Belajar Dari Falsafah Melayu Riau, Apa Sebenarnya Tujuan Hidup
Kita?
Pernah kucoba, belajar menjahit,
Tiap malam, mesin digohid,
Banyak halangan, berderet-deret,
Di dalam hati, pedih dan sakir.
Kucoba pula, berladang padi,
Lima tahun, mengorbankan diri,
Sambil sekolah, mencari rezeki,
Ke Airtiris, pergi mengaji.
Tempat lahirku, Pulau Penyalai,
Nyiur melambai, sepanjang
pantai,
Ruko walet, sangatlah ramai,
Nyamuknya banyak, sulit dilerai.
Kalau berkata, di bawah-bawah,
Tiada niat, untuk menjajah,
Walaupun hidup, kaya dan mewah,
Tinggi bukan, untuk disembah.
Melayu tiada, jadi pengemis,
Walaupun miskin, selalu menangis,
Terkadang cacat, sangat kritis,
Namun mencopet,tak akan etis.
Ada kalimat “cause
I don’t care too much for money, for money can’t buy me love” yang
artinya “karena aku tidak
terlalu perduli dengan uang, uang tidak bisa membelikanku cinta”.
Saya berhenti sesaat, berusaha mendalami makna lirik tersebut. Dikatakan bahwa
“uang tidak bisa membelikanku cinta”, berarti tidak bisa membeli perasaan. Saya
lalu berpikir berarti uang juga tidak bisa membeli kebahagiaan.
Falasafah Melayu, “ Makan angin”, mengandung
arti positif, yaitu, kepuasan, tanpa beban. Merasa cukup, dengan apa yang ada.
(Melayu Riau ketika dahulu).
Etnis Minang, jika ditanya mau kemana, jawabnya “cari pitih di rantau
urang”. Ujung ada dua, bisa penjara, bisa pembuka peluang usaha yang hebat”.
Tidak ada kepuasan batin di dalamnya. Etnis Jawa berfalsafahkan “Golek kerco”.
Yang penting, cari pekerjaan, duit dapat, tempatpun dapat. Ada kepuasan batin
di dalamnya.
Kalau kita
pikir-pikir kebanyakan orang berusaha mencari uang untuk kelangsungan hidupnya.
Tentunya uanglah yang mereka cari demi kelangsungan hidup mereka. Dengan uang
mereka bisa membeli banyak hal; mulai dari kebutuhan primer, sekunder, tersier
hingga kebutuhan/materi lainnya yang bisa ‘ditukar’ dengan uang, tetapi tidak
untuk perasaan (cinta, kebahagiaan, dan sebagainya). Perasaan apapun itu tidak
bisa dibeli atau pun ‘diuangkan’ alias dijual. Lalu apakah dengan materi/uang
yang selama ini kita cari, kita kejar-kejar hingga mati-matian mendapatkannya
adalah tujuan kita dalam hidup ini?
Kebanyakan manusia
tidak akan pernah merasa puas akan apa yang telah dimilikinya. Manusia akan
terus mencari, mencari, hingga mendapatkannya. Walaupun sudah mendapatkan yang
lebih, namun sifat ‘keserakahan’ membuat manusia akan terus mencari dan tidak
pernah merasa puas dengan itu semua.
Saya pernah
berpikir bahwa saya sekolah hingga sarjana nanti agar saya bisa menjadi sukses,
mendapatkan pekerjaan impian saya sesuai cita-cita dan mendapatkan uang yang
berlimpah dari pekerjaan tersebut, dapat berkeluarga dengan baik, dapat
menghidupi keluarga, menyekolahkan anak, dan sebagainya. Tetapi menjadi
sukseskah tujuan hidup kita? Apakah kesuksesan menjadi jaminan kita hidup
bahagia? Atau dengan uangkah kita dapat memperoleh segalanya yang kita inginkan
termasuk perasaan? Tentunya Anda pernah mendengar “uang bukanlah segalanya”.
Anda juga mungkin pernah mendengar kalimat plesetan ini, “uang
bukanlah segalanya, tapi segalanya butuh uang”. Tentu saja tidak! Perasaan
cinta, kasih sayang, kebahagiaan tidak membutuhkan uang.
Banyak sekali contoh nyata bahwa kesuksesan dan uang/materi tidak
menjamin kebahagiaan. Salah satunya, sebuah keluarga yang saya kenal memiliki
dua orang anak yang hidup dalam kemewahan. Apapun yang dia butuhkan dan
inginkan selalu terpenuhi. Orang tuanya bekerja sebagai pebisnis sukses yang
berpenghasilan sangat besar setiap bulannya. Anak tersebut adalah teman saya
sewaktu SMP dulu, dan sering bertemu dengan kakaknya setiap main ke rumahnya.
Dia hidup dalam kemewahan, rumah yang mewah, sering diantar-jemput dengan
kendaraan mewah, uang saku yang bagi saya sangat besar untuk anak SMP, dan
sebagainya. Tetapi teman saya itu pernah bercerita kepada saya bahwa ia merasa
kurang perhatian dari orang tuanya. Orang tuanya terlalu sibuk pergi sana-sini
demi bisnis mereka sehingga jarang sekali meluangkan waktu untuk dia dan
kakaknya. Teman saya ini merupakan anak bungsu dari keluarga tersebut, dan
kakaknya merupakan siswi SMA yang berlokasi di sebelah SMP saya.
Dia berkata bahwa apa
yang dia dan kakaknya punya tidak membuat mereka bahagia. Mereka lebih senang
menghabiskan waktu dengan orang tuanya ketimbang materi apapun yang mereka
punya, meskipun jarang sekali mendapatkan kesempatan untuk menghabiskan waktu
dengan orang tuanya. Dia dan kakaknya kadang sering bertengkar dengan orang tua
mereka karena merasa orang tua mereka lebih mementingkan bisnis ketimbang kedua
anaknya. Dengan polosnya saya pernah sekali berkata kepadanya, “ngapai juga kau
sedih, kau kan bisa beli apapun yang kau mau. Kalo aku jadi kau kubeli itu playstation
2 biar ada hiburan di rumah”. Setelah berkata seperti itu reaksinya
semakin murung, dan melihat ke arah depan dengan tatapan kosong tanpa melihat
ke arahku. Dan bila saya pikirkan lagi, materi yang dia punya tidak menjaminnya
hidup dalam kebahagiaan. Materi yang orang tuanya berikan tidak dapat mengganti
‘perhatian’ dan ‘kasih sayang’ yang mereka butuhkan sebagai anak dari orang tua
mereka.
Uang tidak dapat membeli kebahagiaan, begitu juga dengan perasaan
lainnya. Seperti lirik di dalam lagu The Beatles tadi, uang tidak dapat membeli
cinta. Dengan uang kita tidak bisa mendapatkan segalanya, hanya materi saja
tetapi tidak dengan cinta dan kebahagiaan. Cinta dan kasih sayang yang kita
berikan dan dapatkan membuat kita bahagia. Kebahagiaan-lah yang menjadi kunci
kehidupan. Atau salahkah bila saya berkata bahwa ‘kebahagiaan’ adalah ‘kunci
kehidupan’?
Seperti kata John Lennon (The Beatles),“When I was 5 years
old, my mother always told me that happiness was the key to life. When I went
to school they asked me what I wanted to be when I grew up. I wrote down
‘happy’. They told me I didn’t understand the assignment, and I told them they
didn’t understand life.”
Kebahagiaan-lah
yang menjadi kunci kehidupan. Hidup kita hanya sebentar dan kita semua tentu
tidak mau segala kesedihan dan segala penderitaan mengisi hidup kita yang
singkat ini. Kebahagiaan menjadi hal terpenting bagi hidup kita walaupun
sebagian dari kita tidak menyadari hal tersebut. Hidup kita adalah untuk
kebahagiaan, dan pasti kita semua menghindari yang namanya ‘penderitaan’ dan
segala ‘kesedihan’ bahkan tidak ingin merasakan kedua hal tersebut dalam hidup
kita.
Orang-orang
mencari uang dan segala materi yang notabene hanya bersifat
sementara. Kebahagiaan menjadi kunci kehidupan yang hanya sementara ini.
Kebahagiaan menjadikan kita sukses dalam kehidupan, dan dengan kebahagiaan yang
positif tentunya (ada juga orang yang gila yang merasa bahagia
dengan menyakiti dan memberikan orang lain penderitaan) kita bisa melakukan
segala hal baik di dunia ini.
Pencarian akan
kesuksesan dan uang sebagai bentuk konkrit-nya tidak menjamin manusia hidup
dalam kebahagiaan. Seperti kata John Lennon (The Beatles) “When I was 5
years old my mother always told me that happiness was the key to life. When I
went to school they asked me what I wanted to be when I grew up. They told me I
didn’t understand the assignment, and I told them they didn’t understand life.”
Jadi apa sebenarnya
tujuan hidup kita? Mencari uang untuk membeli cinta dan kebahagiaan? Mencari
uang dan segala hal dalam bentuk materi untuk memenuhi kepuasan dalam diri ini?
Apakah tujuan hidup kita adalah menjadi sukses? Atau menurut Anda kalau sudah
menjadi sukses akan menjamin hidup Anda menjadi bahagia? Atau Anda tidak setuju
dengan kebahagiaan yang menjadi kunci kehidupan?
Opini saya mengenai topik dalam tulisan ini belum selesai, karena
masih banyak hal yang ingin saya tambahkan mengenai topik ini. Saya sangat
mengharapkan tanggapan Anda mengenai tulisan ini, dan segala bentuk komentar
(yang sopan tentunya) akan saya terima sebagai masukan yang akan sangat berguna
dalam pemikiran saya untuk tulisan berikutnya dengan topik yang sama. Salam
blogger Indonesia!
Sumber Gambar:http://prudentblog.blogspot.com/2010/09/money-and-happiness.html
No comments:
Post a Comment