Bahagian
Pertama
Bukit Ranah Singkuang, suatu bukit
yang sangat asing bagiku. Karena aku datang dari sebuah pulau di tengah laut,
Kuala Kampar. Penyalai namanya. Aku pendatang baru, ke tepian sungai Kampar ini.
Setelah menempuh perjalanan sungai sejauh seribu kilometer. Nah inilah masalahnya, di tepain sungai itu,
saya bertemu bidadari penunggu tepian. Bidadari itulah yang mengantarkann saya,
kepada pemikiran filsafat. Ternyata filsafat bukanlah sesuatu yang tinggi di
atas langit, tetapi sungguh dekat dengan kehidupan saya sehari-hari dan lahir
dari kenyataan hidup manusia. Bidadari juga bukan sejenis Malakat betina, yang
hanya bertahta di surga. Saya ingin merefleksikan pengalaman mencangkul di sawah
berlintah, bertobo atau arisan
mencangkul, dengan ibu-ibu dan gadis-gadis remaja. Sore hari sekolah, berjalan
kaki dan kadang-kadang bersepeda di lembah
Bukit Ranah Singkuang, Kampar, yang ternyata mempunyai makna yang demikian
dalam justru dari sebuah tindakan sederhana, bersepeda.
Sebagai filosof yang baru akan memulai petualangan intelektual
saya sadar bahwa saya belajar filsafat cinta, bukan semata-mata karena hukum
kanonik mengharuskan setiap religius untuk belajar filsafat, tetapi sungguh
karena saya ingin belajar filsafat. Jujur, saya tertarik untuk belajar lebih
dalam tentang filsafat agar saya dapat semakin tajam dalam merefleksikan hidup
dan sekaligus menjawab persoalan kemasyarakatan secara lebih analitis,
sistematis dan logis. Saya berkomitmen untuk terus menerus belajar mencintai
filsafat.
Aku, panggil atau sebut saja namaku
dengan Aku. Aku lahir di negeri Angin dari sepasang kerikil, kerikil abu-abu
dan putih dengan lekuk matahari pada sisi-sisinya. Mereka ciptakan aku dari api
yang muncul ketika mereka saling bersinggungan. Kerikil abu-abu dan putih itu
bertemu tak sengaja di antara aliran sungai. Suara gemericik ditambah dengan
warna kecoklatan dari endapan lumpur-lumpur harum membuat telinga dan mata
mereka sedikit mengabur. Sungai yang tidak mengenal kata lelah mendorong
mereka, membuat keduanya berpapasan, saling bersentuhan. Aku tidak tahu siapa
yang lebih dahulu memulai percakapan, yang pasti, setelah saling menatap, salah
satu di antara mereka mulai berbicara,
“
Sungai ini terlalu deras, ada baiknya kita bersisian.”
“ Ya, setidaknya masing-masing dari kita memiliki teman seperjalanan.”
“ Angin memang tak pernah berhenti di sini.”
“ Ya, negeri Angin memang tidak pernah kehilangan anginnya.”
“ Ya, setidaknya masing-masing dari kita memiliki teman seperjalanan.”
“ Angin memang tak pernah berhenti di sini.”
“ Ya, negeri Angin memang tidak pernah kehilangan anginnya.”
Kedua kerikil itu lalu membiarkan sungai menghanyutkan mereka, menghanyutkan mereka bersama kerikil-kerikil lainnya.
***
Negeri Angin adalah negeri dengan seribu musim. Musim baru telah tiba, musim yang membuat sungai terpaksa mendangkalkan airnya agar dapat terus bertahan hidup. Kedua kerikil itu kini di antara rerumputan. Sungai menitipkan mereka kepada padang-padang luas.
“ Terima kasih, sungai,” keduanya berucap.
Sungai mengerling sambil mengembangkan bibirnya, “ aku hanya membuat kalian saling bertabrakan.”
Kedua kerikil itu tersenyum, “ jangan menyalahkan sesuatu yang tidak bisa kau hentikan.”
Sungai mulai beranjak pergi, cahaya
dari kulit lembut kerikil abu-abu dan putih melambai.
Padang tempat keduanya berada itu sedikit berbukit dan penuh dengan kehidupan. Angin membuat mereka selalu bergerak bersama. Mulanya semuanya terjadi dengan begitu saja dan alami.Adalah angin yang membuat mereka bergumul di antara semak-semak, saling menggelinding. Adalah angin pula yang membuat mata mereka dengan lantang menyala. Mereka membentur dan saling terbentur, mengeluarkan api.
Padang tempat keduanya berada itu sedikit berbukit dan penuh dengan kehidupan. Angin membuat mereka selalu bergerak bersama. Mulanya semuanya terjadi dengan begitu saja dan alami.Adalah angin yang membuat mereka bergumul di antara semak-semak, saling menggelinding. Adalah angin pula yang membuat mata mereka dengan lantang menyala. Mereka membentur dan saling terbentur, mengeluarkan api.
Aku yang terlahir dari kerikil
menghembus bersama angin
Mendengarkan suara mereka
tentang dunia
Tentang api yang muncul dari
pergerakan-pergerakan itu
Tentang perjalanan mereka menembus
gugus awan
kerikil yang ada pada telapak tangan beliau bertasih.
Orang yang beriman kepada Nabi atau Rasul, kalau tidak, bagaimana mungkin dia bisa mendengar tasbihnya, kecuali atas izin Allah SWT.
kerikil yang ada pada telapak tangan beliau bertasih.
Orang yang beriman kepada Nabi atau Rasul, kalau tidak, bagaimana mungkin dia bisa mendengar tasbihnya, kecuali atas izin Allah SWT.
SSS
KSisa
Setelah jatuh cinta,
KSisa
Setelah jatuh cinta,
Kerikil
ini, bagiku adalah mutiara.
Airnya
adalah madu yang jernih, teramat manis.
Anginnya
yang berhembus, bagikan tiupan bidadari.
Semua bermula dari sekadar corat-coret di siang dan sore ketika sedang
terperangkap di tengah kesunyian. Malam tiba, sekadar corat-coret di
surau, yang dikelilingin jeruk dan bau durian. Jiwa saya memberontak, meminta
dibumikan caatatan kecil ini, menjadi cerita utuh. Akhirnya, aku memiliki
aktivitas baru: menghabiskan malam demi malam di gubuk Nenek Dukun, yang dipaksa ngos-ngosan, kerja rodi.
Tahu-tahu, entah di malam ke berapa, semua protes dari sang corat-coret tuntas
sudah. Segelas air taapai panas lalu
diseduh. Merayakan lahirnya Satu Syair di dalam novel. Nikmat ceritanya tiada
tara.... Tapi tunggu... kurang asyik sepertinya jika hanya dirayakan sendiri.
Satu Masa di seberang sungai, aku harus memiliki kawan baru. Lalu segala gegap
gempita berlanjut. Rencana-rencini disusun. Sederhana saja, tapi dijamin pasti
seru!
Nah, kalau sempat dan tidak sibuk,
aku mengundang kawan-kawan untuk merayakan kelahiran Satu buku syair dan pantun
penderitaan. Bersenang-senang hanya dalam hayalan, bersama dengan ubi rebus,
kerupuk dan segelas kopi panas sambil ngobrol-ngobrol santai tentang
Satu Masa di saat menikmati pertunjukan
musik gambus dari para sahabat. Kapan?
Di mana?
Filsafat
Dalam Dongeng Kerikil dan Negeri Angin
Aku, panggil
atau sebut saja namaku dengan Aku. Aku lahir di negeri Angin dari sepasang
kerikil, kerikil abu-abu dan putih dengan lekuk matahari pada sisi-sisinya.
Mereka ciptakan aku dari api yang muncul ketika mereka saling bersinggungan.
Kerikil abu-abu dan putih itu bertemu tak sengaja di antara aliran sungai.
Suara gemericik ditambah dengan warna kecoklatan dari endapan lumpur-lumpur
harum membuat telinga dan mata mereka sedikit mengabur. Sungai yang tidak
mengenal kata lelah mendorong mereka, membuat keduanya berpapasan, saling
bersentuhan. Aku tidak tahu siapa yang lebih dahulu memulai percakapan, yang
pasti, setelah saling menatap, salah satu di antara mereka mulai berbicara,
“
Sungai ini terlalu deras, ada baiknya kita bersisian.”
“ Ya, setidaknya masing-masing dari kita memiliki teman seperjalanan.”
“ Angin memang tak pernah berhenti di sini.”
“ Ya, negeri Angin memang tidak pernah kehilangan anginnya.”
“ Ya, setidaknya masing-masing dari kita memiliki teman seperjalanan.”
“ Angin memang tak pernah berhenti di sini.”
“ Ya, negeri Angin memang tidak pernah kehilangan anginnya.”
Kedua kerikil itu lalu membiarkan sungai menghanyutkan mereka, menghanyutkan mereka bersama kerikil-kerikil lainnya.
***
Negeri Angin adalah negeri dengan seribu musim. Musim baru telah tiba, musim yang membuat sungai terpaksa mendangkalkan airnya agar dapat terus bertahan hidup. Kedua kerikil itu kini di antara rerumputan. Sungai menitipkan mereka kepada padang-padang luas.
“ Terima kasih, sungai,” keduanya berucap.
Sungai mengerling sambil mengembangkan bibirnya, “ aku hanya membuat kalian saling bertabrakan.”
Kedua kerikil itu tersenyum, “ jangan menyalahkan sesuatu yang tidak bisa kau hentikan.”
Sungai mulai beranjak pergi, cahaya
dari kulit lembut kerikil abu-abu dan putih melambai.
Padang tempat keduanya berada itu sedikit berbukit dan penuh dengan kehidupan. Angin membuat mereka selalu bergerak bersama. Mulanya semuanya terjadi dengan begitu saja dan alami.Adalah angin yang membuat mereka bergumul di antara semak-semak, saling menggelinding. Adalah angin pula yang membuat mata mereka dengan lantang menyala. Mereka membentur dan saling terbentur, mengeluarkan api.
