KATA PENGANTAR
Kurikulum Setan, suatu istilah sejak
lama penulis ungkapkan, maksudnya, kurikulum yang mubazir, dalam artian tidak
menjawab tantangan zaman. Terlalu banyak hari libur, tanggal merah. Tidak
dibutuhkan oleh generasi muda. Bukan merupakan tututan masyarakat. Bukan yang
diperlukan secara praktis oleh para remaja. Karena itu perubahan kurikulum yang tengah
digarap Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus membawa perubahan yang
signifikan terhadap sistem pendidikan di Indonesia.
Penulis diangkat menjadi guru PNS,
tahun 1986 dan menjadi guru SMA Plus, tahun 1998-2000, saat itulah penulis
melihat seringnya pergantian kurikulum. Kemudian isi kurikulum itu, ada
diantaranya yang “ mubazir.” Yang tidak
mubazir ialah kurikulum pendidikan nasional yang disesuaikan dengan perubahan zaman. ”Kurikulum
itu memang harus dinamis dan yang terpenting, perubahan kurikulum itu dapat menjawab tantangan zaman,” Meski
demikian, tetap ada nilai-nilai yang harus dipertahankan dalam kurikulum
pendidikan. ”Tetapi, ada beberapa hal yang harus disusun untuk tetap
dipertahankan dan diwariskan kepada generasi muda, di antaranya nilai-nilai
keagamaan, kebudayaan, dan nasionalisme.
Perkembangan dunia pendidikan harus merujuk kepada dua hal, yaitu
pembangunan ekonomi dan kebudayaan. Setelah dua hal tersebut memiliki konsep
yang jelas, baru kurikulum dan sistem pendidikan bisa diarahkan. Dengan
demikian, diharapkan dapat tercipta keselarasan antara dunia pendidikan dengan
kontribusi generasi muda terhadap pembangunan bangsa. Karena itu, pendidikan
harus sesuai dengan situasi dan kondisi kebangsaan saat ini.”Yang harus dijawab
pertama, mau dibawa ke mana ekonomi dan kebudayaan bangsa ini. Setelah dua hal
itu jelas, baru pendidikan bisa diarahkan, sehingga dapat tercipta keselarasan.
Masalahnya, ekonomi dan kebudayaan Indonesia belum jelas arahnya,” ungkap
Abduhzen.
Terkait
dengan wacana dihapuskanya mata pelajaran Bahasa Inggris di jenjang Sekolah
Dasar (SD), menurutnya, hal itu tidak perlu dilakukan, mengingat kondisi global
yang menuntut kaum muda untuk fasih berbahasa Inggris dan melek teknologi. Di
samping itu, pembelajaran tentang sains juga perlu berdiri sendiri. ”Sains
memiliki model pemikiran sendiri, berbeda dengan pendidikan agama dan Pancasila
yang hanya deduktif. Karena itu, sains perlu bediri sendiri,” imbuh Abduhzen.
Ketua
Departemen Litbang PGRI itu mengatakan, pendidikan olahraga (Penjaskes),
kesenian, dan keterampilan sebaiknya masuk ke dalam muatan lokal atau
ekstrakurikuler. Alasannya, pendidikan tersebut terkait dengan bakat dan minat
siswa. Dengan demikian, sekolah dapat
melihat potensi yang terdapat dalam diri masing-masing siswa. ”Bakat
masing-masing anak itu berbeda. Karena itu, sekolah harus sungguh-sungguh
memberikan pembinaan dan menyiapkan fasilitas, sehingga bakat mereka
benar-benar dapat dikembangkan,” ujar Abduhzen.
Mantan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Wardiman Djojonegoro mengatakan hal senada.
Menurutnya, kurikulum pendidikan nasional harus dievaluasi secara berkala,
mengingat zaman yang terus berkembang.”Kita semua tahu bahwa zaman terus
berubah, sehingga kurikulum harus dievaluasi dan terus disempurnakan. Paling
tidak, dilakukan setiap lima tahun sekali,” ungkapnya. Dia mengatakan, tujuan
utama dari pendidikan adalah untuk menyiapkan
masa depan generasi muda. ”Apa yang dididik sekarang dapat dipakai untuk
mereka menuju masa depan. Karena itu, perubahan kurikulum itu tantangan zaman
yang harus dijawab,” tuturnya.
INGIN
TAHU INDRAGIRI HULU
BEBATAS DENGAN, TELUK KUANTAN.
DAYACIPTA PENDIDIKAN BERMUTU,
PASIR SEBUTIR, DIJADIKAN INTAN.
PENDAHULUAN
Kalau
dasarnya, mahasiswa berbakat,
Jatuh ke
laut, menjadi pulau,
Dilempar
ke udara, menjadi bintang
Dilempar
ke gurun, menjadi pohon.
Beberapa
orang dosen mengeluh, ketika ditemukan banyak mahasiswa tidak berbakat,
cenderung manja, malas mengerjakan
tugas. Kebanyakan mahasiswa pemalas. Suka libur terus menerus. Mereka malas
datang ke kelas tepat waktu. Mereka malas membaca buku dan materi yang
diberikan. Mereka malas mengerjakan PR dan tugas. Mereka juga malas bertanya
dan berpartisipasi di dalam kelas.
Bekerja keras itu berisiko tinggi.
Kalau Anda sudah berusaha keras dan gagal, Anda tidak mendapatkan reward
dan self-protection atas usaha yang sudah Anda keluarkan. Misalkan Anda
tidak belajar dengan sungguh-sungguh dan memperoleh nilai C dalam ujian, maka
itu bukanlah persoalan besar—-Anda cuma kurang berusaha dengan keras. Tapi
semisal Anda sudah belajar dengan serius tapi tetap memperoleh nilai C, maka
Anda akan merasa bahwa mungkin Anda memang benar-benar bodoh.
Dengan kata lain, kalau Anda berusaha
keras dan gagal, ada ketakutan yang muncul bahwa Anda mungkin memang tidak
berbakat atau tidak ditakdirkan untuk sukses di bidang tersebut. Sebaliknya,
kalau Anda tidak berusaha keras dan gagal, Anda bisa menghibur diri Anda
sendiri dengan ilusi bahwa seandainya Anda berusaha 100%, pasti Anda akan
berhasil. Kalau Anda belum berusaha dengan keras dan gagal, Anda bisa bilang, “I
could have gotten an A if only I had tried. But I didn’t. I’m as good as that
guy/girl.“
Tentu saja, faktanya tidak demikian.
Sewaktu
final NBA beberapa waktu lalu, Lebron James berkomentar di televisi, “I’m
not going to hang my head low. I know how much work as a team we put into it. I
know how much work individually that I’ve put into it… I think you can never
hang your head low when you know how much work, how much dedication you put
into the game.”
Tak banyak orang yang berani mengakui
kegagalan ketika mereka sudah berusaha keras namun belum berhasil. Tak banyak
orang yang seperti Lebron James. Kebanyakan orang memilih untuk menjadi
pemalas. Kalau ditanya soal pencapaian, mereka lebih suka mencari alibi yang
menarik daripada mengejar pencapaian dengan sungguh-sungguh. Saya gagal jadi
juara karena kurang latihan. IPK saya jeblok karena saya tak punya buku yang
bisa dipakai buat belajar. Penjualan saya tak mencapai target karena
orang-orang di tim saya payah. Dan seribu satu alibi lainnya.
Jadi, buat apa mengejar pencapaian
yang tinggi? Achievement doesn’t settle anything permanently. Pencapaian
yang kita dapat saat ini harus kita kejar lagi di hari berikutnya, di jenjang
yang lebih tinggi, dan seterusnya. Jadi, mengapa harus repot-repot mengejar
pencapaian yang tinggi? Kalau kita menang kompetisi tahun ini, toh tahun depan
kita harus mempertahankan gelar tersebut. Kalau IPK semester ini di atas 3.5,
tetap saja semester depan harus belajar supaya dapat 3.5 lagi. Kalau penjualan
bulan ini sudah melebihi target, bulan depan pasti target akan dinaikkan. Jadi,
buat apa repot-repot?
Menjadi pemalas punya banyak
keuntungan. Pertama, mereka tak perlu repot mencari role model untuk
ditiru. Kedua, di jaman yang penuh tekanan seperti ini, orang berharap banyak
kepada Anda. Akibatnya, tekanan itu membuat Anda makin sulit untuk mengakui
kegagalan. Ketiga, menjadi pemalas itu tidak berisiko—-Anda hanya perlu mencari
alibi untuk melindungi kegagalan Anda.Maka, jadilah orang yang pemalas, jadilah
orang yang manja, jadilah orang yang nyaman dininabobokkan dalam comfort
zone. Lalu tunggulah hingga alam semesta memaksa Anda dengan tekanan,
masalah, bencana, musibah, atau kehilangan–sampai mau tidak mau Anda dipaksa
harus bangun, dipaksa harus berusaha lebih keras dalam menjalani hidup.
BAB I
BELAJAR KEPADA KURIKULUM CINA
1.Menghsilkan
uang
Beberapa teman, mengajak penulis mendirikan pesantren, lalu penulis
bertanya, apakah, tamat pesantren itu nanti bisa menghasilkan uang?. Mari kita
ciptakan pesantren model baru, yang
mengnghasilkan uang. Tapi bukan berarti penulis ingin menciptakan
tamatan sekolah agama, yang materialistis, tapi yang mandiri, kalau bisa bukan
sekedar bisa mandiri, bahkan bisa kaya raya, dengan modal pendidikan di
madrasah atau pesantren. Yang penulis risaukan, tamatan SMA, tidak bisa berbuat
apa-apa. Bahkan tamat S1 ada yang tak bisa apa-apa, walapun jurusannya umum,
tapi modal untuk berdikari, harus diberikan di SMA dan Perguruan Tinggi.
Belajarlah kepada Cina, walaupun dengan
membuat pinsil, sambil sambilan atau membuat baut yang kecil, anak SD sudah
menghasilkan duit, walaupun bukan mata duitan. Tentu saja nilai spiritual tetap
ditanamkan, dan bakat lainnya, tetap disalurkan. Perlu ditinjau Rancangan Kurikulum 2013
memberikan rangkaian dan rentetan permasalahan yang dihadapi oleh Pelaksana di
lapangan yakni para Guru / Pendidik . Namun hal ini Guru telah siap untuk
mengantisipasi terhadap pemberlakuan Kurikulum baru tersebut.
Secara Umum , Kurikulum berubah menjadi
hal yang wajar demi untuk peningkatan kualitas pendidikan dan dalam rangka
mengikuti trend perubahan tehnologi dan ilmu pengetahuan yang berkembang pesat.
Kurikulum tak mungkin berlaku sepanjang masa. Kurikulum memberikan arahan dan
acuan serta target yang akan dicapai dalam proses mencerdaskan anak bangsa ,
dalam rangka menghadapi tantangan zaman yang komplek.
Perubahan Kurikulum
seharusnya tidak lagi mengutak atik, terhadap mata pelajaran yang sudah ada ,
karena akan dikawatirkan munculnya masalah baru yang dihadapi para Guru.
Perubahan seharusnya untuk mengakomodasikan berbagai konten atau belajar / isi
materi pembelajaran yang relatif baru, sehingga perlu penyesuaian. Dan bisa
diantisipasi dengan penambahan / penerbitan Suplemen pembelajaran yang terbaru,
yag dirasakan lebih mudah untuk diterapkan di dalam pendidikan.
Pendelete - tan terhadap beberapa mata
pelajaran boleh dilakukan, tetapi harus dengan kajian yang mendalam, untuk
mengetahui seberapa jauh dampaknya terhadap pendidikan, serta sumberdaya Guru
yang sudah ada. Masalah mengemuka, akan muncul kekawatiran sebagian Guru akan
kehilangan Tugas mengajarnya sesuai dengan bidang yang diampunya.
Pem-paste - an terhadap mata pelajaran
yang sudah ada, membawa problem yang serius pada konten sebuah mata pelajaran.
mata pelajaran akan terasa dangkal dan kurang fokus pada aspek pengetahuannya ,
aspek teori dan sebagainya. Pengintegrasian mata pelajaran dilakukan untuk
mengurangai beban siswa dlam menguasai materi mata pelajaran.
PELUANG DAN TANTANGAN
Jangan terlalu banyak, hari libur,
Agar
murid, jangan menganggur,
Jiwa
malasnya, harus digempur,
Rajin
bekerja, serta jujur.
Peluang muncul akibat adanya pemberlakuan kurikulum, Sebuah tren baru
perubahan, perlu disikapi dengan kesiapan untuk mengaplikasikannya di lokal dan
ruang belajar. Tantangan Guru, tentu saja berkaitan dengan Materi dan bahan
ajar yang bertambah, dan perlu dikuasai dengan cepat oleh pasukan UMAR
BAKRI. Inilah yang merupakan kegiatan menyenangkan bagi Guru untuk menguasai
bahan ajar baru yang sesuai dengan kurikulum 2013.
Bagi Guru hal ini perlu diberikan
Diklat untuk menghadapi kurikulum baru, pembekalan metode belajar, penyiapan
buku dan materi ajar yang sinkron dengan kurikulum. Guru Indonesia sudah
terbiasa dengan perubahan kurikulum sehingga tak begitu kawatir, selalu siap
dan menjadi agen perubahan dalam ilmu pengetahuan dan tehnologi.
BAB II
KURIKULUM ANTI KEMISKINAN
Sekolah TEMPE (Tehnik Mengatasi
Penjajahan Ekonomi).Inilah dahulu yang adfa dalam hayalan penulis, ketika masih
kuliah tingkat satu, S 1, tahun tahun 1980 di IAIN Suska, yang kini bernama
UIN. Lasannya, karena penulis melihat begitu banayak orang miskin.
Terkejutlah wahai Dikbud, tingkat
kemiskinan di Indonesia adalah 11,96 persen. Apabila angka tersebut dikonversikan
ke jumlah penduduk, maka ditemukan angka 29,13 juta jiwa penduduk masih masuk
dalam kategori sangat miskin. Meski terkesan masih tinggi, Armida mengatakan
tingkat kemiskinan saat ini sudah lebih baik dibanding tahun 2011. Pada tahun
2011, di periode yang sama, tingkat kemiskinan nasional adalah 12,49 persen.
Angka ini menurun dibandingkan tahun 2010 yang sebesar 13,33 persen. Tingkat
kemiskinan tersebut, kata Armida, terus bertahan di kisaran 12 persen hingga
akhir tahun 2011. "Sekarang, terhitung pada Maret, sudah 11,96 persen.
Jadi bisa dibilang cukup baik," ujar Armida.
Armida menambahkan, angka tingkat kemiskinan nasional masih bisa turun lebih banyak lagi dibanding apa yang sudah dicapai. Pasalnya, realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal pertama sendiri cukup bagus, 6,3 persen. Namun, Indonesia terkendala angka poverty basket inflation (inflasi yang dirasakan masyarakat miskin) yang masih tinggi. Armida menuturkan, pada triwulan pertama, Indonesia mencatat angka poverty basket inflation sebesar 6,52 persen. Angka tersebut karena tingkat konsumsi masyarakat miskin terhadap pangan yang rendah akibat kelangkaan dan naiknya harga pangan. "Sebagai contoh tahun 2005, meski terjadi pertumbuhan ekonomi, angka kemiskinannya malah naik. Masalahnya, pada tahun itu, poverty basket inflation-nya 12,87 persen akibat melonjaknya harga BBM. Kemampuan konsumsi oleh masyarakat miskin jadi faktor di sini," ucapnya.
Pada tahun 2013, katanya, pemerintah berharap angka kemiskinan bisa ditekan dikisaran angka 9,5-10,5 persen. “Angka itu, sudah tercatat di RAPBN 2013.” Masalah kemiskinan dan pengangguran hingga kini masih menjadi masalah di Indonesia. Meski begitu, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla menyebutkan masalah ini bisa diatasi dengan kerja keras seluruh masyarakat. "Kalau semua bekerja keras, saya yakin kita bisa keluar dari kemiskinan dan pengangguran ini," kata Kalla dalam orasi ilmiah pada wisuda mahasiswa Universitas Nasional di Jakarta Convention Center, Selasa, 11 Oktober 2011.
Menurut Kalla, jika diukur 20 tahun terakhir di atas kertas, pendapatan per kapita Indonesia memang selalu naik. Namun bila dibandingkan dengan negara seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura, pendapatan per kapita Indonesia masih jauh di bawah. Indonesia, kata Kalla, belum mampu menjadi negara besar di bidang ekonomi. "Tidak ada bangsa yang bermartabat tanpa adanya kemajuan ekonomi," ujar Kalla.
Kalla menyebutkan salah satu ciri tingginya kemiskinan adalah masih banyaknya pengangguran. Meski diakuinya tidak semua orang miskin menganggur, rata-rata orang yang menganggur adalah miskin. Karenanya, untuk mengurangi pengangguran, hal pertama yang dilakukan adalah menghilangkan kemiskinan. Menurut Kalla, kemiskinan tidak hanya dilihat sebagai angka statistik semata. Kemiskinan harus dilihat sebagai masalah multidimensional, yang harus ditangani dengan program makro dan komprehensif. Saat ini, dia menilai pemerintah masih saja sibuk melihat seberapa besar ekonomi dapat tumbuh. Padahal, menurut dia, pertumbuhan ekonomi tidak dapat dijadikan indikator tunggal dalam menyatakan adanya perbaikan kesejahteraan rakyat. "Di sinilah diperlukan peran aktif seluruh komponen bangsa, baik negara lembaga keuangan, civil society, maupun akademisi," ujar Kalla.
Dalam mengurangi kemiskinan ini, Kalla meminta pemerintah lebih memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan kualitas maupun kuantitas pendidikan di Indonesia. Pemerintah, kata Kalla, harus mulai mengembangkan kebijakan ekonomi yang merakyat. Salah satunya dengan mendorong industri dan ekonomi kerakyatan yang meningkatkan nilai tambah dan tidak hanya fokus pada kuantitas. "Tapi ini semua memerlukan kerja keras semua komponen bangsa, tidak ada bangsa yang makmur tanpa kerja keras."
Selain itu, Kalla juga menyebutkan komponen lain dalam mengurangi kemiskinan dan pengangguran dalam peningkatan peran perguruan tinggi. Perguruan tinggi diminta mampu menghasilkan lulusan yang mampu memahami masyarakat dengan lebih baik. Lulusan perguruan tinggi juga harus mampu merasakan degup jantung rakyat dan mampu berempati pada masyarakat banyak. "Perguruan tinggi harus mampu melahirkan lulusan yang memiliki kemampuan untuk memberdayakan rakyat miskin."
Dalam menyusun kurikulum perguruan tinggi, Kalla menyarankan agar setiap perguruan tinggi memasukkan pembelajaran "experiential learning". "Jadi, salah satu kunci pengentasan kemiskinan dan pengangguran terletak pada peningkatan pendidikan."
Kata ‘sejahtera’ sangat populer dan
tidak asing didengar oleh telinga masyarakat Indonesia. Kata sejahtera biasanya
diletakkan paling akhir dari suatu tujuan , seperti contoh berikut: ‘masyarakat
adil, makmur dan sejahtera’, ‘keluarga bahagia sejahtera’, ‘bangsa yang maju
dan sejahtera’, dsb,dsb. ‘sejahtera’ menjadi sesuatu “impian” yang hendak
diwujudkan baik dalam konteks individu, organisasi, masyarakat maupun Negara.
Sehingga, kuranglah ‘afdol’ rasanya.. apabila dalam menyusun dokumen
perencanaan, pidato-pidato, penyusunan visi-misi organisasi, individu ataupun
partai politik tidak dicantumkan kata ‘sejahtera’. Masalahnya sekarang
bagaimana mewujudkan ‘sejahtera’ itu?
Untuk mewujudkan ‘sejahtera’ perlu dipahami terlebih dahulu pengertian, dan indikator kesejahteraan yang akan sangat berfariasi tergantung kepada konteks dan luas cakupannya. Namun, secara sederhana dapat diartikan ; ‘sebagai suatu kondisi dimana terwujudnya (need) kebutuhan pada tingkat tertentu (baik individu, keluarga, masyarakat, bangsa). Moslow mengklasifikasikan kebutuhan (need) setiap individu bertingkat mulai dari kebutuhan akan sandang pangan, perumahan, pendidikan, derajat sosial. Tingkat kesejahteraan sesorang diukur dari sejauhmana tingkat kebutuhan dasar tersebut dipenuhi. Dalam pelajaran ekonomi klasik dikatakan; “welfare (kesejahteraan) terwujud ketika terjadinya full employment ( angkatan kerja tidak ada yang menganggur). Artinya, kesejahteraan bisa tercapai apabila semua angkatan kerja bekerja (produktif), baik sebagai pekerja maupun menciptakan pekerjaan sendiri.
Dari pemahaman tersebut, dapat kita simpulkan bahwa kesejahteraan masyarakat tidak mungkin terwujud apabila masyarakat masih banyak miskin dan menganggur. Sehingga kemudian, sejak pemerintahan orde baru s/d sekarang, Program pengentasan kemiskinan dan ketenagakerjaan tetap menjadi prioritas. Masalahnya, sudah sedemikian banyak program pengentasan kemiskinan dan ketenagakerjaan namun kemiskinan dan pengangguran tetap tidak bisa ‘terentaskan’ bahkan sepertinya dilapangan semakin meningkat ?!. Alasan klasik seperti resesi ekonomi, gejolak politik, dsb, bisa saja dikemukakan sebagai penyebab. Ada beberapa kelemahan mendasar dalam upaya pengentasan kemiskinan dan ketenagakerjaan selama ini (menurut saya) a.l:
1. Tidak adanya indicator yang pasti tentang kemiskinan dan pengangguran yang bisa dijadikan rujukan bersama, serta tidak adanya data pendukung yang lengkap terhadap orang miskin dan menganggur yg bisa diakses bersama, sehingga bisa ditentukan program yang tepat bagi masing-masing individu yang miskin dan menganggur (masalah data dan informasi).
2. Sebagian Program pengentasan kemiskinan dan ketenagaakerjaan lebih bersifat jangka pendek (recovery) dan tidak mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran, Seperti; Bantuan Tunai Langsung (BTL), Program Padat Karya (masyarakat menganggur disuruh bekerja dan dibayar). Selesai program mereka tetap miskin dan menganggur
3. Program kemiskinan dan ketenagaakerjaan sangat diminati (ibarat gula dikerubutin semut). Sehingga pada era sebelum otonomi daerah berbagai departemen meluncurkan program dengan metode dan target sasaran sendiri-sendiri, lemahnya koordinasi antar instansi. Sehingga, kesannya orang miskin dan menganggur menjadi ‘obyek’ bukan lagi ‘subyek’. Parahnya lagi, ada kelompok masyarakat yang senang menjadi penerima bantuan tapi ekonomi mereka tidak meningkat-ningkat juga.
4. Ada bebarapa program pengentasan kemiskinan dan ketenagakerjaan yang bersifat jangka panjang dan pengembangan kapasitas kelompok sasaran, baik berupa pelatihan, pembukaan lapangan usaha, maupun modal bergulir. Namun, tetap saja selesai program tidak ada lagi kelanjutan pengelolaan, atau diciptakan program yang kelihatannya baru tapi sebenarnya sama. Alhasil, tetap saja program tersebut putus ditengan jalan.
Untuk itu kedepan pada era-otonomi daerah ini, diharapkan daerah kabupaten/kota berani untuk berinofasi dan melaksanakan program pengentasan kemiskinan dan ketenagakerjaan dengan konteks dan metode yang lebih terarah dan focus pada sararan. Dengan mempertimbangkan hal-hal sb:
1. Penetapan indicator kemiskinan dan pengangguran serta memiliki data yang lengkap tentang masing-masing individu, sehingga bisa diciptakan program yang sesuai dengan karaketristik kelompok masyarakat miskin dan pengangguran.
2. Program yang dilaksanakan didasarkan kepada prinsip ‘membuat mereka produktif dengan skill kemampuan yang ada pada mereka’. Selemah-lemahnya manusia, pasti tuhan menciptakan sesuatu kelebihan pada masing-masing individu. Masalahnya, bagi orang miskin menganggur ada hambatan-hambatan yang membuat mereka tidak bisa untuk megaktualisasikan kemampuannya. Mungkin saja karena pendidikan yang kurang, modal yang tidak ada, motivasi yang tidak kuat, keberanian diri, kemampuan yang belum diasah,dsb. Sehingga, program yang dilaksanakan menjadikan mereka sebagai ‘subyek’ bukan ‘obyek’ dan pihak pelaksana memposisikan diri sebagai ‘fasilitator’ .
3. Program yang dilaksanakan berkelanjutan, step-by-step, terukur, sasaran yang jelas dan terukur, terkoordinasi dengan baik, didasarkan kepada kemanusiaan bukan target politis dan program semata.
Produktifitas adalah perbandingan antara output yang dihasilkan dengan input yang dikeluarkan. Semakin besar output yang dihasilkan dibandingkan biaya yang dikeluarkan, dikatakan produktifitasnya semkin tinggi. Produktifitas Tenaga Kerja secara riil akan diukur dari upah yang diterima atau balas jasa tehadap barang modal yang dimiliki. Ketika seseoarang tidak bekerja tentu saja tidak ada yang dihasilkan dan menjadi tidak produktif dan tidak akan ada kesejahteraan baginya. Semakin produktif seseorang akan semakin tinggi tingkat kesejahteraannya. Adanya korelasi positif antara produktifitas dan kesejahteraan.
