Wednesday, February 19, 2014

PENDIDIKAN MENJADI JALAN PEMISKINAN



PENDIDIKAN MENJADI JALAN PEMISKINAN DAN PENJAJAHAN TERSELUBUNG.

Pendidikan adalah jalan keluar dari lembah kemiskinan.

Pendidikan adalah ruang untuk insan berada setingkat lebih baik dari generasi sebelumnya. Pendidikan membawa keluar sumpahan malas dan ketidakyakinan diri dalam usaha menghapuskan stigma bodoh, tercecer, tertindas dan terpinggir. Teach For The Needs (TFTN) percaya setiap insan mempunyai potensi untuk dimajukan jika diberi peluang,” Hangat di pasaran!!

Miskin, Sebuah Fakta

JIKA TUAN MENCARI KUTU
JANGAN DICARI DEKAT BERAS
JIKA INGIN PENDIDIKAN BERMUTU
TANAMLAH PRINSIP KERJA KERAS
(M.Rakib Ciptakarya Pekanbaru Riau Indonesia)

Dari data Badan Pusat statistic (BPS) disebutkan bahwa angka kemiskinan di negeri ini mencapai 30,02 juta (12,49%). Ini adalah fakta statistik untuk menjadi acuan dan gambaran betapa angka kemiskinan masih betah bercokol di negeri ini. Angka miskin ini tentu merata di seluruh wilayah dipelosok negeri.
Lagi-lagi, kemiskinan merupakan faktor yang masih menjadi problem untuk dibenahi. Dalam kerangka pendidikan, kemiskinan selalu menjadi penghalang bahkan menjadi momok untuk mewujudkan misi pemerataan pendidikan itu sendiri. Sampai saat ini, diskriminasi pendidikan antara kaya, miskin seakan masih selalu ada. Selain angka kemiskinan yang masih tinggi bercokol, fakta semakin mahalnya biaya pendidikan tidak bisa dielakkan.
Untuk itulah, secara konstitusional, pengajaran, mencerdaskan hidup rakyat, mengatasi kebodohan, kemiskinan, sistem pengajaran nasional harus dan wajib mendapat perhatian utama dunia pendidikan kita, sebab selama berabad abad, penjajah telah mewariskan buta huruf, kebodohan dan keterbelajangan.
Bahkan, jika kita membuka lembaran sejarah, diskriminasi pendidikan formal amat terasa di zaman penjajahan. Hanya segelintir orang tertentu (itupun dari golongan ningrat, berduit, terpandang) yang bisa mengenyam pendidikan. Masihkah hal ini terjadi sekarang? Fakta sejarah dan fakta sekarang bisa kita jawab dengan nurani terbuka.
Putus, Sebuah Keharusan
Mendiknas RI, Mohammad Nuh, dalam kesempatan diskusi formal maupun non formal sering mengungkapkan bahwa antara pendidikan dan kemiskinan itu ibarat dua kutub yang saling berhubungan. Seringkali kemiskinan menjadi penyebab anak didik kehilangan kesempatan atau haknya untuk mengenyam pendidikan. Nah di sisi lain, pendidikan adalah tool untuk mencerdaskan bangsa yang mampu memutus mata rantai kemiskinan itu sendiri.
Melihat fakta kemiskinan di negeri ini, serta melihat fakta masih banyak anak- anak dari keluarga miskin yang kehilangan hak pendidikannya, maka memutus mata rantai kemiskinan melalui pendidikan adalah sebuah keharusan. Bahkan hal ini harus dilakukan dengan prinsip “Lebih cepat lebih baik”.
Maka, secara prosedural, cara yang bijak yang harus dilakukan pemerintah dalam konteks “memutus rantai kemiskinan melalui pendidikan” adalah dengan memberikan beasiswa untuk rakyat miskin. Nah, jika itu dilakukan, tentu kebijakan pemerintah yang sangat mulia tersebut harus diberikan apresiasi tinggi karena selama ini rakyat miskin telah terpasung oleh kemiskinannya untuk memperoleh pendidikan yang baik, termasuk mencari ilmu di perguruan tinggi. Akibat keterpasungan itulah realita yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin masih kerap terjadi di masyarakat kita. Bagaimana tidak, rakyat miskin tidak bisa memperoleh pekerjaan yang baik di pasaran kerja karena kalah bersaing dengan rakyat yang memperoleh pendidikan lebih baik.
Ketika sudah disepakati bahwa pendidikan merupakan tool canggih untuk memutus mata rantai kemiskinan, maka langkah kebijakan dari pemerintah dengan memberikan beasiswa tidaklah cukup. Masih diperlukan pro aktif dari masyarakat luas untuk mengatasi persoalan ini. Ada bebarap langkah dan strategi yang perlu diambil agar pemutusan mata rantai kemiskinan ini berjalan efektif.
Pertama, membangun kemauan kuat untuk sekolah. Tahap ini terlihat sederhana, namun sulit pada aplikasinya. Realitas mengatakan, tak sedikit orang yang memiliki dana melimpah namun malas melanjutkan sekolah, sebaliknya tak sedikit orang yang kekurangan malah memiliki kemauan kuat untuk sekolah. Lagi-lagi, tak sedikit pula yang memiliki kemauan sekolah namun terhalang oleh biaya dan akhirnya semangatnya luntur. Di sinilah dibutuhkan konsistensi kemauan kuat untuk sekolah. Sebab disadari atau tidak, kemuan kuat itulah yang mampu menghasilkan energi positif melanjutkan sekolah dan energi positif untuk terbukanya jalan mendapatkan biaya sekolah.
Kedua, membangun tradisi membantu. Pada konteks ini, tradisi menjadi donatur untuk memberikan sumbangan seikhlasnya untuk anak anak didik yang tidak mampu perlu diciptakan di segenap aspek lapisan masyarakat, tanpa melihat profesi atau posisi. Tradisi inilah yang diterapkan diberbagai negara maju seperti Japan, Amerika dan Negara maju lain. Dengan prinsip “mari maju bersama” atau “ayo maju bareng” akan mampu mendorong untuk saling membantu sesama dan tidak ada yang terpasung untuk maju.
Ketiga, pengembangan dan penguatan jejaring. Langkah ini perlu dilakukan untuk menciptakan ikatan-ikatan sosial. Dalam konteks ini, tentunya pembentukan lembaga-lembaga donatur beasiswa seperti Tunas Indonesia (TI) sangat diperlukan. Karena hal ini tentu akan menjadi tool yang mampu menguatkan jejaring ikatan sosial itu sendiri. Maka diperlukan ikatan yang lebih kuat antara lembaga donasi yang ada di pemerintah, organisasi masyarakat, organisasi mahasiswa dan lainnya.
        Keempat, kerja keras, Kerja cerdas dan kerja ikhlas. Pada konteks ini, seluruh komponen, baik pemerintah, swasta, kalangan cendekiawan, kalangan industri, media, bahkan kaum pelajar harus saling bahu membahu untuk menciptakan dan membentuk tradisi dengan memaksa diri dalam memajukan pendidikan dan memutus mata rantai kemiskinan dengan pendidikan. Kerja keras, kerja cerdas dan kerja ikhlas menjadi modal dasar untuk terus dipelihara, dipupuk dan dilaksanakan dengan baik agar masa depan pendidikan menjadi baik dan kemiskinan mampu diputus dengan pendidikan itu.
        Harus diakui, pendidikan merupakan tool untuk mencerdaskan bangsa bahkan untuk mengangkat derajat seseorang. Semakin baik pendidikan masyarakat kita maka otomatis tingkat kemiskinan semakin terputus. Dengan pendidikan yang baik yang itulah peluang mendapatkan pekerjaan layak akan mudah diraih.
Terlepas dari segala kekurangan sistem pendidikan di Indonesia, yang terkadang masih ikut menyumbangkan deret pengangguran, paling tidak usaha mencerdaskan bangsa dan memutus mata rantai kemiskinan lewat pendidikan harus terus dipupuk demi kajayaan bangsa dan masa depan bangsa yang gemilang. Bagaimanapun, pendidikan adalah modal positif masa depan bangsa.
Ada sebuah teka-teki sederhana namun menarik di kemukakan antara kemiskinan dan kebodohan,mana yang menjadi sebab pertama timbulnya akibat antara keduanya ?
Bila kebodohan menjadi sebab,kita bisa katakan kemiskinanlah yang akan menjadi akiba; jika kemiskinan yang menjadi sebab,kebodohan akan menjelma sebagai akibat.
Teka-teki ini bukan tanpa nalar,dan bukan pula sebuah usaha menyederhanakan persoalan.Memang,ada benarnya premis bahwa kemiskinan tidak selamanya mengakibakan kebodohan,namun faktanya di negeri ini hal itu terjadi.
Banyak orang miskin yang mengalami kebodohan atau mengalami kebodohan bahkan secara sistematis.Karena itu,menjadi penting bagi kita untuk memahami bahwa kemiskinan bisa mengakibatkan kebodohan,dan kebodohan jelas
identik dengan kemiskinan.

TIGA RIALITAS.

Untuk memutus rantai sebab akibat diatas,ada satu unsur kunci yaitu pendidikan.Karena pendidikan adalah sarana menghapus kebodohan sekaligus kemiskinan.Namun ironisnya,pendidikan dinegeri ini selalu terbentur oleh tiga realitas..
Pertama,Kepedulian pemerintah yang bisa dikatakan rendah terhadap pendidikan yang harus kalah dari urusan yang lebih strategis: Politik.

Bahkan,pendidikan dijadikan jargon politik untuk menuju kekuasaan agar bisa menarik simpati di mata rakyat.
Jika melihat negara lain,ada kecemasan yang sangat mencolok dengan kondisi sumber daya manusia ( SDM) ini.Misalnya,Amerika serikat.Menteri Perkotaan di era Bill Clinton,Henry Cisneros,pernah mengemukakan bahwa dia khawatir tentang masa depan Amerika Serikat dengan banyaknya penduduk keturunan Hispanik dan kulit hitam yang buta huruf dan tidak produktif.
Dalam dimensi lain,Marshal,seorang peneliti tenaga kerja Amerika Serikat,mengemukakan bahwa suatu bangsa tidak mungkin memiliki tenaga kerja bertaraf internasional bila seperempat dari pelajarnya gagal dalam menyelesaikan pendidikan menengah.Kecemasan yang sederhan,namun penuh makna,karena masyarakat Hispanik cuma satu diantara banyak etnis di Amerika Serikat.
Dan di negeri ini,kita bisa melihat adanya pengabaian sistematis terhadap kondisi pendidikan,bahkan ada kecenderungan untuk meng-anaktirikannya,dan harus kalah dari dimensi yang lain.
Kedua,penjajahan terselubung.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook