Wednesday, February 12, 2014

Fenomena kegelisahan orangtua dan guru-guru di Indonesia antara lain, tidak dapat menghukum muridnya dengan sanksi hukuman fisik.




BAGAIMANA CARANYA MEMUKUL ANAK YANG TIDAK MELANGGAR KUHP DAN HAM


KANDIDAT DOKTOR UIN SUSKA.  DRS.MHD.RAKIB, S.H.,M.Ag.  WIDYAISWARA LPMP. RIAU. 2014
ABSTRAK

            Fenomena kegelisahan orangtua dan  guru-guru di Indonesia antara lain, tidak dapat menghukum muridnya  dengan sanksi hukuman fisik. Siapa  yang melakukannya, tidak akan mendapatkan pelindungan hukum dari negara. Akibatnya anak-anak  cenderung menjadi semena-mena terhadap teman-temannya, bahkan guru-gurunya. Sedangkan menurut Hukum Islam, anak-anak boleh dikenakan sanksi fisik, terutama yang melalaikan  shalat dan puasa, atau melanggar aturan disiplin,  dengan  ukuran-ukuran yang telah  ditetapkan syari’at, tapi bukan berarti bertentangan dengan Hukum Perlidungan Anak RI secara diametra.

             Untuk menjawab persolan ini, penulis membuat penelitian melalui studi pustaka dengan menggunakan metode analisis, yang merupakan pengembangan  dari metode deskriptif. Fokus kajiannya  mendeskripsikan, membahas, mengkritisi dari sisi formal dan material terhadap Undang-Undang RI, Nomor 23 tahun 2002  yang dibandingkan dengan hukum Islam, sehingga mendapatkan temuan baru berupa hukuman fisik yang tidak dikategorikan kekerasan.  Dianalisis pula dengan kaedah fiqhiyah, ushul al-fiqhi  dan beberapa teori yang relevan.  Penulis temukan  teori Gunnoe dari Barat yang  memboleh anak-anak diberi sanksi pukulan ringan. Sejalan dengan  Hukum Islam, bahwa  anak tidak shalat, boleh dipukul  ringan  pada umur sepuluh tahun. Teori Marjorie Gunneo ini, secara tidak lansung, terkait dengan teori maslahah mursalah, dan teori Al-siyasah al-Syar’iyah..
ABSTRACT

           Anxiety of teachers in Indonesia, among others, can not punish students with physical punishment. Who did it, will not get legal protection from the state. As a result, children tend to become abusive towards her friends, even her teachers. Meanwhile, according to Islamic law, children should be penalized physical, especially the neglect of prayer and fasting, or breaking the rules of discipline, with the measures that have been established Shari'ah, but it does not mean that conflict with the Indonesian Child Protection Law diametra.

             To answer this issue, the authors make the research through library by using the method of analysis, which is the development of a descriptive method. Describe the focus of this study, discuss, criticize in terms of formal and material to the RI Act, No. 23 of 2002 as compared to Islamic law, so getting the new findings in the form of physical punishment is not considered violent. Also analyzed with kaedah fiqhiyah, usul al-Fiqhi and some relevant theories. I have found the theory Gunnoe of West memboleh kids sanctioned mild stroke. In line with Islamic law, that child does not pray, be struck lightly at the age of ten years. Marjorie Gunneo this theory, if only indirectly, related to the theory maslahah mursalah, maqashid al-Shari'ah, and the theory of Al-siyasah al-Syar'iyah..

Pendidikan dalam bahasa arab biasanya dikenal dengan istilah Tarbiyah. Kata tarbiyah sendiri berasal dari kata ربب ربى يربب yang artinya “ memperbaiki atau meluruskan “1. Secara singkat dari pengertian tersebut tugas seorang pendidik adalah memgajarkan, membimbing dan meluruskan tingkah laku anak agar sesuai dengan tuntutan masyarakat dan ajaran agama.

Dalam pendidikan orang tua juga mempunyai andil yang besar dalam membemtuk karakter seorang anak. Karena orang tua juga mempunyai kewajiban dalam mendidik anak dalam ranah nonformal, contoh saja dalam mendidik anak untuk melakukan sholat lima waktu. Orang tua disuruh untuk memukul anaknya apabila tidak melakukan kewajiban berupa sholat lima waktu. Begitu juga dalam pendidikan formal, seorang guru dituntut untuk mendidik dengan baik dan benar, contoh saja dalam mendidik, seorang guru tidak jarang melakukan kekerasan (pemukulan) terhadap murid yang overactif. Metode tersebut memang dibenarkan ketika anak tersebut sudah sangat keterlaluan dan susah untuk diatur. Namun sebenarnya dalam memukul anak didik ada batasanya.

Karena akhir – akhir ini banyak kita temukan kasus pemukulan seorang guru terhadap muridnya yang dilakukan dengan berdalil hukuman atas kesalahan bagi anak dan agar membuatnya jera. Namun terkadang hukuman pukulan tersebut dilakuakn tanpa memperhatikan kesalahan anak. Apakah pantas jika kesalahan sepele anak yang terjadi akibat kekurang hati-hatiannya, dia harus menerima hukuman atau pukulan yang kadang dapat mengganggu kejiwaan anak. Dan pantaskah seorang guru yang tindakannya selalu diikuti muridnya dan banyak disoroti oleh masyarakat melakukan tindakan arogan tersebut.

Oleh sebab itu, dalam makalah ini akan membahas tentang hukuman yang berkaitan dengan pemukulan dan batasan – batasannya sebagaimana yang diajarkan oleh rosulullah SAW. Dan semoga makalah ini akan memberikan pandangan baru untuk para pendidik dalam memberikan hukuman agar anak didik bisa berubah sebagaimana yang diharapkan oleh para pendidik.


Permasalahan
  1. Hadits tentang pukulan dalam mendidik anak !
  2. Analisis hadits tentang pukulan dalam mendidik anak !
  3. Apa saja kode etik dalam memukul anak yang bertujuan untuk mendidik ?
  4. Bagaimana kriteria alat pukul yang digunakan untuk mendidik anak?

Abu Daud (no. 495) dan Ahmad (6650) telah meriwayatkan dari Amr bin Syu'aib, dari bapaknya dari kakeknya, dia berkata, "Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
 مُرُوا أَوْلادَكُمْ بِالصَّلاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ ،
 وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ  (وصححه الألباني في "الإرواء"، رقم 247)
"Perintahkan anak-anak kalian untuk melakukan shalat saat usia mereka tujuh tahun, dan pukullah mereka saat usia sepuluh tahun. Dan pisahkan tempat tidur mereka." (Dishahihkan oleh Al-Albany dalam Irwa'u Ghalil, no. 247)
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam kitab Al-Mughni (1/357)
"Perintah dan pengajaran ini berlaku bagi anak-anak agar mereka terbiasa melakukan shalat dan tidak meninggalkannya ketika sudah baligh."
As-Subki berkata, "Wali bagi anak diwajibkan memerintahkan anaknya untuk melakukan shalat saat mereka berusia tujuh tahun dan memukulnya (apabila masih belum melaksanakan shalat) saat mereka berusia sepuluh tahun.Kami tidak mengingkari wajibnya perintah terhadap perkara yang tidak wajib, atau memukul terhadap perkara yang tidak wajib. Jika kita boleh memukul binatang untuk mendidik mereka, apalagi terhadap anak? Hal itu semata-mata untuk kebaikannya dan agar dia terbiasa sebelum masuk usia balig."
(Fatawa As-Subki, 1/379)
 Maka anak kecil dan budak anak kecil diperintahkan untuk melakukan shalat saat mereka berusia tujuh tahun dan dipukul saat mereka berusia sepuluh tahun. Sebagaimana mereka juga diperintahkan untuk berpuasa Ramadan dan dimotivasi untuk melakukan segala kebaikan, seperti membaca Al-Quran, shalat sunah, haji dan umrah, memperbanyak membaca tasbih, tahlil, takbir dan tahmid serta melarang mereka dari semua bentuk kemaksiatan.
Disyaratkan dalam masalah memukul anak yang tidak shalah yaitu pukulan yang tidak melukai, tidak membuat kulit luka, atau tidak membuat tulang atau gigi menjadi patah. Pukulan di bagian punggung  atau pundak dan semacamnya. Hindari memukul wajah karena diharamkan memukul wajah berdasarkan larangan Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Pukulan hendaknya tidak lebih dari sepulu kali, tujuannya semata untuk pendidikan dan jangan perlihatkan pemberian hukuman kecuali jika dibutuhkan menjelaskan hal tersebut karena banyaknya penentangan anak-anak atau banyak yang melalaikan shalat, atau semacamnya.
Dari Abu Burdah Al-Anshar, dia mendenar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Seseorang tidak boleh dipukul lebih dari sepuluh kali kecuali dalam masalah hudud (hukuman tetap) dari Allah Ta'ala." (HR. Bukhari, no. 6456, Muslim, no. 3222) 
Ibnu Qayim rahimahullah berkata,
"Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, 'Tidak boleh memukul lebih dari sepuluh kali kecuali dalam masalah hudud' maksudnya dalam hal jinayat (pidana kriminal seperti mencuri, dll) yang merupakan hak Allah.
Jika ada yang bertanya, "Kapan harus memukul di bawah sepuluh kali jika yang dimaksud hudud dalam hadits tersebut adalah jinayah?"
Jawabannya adalah saat seorang suami memukul isterinya atau budaknya atau anaknya atau pegawainya dengan tujuan mendidik atau semacamnya. Maka ketika itu tidak boleh memukul lebih dari sepuluh kali. Ini merupakan kesimpulan terbaik dari hadits ini." (I'lamul Muwaqqi'in, 2/23) 
Selayaknya hal tersebut dilakukan tidak di depan orang lain untuk melindungi kehormatan sang anak atas dirinya dan orang lain dari teman-temannya atau selainnya.
Juga hendaknya diketahui bahwa dalam perjalanan hubungan bapak dengan anak-anaknya dan pengajarannya bahwa sang bapak memukul sang anak semata-mata bertujuan agar dia taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Tujuannya semata-mata untuk kebaikannya secara sempurna dan perhatiannya dalam mendidiknya sesuai ketentuan syari agar jangan sampai timbul perasaan benci sang anak terhadap perkara syar'i yang berat dia lakukan dan karena meninggalkannya dia dipukul.
Syekh Ibn Baz rahimahullah berkata,
 "Perhatikanlah keluarga dan jangan lalai dari mereka wahai hamba Allah. Hendaknya kalian bersungguh-sungguh untuk kebaikan mereka. Perintahkan putera puteri kalian untuk melakukan shalat saat berusia tujuh tahun, pukullah mereka saat berusia sepuluh tahun dengan pukulan yang ringan yang dapat mendorong mereka untuk taat kepada Allah dan membiasakan mereka menunaikan shalat pada waktunya agar mereka istiqomah di jalan Allah dan mengenal yang haq sebagaimana hal itu dijelaskan dari riwayat shahih dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam."
(Majmu Fatawa Bin Baz, 6/46)
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata,
"Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah memerintahkan agar kita memerintahkan anak-anak kita melakukan shalat saat mereka berusia tujuh tahun, atau kita memukul mereka saat mereka berusia sepuluh tahun. Padahal ketika itu mereka belum berusia balig. Tujuannya adalah akar mereka terbiasa melakukan ketaatan dan akrab dengannya. Sehingga terasa mudah dilakukan apabila mereka telah besar dan mereka mencintainya. Begitupula dengan perkara-perkara yang tidak terpuji, tidak selayaknya mereka dibiasakan sejak kecil meskipun mereka belum balig, agar mereka tidak terbiasa dan akrab ketika sudah besar."
(Fatawa Nurun ala Darb, 11/386)
Beliau juga berkata,               
"Perintah ini bermakna wajib. Akan tetapi dibatasi apabila pemukulan itu mendatangkan manfaat. Karena kadang-kadang, anak kecil dipukul tapi tidak bermanfaat pukulan tersebut. Hanya sekedar jeritan dan tangis yang tidak bermanfaat. Kemudian, yang dimaksud pukulan adalah pukulan yang tidak melukai. Pukulan yang mendatangkan perbaikan bukan mencelakakan."
(Liqo Al-Bab Al-Maftuh, 95/18)
Beliau juga berkata,
"Tidak boleh dipukul dengan pukulan melukai, juga tidak boleh memukul wajah atau di bagian yang dapat mematikan. Hendaknya dipukul di bagian punggung atau pundak atau semacamnya yang tidak membahayakannya. Memukul wajah mengandung bahaya, karena wajah merupakan bagian teratas dari tubuh manusia dan paling mulia. Jika dipukul bagian wajah, maka sang anak merasa terhinakan melebihi jika dipukul di bagian punggung. Karena itu, memukul wajah dilarang."
Fatawa Nurun ala Darb (13/2)
Syekh Fauzan berkata,
"Pukulan merupakan salah satu sarana pendidikan. Sorang guru boleh memukul, seorang pendidik boleh memukul, orang tua juga boleh memukul sebagai bentuk pengajaran dan peringatan. Seorang suami juga boleh memukul isterinya apabila dia membangkang. Akan tetapi hendaknya memiliki batasan. Misalnya tidak boleh memukul yang melukai yang dapat membuat kulit lecet atau mematahkan tulang. Cukup pukulan seperlunya." Selesai dengan diringkas.
(Ighatsatul Mustafid Bi Syarh Kitab Tauhid, 282-284)
Penting juga diperhatikan bahwa pembinaan terhadap anak, bukan hanya karena dia meninggalkan shalat saja, tapi juga jika sikapnya meremehkan syarat-syaratnya, rukun-rukunnya dan wajibnya. Kadang sang anak shalat, tapi shalatnya dia jamak, atau dia shalat tanpa wudhu, atau tidak benar shalatnya. Maka ketika itu hendaknya diajarkan semua perkara shalat dan memastikan bahwa dia menunaikan kewajiban, syarat dan rukunnya. Jika mereka lalai dalam sebagiannya, maka kita kuatkan lagi nasehatnya, diajarkan terus menerus. Jika masih juga lalai, boleh diperingatkan dengan pukulan hingga shalatnya benar.

Kesimpulan
              Berdasarkan  analisis data,  masalah di awal artikel  ini, dapat ditarik kesimpulan  bahwa konsep  kekerasan pada hukuman fisik terhadap anak-anak menurut Hukum Islam ialah apabila memukul anak yang melalaikan shalat atau melanggar peraturan disiplin, menimbulkan bekas atau melampau batas kepatutan. Hukuman fisik  berupa pukulan ringan yang tidak berbekas dan tidak di tempat yang sensitif, bukan merupakan kekerasan. Hukum Islam  membolehkannya dalam batas-batas tertentu, karena ada makna filosofis yang terkandung di dalamnya:
1.   Sebagai upaya penegakkan disiplin, diawali dengan disiplin menegakkan shalat.
2. Mengantisipasi ketidaknyamanan dari kenakalan yang lebih berat, dan mengingatkan mereka tentang manfaat disiplin.
3.  Memiliki makna ketaatan dan kesetiaan terhadap ketentuan dari Allah dan Rasul-Nya.
            Sedangkan menurut konsep Undang-Undang  Nomor 23 Tahun 2002, semua hukuman fisik adalah kekerasan, dilarang dengan tegas diberlakukan  kepada anak- anak, karena  melanggar Hak Asasi Manusia. Guru dan siapapun lainnya di sekolah dilarang untuk memberikan hukuman fisik kepada anak-anak. Temuan penulis pada undang-undang ini ialah:
1. Tidak ada rincian tentang hukuman fisik dari  guru atau orang tua, mana yang termasuk kategori kekerasan, mana yang pula tidak.
2. Tidak mempertimbangkan hukum yang hidup di tengah masyarakat, khususnya tentang sanksi hukuman untuk mendisiplinkan anak-anak.
3. Tidak terjadi pertentangan antara UU Perlindungan anak Indonesia dan HAM Barat di satu pihak, dengan Hukum Islam di pihak lain, secara diametra. Hanya saja UU Perlidungan anak Indonesia mrupakan Lex generalis. Sedangkan hukum Islam lebih bersifat Lex specialis. Di samping itu, adanya fiqih dan ushul fiqih, sebagai alat menggali hukum permasalahan yang baru.
             Kekurangan studi ini  sebagai penelitian  pustaka ialah masih ada buku dan kitab-kitab yang berkaitan dengan hukumann fisik, yang belum sempat dilacak. Keterbatasan penulis  juga dalam  menyiapkan dana, untuk mendapatkan lebih banyak informasi. Penulis sudah berusaha semaksimal mungkin mengumpulkan berbagai informasi dari buku-buku yang terjangkau di perpustakaan, bahkan buku milik pribadi para dosen pembimbing dan informasi dari internet.  
   
B. Rekumendasi

             Agar implementasi hasil penelitian dalam  disertasi bidang hukum ini  dapat dilaksanakan,  penulis memberikan saran dan rekumendasi sebagai berikut:
1. Kepada Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama RI yang mengelola pendidikan, agar membuat aturan yang melindungi guru, karena belum ada undang-undang khusus tentang perlindungan guru dan dosen di Indonesia, pada saat penelitian ini dilakukan.
 2. Kepada para hakim  di  Pengadilan Negeri, yang akan memutuskan perkara antara guru dan murid tentang hukuman fisik, agar dapat mempertimbangkan ketentuan hukum adat yang hidup di tengah masyarakat, dan ketentuan Hukum Islam, yang dianut secara luas di Indonesia.
3. Kepada satuan pendidikan yang memberikan sanksi hukuman disiplin, kepada murid-muridnya, harus mempertimbangkan perlunya dibuat perjanjian khusus  yang tertulis antara para guru dan wali murid, tentang apa saja hukuman fisik yang akan diberikan, jika si murid, melakukan pelanggaran disiplin, juga tentang manfaatnya hukuman tersebut.

                                          
                                                  DAFTAR PUSTAKA

        A.A. Fyzee, Outline of Muhammadan Law,  New Delhi: Oxford University Press, 1981
A.Djazuli, Kaedah-Kaedah Fiqih dalam menuelesaikan Masalah Yang Praktis,  Jakarta,  Kencana Prenada Media Group, 2007.
Abbul Rahman Dahlan, Ushul Fiqhi, Penerbit Amazah, Jakarta, 2001
Abd Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh ttp.: Dar al-Qalam, 1978.
Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam,(terj) Jamaludin Miri Jakarta, 1994
Abdullah, A.S.  Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al Qur’an. Jakarta:  PT. Rineka Cipta. 1990.
Abu Abdillah Ahmad bin Ahmad Al-Asawi, Ensiklopedi Anak, Tanya-jawab A Sampai Z, (terj) Jakarta : Darus  Sunnah, 2008
Abudin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam Dan Barat, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2012.
Abul A’la al-Maududi, Kejamkah Hukum Islam, Jakarta : Gema Insani, 2001

Abu Ishaq asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, edisi Abdullah Darraz, Mesir: tnp., t.t.
Agung Wahyono dan Sin Rahayu, Tinjauan Tentang Pengadilan Anak Di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 1993.
Akh. Minhaji, Hukum Islam: Antara Sakralitas dan Profanitas (Perspektif Sejarah Sosial),Pidato Pengukuhan Guru Besar Sejarah Sosial Pemikiran Hukum Islam Pada Fakultas Shari’ah Tanggal 25 September , Yogyakarta: UIN, 2004
Akram Kasab, Memadukan nash dan akal Metode Yusuf Al-Qaradhawi, Jakarta : Pustaka    Al-Kausar, 2010
Al-Kitab, Ciluar, Bogor :  Percetakan Lembaga Al-Kitab Indonesia,  1982.
Al-Suyuthy Imam Jalaluddin Abd al-Rahman bin Abubakar, Al-Asbah wan Nazha’ir fi al-Furu’, Semarang : Karya Toha Putera: Tth.
Amiruddin dan Zainal AzikinPengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rajawali Press. 2004. .
 Andreas Kapardis, Psikologi dan Hukum (Psychology And Law).terj.Achmad Ali. Makassar, FH Unhas. Anom Surya Putra, 2003.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook