Friday, February 14, 2014

Bagaimana murid, tidak dipukul, Dinasehati sudah, berkali-kali.



                          Ke seberang parit, membawa bakul.
        Tidak mudah, memintal tali.
                   Bagaimana murid, tidak dipukul,
               Dinasehati sudah, berkali-kali.

Dahulu guru, diberi rotan,
Orang tua, menyerahkannya.
Kini murid, suka tawuran ,
Polisi bersenjata, dilawannya.


MURID DIBELA GURU DIHUKUM

         Buktinya, murid yang salah, dibela dan guru yang tegas, dihukum. Konsep benar-salah menjadi hilang. Derita Guru: Sebuah Dilema Pendidikan. Keberadaan UU Perlindungan Anak ini, menurut penulis menjadi sebuah penderitaan guru. Mereka dihadapkan pada  masalah dilematis dalam proses pendidikan dan pembinaan anak muridnya. Situasi mereka berhadapan dengan UU Perlindungan Anak. Demi pembinaan dan penegakan disiplin kepada siswa, ada guru yang terpaksa menampar siswanya. Akan tetapi guru tersebut dihadapkan pada jerat hukum. Maksud baik  guru justru berakibat buruk. Padahal  menyadarkan murid. Di antara cara penyadaran adalah tempeleng”, walaupun bisa pakai cara lain yang tanpa kekerasan. UU Perlindungan Anak tidak membolehkan memakai cara kekerasan, padahal cara itu bisa menjadi sarana paling efektif. Tingkat penyadarannya lebih kuat dibandingkan menegur dan menasehati. Tempeleng  hanya sekali, bisa merupakan bentuk shock therapy.
          Menurut penulis UU Perlindungan Anak menjadi penderitaan para guru di sekolah. Mereka tidak berani bertindak tegas kepada murid karena takut terkena sanksi dari UU Perlindungan Anak. Bayangkan saja, terkena pasal 80 ayat (1)  merupakan penderitaan yang amat sangat bagi guru yang berpenghasilan pas-pasan. Ada guru masuk penjara, asalkan tiap bulan gajinya jalan terus,  tidak akan jadi masalah serius. Tetap mengajar dengan ganti rugi sebesar 72 juta rupiah, jelas akan memberatkan keluarganya.
        Ada kasus, di sebuah sekolah menengah pertama, ada siswa sedang berkelahi,  lalu datang guru melerai. Tapi disambut dengan caci maki oleh seorang siswa yang berkelahi, karena tidak terima acara duelnya dipisahkan. Guru juga masih muda, dan caci maki itu terjadi di muka umum, diketahui murid lain, dan demi harga diri yang diinjak murid, guru itu menampar siswa. Cuma sekali. Sang guru dilaporkan ke polisi, beberapa hari di penjara. Akhirnya dibebaskan dengan tebusan.
         Apa yang terjadi setelah peristiwa itu? Para guru lain tidak berani bertindak tegas kepada siswa dan para siswa berbuat seenaknya saja. Anak-anak tumbuh “liar” dan para guru tak berani menegur. Yang terjadi adalah proses pembiaran. Ketika guru bertindak tegas, anak dapat mengancam dengan UU Perlindungan Anak. Anak akan dengan mudah mengejek gurunya bahkan menghina guru dan guru tidak bisa berbuat apa-apa karena takut dengan UU Perlindungan Anak. UU Perlindungan Anak merusak dunia pendidikan. Tidak setuju dengan UU Perlindungan Anak, karena UU itu bisa digunakan anak untuk merendahkan martabat guru. Dia sangat prihatin dengan nasib para guru.
         Menurut penulis, Hukuman Bukan Penganiayaan, ada  kekeliruan dalam UU Perlindungan Anak, berkaitan dengan kata “penganiayaan” dan kekerasan. Kategori penganiayaan adalah kekerasan yang bertubi-tubi, mirip dengan penyiksaan. Memukul atau menempeleng berkali-kali, sekalipun murid sudah minta ampun. Tapi jika cuma sekali, bukan penganiayaan. Kalau dikatakan kekerasan, seperti kasus IPDN, penganiayaan memang kejam, karena bertubi-tubi. Misalnya, dipukul lalu ditendang berkali-kali. Karena itu ada yang cacat dan bahkan sampai tewas.
           Penulis  tidak setuju jika menempeleng, satu kali saja masuk kategori kekejaman (pasal 13 ayat 1) tidak manusiawi (pasal 16 ayat 1). Dalam kasus-kasus penganiayaan  di sekolah, dilakukan oknum guru sebenarnya tidak masuk kategori kekerasan, yang bukan kekejaman, penganiayaan yang tidak manusiawi.Yang menjadi persoalan, haruskah kekerasan itu dihukum, jika bertujuan baik,  menyadarkan murid akan kesalahannya. Untuk bisa sadar,  sering menyakitkan. Tapi itulah shock therapy. Harus juga diperhatikan kewajiban anak. Dalam UU Perlindungan Anak, khususnya soal hak dan kewajiban anak dan pasal lain yang berkaitan dengan hak anak (18 pasal), sementara kewajiban hanya satu pasal saja (pasal 19). bunyi pasal 19 UU Perlindungan Anak ini:
Setiap anak berkewajiban untuk :
1. menghormati orang tua, wali, dan guru;
2. mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
3. mencintai tanah air, bangsa, dan negara;
4. menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
5. melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.

          Jika anak tidak melaksanakan kewajibannya, sanksi apa yang dapat diberikan UU RI no.23 th 2002? Tidak ada yang melihat hal ini. Orang hanya  melihat hak anak, mengabaikan hak guru. Kasus ini punya daya tarik bagi polisi dan pengacara? Tidak tentang  bagaimana kewajiban anak? Apakah anak yang tidak melakukan kewajibannya, seperti yang tertera dalam UU Perlindungan Anak, juga dapat ditindak?
          Kasus anak SD mengganggu temannya yang sedang latihan, berarti tidak melakukan kewajiban no. 2 dalam pasal (19) UU Perlindungan Anak. Kasus SMK, siswa tidak melaksanakan kewajiban no. 3 dan 5. Guru punya wewenang melaporkan siswa  ke polisi? Dan apa sanksi buat anak tersebut? Hak dan kewajiban mesti seimbang. Orang tidak bisa menuntut hak tanpa melaksanakan kewajibannya, karena  berkaitan dengan UU Perlindungan Anak. Kritik penulis ialah perlu  ditinjau soal keseimbangan hak dan kewajiban bagi anak itu sendiri. Jangan hanya membebani kesalahan pada guru.
Kondisi dunia pendidikan Indonesia akhir-akhir ini semakin memprihatinkan. Kekerasan dan tindakan-tindakan amoral yang dilakukan pelajar kian masif saja. Itu menandakan gagalnya pendidikan dalam upaya melahirkan generasi yang berpengetahuan luas dan berakhlak mulia.
BAHKAN, tawuran yang terjadi beberapa waktu yang lalu menambah buram wajah dunia pendidikan Indonesia kini. Di tengah carut-marutnya pendidikan saat ini, tak jarang ada kegundahan seorang guru sebagai pihak yang bertanggung jawab dan bertugas membantu mempersiapkan para peserta didik menjadi manusia yang berakhlak mulia.
Dengan kata lain, guru merasa gagal ketika melihat anak didiknya melakukan hal-hal yang jauh melenceng dari yang diajarkannya. Dalam konteks ini, tawuran yang terjadi belakangan ini menjadi tamparan keras bagi para pendidik, baik guru maupun dosen. Sebab, mereka adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas perilaku dan tingkah polah para peserta didiknya, selain orang tua.
Jika kita telisik lebih dalam, mengapa para siswa sekarang sering bertindak amoral, maka ada beberapa kemungkinan yang membuat semua pihak, terutama pemerintah harus bekerja ekstrakeras. Di sekolah, pendidik (selanjutnya dibaca; guru) adalah orang yang bertanggung jawab penuh atas perilaku anak. Guru dituntut melakukan tugas profesinya tersebut dengan sungguh-sungguh.
UU Perlindungan Anak
Namun belakangan ini, eksistensi pendidik seringkali dihadapkan dengan realitas yang tidak mendukung pelaksanaan tugas profesinya. Sebut saja, adanya pengaduan orang tua dan masyarakat terhadap kekerasan yang dilakukan pendidik tatkala melaksanakan tugasnya di sekolah. UU Perlindungan Anak sesungguhnya merupakan upaya negara untuk melindungi anak Indonesia dari perlakuan yang sewenang-wenang dari orang dewasa, yang dalam konteks ini adalah guru. Namun, keberadaan UU tersebut seringkali disalahartikan. Artinya, UU Perlindungan Anak dijadikan “alat” untuk menjustifikasi kesalahan anak.
Kondisi ini tentu saja berdampak semakin sulitnya guru melaksanakan tugas kependidikan untuk menegakkan kedisiplinan, terutama membina kepribadian anak dengan akhlak yang terpuji. Selain UU Perlindungan Anak, untuk melindungi anak-anak Indonesia, negara juga mempunyai sebuah lembaga, yaitu Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Namun, sekali lagi eksistensi KPAI juga dijadikan sebagai alat untuk melegitimasi kesalahan anak.
Dalam dunia pendidikan kita mengenal adanya pemberian punishment (hukuman) dan reward (penghargaan). Keduanya itu merupakan salah satu alat pendidikan untuk meningkatkan prestasi dan menegakkan kedisiplinan di lingkungan sekolah. Namun, dengan adanya UU Perlindungan Anak dan KPAI, seakan dunia pendidikan kehilangan salah satu alat dalam melaksanakan proses pendidikan.
Sebab, seorang guru yang bertugas memberikan kedua hal tersebut mungkin ketakutan jika akan menjatuhkan punishment kepada siswa yang melanggar. Padahal, eksistensi reward dan punishment sangat penting dalam pencapaian tujuan pendidikan. Oleh sebab itu, harus ada keseimbangan antara keduanya. Artinya, jika melanggar, maka konsekuensinya adalah mendapat hukuman. Begitu pula sebaliknya, jika berprestasi, maka penghargaan menjadi alat untuk meningkatkan prestasi itu.
Seorang guru memiliki otoritas akademik di dalam kelas untuk menegakkan disiplin agar tercapai tujuan pembelajaran yang dilaksanakan. Namun, dengan adanya UU tersebut, otoritas guru dalam rangka menegakkan kedisiplinan akan hilang.
Sebab, yang seringkali terlupakan adalah alasan hukuman yang dilakukan guru. Oleh karena itu, perlu dilakukan uji materi ulang (judicial review) terhadap UU Perlindungan Anak, khususnya pasal 80, 81, dan 82. Sebab, belum tentu tindakan seorang guru murni kesalahannya, akan tetapi bisa saja akibat kesalahan yang dilakukan peserta didiknya.
Posisi yang Dilematis
       Dalam konteks ini, guru seringkali berada pada posisi yang dilematis, yaitu antara tuntutan profesi dan perlakuan UU yang berujung pada kemanjaan masyarakat. Maksudnya, di satu sisi guru diberikan kewajiban agar mampu menghantarkan peserta didik dalam mencapai tujuan pendidikan yang salah satunya adalah menjadikan generasi yang berkarakter (akhlak) baik.

1 comment:

Komentar Facebook