| 
       
 
       
      Ketika Indahnya Derita Mengabadikan Cinta 
 
       
      "Kini tiba saatnya kita semua mendengarkan nasihat pernikahan untuk
      kedua mempelai yang akan disampaikan oleh yang terhormat Prof. Dr. Mamduh
      Hasan Al-Ganzouri . Beliau adalah Ketua Ikatan Dokter Kairo dan Dikrektur
      Rumah Sakit Qashrul Aini, seorang pakar syaraf terkemuka di Timur Tengah,
      yang tak lain adalah juga dosen kedua mempelai.  
 
       
      Kepada Professor dipersilahkan. .."Suara pembawa acara walimatul urs
      itu menggema di seluruh ruangan resepsi pernikahan nan mewah di Hotel
      Hilton Ramses yang terletak di tepi sungai Nil, Kairo.Seluruh hadirin
      menanti dengan penasaran, apa kiranya yang akan disampaikan pakar syaraf
      jebolan London itu. Hati mereka menanti-nanti mungkin akan ada kejutan
      baru mengenai hubungan pernikahan dengan kesehatan syaraf dari professor
      yang murah senyum dan sering nongol di televisi itu.Sejurus kemudian,
      seorang laki-laki separuh baya berambut putih melangkah menuju podium.
      Langkahnya tegap. Air muka di wajahnya memancarkan wibawa. Kepalanya yang
      sedikit botak, meyakinkan bahwa ia memang seorang ilmuan berbobot. Sorot
      matanya yang tajam dan kuat, mengisyaratkan pribadi yang tegas. Begitu
      sampai di podium, kamera video dan lampu sorot langsung shoot ke arahnya.
      Sesaat sebelum bicara, seperti biasa, ia sentuh gagang kacamatanya,
      lalu... 
       
      Bismillah, alhamdulillah, washalatu was salamu'ala Rasulillah, amma
      ba'du. Sebelumnya saya mohon ma'af , saya tidak bisa memberi nasihat
      lazimnya para ulama, para mubhaligh dan para ustadz. Namun pada
      kesempatan kali ini perkenankan saya bercerita...Cerita yang hendak saya
      sampaikan kali ini bukan fiktif belaka dan bukan cerita biasa. Tetapi
      sebuah pengalaman hidup yang tak ternilai harganya, yang telah saya kecap
      dengan segenap jasad dan jiwa saya. Harapan saya, mempelai berdua dan
      hadirin sekalian yang dimuliakan Allah bisa mengambil hikmah dan
      pelajaran yang dikandungnya. Ambilah mutiaranya dan buanglah
      lumpurnya.Saya berharap kisah nyata saya ini bisa melunakkan hati yang
      keras, melukiskan nuansa-nuansa cinta dalam kedamaian, serta menghadirkan
      kesetiaan pada segenap hati yang menangkapnya. 
       
      Tiga puluh tahun yang lalu ...Saya adalah seorang pemuda, hidup di tengah
      keluarga bangsawan menengah ke atas. Ayah saya seorang perwira tinggi,
      keturunan "Pasha" yang terhormat di negeri ini. Ibu saya tak
      kalah terhormatnya, seorang lady dari keluarga aristokrat terkemuka di
      Ma'adi, ia berpendidikan tinggi, ekonom jebolan Sorbonne yang memegang
      jabatan penting dan sangat dihormati kalangan elit politik di negeri
      ini.Saya anak sulung, adik saya dua, lelaki dan perempuan. Kami hidup
      dalam suasana aristokrat dengan tatanan hidup tersendiri. Perjalanan
      hidup sepenuhnya diatur dengan undang-undang dan norma aristokrat.
      Keluarga besar kami hanya mengenal pergaulan dengan kalangan aristokrat
      atau kalangan high class yang sepadan!Entah kenapa saya merasa tidak puas
      dengan cara hidup seperti ini. 
       
      Saya merasa terkukung dan terbelenggu dengan strata sosial yang
      didewa-dewakan keluarga. Saya tidak merasakan benar hidup yang saya cari.
      Saya lebih merasa hidup justru saat bergaul dengan teman-teman dari
      kalangan bawah yang menghadapi hidup dengan penuh rintangan dan
      perjuangan. Hal ini ternyata membuat gusar keluarga saya, mereka
      menganggap saya ceroboh dan tidak bisa menjaga status sosial keluarga.
      Pergaulan saya dengan orang yang selalu basah keringat dalam mencari
      pengganjal perut dianggap memalukan keluarga. Namun saya tidak peduli.
      Karena ayah memperoleh warisan yan sangat besar dari kakek, dan ibu mampu
      mengembangkannya dengan berlipat ganda, maka kami hidup mewah dengan
      selera tinggi. Jika musim panas tiba, kami biasa berlibur ke luar negri,
      ke Paris, Roma, Sydney atau kota besar dunia lainnya. Jika berlibur di
      dalam negeri ke Alexandria misalnya, maka pilihan keluarga kami adalah
      hotel San Stefano atau hotel mewah di Montaza yang berdekatan dengan
      istana Raja Faruq. 
       
      Begitu masuk fakultas kedokteran, saya dibelikan mobil mewah.
      Berkali-kali saya minta pada ayah untuk menggantikannya dengan mobil
      biasa saja, agar lebih enak bergaul dengan teman-teman dan para dosen.
      Tetapi beliau menolak mentah-mentah."Justru dengan mobil mewah itu
      kamu akan dihormati siapa saja" tegas ayah.Terpaksa saya pakai mobil
      itu meskipun dalam hati saya membantah habis-habisan pendapat materialis
      ayah. Dan agar lebih nyaman di hati, saya parkir mobil itu agak jauh dari
      tempat kuliah. Ketika itu saya jatuh cinta pada teman kuliah. Seorang
      gadis yang penuh pesona lahir batin. Saya tertarik dengan kesederhanaan,
      kesahajaan, dan kemuliaan ahlaknya. Dari keteduhan wajahnya saya
      menangkap dalam relung hatinya tersimpan kesetiaan dan kelembutan tiada
      tara. Kecantikan dan kecerdasannya sangat menajubkan. Ia gadis yang
      beradab dan berprestasi, sama seperti saya. 
       
      Gayung pun bersambut. Dia ternyata juga mencintai saya. Saya merasa telah
      menemukan pasangan hidup yang tepat. Kami berjanji untuk menempatkan
      cinta ini dalam ikatan suci yang diridhai Allah, yaitu ikatan pernikahan.
      Akhirnya kami berdua lulus dengan nilai tertinggi di fakultas. Maka
      datanglah saat untuk mewujudkan impian kami berdua menjadi kenyataan.
      Kami ingin memadu cinta penuh bahagia di jalan yang lurus.Saya buka
      keinginan saya untuk melamar dan menikahi gadis pujaan hati pada
      keluarga. Saya ajak dia berkunjung ke rumah. Ayah, ibu, dan saudara-saudara
      saya semuanya takjub dengan kecantikan, kelembutan, dan kecerdasannya.
      Ibu saya memuji cita rasanya dalam memilih warna pakaian serta tutur
      bahasanya yang halus.Usai kunjungan itu, ayah bertanya tentang pekerjaan
      ayahnya. Begitu saya beritahu, serta merta meledaklah badai kemarahan
      ayah dan membanting gelas yang ada di dekatnya. 
       
      Bahkan beliau mengultimatum: Pernikahan ini tidak boleh terjadi
      selamanya!Beliau menegaskan bahwa selama beliau masih hidup rencana
      pernikahan dengan gadis berakhlak mulia itu tidak boleh terjadi. Pembuluh
      otak saya nyaris pecah pada saat itu menahan remuk redam kepedihan batin
      yang tak terkira.Hadirin semua, apakah anda tahu sebabnya? Kenapa ayah
      saya berlaku sedemikian sadis? Sebabnya, karena ayah calon istri saya itu
      tukang cukur....tukang cukur, ya... sekali lagi tukang cukur! Saya
      katakan dengan bangga. Karena, meski hanya tukang cukur, dia seorang
      lelaki sejati. Seorang pekerja keras yang telah menunaikan kewajibannya
      dengan baik kepada keluarganya. Dia telah mengukir satu prestasi yang tak
      banyak dilakukan para bangsawan "Pasha". Lewat tangannya ia
      lahirkan tiga dokter, seorang insinyur dan seorang letnan, meskipun dia
      sama sekali tidak mengecap bangku pendidikan.Ibu, saudara dan semua
      keluarga berpihak kepada ayah. Saya berdiri sendiri, tidak ada yang
      membela. 
       
      Pada saat yang sama adik saya membawa pacarnya yang telah hamil 2 bulan
      ke rumah. Minta direstui. Ayah ibu langsung merestui dan menyiapkan biaya
      pesta pernikahannya sebesar 500 ribu ponds. Saya protes kepada mereka,
      kenapa ada perlakuan tidak adil seperti ini? Kenapa saya yang ingin
      bercinta di jalan yang lurus tidak direstui, sedangkan adik saya yang
      jelas-jelas telah berzina, bergonta-ganti pacar dan akhirnya menghamili
      pacarnya yang entah yang ke berapa di luar akad nikah malah direstui dan
      diberi fasilitas maha besar? Dengan enteng ayah menjawab. "Karena
      kamu memilih pasangan hidup dari strata yang salah dan akan menurunkan
      martabat keluarga, sedangkan pacar adik kamu yang hamil itu anak menteri,
      dia akan menaikkan martabat keluarga besar Al Ganzouri."Hadirin
      semua, semakin perih luka dalam hati saya. Kalau dia bukan ayah saya,
      tentu sudah saya maki habis-habisan. Mungkin itulah tanda kiamat sudah
      dekat, yang ingin hidup bersih dengan menikah dihalangi, namun yang jelas
      berzina justru difasilitasi. 
       
      Dengan menyebut asma Allah, saya putuskan untuk membela cinta dan hidup
      saya. Saya ingin buktikan pada siapa saja, bahwa cara dan pasangan
      bercinta pilihan saya adalah benar. Saya tidak ingin apa-apa selain menikah
      dan hidup baik-baik sesuai dengan tuntunan suci yang saya yakini
      kebenarannya. Itu saja.Saya bawa kaki ini melangkah ke rumah kasih dan
      saya temui ayahnya. Dengan penuh kejujuran saya jelaskan apa yang
      sebenarnya terjadi, dengan harapan beliau berlaku bijak merestui rencana
      saya. Namun, la haula wala quwwata illa billah, saya dikejutkan oleh
      sikap beliau setelah mengetahui penolakan keluarga saya. Beliaupun
      menolak mentah-mentah untuk mengawinkan putrinya dengan saya. Ternyata
      beliau menjawabnya dengan reaksi lebih keras, beliau tidak menganggapnya
      sebagai anak jika tetap nekad menikah dengan saya. Kami berdua bingung,
      jiwa kami tersiksa. 
       
      Keluarga saya menolak pernikahan ini terjadi karena alasan status sosial
      , sedangkan keluarga dia menolak karena alasan membela
      kehormatan.Berhari-hari saya dan dia hidup berlinang air mata, beratap
      dan bertanya kenapa orang-orang itu tidak memiliki kesejukan
      cinta?Setelah berpikir panjang, akhirnya saya putuskan untuk mengakhiri
      penderitaan ini. Suatu hari saya ajak gadis yang saya cintai itu ke
      kantor ma'dzun syari (petugas pencatat nikah) disertai 3 orang sahabat
      karibku. Kami berikan identitas kami dan kami minta ma'dzun untuk
      melaksanakan akad nikah kami secara syari'ah mengikuti mahzab imam
      Hanafi. 
       
      Ketika Ma'dzun menuntun saya, "Mamduh, ucapkanlah kalimat ini: Saya
      terima nikah kamu sesuai dengan sunatullah wa rasulih dan dengan mahar
      yang kita sepakati bersama serta dengan memakai mahzab Imam Abu
      Hanifah."Seketika itu bercucuranlah air mata saya, air mata dia dan
      air mata 3 sahabat saya yang tahu persis detail perjalanan menuju akad
      nikah itu. Kami keluar dari kantor itu resmi menjadi suami-isteri yang
      sah di mata Allah SWT dan manusia. Saya bisikkan ke istri saya agar
      menyiapkan kesabaran lebih, sebab rasanya penderitaan ini belum
      berakhir.Seperti yang saya duga, penderitaan itu belum berakhir, akad
      nikah kami membuat murka keluarga. Prahara kehidupan menanti di depan
      mata. 
       
      Begitu mencium pernikahan kami, saya diusir oleh ayah dari rumah. Mobil
      dan segala fasilitas yang ada disita. Saya pergi dari rumah tanpa membawa
      apa-apa. Kecuali tas kumal berisi beberapa potong pakaian dan uang
      sebanyak 4 pound saja! Itulah sisa uang yang saya miliki sehabis membayar
      ongkos akad nikah di kantor ma'dzun.Begitu pula dengan istriku, ia pun
      diusir oleh keluarganya. Lebih tragis lagi ia hanya membawa tas kecil
      berisi pakaian dan uang sebanyak 2 pound, tak lebih! Total kami hanya
      pegang uang 6 pound atau 2 dolar!!!Ah, apa yang bisa kami lakukan dengan
      uang 6 pound? Kami berdua bertemu di jalan layaknya gelandangan. 
       
      Saat itu adalah bulan Februari, tepat pada puncak musim dingin. Kami
      menggigil, rasa cemas, takut, sedih dan sengsara campur aduk menjadi
      satu. Hanya saja saat mata kami yang berkaca-kaca bertatapan penuh cinta
      dan jiwa menyatu dalam dekapan kasih sayang , rasa berdaya dan hidup
      menjalari sukma kami."Habibi, maafkan kanda yang membawamu ke jurang
      kesengsaraan seperti ini. Maafkan Kanda!""Tidak... Kanda tidak
      salah, langkah yang kanda tempuh benar. Kita telah berpikir benar dan
      bercinta dengan benar. Merekalah yang tidak bisa menghargai kebenaran.
      Mereka masih diselimuti cara berpikir anak kecil. Suatu ketika mereka
      akan tahu bahwa kita benar dan tindakan mereka salah. Saya tidak menyesal
      dengan langkah yang kita tempuh ini.Percayalah, insya Allah, saya akan
      setia mendampingi kanda, selama kanda tetap setia membawa dinda ke jalan
      yang lurus. Kita akan buktikan kepada mereka bahwa kita bisa hidup dan
      jaya dengan keyakinan cinta kita. Suatu ketika saat kita gapai kejayaan
      itu kita ulurkan tangan kita dan kita berikan senyum kita pada mereka dan
      mereka akan menangis haru.Air mata mereka akan mengalir deras seperti
      derasnya air mata derita kita saat ini," jawab isteri saya dengan
      terisak dalam pelukan.Kata-katanya memberikan sugesti luar biasa pada
      diri saya. Lahirlah rasa optimisme untuk hidup. Rasa takut dan cemas itu
      sirna seketika. Apalagi teringat bahwa satu bulan lagi kami akan diangkat
      menjadi dokter. Dan sebagai lulusan terbaik masing-masing dari kami akan
      menerima penghargaan dan uang sebanyak 40 pound. 
       
      Malam semakin melarut dan hawa dingin semakin menggigit. Kami duduk di
      emperan toko berdua sebagai gembel yang tidak punya apa-apa. Dalam
      kebekuan, otak kami terus berputar mencari jalan keluar. Tidak mungkin
      kami tidur di emperan toko itu. Jalan keluar pun datang juga. Dengan sisa
      uang 6 pound itu kami masih bisa meminjam sebuah toko selama 24 jam.Saya
      berhasil menghubungi seorang teman yang memberi pinjaman sebanyak 50
      pound. Ia bahkan mengantarkan kami mencarikan losmen ala kadarnya yang
      murah.Saat kami berteduh dalam kamar sederhana, segera kami disadarkan
      kembali bahwa kami berada di lembah kehidupan yang susah, kami harus
      mengarunginya berdua dan tidak ada yang menolong kecuali cinta, kasih
      sayang dan perjuangan keras kami berdua serta rahmat Allah SWT.Kami hidup
      dalam losmen itu beberapa hari, sampai teman kami berhasil menemukan
      rumah kontrakan sederhana di daerah kumuh Syubra Khaimah. Bagi kaum
      aristokrat, rumah kontrakan kami mungkin dipandang sepantasnya adalah untuk
      kandang binatang kesayangan mereka. Bahkan rumah binatang kesayangan
      mereka mungkin lebih bagus dari rumah kontrakan kami. Namun bagi kami
      adalah hadiah dari langit. Apapun bentuk rumah itu, jika seorang
      gelandangan tanpa rumah menemukan tempat berteduh ia bagai mendapat
      hadiah agung dari langit. Kebetulan yang punya rumah sedang membutuhkan
      uang, sehingga dia menerima akad sewa tanpa uang jaminan dan uang
      administrasi lainnya. Jadi sewanya tak lebih dari 25 pound saja untuk 3
      bulan.Betapa bahagianya kami saat itu, segera kami pindah kesana. Lalu
      kami pergi membeli perkakas rumah untuk pertama kalinya. Tak lebih dari
      sebuah kasur kasar dari kapas, dua bantal, satu meja kayu kecil, dua
      kursi dan satu kompor gas sederhana sekali, kipas dan dua cangkir dari tanah,
      itu saja... tak lebih.Dalam hidup bersahaja dan belum dikatakan layak
      itu, kami merasa tetap bahagia, karena kami selalu bersama. Adakah di
      dunia ini kebahagiaan melebihi pertemuan dua orang yang diikat kuatnya
      cinta? Hidup bahagia adalah hidup dengan gairah cinta. Dan kenapakah
      orang-orang di dunia merindukan surga di akhirat? Karena di surga Allah
      menjanjikan cinta.Ah, saya jadi teringat perkataan Ibnu Qayyim, bahwa
      nikmatnya persetubuhan cinta yang dirasa sepasang suami-isteri di dunia
      adalah untuk memberikan gambaran setetes nikmat yang disediakan oleh
      Allah di surga. Jika percintaan suami-isteri itu nikmat, maka surga jauh
      lebih nikmat dari semua itu. Nikmat cinta di surga tidak bisa
      dibayangkan. Yang paling nikmat adalah cinta yang diberikan oleh Allah
      kepada penghuni surga , saat Allah memperlihatkan wajah-Nya. Dan tidak
      semua penghuni surga berhak menikmati indahnya wajah Allah SWT. Untuk
      nikmat cinta itu, Allah menurunkan petunjuknya yaitu Al-Qur'an dan Sunnah
      Rasul. Yang konsisten mengikuti petunjuk Allah-lah yang berhak memperoleh
      segala cinta di surga. 
       
      Melalui penghayatan cinta ini, kami menemukan jalan-jalan lurus
      mendekatkan diri kepada-Nya. Istri saya jadi rajin membaca Al-Qur'an,
      lalu memakai jilbab, dan tiada putus shalat malam. Di awal malam ia
      menjelma menjadi Rabi'ah Adawiyah yang larut dalam samudra munajat kepada
      Tuhan. Pada waktu siang ia adalah dokter yang penuh pengabdian dan belas
      kasihan. Ia memang wanita yang berkarakter dan berkepribadian kuat, ia
      bertekad untuk hidup berdua tanpa bantuan siapapun, kecuali Allah SWT.
      Dia juga seorang wanita yang pandai mengatur keuangan. Uang sewa sebanyak
      25 poud yang tersisa setelah membayar sewa rumah cukup untuk makan dan
      transportasi selama sebulan.Tetanggga-tetangga kami yang sederhana sangat
      mencintai kami, dan kamipun mencintai mereka. Mereka merasa kasihan
      melihat kemelaratan dan derita hidup kami, padahal kami berdua adalah
      dokter. Sampai-sampai ada yang bilang tanpa disengaja,"Ah, kami kira
      para dokter itu pasti kaya semua, ternyata ada juga yang melarat sengsara
      seperti Mamduh dan isterinya."Akrabnya pergaulan kami dengan para
      tetangga banyak mengurangi nestapa kami. Beberapa kali tetangga kami
      menawarkan bantuan-bantuan kecil layaknya saudara sendiri. Ada yang
      menawarkan kepada isteri agar menitipkan saja cuciannya pada mesin cuci
      mereka karena kami memang dokter yang sibuk. Ada yang membelikan
      kebutuhan dokter. Ada yang membantu membersihkan rumah. Saya sangat
      terkesan dengan pertolongan- pertolongan mereka. Kehangatan tetangga itu
      seolah-olah pengganti kasarnya perlakuan yang kami terima dari keluarga
      kami sendiri. Keluarga kami bahkan tidak terpanggil sama sekali untuk
      mencari dan mengunjungi kami. Yang lebih menyakitkan mereka tidak
      membiarkan kami hidup tenang. 
       
      Suatu malam, ketika kami sedang tidur pulas, tiba-tiba rumah kami digedor
      dan didobrak oleh 4 bajingan kiriman ayah saya. Mereka merusak segala
      perkakas yang ada. Meja kayu satu-satunya, mereka patah-patahkan, begitu
      juga dengan kursi. Kasur tempat kami tidur satu-satunya mereka
      robek-robek. Mereka mengancam dan memaki kami dengan kata-kata kasar.
      Lalu mereka keluar dengan ancaman, "Kalian tak akan hidup tenang,
      karena berani menentang Tuan Pasha."Yang mereka maksudkan dengan
      Tuan "Pasha" adalah ayah saya yang kala itu pangkatnya naik
      menjadi jendral. Ke-empat bajingan itu pergi. Kami berdua berpelukan,
      menangis bareng berbagi nestapa dan membangun kekuatan. Lalu kami tata
      kembali rumah yang hancur. Kami kumpulkan lagi kapas-kapas yang
      berserakan, kami masukan lagi ke dalam kasur dan kami jahit kasur yang
      sobek-sobek tak karuan itu. Kami tata lagi buku-buku yang berantakan.
      Meja dan kursi yang rusak itu berusaha kami perbaiki. Lalu kami tertidur
      kecapaian dengan tangan erat bergenggaman, seolah eratnya genggaman
      inilah sumber rasa aman dan kebahagiaan yang meringankan intimidasi hidup
      ini.Benar, firasat saya mengatakan ayah tidak akan membiarkan kami hidup
      tenang. Saya mendapat kabar dari seorang teman bahwa ayah telah merancang
      skenario keji untuk memenjarakan isteri saya dengan tuduhan wanita tuna
      susila. Semua orang juga tahu kuatnya intelijen militer di negeri ini.
      Mereka berhak melaksanakan apa saja dan undang-undang berada di telapak
      kaki mereka. Saya hanya bisa pasrah total kepada Allah mendengar hal
      itu.Dan Masya Allah! Ayah telah merancang skenario itu dan tidak
      mengurungkan niat jahatnya itu, kecuali setelah seorang teman karibku
      berhasil memperdaya beliau dengan bersumpah akan berhasil membujuk saya
      agar menceraikan isteri saya. Dan meminta ayah untuk bersabar dan tidak
      menjalankan skenario itu , sebab kalau itu terjadi pasti pemberontakan
      saya akan menjadi lebih keras dan bisa berbuat lebih nekad.Tugas temanku
      itu adalah mengunjungi ayahku setiap pekan sambil meminta beliau sabar,
      sampai berhasil meyakinkan saya untuk mencerai isteriku. 
       
      Inilah skenario temanku itu untuk terus mengulur waktu, sampai ayah turun
      marahnya dan melupakan rencana kejamnya. Sementara saya bisa
      mempersiapkan segala sesuatu lebih matang.Beberapa bulan setelah itu
      datanglah saat wajib militer. Selama satu tahun penuh saya menjalani
      wajib militer. Inilah masa yang saya takutkan, tidak ada pemasukan sama
      sekali yang saya terima kecuali 6 pound setiap bulan. Dan saya mesti
      berpisah dengan belahan jiwa yang sangat saya cintai. Nyaris selama 1
      tahun saya tidak bisa tidur karena memikirkan keselamatan isteri
      tercinta.Tetapi Allah tidak melupakan kami, Dialah yang menjaga
      keselamatan hamba-hamba- Nya yang beriman. Isteri saya hidup selamat
      bahkan dia mendapatkan kesempatan magang di sebuah klinik kesehatan dekat
      rumah kami. Jadi selama satu tahun ini, dia hidup berkecukupan dengan
      rahmat Allah SWT.Selesai wajib militer, saya langsung menumpahkan segenap
      rasa rindu kepada kekasih hati. 
       
      Saat itu adalah musim semi. Musim cinta dan keindahan. Malam itu saya
      tatap matanya yang indah, wajahnya yang putih bersih. Ia tersenyum manis.
      Saya reguk segala cintanya. Saya teringat puisi seorang penyair Palestina
      yang memimpikan hidup bahagia dengan pendamping setia & lepas dari
      belenggu derita:Sambil menatap kaki langitKukatakan kepadanyaDi sana...
      di atas lautan pasir kita akan berbaringDan tidur nyenyak sampai subuh
      tibaBukan karna ketiadaan kata-kataTapi karena kupu-kupu kelelahanAkan
      tidur di atas bibir kitaBesok, oh cintaku... besokKita akan bangun pagi
      sekaliDengan para pelaut dan perahu layar merekaDan akan terbang bersama
      anginSeperti burung-burungYah... saya pun memimpikan demikian. Ingin
      rasanya istirahat dari nestapa dan derita. Saya utarakan mimpi itu kepada
      istri tercinta. Namun dia ternyata punya pandangan lain. Dia malah bersih
      keras untuk masuk program Magister bersama!"Gila... ide
      gila!!!" pikirku saat itu. Bagaimana tidak...ini adalah saat paling
      tepat untuk pergi meninggalkan Mesir dan mencari pekerjaan sebagai dokter
      di negara Teluk, demi menjauhi permusuhan keluarga yang tidak
      berperasaan. Tetapi istri saya tetap bersikukuh untuk meraih gelar
      Magister dan menjawab logika yang saya tolak:"Kita berdua paling
      berprestasi dalam angkatan kita dan mendapat tawaran dari Fakultas
      sehingga akan mendapatkan keringanan biaya, kita harus sabar sebentar
      menahan derita untuk meraih keabadian cinta dalam kebahagiaan. 
       
      Kita sudah kepalang basah menderita, kenapa tidak sekalian kita rengguk
      sum-sum penderitaan ini. Kita sempurnakan prestasi akademis kita, dan
      kita wujudkan mimpi indah kita."Ia begitu tegas. Matanya yang indah
      tidak membiaskan keraguan atau ketakutan sama sekali. Berhadapan dengan
      tekad baja istriku, hatiku pun luluh. Kupenuhi ajakannya dengan perasaan
      takjub akan kesabaran dan kekuatan jiwanya.Jadilah kami berdua masuk
      Program Magister. Dan mulailah kami memasuki hidup baru yang lebih
      menderita. Pemasukan pas-pasan, sementara kebutuhan kuliah luar biasa
      banyaknya, dana untuk praktek, buku, dll. Nyaris kami hidup laksana kaum
      Sufi, makan hanya dengan roti dan air. Hari-hari yang kami lalui lebih
      berat dari hari-hari awal pernikahan kami. Malam hari kami lalui bersama
      dengan perut kosong, teman setia kami adalah air keran.Masih terekam
      dalam memori saya, bagaimana kami belajar bersama dalam suatu malam sampai
      didera rasa lapar yang tak terperikan, kami obati dengan air. Yang
      terjadi malah kami muntah-muntah. Terpaksa uang untuk beli buku kami
      ambil untuk pengganjal perut.Siang hari, jangan tanya... kami terpaksa
      puasa. Dari keterpaksaan itu, terjelmalah kebiasaan dan keikhlasan.Meski
      demikian melaratnya, kami merasa bahagia. 
       
      Kami tidak pernah menyesal atau mengeluh sedikitpun. Tidak pernah saya
      melihat istri saya mengeluh, menagis dan sedih ataupun marah karena suatu
      sebab. Kalaupun dia menangis, itu bukan karena menyesali nasibnya, tetapi
      dia malah lebih kasihan kepada saya. Dia kasihan melihat keadaan saya
      yang asalnya terbiasa hidup mewah, tiba-tiba harus hidup sengsara
      layaknya gelandangan.Sebaliknya, sayapun merasa kasihan melihat
      keadaannya, dia yang asalnya hidup nyaman dengan keluarganya, harus hidup
      menderita di rumah kontrakan yang kumuh dan makan ala kadarnya.Timbal
      balik perasaan ini ternya menciptakan suasana mawaddah yang luar biasa
      kuatnya dalam diri kami. Saya tidak bisa lagi melukiskan rasa sayang,
      hormat, dan cinta yang mendalam padanya. 
       
      Setiap kali saya angkat kepala dari buku, yang tampak di depan saya
      adalah wajah istri saya yang lagi serius belajar. Kutatap wajahnya
      dalam-dalam. Saya kagum pada bidadari saya ini. Merasa diperhatikan, dia akan
      mengangkat pandangannya dari buku dan menatap saya penuh cinta dengan
      senyumnya yang khas. Jika sudah demikian, penderitaan terlupakan semua.
      Rasanya kamilah orang yang paling berbahagia di dunia ini. "Allah
      menyertai orang-orang yang sabar, sayang..." bisiknya mesra sambil
      tersenyum.Lalu kami teruskan belajar dengan semangat membara. Allah Maha
      Penyayang, usaha kami tidak sia-sia. Kami berdua meraih gelar Magister
      dengan waktu tercepat di Mesir. Hanya 2 tahun saja! Namun, kami belum
      keluar dari derita. Setelah meraih gelar Magister pun kami masih hidup
      susah, tidur di atas kasur tipis dan tidak ada istilah makan enak dalam
      hidup kami.Sampai akhirnya rahmat Allah datang juga. 
       
      Setelah usaha keras, kami berhasil meneken kontrak kerja di sebuah rumah
      sakit di Kuwait. Dan untuk pertama kalinya, setelah 5 tahun berselimut
      derita dan duka, kami mengenal hidup layak dan tenang. Kami hidup di
      rumah yang mewah, merasakan kembali tidur di kasur empuk dan kembali
      mengenal masakan lezat.Dua tahun setelah itu, kami dapat membeli villa
      berlantai dua di Heliopolis, Kairo. Sebenarnya, saya rindu untuk kembali
      ke Mesir setelah memiliki rumah yang layak. Tetapi istriku memang 'edan'.
      Ia kembali mengeluarkan ide gila, yaitu ide untuk melanjutkan program
      Doktor Spesialis di London, juga dengan logika yang sulit saya
      tolak:"Kita dokter yang berprestasi. Hari-hari penuh derita telah
      kita lalui, dan kita kini memiliki uang yang cukup untuk mengambil gelar
      Doktor di London. Setelah bertahun-tahun hidup di lorong kumuh, tak ada salahnya
      kita raih sekalian jenjang akademis tertinggi sambil merasakan hidup di
      negara maju. Apalagi pihak rumah sakit telah menyediakan dana
      tambahan."Kucium kening istriku, dan bismillah... kami berangkat ke
      London. Singkatnya, dengan rahmat Allah, kami berdua berhasil menggondol
      gelar Doktor dari London. Saya spesialis syaraf dan istri saya spesialis
      jantung.Setelah memperoleh gelar doktor spesialis, kami meneken kontrak
      kerja baru di Kuwait dengan gaji luar biasa besarnya. Bahkan saya
      diangkat sebagai direktur rumah sakit, dan istri saya sebagai wakilnya!
      Kami juga mengajar di Universitas.Kami pun dikaruniai seorang putri yang
      cantik dan cerdas. Saya namai dia dengan nama istri terkasih, belahan
      jiwa yang menemaniku dalam suka dan duka, yang tiada henti mengilhamkan
      kebajikan. 
       
      Lima tahun setelah itu, kami pindah kembali ke Kairo setelah sebelumnya
      menunaikan ibadah haji di Tanah Haram. Kami kembali laksana raja dan
      permaisurinya yang pulang dari lawatan keliling dunia. Kini kami hidup
      bahagia, penuh cinta dan kedamaian setelah lebih dari 9 tahun hidup
      menderita, melarat dan sengsara.Mengenang masa lalu, maka bertambahlah
      rasa syukur kami kepada Allah swt dan bertambahlan rasa cinta kami.Ini
      kisah nyata yang saya sampaikan sebagai nasehat hidup. 
       
      Jika hadirin sekalian ingin tahu istri saleha yang saya cintai dan
      mencurahkan cintanya dengan tulus, tanpa pernah surut sejak pertemuan
      pertama sampai saat ini, di kala suka dan duka, maka lihatlah wanita
      berjilbab biru yang menunduk di barisan depan kaum ibu, tepat di sebelah
      kiri artis berjilbab Huda Sulthan. Dialah istri saya tercinta yang
      mengajarkan bahwa penderitaan bisa mengekalkan cinta. Dialah Prof Dr Shiddiqa binti Abdul
      Aziz..."Tepuk tangan bergemuruh mengiringi gerak kamera video
      menyorot sosok perempuan separoh baya yang tampak anggun dengan jilbab
      biru. Perempuan itu tengah mengusap kucuran air matanya. Kamera juga
      merekam mata Huda Sulthan yang berkaca-kaca, lelehan air mata haru kedua
      mempelai, dan segenap hadirin yang menghayati cerita ini dengan seksama. 
 
       
      Sumber : Milist daarut-tauhiid@yahoogroups.com, yang telah diforward ke
      milist ppi_ukm@yahoogroups.com 
       
       
      Komentar : 
      Cinta di jalan Allah selalu memerlukan perjuangan, tidak mudah untuk
      mewujudkannya kecuali bagi orang-orang yang istiqomah, beriman dan
      bertakwa. Kisah ini adalah kisah yang sangat menggugah bagi mereka yang
      akan menikah, yang sudah menikah atau yang sudah menikah tapi ingin
      menikah lagi. Spirit perjuangan dan kemampuan berkorban untuk meniti
      cinta yang diridhoi Allah, patut kita teladani. Ketika kita memutuskan
      untuk mencintai Allah secara kaffah, itu berarti apapun penghalangnya
      mesti disingkirkan demi meraih cinta yang sejati dan hakiki. 
       
       
      Ummu Hani 
      Kajang, Selangor, Darul Ehsan, Malaysia.  
 | 
     
No comments:
Post a Comment