Saturday, February 1, 2014

Bakar Kemenyan, gaharu, terlanjur dituduh bid’ah syirik



MENGUBAH  BID’AH  MENJADI  SUNNAH

Bakar Kemenyan, gaharu, terlanjur dituduh bid’ah  syirik,,setanggi syirik , ternyata Suunah.  Namun menjadi syirik  apabila untuk memuja jin

KEBIASAAN JAHILIYAH, ADA YANG BAGUS

GEMAR WEWANGIAN,  LAYAK DIURUS

NABI MUHAMMAD, TELADAN  YANG LURUS

MANA YANG BAIK, JANGAN  DIPUTUS


 

 

Penggunaan bekas perasap untuk membakar kemenyan, setanggi dan kayu gaharu bagi mengeluarkan bau-bauan yang harum di haruskan dalam Islam selagi ia tidak bercampur dengan unsur pemujaan yang membawa kepada syirik.

Malah menurut Ketua Jabatan Akidah dan Pemikiran Islam, Bahagian Pengajian Usuluddin, Akedemi Pengajian Islam, Universiti Malaya (UM), Dr.Johari Mat, Rasulullah s.a.w sendiri mengalakkan penggunaan bau-bauan yang harum semasa solat dan sebagainya untuk keselesaan umatnya.Tambahan lagi masjid-masjid di negeara Timur Tengah, masih lagi menggunakan bekas perasap.

"Bagaimanapun kita harus faham tujuan sebenar bekas perasap iti digunakan.Jika hanya untuk mengeluarkan bauan yang harum, hukumnya harus atau 
mubah asal saja tidak ada unsur-unsur stirik,"katanya semasa ditemui baru-baru ini.

Keraguan mengenai penggunaan bekas perasap timbul atas dakwaan asap merupakan makanan jin.Tetapi sebenarnya konsep penggunaan perasap di Indonesia  dan Malaysia amat berbeda antara masyrakat Islam di Timur Tengah dan negara ini.


"Dinegara-geraa Arab, kayu gaharu dibakar semata-mata untuk mengeluarkan bau harum semasa majlis keramaian, kenduri-kendara, majlis imu, kematian dan sebagainya.Malah dalam buan Ramadhan, semasa solat Tarawikh, kayu gaharu juga dibakar di dalam masjid bagi mengeluarkan bau harum untuk kelselesaan para jemaah,"jelasnya. ..    
Imam Syathibi bangkit menentang dan melawan para ulama Granada saat itu. Ia mencoba meluruskan dan mengembalikan bid’ah ke sunnah serta membawa masyarakat dari kesesatan kepada kebenaran. Perseteruan sengit antara Imam Syathibi dan para ulama Granada saat itu tidak dapat dielakkan. Setiap kali Imam Syathibi berfatwa halal, mereka sebaliknya, berfatwa haram tanpa melihat terlebih dahulu kepada nash. Karena itulah, Imam Syathibi kemudian dilecehkan, dicerca, dikucilkan dan dianggap telah keluar dari agama yang sebenarnya.


        Hal lain yang disoroti Imam Syathibi adalah praktek tasawwuf para ulama saat itu yang telah menyimpang. Mereka berkumpul malam hari, lalu berdzikir bersama dengan suara sangat keras kemudian diakhiri dengan tari dan nyanyi sampai akhir malam. Sebagian dari mereka ada yang memukul-mukul dadanya bahkan kepalanya sendiri. Imam Syathibi bangkit mengharamkan praktek tersebut karena dinilai telah menyimpang dari ajaran yang sesugguhnya. Menurut Imam Syathibi, setiap cara mendekatkan diri yang ditempuh bukan seperti yang dipraktekkan Rasulullah Saw dan para sahabatnya adalah bathil dan terlarang.]

           Fatwa Syathibi tentang praktek tasawwuf yang menyimpang ini juga dikuatkan oleh salah seorang ulama ahli tasawwuf saat itu Abul Hasan an-Nawawi. Ia mengatakan bahwa barangsiapa yang melihat orang yang mendekatkan diri kepada Allah Swt dengan jalan yang keluar dari Ilmu Syari’ah, maka janganlah mendekatinya.


Imam Syathibi juga menyoroti ta’ashub berlebihan yang dipraktekan para ulama Granada dan masyarakat Andalusia saat itu terhadap madzhab Maliki. Mereka memandang setiap orang yang bukan madzhab Maliki adalah sesat. Sebagaimana diketahui bersama bahwa masyarakat Andalus memegang erat madzhab Maliki ini sejak raja mereka Hisyam al-Awwal bin Abdurrahman ad-Dakhil yang memerintah dari tahun 173-180H menjadikan madzhab ini sebagai madzhab resmi negara.


Menurut salah satu riwayat, kecenderungan Hisyam al-Awwal untuk mengambil madzhab Maliki ini adalah ketika dia bertanya kepada dua orang ulama yang satu bermadzhab Hanafi serta yang lain bermadzhab Maliki. Hisyam al-Awwal saat itu bertanya: “Dari mana asalnya Abu Hanifah itu?” Ulama Hanafi menjawab: “Dari Kufah”. Lalu ia bertanya kembali kepada ulama Maliki: “Dari mana asal Imam Malik?” Ulama Maliki ini menjawab: “Dari Madinah”. Hisyam lalu berkata: “Imam yang berasal dari tempat hijrah Rasulullah Saw cukup bagi kami”.[14]

Mulai saat itu, seolah sudah merupakan amar resmi, masyarakat Andalus memegang kokoh madzhab Maliki. Saking berlebihannya ta’asub mereka, mereka tidak lagi mengenal bahkan cenderung tidak bersahabat dengan madzhab-madzhab lainnya terutama madzhab Hanafi sehingga Muhammad Fadhil bin Asyur melukiskan mereka: “Mereka tidak lagi mengenal selain al-Qur’an dan al-Muwatha’ Imam Malik”.[15]

Para ulama yang tidak bermadzhab Maliki saat itu tidak pernah lepas dari cercaan bahkan penyiksaan seperti yang dialami oleh al-Alammah Baqa bin Mukhlid, seorang ulama besar bermadzhab Hanafi. Imam Syathibi melukiskan ulama ini sebagai ulama besar yang tidak ada tandingannya saat itu, ia pernah belajar dari Abu Hanifah, Ahmad bin Hambal dan ulama-ulama lainnya yang berada di luar Andalus. Namun, sayang meninggal karena hukuman dari amir saat itu.


Sekalipun Imam Syathibi seorang ulama Maliki—bahkan Muhammad Makhluf menjadikannya sebagai ulama Maliki tingkatan ke-16 cabang Andalus namun ia tetap menghargai ulama-ulama madzhab lainnya termasuk madzhab Hanafi yang saat itu selalu menjadi sasaran tembak nomor satu. Bahkan, dalam berbagai kesempatan ia sering menyanjung Abu Hanifah dan ulama lainnya. Kitab al-Muwafaqat sendiri—yang akan kita bahas—sengaja disusun oleh Imam Syathibi dalam rangka menjembatani ketegangan yang terjadi saat itu antara Madzhab Maliki dan Hanafi.

Sedangkan sebagai respon terhadap bid’ah dan khurafat yang berkembang saat itu, Imam Syathibi menyusun sebuah karya monumental lainnya yaitu al-I’tisham.

Demikian sekelumit kehidupan Imam Syathibi dan kondisi masyarakat sekitarnya yang melatarbelakangi disusunnya karya-karya agung.

Karya-karya Imam Syathibi

Karya-karya Imam Syathibi semuanya mengacu kepada dua bidang ilmu yang menurut istilah Hammadi al-Ubaidy, ulum al- wasilah dan ulum al-maqasid. Ulum al-wasilah adalah ilmu-ilmu bahasa Arab yang merupakan wasilah untuk memahami Ilmu Maqasid. Untuk lebih jelasnya, berikut ini sekilas tentang karya-karya Imam Syathibi:

1. Kitab al-Muwafaqat

Kitab ini adalah kitab paling monumental sekaligus paling dikenal di antara karya-karya Imam Syathibi lainnya. Kitab ini terdiri dari 4 juz dan awalnya kitab ini berjudul al-Ta’rif bi Asrar al-Taklif kemudian setelah Imam Syathibi bermimpi, dirubah menjadi al-Muwafaqat sebagaimana akan dijelaskan lebih jauh di penghujung bahasan ini

2. Kitab al-I’tisham

Buku ini terdiri dari dua juz dan ditulis setelah Kitab al-Muwafaqat. Buku ini mengupas secara panjang lebar tentang bid’ah dan seluk beluknya. Ditulis oleh Imam Syathibi dalam suatu perjalanan khusus dan beliau meninggal terlebih dahulu sebelum merampungkan tulisannya ini.[18]

3. Kitab al-Majalis

Kitab ini merupakan syarah dari Kitab al-Buyu’ yang terdapat dalam Shahih al-Bukhari. Attanbakaty melihat faidah buku ini dengan menyebutnya: “minal fawaid wa al-tahqiqat ma la ya’lamuhu illallah”.[19]

4. Syarah al-Khulashah

Buku ini adalah buku Ilmu Nahwu yang merupakan syarah dari Alfiyyah Ibn Malik. Terdiri dari 4 juz besar dan menurut Attanbakaty buku ini merupakan syarah Alfiyyah Ibn Malik terbaik dari segi kedalaman dan keluasan ilmu yang dipaparkannya.[20]

5. Unwan al-Ittifaq fi ‘Ilm al-Isytiqaq

Buku tentang Ilmu Sharf dan Fiqh Lughah. Buku ini sebanding dengan buku al-Khulashah karya Ibn Jinny. Hanya saja sayang buku ini sudah hilang semenjak Imam Syathibi masih hidup.[21]

6. Ushul an-Nahw

Buku ini membahas tentang Qawaid Lughah dalam Ilmu Sharf dan Ilm Nahwu. Di dalamnya dibahas Qawaid Ashliyyah seputar ilmu tersebut hanya saja sayang buku ini sudah hilang semenjak dahulu.[22]

7. Al-Ifadaat wa al-Insyadaat

Buku ini khusus dibuat sebagai gambaran perjalanan hidup Imam Syathibi sekaligus menyebutkan guru-guru dan murid-muridnya.

8. Fatawa al-Syathibi

Buku ini adalah buku paling bontot. Hanya saja buku ini bukan dikarang langsung oleh Imam Syathibi hanya merupakan kumpulan fatwa-fatwanya yang tersebar dalam Kitab al-I’tisham dan al-Muwafaqat.

Di antara sekian banyak karya Imam Syathibi ini, yang dicetak hanya tiga buah yaitu Kitab al-Muwafaqat, Kitab al-I’tisham dan al-Ifaadat wa al-Insyadaat.

Sekilas Tentang al-Muwafaqat

Qalilun minka yakfiini wa lakin qaliluka la yuqalu lahu qalil”. Demikian salah satu syair yang dikemukakan Rasyid Ridha terhadap dua buah kitab karya Syathibi, yaitu al-Muwafaqat dan al-I’tisham dalam Muqaddimah Kitab al-I’tisham yang ditulisnya. Bahkan ia lebih jauh memberikan dua buah gelar bagi Imam Syathibi yaitu Mujaddid fi al-Islam dengan Kitab al-Muwafaqat-nya dan al-Mushlih dengan Kitab al-I’tisham-nya.[23]

Memang layak Imam Syathibi menyandang dua gelar di atas karena dalam al-Muwafaqat ia mencoba memperbaharui pemahaman syari’ah dengan jalan membawa aqal untuk memahami maqasid dan rahasia-rahasia yang terkandung di dalamnya. Sementara dalam al-I’tisham ia mencoba mengembalikan bid’ah kepada sunnah serta mencoba menawarkan konsep untuk membangun sebuah kehidupan masyarakat yang sesuai dengan apa yang dipraktekkan pada masa Rasulullah Saw dan al-Khulafa al-Rasyidun.

Awalnya buku al-Muwafaqat ini diberi judul al-Ta’rif bi Asrar al-Taklif karena mengungkap rahasia-rahasia di balik hukum taklif. Akan tetapi Imam Syathibi merasa kurang cocok dengan nama ini sampai suatu hari ia bermimpi. Dalam mimpinya ini Imam Syathibi bertemu dengan salah seorang syaikhnya, keduanya berjalan dan bercerita dengan seksama. Lalu gurunya itu berkata kepada Imam Syathibi: “Kemarin saya bermimpi melihat kamu membawa sebuah buku hasil karyamu sendiri. Lalu saya bertanya kepadamu tentang judul buku itu dan kamu mengatakan bahwa judulnya adalah al-Muwafaqat. Saya lalu bertanya kembali maknanya dan kamu menjawab bahwa kamu mencoba menyelaraskan dua madzhab yaitu Maliki dan Hanafi”. Setelah mimpi itu, Imam Syathibi menggantinya dengan nama al-Muwafaqat.[24]

Dari ungkapan Imam Syathibi di atas tampak bahwa ia mencoba menyamakan kedudukan Imam Malik dan Abu Hanifah. Ia mengangkat kedudukan Imam Malik dan menjadikan Abu Hanifah sejajar dengan kedudukan Ibn al-Qasim, salah seorang murid Imam Malik.

Buku ini terdiri dari 4 juz akan tetapi dilihat dari segi temanya terbagi kepada 5 bagian:

1. Al-Muqaddimah

Ada 13 masalah yang dipaparkan dalam mukaddimah ini sebagai langkah awal dan dasar dalam memahami pembahasan kitab al-Muwafaqat berikutnya.

2. Al-Ahkam

Membahas lima hukum taklifi dan lima hukum wadh’i di samping itu dijelaskan pula keterkaitannya dengan maqasid al-Syari’ah.

3. Al-Maqasid

Pembahasan ini dibahas dalam juz II sampai selesai. Dalam kesempatan ini penulis hanya akan membedah bab ini saja mengingat persoalan ini yang membuat al-Muwafaqat membumbung tinggi.

4. Al-Adillah

Bab ini membahas tentang dua dalil yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah serta hukum-hukum lain yang berkaitan dengannya seperti naskh, amr, nahyi dan lainnya.

5. Al-Ijtihad wa al-Tajdid

Bab ini mengupas seputar persoalan ijtihad dan taqlid atau yang lebih dikenal dengan Ahkam al-Ijtihad wa al-Taqlid.

Buku al-Muwafaqat ini pertama kali dikenal di Tunis oleh para mahasiswa dan para ulama Tunis saat itu. Kemudian untuk pertama kalinya dicetak di Tunisia pada tahun 1302H atau 1884M di Mathba’ah al-Daulah al-Tunisiyyah dengan tashih dari tiga ulama besar Tunisia saat itu yaitu: Syaikh Ali al-Syanufi, Syaikh Ahmad al-Wartany dan Syaikh Shalih Qayiji. Sedangkan di Mesir baru dicetak pertama kali tahun 1341H / 1922M atau setelah kurang lebih 38 tahun dicetak di Tunisia.[25] Oleh karena itu, apa yang ditulis Abdullah Darraz dalam Mukaddimah al-Muwafaqat bahwa buku ini pertama kali dicetak di Mesir, menjadi terbantahkan.[26]

Kitab ini mulai dikenal di Mesir semenjak Muhammad Abduh mengadakan kunjungan ke Tunisia tahun 1884M. Sejak kunjungan itulah, Abduh kemudian memperkenalkannnya kepada Mesir dan langsung dicetak dua kali cetakan, yang pertama ditahkik oleh Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid (dicetak oleh Maktabah Shabih di Mesir tahun 1969M) dan yang kedua ditahkik oleh Syaikh Abdullah Darraz (dicetak oleh al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra di Mesir tanpa tahun cetakan).[27]

Di antara ulama yang mempunyai peranan sangat penting dalam mempopulerkan kitab ini adalah Muhammad Abduh dan muridnya Muhammad Rasyid Ridha serta murid Rasyid Ridha, Abdullah Darraz. Bahkan Rasyid Ridha melihat kitab al-Muwafaqat ini sebanding dengan al-Muqaddimah-nya Ibn Khaldun.[28]

Kitab al-Muwafaqat ini kini menjadi sangat populer bukan hanya di Timur Tengah, tetapi juga di Barat. Di Kanada, Belanda dan Amerika misalnya, al-Muwafaqat menjadi buku pegangan wajib bagi mereka yang mengambil syu’bah Islamic Studies.

Karya-karya besar pun telah banyak dihasilkan, terutama dalam bentuk disertasi dan thesis, dari mengkaji buku ini. Di antara karya-karya dimaksud—sepengetahuan penulis untuk lingkungan Timur Tengah—adalah Ahmad Raisuni; Nadhariyyatul Maqasid Maqasid ‘Inda al-Imam al-Syathibi; Hammadi al-Ubaidhi; al-Syathibi wa Maqasid al-Syari’ah, Abdurrahman Zaid al-Kailani; Qawaid al-Maqasid ‘Inda al-Imam al-Syathibi, Abdul Mun’in Idris; Fikru al-Maqashid ‘Inda al-Syathibi min Khilal Kitab al-Muwafaqat, Abd Majid Najar; Masalik al-Kasyf ‘an Maqasid al-Syari’ah Baina al-Syathibi wa Ibn ‘Asyur, Jailani al-Marini; al-Qawaid al-Ushuliyyah ‘Inda al-Syathibi, Basyir Mahdi al-Kabisi; al-Syathibi wa Manhajatuhu fi Maqasid al-Syari’ah dan Habib Iyad; Maqasid al-Syari’ah fi Kitab al-Muwafaqat li al-Syathibi.

B. Sejarah Maqashid AL-Syari’ah

Apakah sebelum Imam Syathibi Maqahid al-Syari’ah sudah ada? Pertanyaan inilah yang hendak penulis bahas dalam sub bab kali ini.

Betul bahwa Imam Syathibi adalah Bapak Maqashid al-Syari’ah pertama sekaligus peletak dasar Ilmu Maqashid, namun itu tidak berarti bahwa sebelumnya tidak ada Ilmu Maqashid. Imam Syathibi lebih tepat disebut orang yang pertama menyusun secara sistematis Maqashid al-Syari’ah sebagaimana Imam Syafi’i—menurut kaum Sunni—dengan ilmu Ushul Fiqhnya.

Kata al-maqashid sendiri menurut Ahmad Raisuni,[29] pertama kali digunakan oleh at-Turmudzi al-Hakim, ulama yang hidup pada abad ke-3. Dialah, menurut Raisuni, yang pertama kali menyuarakan Maqashid al-Syari’ah melalui buku-bukunya, al-Shalah wa Maqashiduhu, al-Haj wa Asraruh, al-‘Illah, ‘Ilal al-Syari’ah, ‘Ilal al-‘Ubudiyyah dan juga bukunya al-Furuq yang kemudian diadopsi oleh Imam al-Qarafi menjadi judul buku karangannya.

Setelah al-Hakim kemudian muncul Abu Mansur al-Maturidy (w. 333) dengan karyanya Ma’khad al-Syara’ disusul Abu Bakar al-Qaffal al-Syasyi (w.365) dengan bukunya Ushul al-Fiqh dan Mahasin al-Syari’ah. Setelah al-Qaffal muncul Abu Bakar al-Abhari (w.375) dan al-Baqilany (w. 403) masing-masing dengan karyanya, diantaranya, Mas’alah al-Jawab wa al-Dalail wa al ‘Illah dan al-Taqrib wa al-Irsyad fi Tartib Thuruq al-Ijtihad.

Sepeninggal al-Baqillany muncullah al-Juwaeny[30], al-Ghazali,[31] al-Razy,[32] al-Amidy,[33] Ibn Hajib, al-Baidhawi, al-Asnawi, Ibn Subuki, Ibn Abdissalam, al-Qarafi,[34] al-Thufi,[35] Ibn Taimiyyah dan Ibn Qayyim.[36]

Urutan di atas adalah versi Ahmad Raisuni, sedangkan menurut Yusuf Ahmad Muhammad al-Badawy, sejarah Maqashid al-Syari’ah ini dibagi dalam dua fase yaitu fase sebelum Ibn Taimiyyah dan fase setelah Ibn Taimiyyah.[37]

Adapun menurut Hammadi al-Ubaidy orang yang pertama kali membahas Maqashid al-Syari’ah adalah Ibrahim an-Nakha’i (w.96H), seorang tabi’in sekaligus gurunya Hammad bin Sulaiman gurunya Abu Hanifah.

Setelah itu lalu muncul al-Ghazali, Izzuddin Abdussalam, Najmuddin at-Thufi dan terakhir Imam Syathibi.[38]


No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook