1.BERKATA KOTOR MELIHAT FILEM PORNO, 2.BERTERIAK-TERIAK
(BERTENGKAR),
3. BERTINDAK BODOH, DAN
4. MELAKUKAN PERKARA YANG
SIA-SIA
Puasa, jangan, berkata kotor dan porno,
Kendalikan lidah, bicara tidak senonoh
Biarlah dianggap sebagai orang bodoh
Puasa, jangan, berkata kotor dan porno,
Kendalikan lidah, bicara tidak senonoh
Biarlah dianggap sebagai orang bodoh
Semua muslim, maklum, bahwa puasa yang merupakan salah satu rukun
Islam adalah ibadah yang sangat istimewa dimana Allah Ta’ala sendirilah
yang akan membalas dan memberi pahala bagi pelakunya secara khusus. Allah Ta’ala
merahasiakan pahala besar yang tak terbatas yang akan diraih seseorang jika ia
dapat melaksanakan ibadah mulia ini dengan ikhlas karena Allah dan sesuai
dengan tuntunan dan adab-adab puasa yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Di dalam sebuah hadits qudsi,
dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda (yang artinya), “Allah Ta’ala berfirman : “setiap amal manusia
adalah untuknya, kecuali puasa, maka sesungguhnya ia (puasa ini) adalah
untuk-Ku, dan Aku-lah yang akan membalasnya (secara khusus)” (HR. Bukhari
dan Muslim)
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda (yang artinya), “Barangsiapa
yang berpuasa Ramadhan dengan dasar iman dan mengharap pahala, niscaya
diampunilah dosa-dosanya yang telah lampau” (HR. Bukhari dan Muslim)
Untuk
catatan, para ulama mengatakan bahwa dosa-dosa yang terhapus karena puasa adalah
dosa-dosa kecil. Adapun dosa-dosa besar (seperti berzina) maka pelakunya harus
bertaubat yang sebenar-benarnya agar dosa-dosa itu juga diampuni oleh Allah Ta’ala.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dikesempatan yang lain bersabda (yang
artinya), “Sesungguhnya disurga ada sebuah pintu yang dinamakan ar Rayyan,
orang-orang yang berpuasa sajalah yang akan masuk (surga) melalui pintu
tersebut” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan
banyak lagi janji-janji pahala yang dijanjikan kepada orang-orang yang
menunaikan ibadah yang istimewa ini. Akan tetapi, disamping memberi kabar
gembira tentang pahala-pahala puasa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam juga mewanti-wanti kita agar jangan sampai melakukan hal-hal yang
dapat mengurangi, merusak, bahkan bisa jadi melenyapkan pahala puasa itu.
Hal-hal yang Dapat Mengurangi dan Merusak Pahala Puasa
Di
dalam hukum fiqih, jika seseorang berniat ibadah puasa dimalam hari (sebelum
fajar menyingsing), lalu ia meninggalkan segala hal yang dapat membatalkan
puasanya, seperti makan, minum, dan berhubungan intim dengan istri, maka
puasanya dapat dikatakan sah. Artinya, telah terlepas kewajiban berpuasa
darinya. Namun apakah hal tersebut pasti membuahkan pahala?
Pada
dasarnya, segala perkara yang sia-sia -apalagi maksiat- dapat merusak pahala
puasa seseorang. Oleh karena itu, seyogyanya kita menghindarinya sekuat tenaga
agar kita dapat meraih pahala yang sempurna dengan izin Allah melalui puasa
yang kita laksanakan. Atau paling tidak jangan sampai puasa kita –meskipun sah–
tidak berbuah pahala, melainkan hanya mendapat lapar dan haus semata, na’uudzu
billaah min dzalik. Diantara perkara-perkara tersebut adalah :
Berkata
kotor, berteriak-teriak (bertengkar), bertindak bodoh, dan melakukan perkara
yang sia-sia
Sebagian
orang yang berpuasa terkadang meskipun ia mampu menahan lapar dan dahaga, namun
ia tidak dapat menahan lisannya dari perkataan yang kotor dan tidak senonoh.
Ada juga yang tidak memahami salah satu hikmah puasa, yaitu melatih kesabaran,
sehingga jika terjadi sedikit saja perselisihan maka hal tersebut mendorongnya
untuk melakukan pertengkaran dan perdebatan dengan saudaranya sesama muslim.
Yang lain berpuasa dengan “tekun” namun sembari berbuat usil terhadap orang
lain, atau melakukan hal-hal yang tidak membawa manfaat baginya sama sekali
baik manfaat di dunia maupun manfaat di akhirat.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), ”Apabila
seorang diantara kalian berpuasa maka janganlah ia berkata kotor, berteriak-teriak
(bertengkar), dan bertindak bodoh. Jika ada orang yang mencela atau mengajaknya
bertengkar maka katakanlah : ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa (dua kali)’ ” (HR.
Bukhari dan Muslim)
1.
Berkata dan melaksanakan kedustaan
Sebagaimana
yang kita maklumi bahwa perbuatan dusta adalah perbuatan haram, baik bagi orang
yang berpuasa maupun yang sedang tidak berpuasa. Namun perbuatan haram yang
satu ini semakin besar dampak negatifnya bagi orang yang berpuasa. Bayangkan,
seseorang berjuang menahan lapar dan haus, dan meninggalkan syahwat
(berhubungung suami-istri) sejak terbitnya fajar hingga tenggelam matahari,
namun apa yang ia dapatkan? Bisa jadi ia tidak mendapatkan apapun kecuali lapar
dan dahaga disebabkan kedustaan yang ia lakukan.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Barang siapa
yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan melakukan sesuatu dengan dasar
kedustaan itu, maka tidak ada gunanya ia meninggalkan makanan dan minumannya
itu disisi Allah”(HR. Bukhari)
2.
Mendengar, melihat, membicarakan, dan melalukan segala perkara yang
diharamkan oleh Allah
Hikmah
syariat yang tertinggi yang berada dibalik perintah puasa adalah agar seseorang
dengan ibadah puasanya ini dapat menjadi hamba Allah yang bertaqwa. Allah Ta’ala
berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan
atas kalian berpuasa, sebagaimana puasa juga telah diwajibkan atas umat-umat
sebelum kalian, agar kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa” (QS. Al
Baqarah : 183)
Hakikat
taqwa – sebagaimana disebutkan oleh para ulama- adalah melakukan semua yang
dapat menjaga diri seseorang dari kemarahan dan siksaan Allah Ta’ala
dengan cara menjalankan segala yang diperintahkan dan menjauhkan segala yang
dilarang.
Oleh
karena itu segala hal yang berseberangan dengan hakikat taqwa tentu dapat
mengurangi bahkan bisa merusak pahala dan hikmah puasa itu. Jadi sangat
disayangkan dan merugilah orang yang mampu berpuasa dengan menahan keinginan
perutnya untuk tidak makan dan minum, namun anggota-anggota tubuhnya yang lain
tidak dapat ia tahan untuk melakukan perbuatan-perbuatan maksiat.
Banyak
sekali orang yang ketika berpuasa dan ketika menunggu waktu berbuka yang penuh
berkah, mereka tidak melewatinya dengan beramal sholeh dan melakukan hal-hal
yang bermanfaat, namun justru menghabiskannya dengan sekian banyak perbuatan
maksiat, baik yang diucapkan oleh lisan, seperti menggunjing orang (ghibah),
mengadu domba sesama muslim (namimah), mencaci-maki orang, dan
semisalnya, atau yang didengar oleh telinga, seperti mendengarkan musik dan
mendengarkan lagu-lagu yang diharamkan, atau yang dilihat oleh mata, seperti
menonton acara-acara maksiat, yang menampakkan fenomena aurat wanita yang bukan
mahram, film-film atau drama-drama percintaan dan ajakan berbuat keji, ataupun
yang dilakukan oleh anggota tubuh yang lain, seperti berpacaran, duduk bareng
dipinggir jalan bersama lawan jenis dan semisalnya yang mereka lakukan dalam
kondisi mereka sedang berpuasa dan sedang menunggu waktu berbuka puasa. Wa
Laa hawla wa Laa quwwata illaa billaah.
Semua
ini –tanpa keraguan sedikitpun– merusak nilai-nilai dan janji pahala puasa yang
istimewa dari Allah Ta’ala dan merusak inti tujuan dan hikmah
disyari’atkannya puasa itu sendiri, yaitu untuk meraih derajat taqwa.
Makan
dan minum adalah perkara yang – pada asalnya – mubah dilakukan oleh orang yang
tidak sedang berpuasa, namun ia menjadi haram dilakukan pada saat puasa, dan
dapat membatalkan puasa. Akan tetapi bagaimana dengan perbuatan maksiat?
Perbuatan maksiat kapan saja ia tetap haram, baik saat berpuasa ataupun tidak.
Bahkan kemaksiatan yang merupakan keburukan ini akan semakin bertambah buruk
jika dilakukan oleh seseorang yang sedang melaksanakan puasa, dibanding pada
saat yang lainnya. Perbuatan maksiat itu dapat merusak keutuhan puasa dan dapat
membatalkan pahala puasa yang telah dijanjikan Allah Ta’ala. Sebagaimana
yang diisyaratkan oleh hadits nabawi diatas, ”Apabila seorang diantara
kalian berpuasa maka janganlah ia berkata kotor, berteriak-teriak (bertengkar),
dan bertindak bodoh. Jika ada orang yang mencela atau mengajaknya bertengkar
maka katakanlah : ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa (dua kali)’ ” (HR.
Bukhari dan Muslim).
Dan
hadits yang lain, “Barang siapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan
melakukan sesuatu dengan dasar kedustaan itu, maka tidak ada gunanya ia
meninggalkan makanan dan minumannya itu disisi Allah” (HR. Bukhari)
Oleh
karena itu, marilah kita berusaha melaksanakan puasa ini sesuai dengan hikmah
tertinggi puasa itu sendiri, yaitu agar dapat menjadi hamba Allah Ta’ala
yang bertaqwa kepada Allah Ta’ala dengan sebenar-benar taqwa, yaitu
dengan cara mengikhlaskan ibadah puasa hanya untuk Allah Ta’ala dan
menjalankan ibadah besar ini sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, serta meninggalkan segala hal yang dapat merusak nilai
dan pahala puasa sebagaimana yang telah dipaparkan diatas. Wallahu a’lam.
Penulis
: Ustadz Kamal Abu Muhammad al Medany
No comments:
Post a Comment