Sunday, February 23, 2014

ISTILAH-ISTILAH DALAM USHUL FIQIH Mr.Rakib Ciptakarya Pekanbaru Riau Indonesia



AKU BELAJAR ISTILAH-ISTILAH
DALAM USHUL FIQIH
Mr.Rakib Ciptakarya Pekanbaru Riau Indonesia

Dahulu, tahun 1970-an penulis di Airtiris Kampar belajar kitab Bidayatul Ushul, susunan Syech Sulaiman Al-Rasuli, setelah itu buku ini tidak dipegang-pegang lagi, karena penulism kuliah Fak.Tarbiyah,tapi setelah kuliah di program S 3 Hukum Islam, buku yang dilupakan itu muncul kembali, bahkan ditambah dengan kitab ushul karangan Al-Gazali dan kemudian al-Imam asy-Syathibi dianggap sebagai ulama pembaharu di wilayah Granada (spanyol), ia berhasil mentransformasikan ushul al-fiqh dari karakter dzanni ke qath’i, dari basis retoris (bayani) ke nalar argumentatif (burhani), dan dari kecenderungan teosentris ke teo-antroposentris humanis ‘ala mu’tazili. Kinerja al-Imam asy-Syathibi dalam memuncul ide-ide segar ini, termotivasi dari banyaknya praktek ritus keagamaan yang ia anggap sebagai bentuk penyelewengan terhadap ajaran Islam, yakni menyimpang dari maqashid asy-syari’ah.

Dalam penelitian ini, penulis akan berupaya untuk menelusuri dan menyingkap konsep maqashid asy-syari’ah dari kedua ulama’ yang dianggap kontroversial tersebut. Pemikiran al-Ghazali dianggap mewakili kaum ortodoksi, sedangkan asy-Syathibi, dianggap sebagai pembaharu dalam pemikiran hukum Islam yang mewakili kaum modernis. Menurut hemat penulis, kedua ulama’ ini gagasan-gagasan mengenai konsep maqashid asy-syari’ah sangat berharga bagi pengembangan dan kelestarian hukum Islam ditengah-tengah masyarakat yang sarat dengan perbedaan.

      Untuk memenuhi kebutuhan analisis teks, ushul fiqh menghadirkan kaidah-kaidah kebahasaan yang luar biasa rumit sekaligus menarik. Dimulai dari kategori lafadz (kata) al-‘am, al-khās, al-mutlaq, al-muqāyyad, al-amr, al-nahi, al-musytarāk, al-muawwal, al-haqiqāh, al-majaz, al-kinayah, ad-dhāhir, an- nash, al- mufassar, al-muhkam, al-khāfi, al-musykil, al-mujmal dan al-mutasyabih sampai pada teori kalimat yang terdiri dari al-manthuq, al-mafhum, ibarāh al-nash, isyarāh al-nash, dalalah al-nash dan iqtidhā’ al-nash.

       Teori-teori tersebut dapat digunakan untuk membuka sekian makna-makna teks yang masih tersembunyi. Bukankah, ucap Ali ra, al-Qur’an hammalu aujuh, mengusung banyak kemungkinan arti? Arti-arti yang menggenang bagai air lautan yang terkungkung dalam celah-celah teks hanya dapat dibaca dengan berbagai macam teori. Nah, ushul fiqh menyediakan teori-teori tersebut.
Suatu hal yang tidak kalah pentingnya adalah analisis maqāsid al-syariah sebagai tujuan substanstif kehadiran aturan hukum. Ulama terkemuka seperti al-Ghāzali (W. 504 H), ath-Thufi (W. 716 H) dan juga asy-Syātibi (W. 780 H) telah memberikan eksplorasi menarik dan mendalam atas wacana ini. Sekalipun konsep maslakhah mereka masih terkesan teosentris namun ada setitik cahaya yang dapat kita gunakan sebagai lentera untuk membangun maslakhah yang lebih manusiawi dan memberikan jaminan kesejahteraan pada seluruh umat manusia.

Di sisi lain ushul fiqh mempersiapkan metode-metode alternatif lain ketika problem kemanusiaan tidak dapat dicukupi secara langsung oleh teks setelah dilakukan pembacaan secara konprehensif. Istihsan , al-urf, al-qiyas, sadd al-dzari’ah, maslahah al-mursalah adalah sebagian metode alternatif itu. Metode yang pertama dan yang kedua ini tidak bersifat hirarkis, melainkan berjalan beriringan dan saling melengkapi.

Sudah saatnya fiqh dibangun bukan hanya berangkat dari teks suci dan bukan semata berpijak pada realitas empiris tetapi dengan cara mendialogkan terus-menerus antara dimensi teks dan realitas kemanusiaan. Ushul fiqh layak digunakan sebagai alat baca dialektika tersebut. Sudah saatnya ushul fiqh bukan hanya dibaca di ‘alep barakahnya’ tetapi divitalkan untuk membangun fiqh yang akomodatif terhadap kebutuhan umat manusia. Selama ini ushul fiqh belum – kalau tidak dikatakan tidak sama sekali – digunakan sebagi metode ijtihad di Indonesia. Organisasi-organisasi keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah yang dikenal memiliki tokoh-tokoh cerdas (ulama) belum benar-benar menggunakan metode ushul fiqh dalam perhelatan ilmiah mereka. Bahtsul masa’il di tingkat manapun masih diramaikan dengan perburuan-perburuan rujukan kitab klasik sekalipun kadang terlalu dipaksakan. Bahkan tak jarang terdapat beberapa persoalan yang mauquf (dasar hukumnya  tidak ditemukan dalam rumusan tekstual fiqih). 

Sebab bagaimanapun rumusan fiqih yang dikonstruksikan ratusan tahun lalu jelas tidak memadai untuk menjawab semua persoalan yang terjadi saat ini. Situasi sosial, politik dan kebudayaannya sudah berbeda. Dan hukum sendiri harus berputar sesuai dengan ruang dan waktu. Maka disinilah diperlukanya “fiqih baru” yang mengakomodir permasalahan-permasalahan baru yang muncul dalam masyarakat. Dan untuk itu kita harus kembali ke manhaj yakni mengambil metodologi yang dipakai ulama dulu dan ushul fiqih serta qawa’id (kaidah-kaidah fiqih).
Dengan kembali menjadikan ushul fiqh sebagai metode ijtihad (bermadzhab secara manhaji), fiqh akan menjadi lebih membumi dan manusiawi dari pada fiqh yang ada saat ini.

Simpulan
Dari uraian di atas tampak jelas bahwa salah satu dari lima ciri pokok fiqh social – fiqh yang dapat “membela” aspek social masyarakat saat ini – sesuai hasil rumusan dari serangkaian halaqah NU bekerja sama dengan RMI dan P3M adalah bermadzhab secara manhaji. Yaitu dengan mendalami kajian usul fiqh dan qawaidul fiqh sebagai metodologi pemutusan hukum terkait dengan problematika aktual yang belum sempat terpikirkan oleh ulama’ terdahulu. Karena dengan kedua kajian itulah ulama’-ulama’ salaf menghasilkan dan memutuskan hukum.
Semoga lembaga-lembaga keagamaan kita, seperti “Majelis Tarjih” Muhammadiyyah, dan “Majlis Bahtsul Masail” Nahdlatul Ulama’ mampu menutupi kelemahannya masing-masing. Seperti yang diungkapkan oleh Rifyal Ka’bah, dalam hasil penelitiannya bahwa kelemahan “Majlis Tarjih” Muhammadiyyah dalam metode penetapan hukum antara lain bahwa, majlis ini, cenderung kurang memperhatikan pendapat-pendapat para ulama’ terdahulu, dan mengklaim bahwa keputusan yang ada merupakan hasil ijtihad-ijtihad majlis yang langsung disandarkan kepada Al-qur’an dan Al-Hadist.
Sementara itu “Majlis Bahtsul Masail” Nahdlatul Ulama’ cenderung hanya mencukupkan diri pada pendapat-pendapat para ulama’ terdahulu (memberlakukan secara dinamis nash-nash fuqaha) dan kurang memperhatikan sumber pokok, yaitu Al-qur’an dan Al-Hadist. Sedangkan  untuk melakukan istimbath yang cenderung ke arah perilaku ijtihad oleh ulama NU dirasa sangat sulit, karena keterbatasan-keterbatasan yang disadari oleh mereka. Terutama di bidang ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap yang harus dikuasai oleh yang namanya muj’tahid.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook