LIMA MUTIARA
M.Rakib LPMP Riau Indonesia
KAIDAH FIQIH DAN APLIKASINYA.
Qaidah pertama:
الامور بمقاصدها
“Setiap perkara tergantung kepada maksud mengerjakannya”
Qaidah ini memberikan pengertian bahwa setiap amal perbuatan manusia, baik yang berwujud perkataan maupun perbuatan diukur menurut niat sipelaku. Untuk mengetahui sejauh mana niat si pelaku, haruslah diliha adanya qarinah-qarinah yang dapat dijadikan petenjuk untuk mengetahui jenis niat dari pelakunya.
الامور بمقاصدها
“Setiap perkara tergantung kepada maksud mengerjakannya”
Qaidah ini memberikan pengertian bahwa setiap amal perbuatan manusia, baik yang berwujud perkataan maupun perbuatan diukur menurut niat sipelaku. Untuk mengetahui sejauh mana niat si pelaku, haruslah diliha adanya qarinah-qarinah yang dapat dijadikan petenjuk untuk mengetahui jenis niat dari pelakunya.
Yang melandasi rumusan qaidah ini ialah firman Allah:
وما امروا الا ليعبدواالله مخلصين له الدين (البينة : ه)
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan (niat) ketaatan kepada-Nya”. (al-Bayyinah (98): 5).
Hadits Nabi:
انما الاعمال بالنيات واما لكل امرئ ما نوى (رواه البخاري)
“Bahwasannya perbuatan itu tergantung pada niatnya. Dan setiap orang akan memperoleh sesuai dengan yang diniatkan”. (HR. al-Bukhory).
انما الاعمال بالنيات واما لكل امرئ ما نوى (رواه البخاري)
“Bahwasannya perbuatan itu tergantung pada niatnya. Dan setiap orang akan memperoleh sesuai dengan yang diniatkan”. (HR. al-Bukhory).
Cabang- cabangnya
1. Qaidah
مالا يشترط التعرض له جملة وتفصيلا اذ عينه واخطء لم يضر
“Suatu amal yang tidak disyaratkan untuk dijelaskan, baik secara global atau terperinci, bila dipastikan dan ternyata salah, maka kesalahannya tidak membahayakan ( tidak membatalkan ).”
2. Qaidah
وما يشترط فيه التعرض فالخطء فيه مبطل
“Sutu amal yang disyaratkan penjelasannya, maka kesalahannya membatalkan perbuatan tersebut.”
1. Qaidah
مالا يشترط التعرض له جملة وتفصيلا اذ عينه واخطء لم يضر
“Suatu amal yang tidak disyaratkan untuk dijelaskan, baik secara global atau terperinci, bila dipastikan dan ternyata salah, maka kesalahannya tidak membahayakan ( tidak membatalkan ).”
2. Qaidah
وما يشترط فيه التعرض فالخطء فيه مبطل
“Sutu amal yang disyaratkan penjelasannya, maka kesalahannya membatalkan perbuatan tersebut.”
3. Qaidah
النية فى اليمين تخصص اللفظ العام ولا تعم الخاص
“Niat dalam sumpah engkhususklan lafadz umum dan tidak pula menjadikan umum pada lafadz yang khusus.”
Contoh aplikasinya
1. Dalam sholat tidak disyaratkan niat menyebutkan jumlah rakaat, maka bila seorang muslim berniat melaksanakan sholat Magrib 4 rakaat, tetapi ia tetap melaksanakan tiga rakaat, makasholatnya sah.
2. Seseorang yang akan melaksanakan sholat Dzhuhur, tapi niatnya melaksanakan sholat asahr maka sholatnya tidak sah.
3. Seseorang bersumpah tidak akan berbicara dengan seseorang dan maksudnya dengan ahmad, maka sumpahnya hanya berlaku pada dia saja.
Qaidah kedua:
اليقين لايزال بالشك
“Sesuatu yang sudah yakin tidak dapat dihilangkan dengan adanya sesuatu
keraguan”
Jadi maksud qaidah ini ialah: Apabila seseorang telah meyakini suatu perkara, maka yang telah yakin ini tidak dapat dihilangkan dengan keraguan.
Berdasarkan qaidah ini, manakala seseorang menjumpai sutu keraguan mengenai hukum suatu perkara, maka diperlakukan hokum yang telah ada atau yang ditetapkan pada masa yang telah lewat, sampai ada hukum lain yang merubahnya, karena apa yang telah ada lebih dapat diyakini.
Qaidah ini disimpulkan berdasarka hadits:
اليقين لايزال بالشك
“Sesuatu yang sudah yakin tidak dapat dihilangkan dengan adanya sesuatu
keraguan”
Jadi maksud qaidah ini ialah: Apabila seseorang telah meyakini suatu perkara, maka yang telah yakin ini tidak dapat dihilangkan dengan keraguan.
Berdasarkan qaidah ini, manakala seseorang menjumpai sutu keraguan mengenai hukum suatu perkara, maka diperlakukan hokum yang telah ada atau yang ditetapkan pada masa yang telah lewat, sampai ada hukum lain yang merubahnya, karena apa yang telah ada lebih dapat diyakini.
Qaidah ini disimpulkan berdasarka hadits:
اذاشك احدكم فى صلاته فلم يدر كم صلى اثلاثا ام اربعا فليطرح الشك واليقين على مااستيقن
“Jika salah seorang diantara kamu ragu-ragu dalam mengerjakan sholat dan tidak tahu berapa rakaat ia telah sholat. Apakah telah mengerjakan tiga atau empat rakaat, maka hendaklah menghilangkan keraguan itu dan hendaknya menetapkan dengan apa yang diyakininya”.(HR.Muslim)
Cabang-cabangnya
1. Qaidah
الاصول بقاء ما كان على ما كان
“Yang menjadi dasar adalah tetapnya apa yang telah ada atas apa yang telah ada”.
2. Qaidah
الاصل براءة الذ مة
“ Asal itu bebas dari tanggungan”
1. Qaidah
الاصول بقاء ما كان على ما كان
“Yang menjadi dasar adalah tetapnya apa yang telah ada atas apa yang telah ada”.
2. Qaidah
الاصل براءة الذ مة
“ Asal itu bebas dari tanggungan”
3. Qoidah
الاصل فى اللاشياء الاباحة
“ Asal dari sesuatu adalah kebolehan.”
4. Qaidah
الاصل فى الاباحة التحريم
“ Asal dari dalam kemubahan adalah keharaman.”
5. Qaidah
الاصل فى الكلام الحقيقة
“ Asal dari ucapan adalah hakikat ucapan tersebut.”
Contoh aplikasinya.
Apabila seseorang sedang melakukan sholat Ashar, kemudian dia ragu apakah sudah empat rakaat atau baru tiga rakaat maka ambillah yang lebih yakin yaitu tiga rakaat. Namun, sebelum salam disunnahkan sujud sahwi dua kali.
Apabila seseorang sedang melakukan sholat Ashar, kemudian dia ragu apakah sudah empat rakaat atau baru tiga rakaat maka ambillah yang lebih yakin yaitu tiga rakaat. Namun, sebelum salam disunnahkan sujud sahwi dua kali.
Qaidah ketiga:
الضرر يزال
“Kemudhorotan itu harus dihilangkan”
Redaksi kata-kata dalam qaidah ini, menunjukkan bahwa kemudhoratan yang telah terjadi wajib dihilangkan.
Sedangkan arena daripada qaidah ini sangat luas, mencakup sebagian besar dari masalah-masalah fiqh. Diantaranya ia mengembalikan barang telah dibeli, karena adanya cacat, disyari’aqtrkannya berbagai macam khiyar, syuf’ah dan hudud.
Qaidah ini berasal dari hadits:
لاضرارولاضرار (رواه ابن ماجه)
“Tidak boleh membuat kemodhoratan dan membalas dengan kemudhoratan”. (HR. Ibnu Majah).
الضرر يزال
“Kemudhorotan itu harus dihilangkan”
Redaksi kata-kata dalam qaidah ini, menunjukkan bahwa kemudhoratan yang telah terjadi wajib dihilangkan.
Sedangkan arena daripada qaidah ini sangat luas, mencakup sebagian besar dari masalah-masalah fiqh. Diantaranya ia mengembalikan barang telah dibeli, karena adanya cacat, disyari’aqtrkannya berbagai macam khiyar, syuf’ah dan hudud.
Qaidah ini berasal dari hadits:
لاضرارولاضرار (رواه ابن ماجه)
“Tidak boleh membuat kemodhoratan dan membalas dengan kemudhoratan”. (HR. Ibnu Majah).
Cabang-cabangnya
1. Qaidah
الضررلا يزال بمثله
“Kemudhorotan tidak boleh dihilangkan dengan kemudhorotan yang sebanding”.
2. Qaidah
الضرورات تبيح المحظورات
“Keadaan dharurat itu membolehkan larangan-larangan”.
3. Qaidah
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
“ Menolak kemafsadatan didahulukan dari pada mengambil kemaslahatan”
1. Qaidah
الضررلا يزال بمثله
“Kemudhorotan tidak boleh dihilangkan dengan kemudhorotan yang sebanding”.
2. Qaidah
الضرورات تبيح المحظورات
“Keadaan dharurat itu membolehkan larangan-larangan”.
3. Qaidah
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
“ Menolak kemafsadatan didahulukan dari pada mengambil kemaslahatan”
Contoh aplikasinya
1. Tidak boleh bagi seseorang yang sedang kelaparan mengambil makanan orang lain yang juga akan mati kelaparan apabila makanannya hilang
2. Begitu juga dilarang bagi dokter mengobati pasien yang memerlukan darah, dengan mengambil darah orang lain yang apabila diambil darahnya akan mengalami penyakit kekurangan darah.
1. Tidak boleh bagi seseorang yang sedang kelaparan mengambil makanan orang lain yang juga akan mati kelaparan apabila makanannya hilang
2. Begitu juga dilarang bagi dokter mengobati pasien yang memerlukan darah, dengan mengambil darah orang lain yang apabila diambil darahnya akan mengalami penyakit kekurangan darah.
Qaidah keempat:
المشقة تجلب التيسير
“Kesukaran itu mendatangkan kemudharatan”
Qaidah di atas memberikan arti bahwa setiap kesepitan yang dihadapi oleh seseorang atau masyarakat harus diperlonggar sedemikian rupa, sehingga benar-benar akan terasa adanya kebahagiaan dengan datangnya syari’at Islam.
Sedangkan mengenai kadar yang harus dipakai untuk menghilangkan kesempitan ini syari’at Islam telah meletakkan aturan-aturannya yang difahami dari qidah-qaidah berikut.
المشقة تجلب التيسير
“Kesukaran itu mendatangkan kemudharatan”
Qaidah di atas memberikan arti bahwa setiap kesepitan yang dihadapi oleh seseorang atau masyarakat harus diperlonggar sedemikian rupa, sehingga benar-benar akan terasa adanya kebahagiaan dengan datangnya syari’at Islam.
Sedangkan mengenai kadar yang harus dipakai untuk menghilangkan kesempitan ini syari’at Islam telah meletakkan aturan-aturannya yang difahami dari qidah-qaidah berikut.
Qaidah ini berdasarkan kepada:
وما جعل عليكم فى الدين من حرج
”Dan Dia (Allah) tidak menjadikan untuk kamu dalam agama ini suatu kesulitan”. (al-Hajj: 78)
وما جعل عليكم فى الدين من حرج
”Dan Dia (Allah) tidak menjadikan untuk kamu dalam agama ini suatu kesulitan”. (al-Hajj: 78)
يريدالله
بكم اليسر ولايريد بكم العسر
“Allah menghendaki menghendaki bagimu kemudahan dan tidak menghenbaki bagimu kesulitan”. (al-Baqarah: 8)
فمن اضطر غيرباغ ولاعاد فلا اثم عليه
“Tetapi barang sispa dalam keadaan terpaksa (memakannya)sedang ia tidak menginginkannyadan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya”.
(al: Baqarah: 173).
“Allah menghendaki menghendaki bagimu kemudahan dan tidak menghenbaki bagimu kesulitan”. (al-Baqarah: 8)
فمن اضطر غيرباغ ولاعاد فلا اثم عليه
“Tetapi barang sispa dalam keadaan terpaksa (memakannya)sedang ia tidak menginginkannyadan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya”.
(al: Baqarah: 173).
Cabang-cabangnya
1. Qaidah
الامر اذا ضاق اتسع
“Suatu perkara apabila sempit menjadi luas”.
2. Qaidah
الرخصة لا تناط بالمعاصى
“ Rukhsoh –rukhsoh itu tidak boleh dihubungkan dengan kemaksiatan.”
3. Qaidah
الرخصة لا تناط بالشك
“ Rukhsoh –rukhsoh itu tidak boleh dihubungkan dengan keraguan.”
1. Qaidah
الامر اذا ضاق اتسع
“Suatu perkara apabila sempit menjadi luas”.
2. Qaidah
الرخصة لا تناط بالمعاصى
“ Rukhsoh –rukhsoh itu tidak boleh dihubungkan dengan kemaksiatan.”
3. Qaidah
الرخصة لا تناط بالشك
“ Rukhsoh –rukhsoh itu tidak boleh dihubungkan dengan keraguan.”
Contoh aplikasinya
1. Dalam keadaan musafir, dibolehkan mengqoshor shalat, dari empat rakaat menjadi dua rakaat.
2. Bolehnya buka puasa ketika bepergian atau sakit
3. Dibolehkan tidak ada wajib qobil dalam jual barang-barang yang tidak berharga.
4. Tidak ada kelonggaran untuk melaksanakan maksiat apapun alasannya, tapi diharuskan untuk menghindarinya
1. Dalam keadaan musafir, dibolehkan mengqoshor shalat, dari empat rakaat menjadi dua rakaat.
2. Bolehnya buka puasa ketika bepergian atau sakit
3. Dibolehkan tidak ada wajib qobil dalam jual barang-barang yang tidak berharga.
4. Tidak ada kelonggaran untuk melaksanakan maksiat apapun alasannya, tapi diharuskan untuk menghindarinya
Qaidah kelima:
العادة محكمة
“Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”.
Maksud dari qaidah ini adalah suatu kebiasaan bisa dijadikan patokan hukum. Kebiasaan dalam istilah hukum sering disebut sebagai urf atau adat.
Adapun sampai di mana sutu peristiwa yang terjadi dalam masyarakat dapat disebut adap. Para fuqaha memberikan definisi sebagai berikut:
العادة ما تعاررفه الناس وساروا عليه فى مجرى حياتهم سواءكان قولا ام فعلا
“Adat ialah segala yang telah dikenal manusia, sehingga hal itu telah menjadi suatu kebiasaan yang berlaku dalamkehidupan mereka baik betupa perkataan maupun pebuatan”.
Qaidah ini ditetapkan berdasarkan firman Allah:
واءمر بالعرف واعرض عن الجاهلين
“Dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang yang bodoh”. (al-A’rof: 199).
العادة محكمة
“Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”.
Maksud dari qaidah ini adalah suatu kebiasaan bisa dijadikan patokan hukum. Kebiasaan dalam istilah hukum sering disebut sebagai urf atau adat.
Adapun sampai di mana sutu peristiwa yang terjadi dalam masyarakat dapat disebut adap. Para fuqaha memberikan definisi sebagai berikut:
العادة ما تعاررفه الناس وساروا عليه فى مجرى حياتهم سواءكان قولا ام فعلا
“Adat ialah segala yang telah dikenal manusia, sehingga hal itu telah menjadi suatu kebiasaan yang berlaku dalamkehidupan mereka baik betupa perkataan maupun pebuatan”.
Qaidah ini ditetapkan berdasarkan firman Allah:
واءمر بالعرف واعرض عن الجاهلين
“Dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang yang bodoh”. (al-A’rof: 199).
Cabang-cabangnya
1. Qaidah
المعروف عرفا كالمشروط شرط
“Yang baik itu menjadi ‘urf sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat.”
1. Qaidah
المعروف عرفا كالمشروط شرط
“Yang baik itu menjadi ‘urf sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat.”
2. Qaidah
الثابت بالمعروف كالثابت بالنص
“Yang ditetapkan melalui ‘urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash.”
Contoh aplikasinya
1. Menjual buah di pohon adalah tidak boleh menurut qiyas karena tidak jelas jumlahnya, tapi karena sudah menjadi kebiasaan ( adat ) maka ulama membolehkannya.
2. Mereka yang mengajarkan al- Qur’an dibolehkan menerima gaji, hal itu antara lain agar al-Qur’an tetap eksis dikalangan umat islam.
