TELEOLOGI
HUKUM
M.RAKIB PEKANBARU RIAU INDONESIA
· Teleologi hukum yaitu ilmu tentang tujuan
hukum yang menyangkut cita hukum itu sendiri (Merefleksi makna dan tujuan
hukum)
· Epistemologi yaitu ilmu tentang pengetahuan
hukum (Merefleksi sejauhmana pengetahuan tentang hakikat hukum dan
masalah-masalah fundamental dalam filsafat hukum mungkin dijalankan akal budi
manusia)
· Logika hukum yaitu ilmu tentang berpikir
benar atau kebenaran berpikir (Merefleksi atran-aturan berpikir yuridik dan
argumentasi yuridik, bangunan logical serta struktur sistem hukum)
· Ajaran hukum umum.
Istilah Teleologi
berasal dari akar kata Yunani τέλος, telos, yang berarti akhir, tujuan,
maksud, dan λόγος, logos, perkataan.
Teleologi adalah ajaran yang menerangkan segala sesuatu dan segala kejadian
menuju pada tujuan tertentu. Istilah teleologi dikemukakan oleh Christian
Wolff, seorang filsuf
Jerman abad ke-18.
Teleologi merupakan sebuah studi tentang gejala-gejala yang memperlihatkan
keteraturan, rancangan, tujuan, akhir, maksud, kecenderungan, sasaran, arah,
dan bagaimana hal-hal ini dicapai dalam suatu proses perkembangan. Dalam arti
umum, teleologi merupakan sebuah studi filosofis mengenai bukti perencanaan,
fungsi, atau tujuan di alam maupun dalam sejarah. Dalam bidang lain, teleologi
merupakan ajaran filosofis-religius tentang eksistensi tujuan dan
"kebijaksanaan" objektif di luar manusia.
Maqashid
Al-Syari'ah.
Ilmu
ushul fiqh adalah ilmu tentang kaidah-kaidah yang menggambarkan langkah
metodologis untuk melakukan istinbath hukum dari dalil yang terperinci. Ijtihad
sebagai bagian dan pembahasan ilmu ushul fiqh, dimana pencarian maslahat
diwujudkan dalam bentuh metode ijtihad, maka dapat dikatakan bahwa setiap
metode penetapan hukum yang dipakai para ulama ushul fiqh bermuara pada
maqashid al-syari'ah. Antara ijtihad dengan maqashid al-syari'ah tidak dapat
dipisahkan. Oleh karena ijtihad pada intinya adalah upaya penggalian hukum
syara' dan penggalian hukum syara' itu akan berhasil apabila seorang mujtahid
dapat memahami maqashid al-syari'ah, maka sesungguhnya pengetahuan tentang
maqashid al-syari'ah adalah salah satu syarat yang harus dimiliki oleh seorang
mujtahid.
Istilah lain dari
TELEOLOGI ialah“Hikmah ialah mencari kesempurnaan diri manusia dengan menggambarkan
segala urusan dan membenarkan segala hakikat baik yang bersifat teori maupun
praktek menurut kadar kemampuan manusia.”
Rumusan tersebut
mengisyaratkan bahwa hikmah sebagai paradigma keilmuan mempunyai tiga unsur
utama, yakni: 1). masalah, 2). fakta dan data, dan 3). analisis ilmuwan sesuai
dengan teori. Hikmah dipahami pula sebagai “paham
yang mendalam tentang agama”. Hikmah dalam berdakwah sebagaimana yang
dikehendaki Allah dalam surat an-Nahl
(16): 125, berarti keterangan (burhan)
yang kuat yang dapat menimbulkan keyakinan. Sedangkan definisi yang diberikan al-Manar yaitu ilmu yang shahih yang
akan menimbulkan kehendak untuk berbuat yang bermanfaat, karena padanya
terdapat pandangan dan paham yang dalam tentang hukum-hukum dan rahasia-rahasia
persoalan.
Sedangkan para fuqaha menggunakan kata hikmah sebagai julukan bagi ‘asrar al-ahkam’ (rahasia-rahasia
hukum). Karenanya, kebanyakan kita sekarang apabila disebutkan falsafah hukum
Islam langsung terbayang hikmah shalat, hikmah puasa, dan sebagainya (tidak
terbayang sedikit pun bahwa usulul-ahkam
dan qawa’id al-ahkam adalah falsafah yang murni Islam yang dihasilkan oleh
daya pikir para filosof hukum/ mujtahid). Para fuqaha mendefinisikan hikmah
dengan:
Adapun kata ‘Tasyri’ adalah lafal yang diambil
dari kata “Syari’ah”, yang di antara
maknanya adalah hukum-hukum dan tata aturan yang Allah syari’atkan buat
hamba-Nya untuk diikuti dengan penuh keimanan, baik yang berkaitan dengan
perbuatan, aqidah, maupun dengan akhlaq. Sehingga “tasyri’” berarti menciptakan undang-undang dan membuat
kaidah-kaidahnya, baik undang-undang itu datang dari agama (tasyri’ samawi) maupun dari
perbuatan dan pikiran manusia (tasyri’
wadh’i).
Dengan demikian “Hikmah at-Tasyri’” adalah hikmah
diciptakan, dibuat, dan ditetapkannya hukum Islam.
Para ulama
kita telah banyak membicarakan masalah politik dan kenegaraan dalam kitab-kitab
mereka. Baik terintegrasi dengan pembahasan lainnya, seperti kitab-kitab fiqih besar yang
membahas imarah dan imamah, atau kitab tersendiri seperti Ahkamus Sulthaniyah
oleh Imam al Mawardy, Ahkamus Sulthaniyah juga oleh Imam Abu Ya’la al Farra’,
Siyasah Syar’iyyah fi Ishlahir Ra’i war Ra’iyyah dan Al Hisbah oleh Imam Ibnu
Taimiyah, Thuruq al Hukmiyah oleh Imam Ibnu Qayyim al Jauziyah, Min Fiqhid
Daulah oleh Syaikh Yusuf al Qaradhawy, dan lain-lain. Artinya, para imam kita
sangat perhatian terhadap masalah politik dan kenegaraan.
Seorang khalifatur rasyid, Utsman bin ‘Affan
radhiallahu ‘anhu pernah berkata, “Kebatilan yang tidak bisa dihilangkan oleh
kitabullah, akan Allah hilangkan melalui pedang penguasa.”
‘Alim Rabbani al ‘Allamah Ibnul Qayyim menukil
ucapan Imam Abu Wafa bin ‘Aqil al Hambali bahwa siyasah merupakan tindakan atau
perbuatan yang dengannya seseorang lebih dekat kepada kebaikan dan lebih jauh
dari kerusakan, selama politik itu tidak bertentangan dengan syara’.
Imam Ibnul
Qayyim dalam Thuruq al Hukmiyah juga berkata, “Sesungguhnya politik yang adil
tidak bertentangan dengan syara’, bahkan sesuai dengan ajarannya dan merupakan
bagian darinya.”
Hujjatul Islam, Imam al Ghazaly dalam Al Ihya’
berkata, “Kekuasaan dan agama adalah saudara kembar, agama sebagai fondasi dan
kekuasaan sebagai penjaga. Sesuatu tanpa fondasi akan runtuh dan sesuatu tanpa
penjaga akan lenyap.”
No comments:
Post a Comment