Kemiskinan terjadi apabila seseorang yang bekerja, tapi balas jasa yang ia terima tidak sesuai biaya yang ia keluarkan, ‘besar pasak daripada tiang’. Jika sebuah keluarga yang terdiri dari 5 anggota keluarga, hanya seorang bekerja dengan penghasilan yang sebenarnya hanya bisa untuk membiayai kehidupan dia sendiri atau satu orang lagi tambahan, jelas kemudian keluarga tersebut akan jatuh kemiskinan. Jadi, antara produktifitas, penganguguran, kemiskinan dan kesejahteraan sesuatu yang saling berkaitan.
Dari paparan yang telah disampaikan, disimpulkan bahwa kesejahteraan tidak bisa terwujud apabila: seseorang tidak bekerja (menganggur), atau dia bekerja tapi balas jasa diterima tidak bisa mencukupi kebutuhan anggota keluarga (kemisikinan). Idealnya untuk mencapai sejahtera, semua orang bisa bekerja dan bisa membiayai dirinya sendiri, atau ketika dia tidak bekerja (sekolah atau mengurus rumah tangga) ada anggota keluarga lain yang membiayainya. Artinya, Program pengentasan kemiskinan dan pengangguran harus didasarkan kepada’framework’ BAGAIMANA SEMUA ANGKATAN KERJA BISA BEKERJA (PRODUKTIF) DAN KELUARGA MISKIN BISA MENINGKATKAN KEMAMPUAN DAN PENGHASILANNYA (PRODUKTIFITAS). Pemahaman konseptual seperti ini perlu, agar program yang dimunculkan lebih terarah, terukur, efektif, dan efisien.
Apabila kita lihat disekeliling kita, bahkan dikeluarga sendiri, berapa banyak yang tidak bekerja atau bekerja tidak sesuai dengan kemampuan dan investasi pendidikan yang dikeluarkan. Lebih jauh, kalau kita lihat Demografi penduduk kita, sebagian besar penduduk Indonesia adalah balita, anak-anak, usia sekolah, belum bekerja dan mengurus rumah tangga. Secara rata-rata seorang pekerja di Indonesia harus membiayai 4 orang lainnya yang tidak bekerja. Dan mereka berpotensi untuk miskin ketika tidak bekerja atau biaya hidup meningkat. Ternyata, mewujudkan ‘sejahtera’ tidak segampang diucapkan oleh jargon-jargon politik, pidato-pidato, ataupun proposal-proposal program. Dibutuhkan, terobosan baru, inovasi dan kerja keras, agar bangsa ini tidak selalu terpuruk dengan masalah kemiskinan dan pengangguran.
Sebelumnya
saya minta maaf bila judul diatas terkesan extreem dan melecehkan, bukan tanpa
alasan saya menulis judul diatas, tapi lebih kepada kemirisan hati ketika
melihat sebuah liputan di sebuah televisi swasta pada acara news tanggal 22 Desember
2012, tentang air bersih , yang sebenarnya telah diulang dan diulang terus oleh
hampir semua media , yayasan dalam acara apa aja, dan juga tidak kurang oleh
pemerintah sendiri melalui himbauan spanduk, media iklan, sampai pada
undang-undang yang mempunyai sanksi berat, tapi tetap saja tidak ada hasilnya
malahan sampai dengan saat ini bertambah parah.
Sayang
sekali saya tidak bisa mencantumkan foto dari kejorokan warga Jakarta (daerah
dimana tempat saya tinggal, mungkin di daerah lain juga punya hal yang sama),
mulai dari pintu air yang tersumbat oleh sampah sampai kepada warganya sendiri
yang bodoh dengan melakukan pembuangan sampah secara sembarangan baik di jalan
ataupun kali bahkan di tempat-tempat publik yang lain seperti taman, rumah
sakit, kantor-kantor pemerintaha, dan tempat umum lainnya.
Berita
yang saya lihat dan dengar pada tanggal 22 desember 2012 itu adalah tentang
bagaimana pemerintah tidak bisa mengolah secara mandiri air bersih sehingga
harus bekerja sama dengan swasta asing, dan juga bagaimana pula harga air per
m3 bisa lebih mahal daripada malaysia yang dimana harganya lebih murah 5x dari
harga air di jakarta dengan standar langsung bisa diminum. Dari hasil
kesimpulan berita itu adalah mempertanyakan bagaimana pemerintah khususnya
pemda Jakarta bisa terlepas dari transaksi yang tidak menguntungkan dengan
swasta asing yang punya kontrak sampai dengan 2023.
Menurut
saya , pemerintah tidak bisa sepenuhnya bisa disalahkan tentang tata kelola
mandiri dan penetapan harga air untuk rakyat, karena disini juga ada peran
serta masyarakat yang tidak kecil bahkan mungkin berperan lebih besar daripada
pemda itu sendiri.Mari kita lihat asalnya kenapa air di Jakarta bisa mahal dan
kurang memenuhi standar kelayakan konsumsi serta kurang lancar dalam
penyalurannya, sedangkan bila menunggak sebentar saja aliran air bisa langsung
terhenti.
Dari
tahun ke tahun populasi manusia di jakarta terus meningkat , dan diikuti oleh
tingkat konsumsi para manusianya itu sendiri. Ketika populasi meningkat maka
masalah pun akan meningkat walaupun berarti untuk bisnis juga berarti bagus
karena potensial buyer akan lebih besar, tetapi hal ini tidak didasari oleh
kesadaran manusianya itu sendiri serta penegakan hukum yang tidak konsisten
serta aparat yang kurang tegas dan disiplin serta jumlah yang kurang memadai
(bahkan ada oknum aparat yang juga berlaku sama dengan warganya yang suka
nyampah sembarangan).
Seperti
yang selalu kita ketahui peraturan dibuat supaya suatu daerah bisa memberikan
kenyamanan dan keamanan untuk manusia yang berada di dalamnya. Tetapi yang saya
tahu di Indonesia ini kalau peraturan itu dibuat untuk dilanggar, karena kalau
tidak dilanggar berarti tidak gaul. Ini yang jadi masalah besar di negara ini.
Padahal kalau kita renungkan sebentar saja sebetulnya peraturan itu membantu
kita bahkan bisa menolong kita disaat tertentu yang sangat penting bagi kita.
Sebagai
contoh bila Yang Maha Kuasa tidak membuat peraturan dan tidak mendisiplinkan
aturannya maka dunia tempat kita tinggal ini bisa jadi apa, matahari selalu
terbit dan disebut pagi hari dan pada saat pagi itu angin dari laut ke darat,
nah kalau para nelayan mencoba melanggarnya dengan mencari ikan pada siang hari
karena lebih nyaman ,terang dan bisa liat ikan yang mau ditangkap maka hasilnya
adalah perlu tenaga ekstra karena melawan arus angin, dan ikan ada di dasar
laut karena suhu air di bagian atas sangat panas, memang ada yang bisa yaitu
dengan membuat keramba apung di laut sehingga bisa menangkap ikan setiap saat
tetapi untuk jenis ikan tertentu akan sulit diperoleh.
Sama
dengan peraturan “Tolong jangan buang sampah sembarangan” atau “Jaga agar kali
kita tetap bersih”, tujuannya adalah supaya lingkungan sekitar tetap bersih
sehingga polusi atau debu tidak mengganggu kesehatan kita , juga supaya
sungai/kali tidak jadi kotor dan terkontaminasi dengan cairan yang berbahaya.
Tetapi
yang lucu-nya di Jakarta (saya tidak tau di daerah lain, mungkin juga
bisa sama tetapi juga bisa pula berbeda), jumlah manusia yang “sadar”
kebersihan makin bertambah jumlahnya, bukan saja yang tinggal di bantaran kali
atau di perkampungan padat , tetapi merambah ke perumahan mewah atau lingkungan
eksklusif. Mereka seringkali membuang sampah sembarangan supaya “lingkungan”
mereka sendiri tetap bersih dan nyaman, padahal ini adalah tindakan yang bodoh
karena tidak disiplin juga tindakan yang bodoh untuk mengeluarkan biaya yang
lebih besar.
Ketika
suatu waktu di sebuah taman ada serombongan ibu2 beserta anak mereka yang masih
tk berjalan pulang setelah mengikuti sebuah acara tentang lingkungan hidup.”Bu
udah abis nich minumannya , dibuang kemana botolnya?”, tanya si anak, lalu si
ibu bilang”Udah lempar aja di rumput”, dan si anak langsung melakukkannya
dengan wajah innocence-nya . Kalau 1 orang tua saja sudah mengajarkan anak umur
7 thn melakukan hal seperti itu, bayangkan saja kalau 1000 orang tua yang
melakukan lalu ketika anak itu bertumbuh dan dia mempunyai anak lagi dan melakukan
yang sama bayangkan berapa kali lipat jumlah sampah yang tdk terangkut setiap
harinya.
Lalu kalau ada yang bilang bagaimana dengan pemda
dan dinas kebersihannya, jumlah petugas dan peralatan selalu lebih sedikit
dibanding dengan jumlah penduduk di suatu daerah, kalau tidak dibantu bagaimana
bisa menjaga daerah itu nyaman untuk ditinggali.
Makin jorok makin miskin,
Coba
telaah kata-kata ini , kok bisa begitu, begini contohnya, kalau ada 1 keluarga
kelas menengah tinggal di suatu lingkungan perumahan padat di tengah kota ,
dengan pendapatan diatas nilai umr 2013 dengan 1 mobil , 1 motor dan 2 lantai
rumah serta pembantu. Di dalam kesehariannya keluarga ini berlaku jorok, buang
sampah di luar rumah, bahkan dibuang ke got, lalu sebagian ada yang di masukan
ke tong sampah, di dalam rumah memang bersih dan selalu dijaga, tetapi di luar
ketika si ayah setelah selesai merokok lalu puntungnya dibuang ke jalan, si
anak ketika membeli es bungkusnya dibuang ke got, si ibu beserta pembantunya
setelah menyapu sebagian tidak diangkat tetapi dibuang ke got, begitu pula bila
ada tinta isi ulang atau cairan kimia non-food lainnya dibuang ke got bukan
dimasukkan ke tong sampah. Pada saat2 awal tidak akan terasa bahwa biaya
itu akan semakin meningkat , yang pasti terlihat adalah air minum yang pada
tahun-tahun sebelumnya cukup bersih dan biayanya murah tetapi pada saat2
sekarang ini mulai meningkat dan airnya pun tidak selancar sebelumnya, warnanya
suka keruh bahkan terkadang ada cacing2 kecil yang terselip masuk ke bak
tampungan, sehingga keluarga ini harus membeli saringan air lagi untuk
menyaring airnya supaya lebih bersih, hal ini berarti menambah biaya lagi.
Bila
kita lihat saja contoh kecil ini dan kalkulasi dengan baik, bagaimana kita bisa
mandiri dalam pengelolaan air bersih, bagaimana kita bisa mendapatkan air
bersih dengan biaya murah, bagaimana kita bisa menjadi keluarga sejahtera,
bagaimana kita bisa mendapatkan biaya lebih untuk ditabung untuk masa tua kita,
atau bahkan bagaimana kita bisa menyekolahkan anak-anak kita di perguruan
tinggi? dan masih banyak bagaimana lagi bila kita tidak merubah sikap hidup
kita untuk merawat air.
Lalu
siapa yang diuntungkan bila kita tidak mengubahnya? Yang pasti si Swasta asing
itu, karena dengan alasan bahan baku air yang makin kotor sehingga harus
ditambah cairan pemurni airnya lebih banyak dan disini seperti kita ketahui
banyak celahnya untuk mengeruk keuntungan lebih besar, lalu kita salahkan si
Swasta itu? Sulit untuk membuktikannya, kemudian siapa lagi, ya oknum-oknum
pejabat yang dekat dengan perusahaan itu , lalu siapa lagi, ya yang terakhir
adalah para pengusaha yang melihat ada peluang usaha dari kesulitan akan air
bersih ini.
Lalu
rakyat banyak bagaimana? Ya kesimpulannya adalah bila rakyat selalu menuntut
untuk ditingkatkan kesejahteraannya, coba untuk membaca artikel ini, dan
lakukan tindakan untuk jaga kebersihan dan tegur yang melakukan pelanggaran.
Dan lihat hasilnya, bila air sungai telah bisa terlihat dasarnya dan sampah
tidak menumpuk lagi di pintu-pintu air, tetapi biaya air masih mahal maka
rakyat bisa menuntutnya dan bila biaya ini bisa turun, bayangkan kesejahteraan
yang bisa diperoleh. Bahkan bisa dinikmati oleh rakyat kalangan bawah karena
mereka pun akan dapat kesehatan lebih baik sehingga taraf hidup mereka akan
lebih meningkat, yang tadinya kesehatan mereka buruk tetapi ketika lingkungan
dan air telah bersih maka hidup mereka lebih sehat dan lebih produktif sehingga
hasil yang diperoleh dari pekerjaan mereka pun lebih meningkat. Makin Bersih
Makin Kaya.
Makin Disiplin Makin Pintar, Setelah
kita bisa membuat lingkungan bersih maka selanjutnya yang kita lakukan adalah
mendisiplinkan diri supaya tidak mengulangi kesalahan masa lalu. Ketika hidup
kita semakin disiplin maka kita pun akan semakin pintar terutama pintar
menggunakan waktu. Contohnya ; Ketika kita sudah disiplin tidak membuang sampah
sembarangan , maka sampah yang telah dibuang ditempatnya itu akan dibawa ke TPA
(tempat pembuangan akhir) dan disana mulai disapih dan sisanya akan dikubur,
yang telah disapih itu akan didaur ulang , dan hasil dari daur ulangnya adalah
kesejahteraan dan mengurangi barang sisa. Kita juga bisa disiplin dalam
penggunaan kertas bungkus atau plastik bungkus , semakin kita bisa menguranginya
maka akan semakin dikit sampah yang dikeluarkan.
Lalu
makin pintarnya dimana? Nah disinilah makin pintarnya, setelah kita tidak
membuang sampah sembarangan dan mengurangi penggunaan pembungkus, maka kita
akan semakin kreatif dan pintar dalam cara menghemat pengeluaran kertas
pembungkus, dan kita pun akan semakin pintar dalam mengatur keuangan kita baik
dalam menghemat ataupun dalam pengeluaran. Setelah itu hal-hal pintar lainnya
akan menyusul, karena polusi yang semakin menurun sehingga udara juga semakin
bersih dan air pun semakin baik, maka hidup kita akan semakin sejahtera dan
sehat.
Buku ini ditulis karena saya
merasa terbeban untuk menyampaikan kepada masyarakat luas, bahwa kemiskinan dan
kebodohan bukan hanya dari pengaruh atau tekanan luar , tetapi lebih daripada
prilaku pribadi dan gaya hidup yang tidak tepat. Bila pemerintah selalu
dituntut itu sudah merupakan tugas rakyat, tetapi rakyat yang Smenuntut juga
harus menjadi rakyat yang tau tanggung jawab dan kewajibannya. Karena pemerintah
tidak akan pernah ada tanpa adanya rakyat.
Marilah
mulai saat ini kita bersama mensejahterakan diri kita dan orang sekitar kita
dimulai dengan merawat lingkungan kita, dengan membuang sampah ditempatnya dan
tidak mengotori sumber-sumber bahan baku air dengan bahan2 kimia yang
beracun.Semoga buku ini bisa membantu dan bersama kita akan mampu menolong diri
sendiri dan orang lain.
Salam Sejahtera. God Bless You All. Assalamu’alaikum.
No comments:
Post a Comment