Bukan hanya Deklarasi Universal HAM saja
yang telah dihasilkan oleh PBB, ada beberapa perjanjian lain tentang HAM yang
telah dihasilkan seperti perjanjian Kovenan Internasional Hak Sipil dan
Politik, perjanjian Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
(1966), dan Deklarasi Wina (1993). Dalam Deklarasi Wina tercapai konsensus
bahwa hak asasi memiliki sifat yang universal, sekalipun dalam implementasinya
terdapat perbedaan di masing-masing negara.
M.RAKIB ASWIR
ASTAMAN
Penulis
setuju dengan tulisan saudaraku Aswir Astaman di face book bahwa Hak asasi
Manusia (HAM) adalah hak-hak yang
telah dipunyai seseorang sejak ia masih dalam kandungan. HAM berlaku
secara universal. Dasar-dasar HAM tertuang dalam deklarasi kemerdekaan Amerika
Serikat (Declaration of Independence of USA) sedangkan di Indonesia tercantum
dalam UUD 1945 Republik Indonesia, seperti pada pasal 27 ayat
1, pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1, dan pasal 31
ayat 1
Dalam
perkembangannya, HAM yang kita kenal sekarang adalah sesuatu yang sangat
berbeda dengan yang hak-hak yang sebelumnya seperti yang dalam Deklarasi
Kemerdekaan Amerika atau Deklarasi Perancis. HAM yang dirujuk
sekarang adalah seperangkat hak yang dikembangkan oleh PBB sejak berakhirnya
perang dunia II yang tidak mengenal berbagai batasan-batasan kenegaraan.
Sebagai konsekuensinya, negara-negara wajib melindungi HAM seluruh warga
negarnya dan orang asing yang berada di kawasannya. Demikian juga negara asing
tidak boleh sewenang-wenang dengan warga negara lainya. HAM menjamin
setiap manusia, tidak memandang dari mana dia berasal, dari negara mana, apapun
warna kulitnya dan apapun agamanya mendapat perlindungan dari
kesewenangan dari pihak manapun.
Namun
dalam praktek sehari-hari semuanya ini adalah omong kosong. Negara-negara Eropa
dan Amerika Serikat yang merupakan corong HAM, secara telanjang mempertontonkan
kemunafikan mereka tentang HAM yang mereka agung-agungkan. Sehingga kita
mengambil kesimpulan bahwa bagi negara barat yang kuat, HAM hanya berlaku untuk
golongan mereka saja dan kelompok yang sehaluan dengan mereka. Tapi bagi
manusia yang tidak sealiran dengan Amerika dan terutama yang beragama
Islam HAM tidak berlaku.
Tidak
susah-susah untuk membuktikanya. Berapa banyak manusia dibantai di Mesir oleh
Meliter, berapa banyak umat islam yang dibantai Afrika tengah dan belahan dunia
lainya, namun pelakunya tidak dikenakan pelanggaran HAM karena pemerintah yang
membantai rakyatnya sesuai dengan keinginan Amerika serikat
Yang
paling istimewa dan kebal HAM dipertontonkan oleh negara Zionis Yahudi Israil.
Mereka dengan bebas boleh saja membunuh orang Palestina kapan saja di mana
saja. Hampir setiap hari mereka membunuh orang Palestina, baik di Gaza
ataupun tepi barat. Tidak pernah ada tuntutan HAM terhadap mereka. Demikian
juga pembantaian masal yang dilakukan tentera Israil di Shabra dan Shatila
Lebanon tidak dimasukan sebagai pelanggaran HAM.
Sebaliknya
Presiden Sudan dikatogarikan sebagai penjahat perang karena ia menumpas
pemberontakan di Sudan selatan yang didukung oleh negara barat. Tentara kita
yang menjalankan tugasnya di Timor timur juga dikenakan pelanggaran HAM, karena
Timor timur ketika itu didukung oleh negara barat.
Berdasarkan
sejarah negara yang paling banyak melanggar HAM itu adalah Negara
yang selalu mengkapanyekan HAM itu sendiri yaitu Amerika serikat. Mereka
seenaknya saja membunuh rakyat sipil dalam perang Vietnam, Kamboja, Laos,
Afganistan, Irak, dan lain-lainnya .Kesimpulannya, HAM adalah budaya munafik
negara barat.
Namun
sangat disayangkan negara Arab atau orang Islam yang selalu menjadi korban tidak
tergerak hatinya untuk melawan ketidak adilan ini baik secara organisasi maupun
negara. Sepertinya mereka ikhlas saja menjadi korban.
Lebih menarik lagi tulisan Harda Armayanto berikut ini:
RESOLUSI Dewan Keamanan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (DK-PBB) 1973/2011 menjadi green light bagi pasukan Koalisi yang
dipimpin Amerika untuk menggempur Libya.
Sesuai mandat Resolusi tersebut operasi militer
itu bertujuan untuk mengurangi kekuatan rezim Muammar Qadhafi di bidang
militer, yaitu perintah gencatan senjata, penerapan zona larangan terbang, dan
embargo senjata, dan di bidang ekonomi, yakni pembekuan aset Muammar Qadhafi
dan keluarganya.
Di luar dari mandat itu, alasan lain dari misi
ini sesuai yang diungkap dalam wawancara yang dilakukan Republika, Kamis,
(24/03) dengan Ted Osius, Wakil Dubes AS untuk Indonesia, adalah bahwa
penyerangan ini berdasarkan pada prinsip universal di mana kebrutalan terhadap
warga sipil tidak dapat diterima dan tidak dapat ditoleransi.
Pengusungan isu Hak Asasi Manusia (HAM) dari
kelompok koalisi ini menjadikan penyerangan yang dilakukan seolah semakin
humanis. Artinya, apa yang dilakukan saat ini terhadap Libya semata-mata untuk
melindungi rakyat sipil dari kesewenang-wenangan Muammar Qadhafi. Padahal
faktanya, malah yang banyak menjadi korban adalah warga sipil Libya yang tidak
berdosa.
Terlepas dari jumlah korban di atas, intervensi
militer Barat pimpinan Amerika Serikat di Libya ini telah memunculkan masalah
baru, apakah isu HAM dapat seenaknya menyerang suatu negara berdaulat? Dan
bahkan melanggar HAM warga sipil Libya yang tak berdosa?
HAM versi Amerika-Sekutu
Pada tanggal 10 Desember 1948, melalui resolusi
217 A (III) Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan
Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia. Deklarasi ini muncul atas dasar (i)
bahwa pengakuan atas martabat yang melekat pada dan hak-hak yang sama dan tidak
dapat dicabut dari semua anggota keluarga manusia adalah landasan bagi
kebebasan, keadilan dan perdamaian di dunia; (ii) bahwa pengabaian dan
penghinaan terhadap hak asasi manusia telah mengakibatkan tindakan-tindakan
keji yang membuat berang nurani manusia, dan terbentuknya suatu dunia dimana
manusia akan menikmati kebebasan berbicara dan berkeyakinan, serta kebebasan
dari ketakutan dan kekurangan telah dinyatakan sebagai aspirasi tertinggi
manusia pada umumnya; (iii) bahwa sangat penting untuk melindungi hak-hak asasi
manusia dengan peraturan hukum supaya orang tidak akan terpaksa memilih jalan
pemberontakan sebagai usaha terakhir menentang tirani dan penindasan; (iv)
bahwa sangat penting untuk memajukan hubungan persahabatan antar bangsa-bangsa;
(v) bahwa bangsa-bangsa dari Perserikatan Bangsa-Bangsa di dalam Piagam PBB
telah menegaskan kembali kepercayaan mereka terhadap hak asasi manusia yang
mendasar, terhadap martabat dan nilai setiap manusia, dan terhadap persamaan
hak laki-laki dan perempuan, dan telah mendorong kemajuan sosial dan standar
kehidupan yang lebih baik dalam kebebasan yang lebih luas; (vi) bahwa bekerja
sama dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Negara Pihak telah berjanji mencapai
kemajuan universal dalam penghormatan dan ketaatan terhadap hak asasi manusia
dan kebebasan dasar, (vii) bahwa pemahaman yang sama tentang hak-hak dan
kebebasan ini sangat penting dalam untuk mewujudkan janji tersebut sepenuhnya.
Bukan hanya Deklarasi Universal HAM di atas saja
yang telah dihasilkan oleh PBB, ada beberapa perjanjian lain tentang HAM yang
telah dihasilkan seperti perjanjian Kovenan Internasional Hak Sipil dan
Politik, perjanjian Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
(1966), dan Deklarasi Wina (1993). Dalam Deklarasi Wina tercapai konsensus
bahwa hak asasi memiliki sifat yang universal, sekalipun dalam implementasinya
terdapat perbedaan di masing-masing negara.
No comments:
Post a Comment