الثابت بالمعروف كالثابت بالنص
“Yang ditetapkan melalui ‘urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash.”
Contoh aplikasinya
1. Menjual buah di pohon adalah tidak boleh menurut qiyas karena tidak jelas jumlahnya, tapi karena sudah menjadi kebiasaan ( adat ) maka ulama membolehkannya.
2. Mereka yang mengajarkan al- Qur’an dibolehkan menerima gaji, hal itu antara lain agar al-Qur’an tetap eksis dikalangan umat islam.
KESIMPULAN
Secara etimologi, arti qaidah adalah
asas (dasar), yaitu yang menjadi dasar berdirinya sesuatu. Bias juga diartikan
dasar sesuatu dan fondasinya (pokoknya).(Al-Asfahani: 409, Az-Jaidy:171)
Adapun menurut istilah atau nterminologi, ulama ushul membuat beberapa definisi, sebagai berikut:
a. Ketentuan universal yang bersesuaian dengan bagian-bagiannya (juz-juznya).
b. Ketentuan pernyataan universal yang memberikan pengetahuan tentang berbagai hukum dan bagian-bagiannya.
c. Hukum universal (kulli) yang bersesuaian dengan bagiannya, dan bisa diketahui hukumny.
d. Ketentuan universal yang bisa bersesuaian dengan bagian-bagiannya serta bisa di fahami hukumnya dari perkara tersebut.
Imam Sarkhasi berkata dalam kitab Khitamu Ba’dul Fusuli: “Siapa saja yang menhukimi suatu masalah cabang dengan ashl dan ia benar-benar memahaminya maka akan mudah baginya untuk mengambil kesimpulannya.”
Imam Al- Mardinami berkata dalam kitab Al-Ma’akil: “Barang siapa yang menghukumi ashal dengan yang sebenarnya, ia akan bisa mengeluarkan hukum sesuai dengan keinginannya, baik berdasarkan pandangannya ataupun yang berlawaqnan.”
Lima qaidah pokok:
1. Setiap perkara tergantung kepada maksud mengerjakannya
2. Sesuatu yang sudah yakin tidak dapat dihilangkan dengan adanya sesuatu
keraguan
3. Kemudhorotan itu harus dihilangkan
4. Kesukaran itu mendatangkan kemudharatan
5. Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum
Adapun menurut istilah atau nterminologi, ulama ushul membuat beberapa definisi, sebagai berikut:
a. Ketentuan universal yang bersesuaian dengan bagian-bagiannya (juz-juznya).
b. Ketentuan pernyataan universal yang memberikan pengetahuan tentang berbagai hukum dan bagian-bagiannya.
c. Hukum universal (kulli) yang bersesuaian dengan bagiannya, dan bisa diketahui hukumny.
d. Ketentuan universal yang bisa bersesuaian dengan bagian-bagiannya serta bisa di fahami hukumnya dari perkara tersebut.
Imam Sarkhasi berkata dalam kitab Khitamu Ba’dul Fusuli: “Siapa saja yang menhukimi suatu masalah cabang dengan ashl dan ia benar-benar memahaminya maka akan mudah baginya untuk mengambil kesimpulannya.”
Imam Al- Mardinami berkata dalam kitab Al-Ma’akil: “Barang siapa yang menghukumi ashal dengan yang sebenarnya, ia akan bisa mengeluarkan hukum sesuai dengan keinginannya, baik berdasarkan pandangannya ataupun yang berlawaqnan.”
Lima qaidah pokok:
1. Setiap perkara tergantung kepada maksud mengerjakannya
2. Sesuatu yang sudah yakin tidak dapat dihilangkan dengan adanya sesuatu
keraguan
3. Kemudhorotan itu harus dihilangkan
4. Kesukaran itu mendatangkan kemudharatan
5. Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Miftahul, Faishal Haq, Ushul
Fiqh, Surabaya: CV. Citra Media, 1997
Hamid, Abdul Hakim, Mabady Awwaliyyah, Jakarta: Maktabah Sa’adiyah Putra,
Syafe’I, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007
Hamid, Abdul Hakim, Mabady Awwaliyyah, Jakarta: Maktabah Sa’adiyah Putra,
Syafe’I, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007
Sumber: Pemuda Muslim
No comments:
Post a Comment