Padang tempat keduanya berada itu sedikit berbukit dan penuh dengan kehidupan. Angin membuat mereka selalu bergerak bersama. Mulanya semuanya terjadi dengan begitu saja dan alami.Adalah angin yang membuat mereka bergumul di antara semak-semak, saling menggelinding. Adalah angin pula yang membuat mata mereka dengan lantang menyala. Mereka membentur dan saling terbentur, mengeluarkan api.
Aku yang terlahir dari kerikil
menghembus bersama angin
Mendengarkan suara mereka
tentang dunia
Tentang api yang muncul dari
pergerakan-pergerakan itu
Tentang perjalanan mereka menembus
gugus awan
Kita pertama kali bertemu di dermaga itu, di sisi sebuah
kanal dengan tembaga yang pada beberapa bagiannya tampak terkelupas dan
berkarat, empat tahun yang lalu.
“ View yang tepat untuk melihat camar-camar beterbangan,” ujarmu pada hari pertama kita berkenalan. Setelah itu, hampir setiap hari kita bertemu. Menyaksikan camar-camar dengan sayap peraknya menjemput laut.
“ Dunia tidak sebatas camar-camar itu,”aku tiba-tiba bergumam.
“ Ya, memang.”
“ Ikan-ikan mati.”
Kau menoleh. Tertawa. Angin laut sejenak memaksa kita berdiam. Tawamu lalu kembali menyerang semua sudut yang membungkus pembicaraan kita.
“ View yang tepat untuk melihat camar-camar beterbangan,” ujarmu pada hari pertama kita berkenalan. Setelah itu, hampir setiap hari kita bertemu. Menyaksikan camar-camar dengan sayap peraknya menjemput laut.
“ Dunia tidak sebatas camar-camar itu,”aku tiba-tiba bergumam.
“ Ya, memang.”
“ Ikan-ikan mati.”
Kau menoleh. Tertawa. Angin laut sejenak memaksa kita berdiam. Tawamu lalu kembali menyerang semua sudut yang membungkus pembicaraan kita.
“ Diterkam
camar? Ah, kau terlalu sentimentil.”
“ Manusia
tidak pernah sendiri.”
“ Dan camar
itu hanya meneruskan hidupnya.”
“ Dan ikan
itu hanya ingin meneruskan hidupnya.”
Kau dan aku bertatapan. Riak mata kita mencoba untuk saling tidak mengalah. Kepalaku menjadi bertambah berat – terbakar matahari. Malam menyalakan lilin. Kepalamu membumbung tinggi. Aku meloncat. Menyelam. Menyesakkan segumpal udara ke dalam rongga paru-paruku. Sesekali kulihat kau berputar mengitar. Matamu tajam. Aku menerjemahkan laut. Kita membiru.
Apa jadinya
jika cokelat menjumpai kehidupan kita? Ia mampir, menelusup pada kisah-kisah
yang terdapat di dalam buku ini. Satu Masa di Cielomerupakan
kumpulan cerita pendek yang mengungkapkan berbagai hal sederhana,
peristiwa-peristiwa mungil yang kerap terlupakan dalam keseharian manusia
bersama cokelat.
Bukankah hidup memang ajaib? Membuat
kita terkurung dalam satu keramaian di satu waktu, menyendiri di waktu yang
lain. Di kali lain, ia berikan rasa memiliki dunia di suatu hari sambil
menerbitkan murung di hari berikutnya. Cokelat lalu membiaskan segala hitam
putih, membuat kita teringat betapa keseharian adalah perpaduan di antara
keduanya. Pada tempatnya berpijak, Satu Masa dahulu adalah
keabu-abuan yang mencoba berkisah.
Ketika terlalu sibuk bertumbuh dewasa, kita berubah menjadi orang yang mapan dan lupa akan kesenangan-kesenangan kecil kita mengamati hal-hal yang sederhana. Dan hal sederhana itu bisa diceritakan melalui sepotong cokelat. Cerita-cerita pendek dalam buku ini bermaksud untuk mengingatkan kita kembali untuk menjadi dewasa, tanpa lupa bahwa kesenangan-kesenangan kecil itu tidak pernah mati. Kita bisa menemukannya bahkan hanya dari sepotong . Satu Masa di Cielo seperti sebuah kenangan manis nan lengket. Membacanya memberi sensasi secangkir cokelat hangat dengan rasanya yang melekat erat.
Dari kelahiranku yang sederhana, aku
kemudian mengembara menyusuri berdepa-depa kehidupan. Pada pengembaraanku ini,
lahir beribu-ribu cerita. Aku lalu mengayun. Melangkah setengah berlari menemui
pagi cerahmu, bertahan di sengat siangmu, mampir ke dalam petualangan
mimpimu.
Perkenankanlah aku untuk
memperkenalkan diri. Namaku cokelat...
ckckckck maling tulisan gk kira2, dr blogku sampai kover blakang bukuku d copast. klo emng suka, minta izin dan cantumkan nama penulisny. as simple as that!
ReplyDelete