M.RAKIB PEKANBARU INDONESIA
UU NO.23 BAB XII
KETENTUAN PIDANA
UU no 23 / 2002 tidak
bertentangan dengan syara’, bahkan sesuai dengan ajarannya dan merupakan bagian
darinya.”
Hujjatul Islam, Imam al Ghazaly dalam Al Ihya’
berkata, “Kekuasaan dan agama adalah saudara kembar, agama sebagai fondasi dan
kekuasaan sebagai penjaga. Sesuatu tanpa fondasi akan runtuh dan sesuatu tanpa
penjaga akan lenyap.
”
MAQOSHID AL-SYARI’AH PADA
PERLINDUNGAN ANAK
Hukum Islam dan UU
No.23/2002 Terdiri dari 14 bab dan 93 pasal sama-sama melindungi anak dari
kezaliman.
UU NO.23 BAB XII
KETENTUAN PIDANA
TELEOLOGI
HUKUM
· Teleologi hukum yaitu ilmu tentang tujuan
hukum yang menyangkut cita hukum itu sendiri (Merefleksi makna dan tujuan
hukum)
· Epistemologi yaitu ilmu tentang pengetahuan
hukum (Merefleksi sejauhmana pengetahuan tentang hakikat hukum dan
masalah-masalah fundamental dalam filsafat hukum mungkin dijalankan akal budi
manusia)
· Logika hukum yaitu ilmu tentang berpikir
benar atau kebenaran berpikir (Merefleksi atran-aturan berpikir yuridik dan
argumentasi yuridik, bangunan logical serta struktur sistem hukum)
· Ajaran hukum umum.
Istilah Teleologi
berasal dari akar kata Yunani τέλος, telos, yang berarti akhir, tujuan,
maksud, dan λόγος, logos, perkataan.
Teleologi adalah ajaran yang menerangkan segala sesuatu dan segala kejadian
menuju pada tujuan tertentu. Istilah teleologi dikemukakan oleh Christian
Wolff, seorang filsuf
Jerman abad ke-18.
Teleologi merupakan sebuah studi tentang gejala-gejala yang memperlihatkan
keteraturan, rancangan, tujuan, akhir, maksud, kecenderungan, sasaran, arah,
dan bagaimana hal-hal ini dicapai dalam suatu proses perkembangan. Dalam arti
umum, teleologi merupakan sebuah studi filosofis mengenai bukti perencanaan,
fungsi, atau tujuan di alam maupun dalam sejarah. Dalam bidang lain, teleologi
merupakan ajaran filosofis-religius tentang eksistensi tujuan dan
"kebijaksanaan" objektif di luar manusia.
Maqashid
Al-Syari'ah.
Ilmu
ushul fiqh adalah ilmu tentang kaidah-kaidah yang menggambarkan langkah
metodologis untuk melakukan istinbath hukum dari dalil yang terperinci. Ijtihad
sebagai bagian dan pembahasan ilmu ushul fiqh, dimana pencarian maslahat
diwujudkan dalam bentuh metode ijtihad, maka dapat dikatakan bahwa setiap
metode penetapan hukum yang dipakai para ulama ushul fiqh bermuara pada
maqashid al-syari'ah. Antara ijtihad dengan maqashid al-syari'ah tidak dapat
dipisahkan. Oleh karena ijtihad pada intinya adalah upaya penggalian hukum
syara' dan penggalian hukum syara' itu akan berhasil apabila seorang mujtahid
dapat memahami maqashid al-syari'ah, maka sesungguhnya pengetahuan tentang
maqashid al-syari'ah adalah salah satu syarat yang harus dimiliki oleh seorang
mujtahid.
Istilah lain dari
TELEOLOGI ialah“Hikmah ialah mencari kesempurnaan diri manusia dengan menggambarkan
segala urusan dan membenarkan segala hakikat baik yang bersifat teori maupun
praktek menurut kadar kemampuan manusia.”
Rumusan tersebut
mengisyaratkan bahwa hikmah sebagai paradigma keilmuan mempunyai tiga unsur
utama, yakni: 1). masalah, 2). fakta dan data, dan 3). analisis ilmuwan sesuai
dengan teori. Hikmah dipahami pula sebagai “paham
yang mendalam tentang agama”. Hikmah dalam berdakwah sebagaimana yang
dikehendaki Allah dalam surat an-Nahl
(16): 125, berarti keterangan (burhan)
yang kuat yang dapat menimbulkan keyakinan. Sedangkan definisi yang diberikan al-Manar yaitu ilmu yang shahih yang
akan menimbulkan kehendak untuk berbuat yang bermanfaat, karena padanya
terdapat pandangan dan paham yang dalam tentang hukum-hukum dan rahasia-rahasia
persoalan.
Sedangkan para fuqaha menggunakan kata hikmah sebagai julukan bagi ‘asrar al-ahkam’ (rahasia-rahasia
hukum). Karenanya, kebanyakan kita sekarang apabila disebutkan falsafah hukum
Islam langsung terbayang hikmah shalat, hikmah puasa, dan sebagainya (tidak
terbayang sedikit pun bahwa usulul-ahkam
dan qawa’id al-ahkam adalah falsafah yang murni Islam yang dihasilkan oleh
daya pikir para filosof hukum/ mujtahid). Para fuqaha mendefinisikan hikmah
dengan:
Adapun kata ‘Tasyri’ adalah lafal yang diambil
dari kata “Syari’ah”, yang di antara
maknanya adalah hukum-hukum dan tata aturan yang Allah syari’atkan buat
hamba-Nya untuk diikuti dengan penuh keimanan, baik yang berkaitan dengan
perbuatan, aqidah, maupun dengan akhlaq. Sehingga “tasyri’” berarti menciptakan undang-undang dan membuat
kaidah-kaidahnya, baik undang-undang itu datang dari agama (tasyri’ samawi) maupun dari
perbuatan dan pikiran manusia (tasyri’
wadh’i).
Dengan demikian “Hikmah at-Tasyri’” adalah hikmah
diciptakan, dibuat, dan ditetapkannya hukum Islam.
Para ulama
kita telah banyak membicarakan masalah politik dan kenegaraan dalam kitab-kitab
mereka. Baik terintegrasi dengan pembahasan lainnya, seperti kitab-kitab fiqih besar yang
membahas imarah dan imamah, atau kitab tersendiri seperti Ahkamus Sulthaniyah
oleh Imam al Mawardy, Ahkamus Sulthaniyah juga oleh Imam Abu Ya’la al Farra’,
Siyasah Syar’iyyah fi Ishlahir Ra’i war Ra’iyyah dan Al Hisbah oleh Imam Ibnu
Taimiyah, Thuruq al Hukmiyah oleh Imam Ibnu Qayyim al Jauziyah, Min Fiqhid
Daulah oleh Syaikh Yusuf al Qaradhawy, dan lain-lain. Artinya, para imam kita
sangat perhatian terhadap masalah politik dan kenegaraan.
Seorang khalifatur rasyid, Utsman bin ‘Affan
radhiallahu ‘anhu pernah berkata, “Kebatilan yang tidak bisa dihilangkan oleh
kitabullah, akan Allah hilangkan melalui pedang penguasa.”
‘Alim Rabbani al ‘Allamah Ibnul Qayyim menukil
ucapan Imam Abu Wafa bin ‘Aqil al Hambali bahwa siyasah merupakan tindakan atau
perbuatan yang dengannya seseorang lebih dekat kepada kebaikan dan lebih jauh
dari kerusakan, selama politik itu tidak bertentangan dengan syara’.
Imam Ibnul
Qayyim dalam Thuruq al Hukmiyah juga berkata, “Sesungguhnya politik yang adil
tidak bertentangan dengan syara’, bahkan sesuai dengan ajarannya dan merupakan
bagian darinya.”
Hujjatul Islam, Imam al Ghazaly dalam Al Ihya’
berkata, “Kekuasaan dan agama adalah saudara kembar, agama sebagai fondasi dan
kekuasaan sebagai penjaga. Sesuatu tanpa fondasi akan runtuh dan sesuatu tanpa
penjaga akan lenyap.”
MAQOSHID AL-SYARI’AH PADA
PERLINDUNGAN ANAK
Hukum Islam dan UU
No.23/2002 Terdiri dari 14 bab dan 93 pasal sama-sama melindungi anak dari
kezaliman.
UU NO.23 BAB XII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 77
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan:
a.
diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan
anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi
sosialnya; atau
b.
penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan
anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 78
Setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak
dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, anak yang berhadapan
dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang
tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak
yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat
adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, anak korban perdagangan, atau
anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, padahal anak
tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 79
Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak yang
bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1),
ayat (2), dan ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 80
(1)
Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan
atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp
72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
(2)
Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3)
Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(4)
Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang
melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.
Pasal 81
(1)
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya
atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah).
(2)
Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya
atau dengan orang lain.
Pasal 82
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau
ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan,
atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling
singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Pasal 83
Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik
anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda
paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Pasal 84
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh anak untuk pihak lain dengan maksud
untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 85
(1)
Setiap orang yang melakukan jual beli organ
tubuh dan/atau jaringan tubuh anak dipidana dengan pidana penjara paling lama
15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah).
(2)
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
pengambilan organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak tanpa memperhatikan
kesehatan anak, atau penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objek
penelitian tanpa seizin orang tua atau tidak mengutamakan kepentingan yang
terbaik bagi anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 86
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan tipu muslihat,
rangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk memilih agama lain bukan atas
kemauannya sendiri, padahal diketahui atau patut diduga bahwa anak tersebut belum
berakal dan belum bertanggung jawab sesuai dengan agama yang dianutnya dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 87
Setiap orang yang secara melawan hukum merekrut atau
memperalat anak untuk kepentingan militer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63
atau penyalahgunaan dalam kegiatan politik atau pelibatan dalam sengketa
bersenjata atau pelibatan dalam kerusuhan sosial atau pelibatan dalam peristiwa
yang mengandung unsur kekerasan atau pelibatan dalam peperangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 88
Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak
dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 89
(1)
Setiap orang yang dengan sengaja menempatkan,
membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi
atau distribusi narkotika dan/atau psikotropika dipidana dengan pidana mati
atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah).
(2)
Setiap orang yang dengan sengaja menempatkan,
membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan,
produksi, atau distribusi alkohol dan zat adiktif lainnya dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan paling singkat 2 (dua) tahun
dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan denda
paling sedikit Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
Pasal 90
(1)
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 80, Pasal 81, Pasal 82, Pasal 83,
Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, dan Pasal 89 dilakukan oleh
korporasi, maka pidana dapat dijatuhkan kepada pengurus dan/atau korporasinya.
(2)
Pidana yang dijatuhkan kepada korporasi hanya
pidana denda dengan ketentuan pidana denda yang dijatuhkan ditambah 1/3
(sepertiga) pidana denda masing-masing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 91
Pada saat berlakunya undang-undang ini, semua peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang sudah ada
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 92
Pada saat berlakunya undang-undang ini, paling lama 1 (satu)
tahun, Komisi Perlindungan Anak Indonesia sudah terbentuk.
Pasal 93
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 22 Oktober
2002
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
Ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
No comments:
Post a Comment