya perangkat teoritik ilmu ushul fiqih untuk memecahkan masalah-masalah kontemporer. Hal inilah yang kemudian menjadikan pekerjaan besar bagi para pemikir Islam untuk merumuskan dan memberikan solusi intelektual terhadap permasalahan tersebut. Al-Jabiri misalnya melihat ada tiga tipologi dalam wacana pemikiran Islam, yaitu modernis (‘asraniyyun, hadathiyyun), tradisionalis (salafiyyun), dan eklektis (taufiqiyyun). Menurut al-Jabiri, bahwa tipologi itu terjadi karena terdapat relasi signifikan pada titik tertentu antara satu konstruksi pemikiran dengan realitas sosial sebagai respon dan dialektika pemikiran terhadap fenomena yang sedang terjadi dan berkembang di masyarakat.

Doktrin ideal yang bersumber dari wahyu Tuhan, ternyata tidak mampu berhadapan dengan ujian yang satu ini, sehingga wahyu menjadi tidak dapat “difungsikan” dan “dirasakan” sebagai mana mestinya”. Demikian, agar wahyu ini dapat “difungsikan” dan “dirasakan” sebagai mana mestinya, manusia harus mengerti dan memahami substansi nilai yang terkandung di dalamnya. Manusia harus melakukan apresiasi intelektuil atas “doktrin ideal” tersebut yang ditopang dengan kerangka metodologi yang tepat. Prasarat yang harus ditepati adalah harus ada “kesepakatan” untuk melakukan pemahaman intelektual bahwa agama adalah sistem simbolik yang tidak cukup difahami sebagai formula-formula abstrak tentang kepercayaan dan nilai saja.

Apresiasi atas agama harus dilakukan pengungkapan makna dibalik teks kemudian dilakukan penafsiran. Dari sana akan tergambarkan bahwa Islam adalah ajaran yang dinamis. Dinamisme itu berada di antara Islam Ideal dan Islam Sejarah. Kedinamisan itu terletak dalam ajarannya yang menganjurkan agar akal dapat memahami ayat atau tanda yang terdapat dalam ayat. Di situlah Islam mengenal konsep ijtihad yang digunakan sebagai metode untuk merekonstruksi pemikiran Islam. Melalui cara seperti ini seorang mujtahid dapat memastikan posisi akal pikirannya dalam mencampuri hukum Allah. Ini berarti, antara akal dan wahyu harus ditempatkan pada posisi yang proporsional dalam artian bahwa wahyu tidak akan mengebiri akal tetapi akal dalam perannya tidak boleh melampaui wahyu karena, kebenaran wahyu bersifat mutlak dan kebenaran akal manusia bersifat relatif (nisbi). Keduanya tidak boleh saling menegasikan tetapi harus berkelindan untuk memberikan solusi terhadap problematika kehidupan. Karena wahyu sebagai teks suci dan problematika sebagai realita pada hekekatnya berasal dari sumber yang sama. Oleh karenanya dalam memahami teks harus tidak boleh terlepas dari konteks.

Hal itu penting, karena kalau kita mencoba mengkontekkan antara nash (teks suci) dan al-Waqi’ (kenyataan) maka prasarat yang harus dipahami adalah bahwa keduanya merupakan dua wilayah yang jika dapat dikawinkan maka akan memunculkan pemahaman yang komprehensip. Corak dalam membaca teks menurut asy-Syatibi ada tiga yaitu qira’ah salafiyyah, qira’ah ta’wiliyyah, dan  qira’ah maqashidiyyah. Sementara dalam wilayah al-Waqi’ ada beberapa disiplin ilmu yang digunakan dalam memahami fenomena-fenomena sosial, politik dan sebagainya misalnya sosiologi, antropologi, dan seterusnya. Pada wilayah inilah metode ilmiah cukup baik untuk menjadi komandan kajian. Dengan demikian idealnya adalah ketika melakukan pembacaan teks kemudian dikontekkan pada fenomena sosial seharusnya tidak boleh meninggalkan disiplin ilmu dengan segala perangkat metode ilmiah yang ada pada wilayah al-Waqi’. Jika tidak maka pemahaman atas teks tersebut akan out of date, sehingga tidak applicable.

Pemikiran Islam Kontemporer; Contoh Kasus Sosial-Kemanusiaan

Kemunculan kasus-kasus aktual yang mengiringi zaman modern dan arus globalisasi seperti sekarang yang terjadi dalam konteks kekinian. Seperti pertama, kesehatan seperti kasus aborsi dan penjual belian organ tubuh mayat, seakan memperjelas bahwasnya fiqih masa klasik harus dicermati ulang dan direkonstruksi kembali, karena sudah jelas bahwa produk fiqih dibuat permasalahan-permasalahan tersebut belum ada, dan secara dialektika maka fiqih klasik tidak akan mampu menjawab persoalan-persoalan tersebut.

          Kasus lain kedua yang menjadi agenda dari format fiqih dan Ijtihad kontemporer adalah kasus ibadah haji. Seperti kita tahu semua, ibadah haji adalah ibadah yang bukan hanya melibatkan sang Kholiq (Allah SWT) dengan makhluq-Nya, karena dalam prosesi ibadah hajji terdapat interaksi sosial antar manusia. Banyaknya kasus menyedihkan sekaligus mencengangkan seperti meninggalnya jama’ah haji pada saat pelemparan jumrah aqabah karena terinjak-injak oleh sesama jama’ah haji yang lain dan berbagai kasus yang lain dan mengakibatkan meninggalnya jama’ah haji.

Dari beberapa kasus di atas seakan menjali cambuk betapa besar agenda tentang rekonsrtuksi terhadap metodologi hokum Islam klasik yang menjadi cakupan fiqih harus segera dilaksanaksan.

Penulis tertarik pada apa yang ditulis oleh: Khusnul Azhar, bahwa dalam pandangan fiqih baru, syariah diharapkan tidak lagi bercorak vertikalistik, yang hanya mengupas hubungan manusia dengan Tuhan, melainkan proses ijtihad ini di arahkan pada masalah-masalah kemanusiaan. Fiqih kontemporer harus didesak kearah problema-probelama aktual. Dengan mendinamiskan format fiqih yang seperti ini, diharapkan menjadi langkah awal untuk merekonstruksi syariah dari wajahnya yang statis, eksklusif dan diskriminatif menjadi wajah syariah yang dinamis, eksklusif, egaliter, rasional, empirik dengan tetap bermuara pada ranah transedental.

Penutup

          Dengan kehadiran dari konsep dan format tentang fiqih kontemporer yang dihasilkan lewat sebuah proses yang kontemporer, seakan membawa angin segar dalam khazanah keilmuan Islam dalam mengartikan dan mengamalkan syariah Islam dengan penuh nitatan ikhlas dan selalu di bangun atas dasar mencari ridho Allah SWT. Fiqih kontemporer juga seakan memberikan solusi yang amat sangat signifikan untuk menjawab masalah-masalah ke-ummmat-an yang terjadi pada masa kekinian.

 Diharapkan dalam format fiqih kontemporer kita sebagai manusia yang aktif dengan berbagai perkembangan yang mengikuti lebih dapat dihargai eksistensinya, dengan segala kekekurangan yang ada. Pada akhirnnya kita sebagai manusia yang hanya diberi sedikit rasio dari semua kebenaran hakiki yang di punyai oleh Allah, berusaha semaksimal mungkin menjalankan apa yang telah di perintahkan sesuai dengan kemapuan keterbatasan kita.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook