Thursday, February 27, 2014

Memang bersedekah, tapi masih korupsi...PUISI HUKUM RIMBA



PUISI HUKUM RIMBA

Memang dia, salat, tapi masih menipu
Memang bersedekah, tapi masih korupsi
Dia tidak melihat, lurusnya  jalan ini dihamparan nuansa jiwa yang mencari-cari…
Kekeringan itu menebar dahaga menyiksa pada keadaan dicerca hampa..

Tidak pernah memberi kesempatan orang lain berprestasi.
Diseberang sana raut-raut rakus mencakar-cakar bumi kebaikan sebagai hidangan penutup yang dianggap layak pada kekuaasaan maya akan dunia..

Otaknya otak Yahudi, menurut  cerita terlarang dibalik dinding-dinding kelam..

Benarkah kediaman itu disana?
Ataukah tempat ini yang terbaik yang seharusnya menjadi satu tempat melepaskan semua beban keadaan yang menimpa?

Tentang pencarian, tentang kebencian…
ketika perbandingan ini memberi satu makna berbeda Seperti hitam yang bukan pada nama kejahatan.. tapi nyaris selalu menerima tuduhan-tuduhan itu atasnya..

Kupeluk mendekap erat satu bayang diri yang menentang keadaan ini.. karna dikeadaannya sekarangkebenaran dikerajaan ini adalah kekuatan…
Rimba menebar hawa keajaiban yang menakjubkan, tetapi didalamnya selalu menentang keadilan selayak zahirnya…

Ketika kubuka mata jiwa…
Terbentanglah dihadapku sekarang “rimba” itu..

Aku dihidupkan dimasa-masa kekuatan, kekuasaan dan kebuasan adalah bentuk untuk keadilan dihari ini…

Sedangkan takaran timbangan keadilan hanya seibarat satu bayang-bayang hitam padanya.. Ada, tapi hanya ada pada diam dan keadaan menerima dalam tundukan pasrahnya..

Inilah “HUKUM  rimba”..
Inilah aku pada waktu ini..
Lalu benarkah jalan ini lurus seperti ini?
Apa keterpaksaanku menerima ini membiuskan racun-racun pertentangan pada alam fikirku?
Ah senja tak memandang bulan sebagai musuhnya, senja diam dimasa dia menafsirkan diri sebagai raja diantara kebenaran siang dan malam..
Seharusnya aku seperti senja..
Melerai pertentangan antara siang dan malam dengan menghadirkan satu rupa keindahan yang sempurna.. sehingga tak satupun diantaranya yang mampu menipu kekaguman pada bentuk pengingkaran…
Seharusnya aku seperti senja..

Tapi.. Aku hanya bisa menatap..
Diam tanpa polah tingkah..
Hina dihati menutup pintu-pintu kejujuran, menelan ujaran-ujaran kebenaran pada kebimbangan yang meraja..

Lalu bagaimana dengan mereka?
Apakah hanya aku yang berfikir bahwa tempat ku berdiri sekarang sudah dihuni “pemangsa-pemangsa” liar yang memangsa semua kebenaran dengan rakusnya?
Lalu melahirkan pemangsa-pemangsa ain dengan rupa yang jauh tak berbeda… seperti pada nama kebencian dan kebodohan..

Tidak…
Seharusnya tidak seperti ini..
Tapi.. kadang-kadang diam lebih baik menurut perkiraan kita..
Bukankah seperti itu teman?
Diam itu penyelamatan.. seperti itu kita memandang..
Tap pada keadaan sebenarnya ada Kekecewaan untuk ini memebebaskan pelarian-pelarian alasan yang akan menutupi sesaat kalau sebenarnya aku ini lemah… Ya kita terlalu lemah dalam “rimba” ini.

Sekarang apa yang kufikirkan?
Bukankah kedekatan naluri-naluri binatang dengan insting kekejaman hanya masalah waktudan perkembangan alam saja?
Dan bukankah naluri itu juga telah memulai hari per harinya pada masing-masing kita?

Liatlah pada “cermin” itu..
Dan kita akan tau kalau selama ini kita telah berdusta pada keadaan cerminan yang nyata disikap dan prilaku yang jauh dari kewajaran..
Mengapa? Kita mengetahui semua ini…
Hanya saja kita lebih kekepura-puraan yang dikala masa-masa kita berdiam diri sendiri ini justru menebar rasa sakit yang berlebih..
Liatlah kedalam cermin itu dalam-dalam…
Sampai kita menempatkan satu keberanian menjadi satu wajah pengakuan padanya..
“Cermin” ini bukan seperti kaca hias yang sering itempel pada lemari dan sisi-sisi jendela pada kamar kecil ku..

Cermin itu adalah Hati….

Hati lebih mencerminkan siapa aku..
Hati tempat tersuci pada jiwa-jiwa insan, Hati merajai semua rasa..
Dan dengan hati kita bisa merubah satu ketidakmungkinan menjadi sebuah harapan..
Cerminan hati adallah cerminan jiwa..
Ketika hati telah memberikan satu cerminan kepada kita maka itulah kita yang sebenarnya…

Siapa Kita?

Bercerminlah…..




Untuk : Tragedi Pembantaian Di Mejusi.. Lampung

RIP for all of victims…
Untuk semua keluarga.. Berdoalah mudah-mudahan keadilan itu masih ada dinegri kita..

Aku mencintai negaraku… AKu mencintai Indonesia ini..
Tapi aku benci ketika politik telah menganggap HAM adalah sebuah santapan lezat dari kerakusan mereka..
Negri ini mulai memasuki fase hukum yang berlaku dirimba belantara sana..

Aku benci saat ku hanya diam… Tanpa bisa berbuat apa,
Aku benci dengan lemahku…
Aku benci saat ku memilih diam, padahal jauh didasar hatiku mengutuk ini…


No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook