Monday, February 17, 2014

Kasus kasus baru, disebut Nawazil. Terasa sangat, amat ganjil



KASUS-KASUS BARU
Drs.H.M.Rakib, SH.,M.Ag.Ciptakarya Pekanbaru Riau
MENGENAL FIKIH NAWAZIL


          Kasus kasus baru, disebut Nawazil
                             Terasa sangat, amat ganjil
               Di zaman Nabi-nabi tak pernah hadir
Kini muncul, terus bergulir


Fiqh nawâzil terangkai dari dua kata yang memiliki makna berbeda yaitu fiqh dan nawâzil. Sebelum kita mengetahui makna fiqh nawâzil setelah dirangkai menjadi satu dan menjadi sebuah nama, maka terlebih dahulu kita sebaiknya mengetahui makna dua kata tersebut.

Fiqh, secara bahasa berarti memahami, sedangkan menurut istilah artinya memahami hukum-hukum syari'at yang berkaitan dengan amal perbuatan berdasarkan dalil-dalil rinci dari al-Qur'ân dan hadits.

Nawâzil adalah bentuk plural dari kata nâzilah yang memiliki makna asal "yang turun atau yang mampir." Namun kata ini sudah menjadi sebuah nama bagi bencana yang menimpa. Dari sini kemudian kita kenal qunut nâzilah.

Kemudian kata ini terkenal penggunaannya di kalangan Ulama ahli fiqh untuk menggambarkan suatu permasalahan baru yang terjadi di tengah umat dan menuntut adanya ijtihâd dan penjabaran hukum.

Makna ini terfahami dari perkataan beberapa Ulama, misalnya, perkataan Ibnu Abdil Barr rahimahullah, dalam kitab Jâmi' Bayânil 'ilmi wa fadhluhu :

بَابُ اجْتِهَادِ الرَّأْيِ عَلَى الأُصُوْلِ عِنْدَ عَدَمِ النُّصُوْصِ فِي حِيْنِ نُزُوْلِ النَّازِلَةِ

Sebuah bab tentang berijtihâd dengan akal berdasarkan kaidah-kaidah pokok saat tidak ada (keterangan) dari nash-nash (al-Qur'ân dan Sunnah) ketika nâzilah (permasalahan baru yang menuntut ijtihâd dan penjabaran hukum-pent) terjadi.

Juga perkataan Imam Nawawi rahimahullah saat menjelaskan salah satu sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

... وَفِيْهِ اجْتِهَادُ الأَئِمَّةِ فِي النَّوَازِلِ وَرَدُّهَا إِلَى الأًصُولِ

… dalam hadits ini terdapat (pelajaran) tentang kebolehan para pemimpin melakukan ijtihad pada masalah-masalah baru dan mengembalikan permasalahan ini kepada kaidah-kaidah pokok[1]

Juga Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan : "Ini sebuah fasal yang menjelaskan bahwa para Sahabat Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan ijtihâd pada nawâzil (perkara-perkara baru yang sedang terjadi)[2] .

Makna inilah yang diinginkan dalam kalimat fiqih nawâzil.

Jadi fikih nawâzil adalah

مَعْرِفَةُ الأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ لِلْوَقَائِعِ الْمُسْتَجِدَّةِ الْمُلِحَّةِ

memahami hukum-hukum syari'at terkait dengan kejadian-kejadian baru yang mendesak.

Kesimpulan dari pengertian di atas adalah bahwa sebuah permasalahan dapat dikategorikan nawâzil apabila :

a. Sudah terjadi. Ini berarti permasalahan yang belum terjadi tidak bisa dikategorikan nawâzil. Namun permasalahan yang ditengarai besar mungkinan akan terjadi sebaiknya dibahas dan diperhatikan.

b. Baru, maksudnya permasalahan ini belum pernah terjadi sebelumnya. Peristiwa yang merupakan pengulangan dari peristiwa yang sudah terjadi sebelumnya, tidak bisa dimasukkan nawâzil.

c. Syiddah, maksudnya permasalahan ini menuntut segera ditetapkan hukum syari'at [3] . Kejadian-kejadian baru tidak dikategorikan nawâzil jika tidak menuntut dan memerlukan hukum syari'at. Misalnya kejadian-kejadian baru, yang hanya memerlukan analisa tenaga medis, seperti keberadaan penyakit baru. Juga terkait dengan kekacauan ekonomi dan suhu politik suatu negara. Kedua contoh ini tidak bisa dikategorikan nawâzil.

Juga, kejadian-kejadian baru yang tidak terjadi di tengah masyarakat Muslim. Ini juga tidak bisa dikategorikan nawâzil, kecuali jika jika dikhawatirkan akan terjadi di tengah masyarakat Muslim.

(Diangkat oleh Ahmad Nusadi dari kitab Nawazil 1/18-25 karya Muhamamad Husain al-Jizani)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIII/1430H/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Syarah Shahîh Muslim 1/213. perkataan ini disebutkan saat menjelaskan sabda Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam :

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ...

[2]. I'lâmul Muwaqqi'în 1/203
[3]. Yang perlu diperhatikan


SEBAB TERJADINYA NAWAZIL


Setiap zaman memiliki nawâzil (kasus-kaus baru) yang khusus. Pada zaman ini perkembangan nawâzil begitu cepat. Kemungkinan penyebabnya kembali kepada dua perkara:

Pertama: Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Kemajuan Tekhnologi.
Abad ini telah terjadi revolusi teknologi yang sangat besar. Dengan adanya penemuan tenaga listrik maka sarana-sarana transportsi-pun berubah, yaitu dengan diciptakan mobil, pesawat terbang dan kereta api. Berkembang pula sarana-sarana komunikasi, informasi, dan pengajaran; ditandai denan pengadaan telepon, radio, komputer, parabola dan internet. Dikembangkan pula alat-alat medis modern yang belum dikenal sebelumnya, Sebagaimana juga ditemukan juga berbagai nutrisi dan obat-obat baru yang bisa dipergunakan pada manusia, hewan dan tanaman. Berbagai perkembangan yang mengagumkan ini memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap terjadinya nawâzil dan masalah-masalah yang muncul.

Kedua: Penyimpangan.
Yaitu sikap manusia yang kurang konsekwen dalam menjalankan hukum-hukum agama. Akibat dari perbuatan mereka yang kurang konsekwen itu atau bahkan ini merupakan wujud dari tidak konsekwenan mereka yaitu bermewah-mewah dalam berbagai kenikmatan seperti ; makanan, perumahan, kendaraan, pakaian; tersibukkan dengan berbagai permainan, usaha memperbanyak pemasukan dan tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir. Kondisi seperti ini telah diisyaratkan dalam perkataan ‘Umar bin Abdul Azîz rahimahullah : “Permasalahan-permasalahan akan bermunculan seukuran dengan penyimpangan yang dilakukan manusia”.[1]

HUKUM IJTIHAD PADA NAWAZIL
Melakukan Ijtihâd dalam nawâzil hukumnya wajib kifayah bagi umat ini. Namun terkadang menjadi wajib ‘ain bagi orang-orang (Ulama-pent) yang ditugaskan untuk mengkaji berbagai nawâzil. Bagi orang-orang ini, mengkaji nawazil hukumnya wajib ‘ain pada mereka itu.[2]

Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah menyebutkan bahwa mayoritas Ulama tidak suka memikirkan masalah-masalah yang belum terjadi, dan (membenci) memperpanjang pembicaraan tentang sesuatu yang belum terjadi. Mereka menilainya sebagai perbuatan menyibukkan diri dengan sesuatu yang tidak bermanfaat.[3]

Tentang hal ini ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam ad-Dârimi di dalam Sunannya, 1/49, dari Wahb bin ‘Umair, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَعْجَلُواْ بِالْبَلِيَّةِ قَبْلَ نُزُوْلِهَا فَإِنَّكُمْ إِنْ لاَ تَعْجَلُوْهَا قَبْلَ نُزُوْلِهَا لاَ يَنْفَكُّ الْمُسْلِمُونَ وَفِيهِمْ إِذَا هِيَ نَزَلَتْ مَنْ إِذَا قَالَ وُفِّقَ وَسُدِّدَ وَإِنَّكُمْ إِنْ تَعْجَلُوْهَا تَخْتَلِفْ بِكُمْ اْلأَهْوَاءُ فَتُأْخَذُوْا هَكَذَا وَهَكَذَا وَأَشَارَ بَيْنَ يَدَيْهِ وَعَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ

Janganlah kamu tergesa-gesa (membicarakan) suatu masalah sebelum masalah itu terjadi ! Sesungguhnya jika kamu tidak tergesa-gesa (membicarakan) masalah sebelum masalah itu terjadi, maka ketika masalah itu terjadi, di kalangan kaum Muslimin itu akan selalu ada orang yang diberi taufiq dan benar jika dia berbicara. Namun jika kalian tergesa-gesa (membicarakan) masalah itu (sebelum terjadi -pent), maka hawa nafsu-hawa nafsu akan menjadikan kalian saling berselisih. Kalina akan diseret ke sana dan ke sana”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk ke arah depan, ke kanan, dan ke kiri”.

Oleh karena itu di antara syarat-syarat permasalahan yang boleh diijtihâdkan, adalah masalah-masalah tersebut telah terjadi di kalangan kaum Muslimin. Sedangkan masalah-masalah yang belum terjadi, maka terkadang melakukan ijtihâd pada masalah itu hukumnya makruh, dan terkadang haram. Demikian pula tidak wajib mengkaji masalah-masalah yang hanya terjadi di tengah masyarakat kafir, seperti masalah bank sperma.

URGENSI IJTIHAD PADA NAWAZIL
Melakukan Ijtihâd pada nawâzil zaman sekarang ini terlihat urgensinya pada point-point berikut ini :

1. Menjelaskan bahwa syari’at ini cocok untuk setiap zaman dan tempat, dan menjelaskan bahwa syari’at Islam ini merupakan syari’at yang kekal serta bisa memberikan solusi yang mujarab terhadap semua problem dan masalah yang rumit.

2. Membangkitkan dan mengingatkan umat ini terhadap bahaya berbagai masalah yang menimpa kaum Muslimin. Juga hal-hal yang sangat bertentangan dengan kaedah-kaedah dan tujuan-tujuan agama Islam. Dan Sangat disayangkan bahwa permasalahan-permasalahan itu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat Islam sedangkan hakekat (hukum) syari’at terhadap permasalahan-permasalahan itu telah hilang dari mayoritas kaum Muslimin di zaman ini.

3. Memberikan hukum-hukum syari’at yang sesuai pada masalah-masalah yang baru muncul tersebut merupakan tuntutan dan seruan yang tegas menuju penerapan hukum syari’at di dalam seluruh sisi kehidupan. Hal itu merupakan penerapan praktis yang akan menampakkan keindahan Islam dan menunjukkan ketinggian aturan-aturannya.

4. Adanya kebutuhan untuk mewujudkan informasi lengkap berdasarkan petunjuk syari’at Islam yang mencakup permasalahan-permasalahan zaman ini dan masalah-masalah yang baru.

5. Tidak diragukan bahwa dengan memberikan hukum-hukum syari’at yang sesuai pada masalah-masalah yang baru muncul di setiap zaman tersebut merupakan tugas utama dalam tajdîd agama (pembaharuan menuju syari’at), dan menghidupkan rambu-rambu tajdîd yang telah pudar.

(Diterjemahkan dari kitab Fikih Nawazil 1/23-34 oleh Ustadz Abu Ismail Muslim al-Atsari)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIII/1430H/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat: Al-Muntaqa Syarhul Muwath-tha, karya al-Bâji, 6/140
[2]. Lihat: Al-Majmû’ Syarhul Muhadz-dzab, 1/28, 45
[3]. Lihat: Jâmi’ Bayânil Ilmi wa Fadh-lihi, 2/139; I’lâmul Muwaqqi’în, 1/69; Jâmi’ul Ulûm wal Hikam, 1/240-252; dan Syarhul Kaukabil Munîr, 4/584-588

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook