Sunday, August 24, 2014

dimaksud dengan lafal فا ضربوه عليها adalah ketika



MUHAMMAD RAKIB  LPMP BELAJAR HADITS ABU DAUD
DESKRIPSI HADITS ABU DAUD
TENTANG METODE MENGHUKUM
ANAK TIDAK DISIPLIN
( Dalam Sunan Abu Daud juz I Hadits No.494 )


A.     Teks Hadits dan Terjemah

حد ثنا محمد بن عيسى – يعني ابن الطباع – حدثنا إبراهيم بن سعد
عن عبد الملك بن الربيع بن سبرة عن أبيه عن جده قال قال رسول
الله صلى الله عليه وسلم : (مروا الصبي بالصلاة إذا بلغ سبع سنين،
وإذا بلغ عشر سنين فاضربوه عليها). (رواه ابو داوود) 1
"Kami mendapatkan Hadits dari Muhammad bin Isa yaitu Ibn Al Thaba’, kami
mendapatkan Hadits dari Ibrahim bin Sa’ad dari Abdul Malik bin Al Rabi’ bin
Sabrah dari ayahnya dari kakeknya berkata Rasulullah SAW
bersabda:Suruhlah anak-anak mengerjakan shalat, apabila telah berumur tujuh
tahun dan pukullah dia karena meninggalkan apabila berumur sepuluh tahun".
(HR. Abu Dawud Hadits No.494)
B. Kandungan Hadits
Secara umum pokok pikiran dalam Hadits diatas adalah berkenaan
dengan perintah mengajarkan atau mendidik shalat seorang anak. Dalam
Hadits diatas juga mengandung maksud bahwa seorang anak kecil yang telah
sampai umur 7 tahun, jika mumayyiz diperintah atas dasar sunnah
mengerjakan shalat. Dan jika mereka telah berumur 10 tahun , maka wajiblah
diperintahkan untuk mengerjakan shalat dan jika mereka dengan enggan maka
dipukul.
Al-Hafidh Ibn Al Qoyyim al-Jauziyah dalam karyanya sejarah sunan
Abu Daud, yaitu ‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abu Daud2, menjelaskan
bahwa yang dimaksud مروا الصبي adalah perintah supaya menyuruh anak-
1Imam Abu Daud, Sunan Abu Daud , Juz., I, (Beirut: Darul Fikr,tth), hlm.119.
2A Haffidh Ibn Al Qoyyim Al Jauziyah, ‘Aun Al-Ma’bud, (Beirut: Dar Al-Fikr, tth), hlm.
123-124.
35
anak kalian untuk melaksanakan shalat adalah suatu bentuk amar atau perintah
bagi orang tua, wali atau pendidik untuk mendidik anak-anaknya, baik lakilaki
maupun perempuan untuk melaksanakan shalat (berkaitan dengan syaratsyarat
hingga rukun melaksanakan shalat). Bukan hanya anak kecil yang
harus diperintah melaksanakan shalat oleh walinya, tetapi wali juga wajib
menyuruh shalat kepada semua orang yang mempunyai kewajiban hak
kewalian, yaitu dari saudara yang dekat atau jauh.
Adapun di dimaksud dengan lafal فا ضربوه عليها adalah ketika
mereka meninggalkan shalat, tatkala usia mereka sudah menginjak 10 tahun
atau sudah mendekati, maka pukullah mereka sebagai hukuman atau pelajaran.
Hal tersebut berkenaan dengan masa usia balig, sehingga taklif (pemberian
beban syari'at agama yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim dan ketika
meninggalkan syari'at tersebut, maka berhak mendapatkan dosa atau
hukuman) sudah diberlakukan.
Jumhur ulama juga berpendapat bahwa perlunya perintah
melaksanakan (pendidikan) shalat sejak dini, yaitu umur 10 tahun dan
memukulnya ketika meninggalkannya adalah sebagai bentuk pengajaran serta
hukuman bagi siapa saja yang meninggalkan syari'at (shalat) yang telah
diperintahkan Allah kepada hamba-Nya, tanpa alasan yang jelas dan dapat
diterima.
Hadits diatas memerintahkan bahwa anak umur 10 tahun yang belum
mau mengamalkan shalat harus dipukul. Pukulan itu adalah sebagai hukuman.
Ini bukannya suatu tindakan yang kejam, karena menurut penjelasan para ahli
agama hukuman pukul bagi anak tersebut tidak boleh lebih dari tiga kali dan
dengan alat pemukul yang kecil sehingga tidak sampai membawa penderitaan
fisik bagi si anak 3. Lagi pula, sebelum hukuman pukul itu dilaksanakan,
hendaklah telah dipergunakan segala cara dan taktik bagaimana agar si anak
mau shalat. Ia diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya, sehingga
cara-cara yang keras dari orang tua dihindari terlebih dahulu.
3Umar Hasyim, Cara Mendidik Anak dalam Islam, (Surabaya : Bina Ilmu, 1982), hlm.109.
36
C. Kualitas Hadits Menurut Ahli Hadits
Meneliti suatu kebenaran hadits (berita), merupakan sebagian dari
upaya membenarkan yang benar dan membatalkan yang batil. Kaum muslimin
sangat besar perhatiannya dalam segi ini, baik penetapan suatu pengetahuan
atau pengambilan suatu dalil. Apalagi jika hal itu berkaitan dengan riwayat
hidup Nabi mereka, atau ucapan dan perbuatan serta ketetapan yang
dinisbahkan kepada beliau yang pada tahap selanjutnya oleh muhadditsin
disebut hadits.
Sejak masa-masa yang lama sekali, umat Islam memelihara
peninggalan Nabi Muhammad saw., menjaganya dari segala persangkaan
negatif dan menganggap kebohongan yang dilakukan oleh siapa saja berkaitan
dengan beliau sebagai jalan menuju azab yang kekal di neraka. Hal ini
mengingat hal itu adalah bagian dari pemalsuan terhadap agama serta
pendustaan keji terhadap Allah dan Rasul-Nya. Nabi saw. bersabda :
Kebohongan yang dilakukan berkaitan dengan aku (yakni tentang ucapan dan
perkataan beliau) tidaklah sama dengan kebohongan yang berkaitan dengan
siapapun selain aku. Barang siapa berbohong tentang aku secara sengaja,
hendaknya ia bersiap-siap menduduki tempatnya di neraka.
Para ulama sepakat bahwa hadits Nabi saw., adalah sumber ajaran
Islam yang kedua setelah al-Qur’an.4 Ditinjau dari segi periwatannya, hadits
Nabi berbeda dengan al-Qur’an. Untuk mengetahui apakah hadits tersebut
berasal dari Nabi saw. atau tidak, maka perlu adanya suatu penelitian terhadap
hadits tersebut. Hal itu dilakukan untuk mengetahui keorisinilannya atau
keotentikannya serta sejauh mana periwayatannya dapat
dipertanggungjawabkan, baik dari segi sanad (periwayatannya) maupun
matannya (materinya).
4Untuk Al-Qur’an, semua periwayatan ayat-ayatnya berlangsung secara mutawatir, yaitu
tatabu’ (berurut), sedangkan hadits Nabi saw., sebagian periwayatannya berlangsung secara
mutawatir, yaitu berita yang diriwayatkan oleh orang banyak pada setiap tingkat periwayat, mulai
dari tingkat sahabat sampai dengan mukharrij, yang menurut ukuran rasio dan kebiasaan mustahil
para periwayat yang jumlahnya banyak itu bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta. Sebagian
lagi diriwayatkan secara ahad, yaitu apa yang diberitakan oleh orang-orang yang tidak mencapai
tingkat mutawatir. Lihat M. Syuhudi, Ismail, Metodologi Penelitian Hadits, Jakarta, Bulan
Bintang, 1992, hal. 3-4
37
Hal ini diperlukan mengingat pada dasarnya hadits-hadits yang ditulis
dalam beraneka macam “Kitab Hadits”, serta beraneka macam metode atau
sistematika penulisan yang berupaya mengungkapkan bahasa lisan, perbuatan,
dan ketetapan Nabi saw—yang pada saat itu belum dibukukan—menjadi
bahasa tulisan. Pada masa itu Nabi saw. mengucapkan, melakukan dan
menetapkan segala sesuatu yang bersifat informal (uswatun hasanah) yang
disaksikan oleh para sahabat yang tidak menutup kemungkinan adanya salah
penafsiran atau interpretasi terhadap Hadits Nabi saw. atau hadits itu
diungkapkan dengan bahasa yang tidak sama dengan bahasa Nabi saw. serta
adanya Hadits-hadits palsu bahkan adanya periwayatan Hadits secara makna.
Inilah yang melatarbelakangi perlunya penelitian Hadits, yang nantinya akan
kita jadikan hujjah; apakah Hadits tersebut dapat kita jadikan sebagai hujjah
atau tidak.
Para muhadditsin telah menetapkan lima persyaratan untuk menerima
Hadits-hadits Nabi saw. tiga syarat berkenaan dengan sanad (mata rantai para
perawi) dan dua berkenaan dengan matan (materi hadits).
1. Setiap perawi dalam sanad suatu hadits haruslah seorang yang dikenal
sebagai penghafal yang cerdas, teliti, dan benar-benar memahami apa yang
didengarnya. Kemudian ia meriwayatkannya setelah itu, tepat seperti
aslinya.
2. Perawi haruslah orang yang mempunyai kepribadian yang baik, bertakwa,
serta menolak dengan setiap pemalsuan dan penyimpangan.
3. Kedua syarat di atas haruslah dimiliki oleh perawi. Jika hal itu tidak
terdapat padanya maka hadits yang diriwayatkan tidak dianggap shahih.
4. Matan tidak syadz (yaitu perawinya bertentangan dalam periwayatannya
dengan perawi lainnya yang dianggap lebih akurat dan lebih terpercaya).
5. Hadits yang diriwayatkan harus bersih dari ‘illah qadihah (yakni cacat
yang di ketahui oleh muhadditsin).5
Dalam penelitian hadits, penulis merasa tertarik untuk meneliti satu
Hadits tentang “metode pendidikan yang terdapat dalam perintah melakukan
5Syaikh Muhammad Al-Ghazali, Studi Kritis Atas Hadits, Mizan, Bandung, 1996, hal.25-6
38
shalat terhadap anak”. Penelitian ini hanya meliputi penelitian sanadnya saja,
yang dilakukan terhadap satu mata rantai dari Sulaiman bin Al-Asy’ats Al-
Sijistani (Abu Daud). Setelah dilakukan takhrij ternyata Hadits di atas terdapat
dalam “Sunan Abu Daud Hadits No.494” juz I halaman 119 serta dalam kitab
‘Aun Al-Ma’bud: Syarah Sunan Abu Daud” juz 1 halaman 114.
1. Bagan Sanad Hadits
Riwayat Hadits di atas diawali dengan Hadatsana, yang
menyatakan kata itu adalah Sulaiman bin Al-Asy’ats Al-Sijistani. Ia
adalah orang yang menyusun Kitab Sunan Abu Daud. Pada penelitian
sanad ini kami membatasi sanad dari Sulaiman bin Al-Ays’ats Al-Sijistani
yang selanjutnya ia dinamakan Abu Daud (kunyah) dengan alasan bahwa
banyak kitab-kitab hadits yang mana di dalamnya dijumpai Abu Daud
menjadi periwayat terakhir. Oleh karena itu Abu Daud di sini kami anggap
sebagai Mukharijul Hadits, maka dia dalam hal ini berkedudukan sebagai
periwayat terakhir untuk Hadits yang dikutip di atas.
Lambang-lambang periwayatan (shighah al-tahammul wa al-ada’)
yang terdapat dalam Hadits di atas adalah Hadatsana yang diucapkan oleh
Abu Daud, Muhammad bin Isa, dan Ibrahim bin Sa’ad. Itu berarti metode
periwayatan yang digunakan oleh para periwayat dalam sanad hadits
tersebut adalah al-Asma’, yakni penerimaan Hadits dengan cara
mendengar langsung lafadz Hadits dari gurunya. Selanjutnya periwayatan
itu menggunakan ‘An yang diucapkan oleh Abdul Malik bin Al-Rabi’ bin
Sabrah, Al-Rabi’ bin Sabrah, dan Sabrah bin Ma’bad Al-Juhani. Ini berarti
bahwa hadits tersebut adalah hadits Mu’an ‘an.
Penelitian Hadits dalam makalah penelitian hadits ini hanya pada
satu mata rantai sanad saja, dimulai dari periwayat terakhir, yaitu Abu
Daud hingga Sabrah. Dalam mengemukakan riwayat, Abu Daud
menyandarkan riwayatnya kepada Muhammad bin Isa, maka dengan
demikian Muhammad bin Isa adalah sanad pertama, sedangkan sanad
terakhir adalah Sabrah, yakni periwayat pertama dalam hadits tersebut.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat bagan di bawah ini:
39
2. Persambungan Sanad Dan Kualitas Hadits
a. Abu Daud (202-275)
Abu Daud adalah Kunyah dari Sulaiman bin Al-Asy’ats.6
Adapun nama lengkapnya adalah Sulaiman bin Al-Asy’ats bin
Syaddad bin Amr bin Amir. Menurut Ibn Dasah dan Al-Ajri, nama
lengkap dari Abu Daud adalah Sulaiman bin Al-Asy’ats bin Ishaq bin
Basir bin Syaddad yakni Abu Daud Al-Sijistani Al-Hafidz. Ia lahir
pada tahun 202 hijriah di Baghdad dan wafat pada tahun 275 hijriah.
6Al-Asqalani, Tahdzib Al-Tahdzib, , (Bairut Libanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah,, 1994), juz
12 hal. 80
رسول الله
سبرة
الربيع بن سبرة
عبدالملك بن الربيع بن سبرة
ابراهيم بن سعد
محمد بن عيسي
ابوداود
قال
عن
عن
عن
حدثنا
حدثنا
40
ia meriwayatkan hadits dari Abu Salamah Al-Tabudzaki, Abu Al-
Walid Al-Thayalisi, Muhammad bin Katsir Al-Abdi, Muslim bin
Ibrahim, Abu Umar Al-Haudi, Abu Taubah Al-Halabi, Sulaiman bin
Abdurrahman Al-Damasqi, Sa’id bin Sulaiman Al-Wasithi, Shafwan
bin Shalih Al-Damasqi, Abu Ja’far Al-Nafili, Ahmad, Ali, Yahya,
Ishaq, Qatn bin Nasir, dan lain-lain yakni para muhadditsin dari
Irak, Khurasan, Syam, Mesir, dan muhadditsin dari Jazirah Arab.
Sedangkan orang-orang yang meriwayatkan darinya adalah
Abu Ali Muhammad bin Ahmad bin Umar, Abu Al-Thayyib Ahmad
bin Ibrahim bin Abdurrahman Al-Asynani, Abu Amr Ahmad bin Ali
bin Al-Hasan Al-Bashri, Abu Sa’id Ahmad bin Muhammad bin Ziyad
Al-A’Rabi, Abu Bakar Muhammad bin Abdul Razaq bin Dasah, Abu
Al-Hasan Ali bin Al-Hasan bin Al-‘Abd Al-Anshari, dan lain-lain.
* Penilaian ulama terhadap dirinya:
Para ulama muhadditsin sepakat bahwa Sulaiman bin Al-
Asy’ats Al-Sijistani adalah salah seorang ulama hadits kenamaan serta
penyusun kitab Sunan Abu Daud.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka ia tidak terlepas
dari kritikus yang mengomentarinya. Di antara para kritikus tersebut
antara lain adalah:
Abu Bakar Al-Khilal mengatakan ia adalah imam pada
masanya, Wara’. Ahmad bin Muhammad bin Yasin Al-Harwi
menegaskan bahwa ia adalah salah satu ulama penghafal hadits,
mengerti ‘illat dan sanad hadits dari yang tertinggi hingga yang
terendah, serta rajin beribadah, ‘Iffah, bagus dan wara’. Sejalan
dengan ini Abu Hatim bin Hibban mengatakan bahwa ia adalah salah
satu imam dunia yang faqih, alim, hafal Hadits, rajin beribadah, wara’,
dan bertaqwa. Hal senada juga diungkapkan oleh Maslamah bin Qasim
41
bahwa ia (Abu Daud) adalah orang yang tsiqah, zahid, ‘arif bi al-hadits
(mengerti tentang hadits), dan imam pada masanya.7
b. Muhammad bin Isa (w.224)
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Isa bin Najih Al-
Baghdadi, Abu Hafs bin Al-Thaba’. Ia adalah saudara Ishaq bin Isa
dan Yusuf bin Isa. Ia meninggal pada tahun 224 hijriah.
Ia meriwayatkan Hadits (guru-guru beliau) dari Ibrahim bin
Sa’ad, Ishaq bin Sulaiman Al-Razy, Ishaq bin Najih, Ismail bin
Aliyyah, Ismail bin Iyas, Asyasy bin Al-Mishaishy, Ayyub bin Sayyar,
Bakar bin Abdul Aziz bin Abi Bakrah, Jarir bin Abdul Hamid,
Juwairiyah bin Asma’, Al-Harits bin Murrah Al-Hanafy, Hajjaj bin
Muhammad Al-Mishaishy, Hassan bin Ibrahim Al-Kirmany, Hamad
bin Zaid, Salim Abi Jumaih, Sufyan bin Uyainah, Sallam bin Abi
Muti’, dan lain-lain.
Haditsnya diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Abu Daud, Ibrahim
bin Ya’qub Al-Juzjany, Abu Al-Azhar Ahmad bin Al-Azhar Al-
Naisaburi, Ahmad bin Khulaid Al-Kindi Al-Halabi, Abu Zaid Ahmad
bin Abdul Rahim Al-Hauthy, Ahmad bin Abdul Wahhab bin Najdah
Al-Hauthy, Ahmad bin Mas’ud, Ja’far bin Muhammad bin Isa bin Al-
Thaba’, Ja’far bin Muhammad bin Isa bin Nuh Al-Adzany, Al-Hasan
bin Ali Al-Khallal, Sahl bin Shalih Al-Anthaqy, Thalib bin Qurrah Al-
Adzany, dan lain-lain.
* Penilaian ulama terhadap dirinya :
Abu Hatim berkata: “Ibn Al-Thaba’ (Muhammad bin Isa)
adalah orang yang al-tsiqah (terpercaya), al-ma’mun. saya tidak
melihat dari golongan muhadditsin (ulama-ulama hadits) yang lebih
ahfazd (lebih hafal) bab-bab hadits daripada dia”.
Berkaitan dengan kredibilitas Muhammad bin Isa,
Abdurrahman bin Abu Hatim berkata: “Ayahku pernah ditanya tentang
Ishaq, serta kedua anaknya Al-Thaba’ (anak Al-Thaba’ ini keduanya
7Al-Asqalani, Tahdzib Al-Tahdzib, juz 4 hal 153-6
42
sama-sama bernama Muhammad). Dan ayahku menjawab:
Muhammad lebih aku senangi, dan Ishaq lebih agung sedangkan
Muhammad lebih taqwa“.
Sedangkan Abu Daud berkata: :Saya telah mendengar
Muhammad bin Bakkar bin Al-Rayyan berkata: “ Muhammad bin Isa
lebih utama dari Ishaq bin Isa”. Ia juga menambahkan bahwa
Muhammad bin Isa adalah orang yang faqih, ia menghafal hadits
sebanyak empat puluh Hadits. An-Nasa’i juga berkata bahwa ia adalah
orang yang tsiqah.8
c. Ibrahim bin Sa’ad (108-183)
Nama lengkapnya adalah Ibrahim bin Sa’ad bin
Abdurrahman bin Auf Al-Qurasyi Al-Zuhri, Abu Ishaq Al-Madani. Ia
adalah ayah dari Ya’qub bin Ibrahim dan Sa’ad bin Ibrahim. Ia lahir
pada tahun 108 hijriah dan wafat pada tahun 183 hijriah.
Ia meriwayatkan Hadits dari ayahnya yaitu Sa’ad bin
Ibrahim, dari sepupunya yakni Salim bin Shalih bin Ibrahim bin
Abdurrahman bin Auf, Abu Shahr Humaid bin Ziyad Al-Madani,
Syuhbah bin Al-Hajjaj, Shalih bin Kisan, Shafwan bin Sulaim, Ja’far
Al-Makhrami, Abdullah bin Abdurrahman bin Sa’ad bin Makhramah,
Abdullah bin Muhammad bin Aqil bin Abi Thalib, Abdul Malik bin
Al-Rabi’ bin Sabrah Al-Juhani, Muhammad bin Ishaq bin Yasar,
Muhammad bin Abdullah bin Amr bin Hisyam Al-Amiri, Muhammad
bin Abdullah bin Muslim bin Syihab, dan lain-lain.
Sedangkan orang-orang yang meriwayatkan hadits darinya
yaitu Ibrahim bin Hamzah Al-Zubairi, Ibrahim bin Ziyad Al-Khayyath
Al-Bagdadi, Ibrahim bin Mahdi Al-Mishaishi, Ahmad bin Abdullah
bin Yunus, ahmad bin Abdul Malik bin Waqid Al-Harrani, Ahmad bin
Muhammad bin Ayyub (pengarang kitab Al-Maqhazi), Ahmad bin
Muhammad bin Hanbal, Ahmad bin Muhammad bin Al-Walid Al-
8Jamal Al-Din Abi Al-Hajjaj Yusuf Al-Mazzi, Tahdzi Al-Kamal Fi Asma Al-Rijal (Bairut
Libanon,, Dar Al-Fikr, 1994). Juz 17 hal. 138-141
43
Azraqi, Ishaq bin Mansur Al-Saluli, Abu Ma’mar Ismail bin Ibrahim
Al-Hudzali, Ismail bin Musa Al-Fazari ibn binti Al-Sudi, Abu Tsabit
Muhammad bin Ubaidillah Al-Madini, Abu Marwan Muhammad bin
Usman Al-Usmani, Muhammad bin Isa ibn Al-Thaba’, dan lain-lain.
* Penilaian ulama tentang dirinya :
Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Hanbal dari
ayahnya berkata: “Ia adalah orang yang tsiqah”.
Telah berkata Shalih bin Ahmad bin Muhammad bin Hanbal
dari ayahnya: “Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Ibrahim bin Sa’ad
adalah mustaqimah”.
Ahmad bin Sa’id bin Abi Maryam, Al-Mufaddal bin Ghassan
Al-Ghalabi, dan Yahya bin Ma’in berkata: “Ia adalah orang yang
tsiqah”. Ibn Abi Maryam menambahkan bahwa hadits yang
diriwayatkannya dapat dijadikan hujjah.
Berkata Ahmad bin Abdullah bin Shalih Al-Ijli: “Ia adalah
salah satu penduduk Madinah yang terpercaya”.
Ali bin Al-Husain bin Hibban berkata: “Saya telah
menemukan dalam kitab ayahku keterangan yang sumbernya datang
dari Yahya bin Ma’in yang menjelaskan bahwa Ibrahim bin Sa’ad
lebih atsbat dari Al-Walid bin Katsir dan Ibn Ishaq”.
Abu Hatim berkata: “Ia adalah orang yang tsiqah”.
Sedangkan Abdurrahman bin Yusuf bin Sa’id bin Khirasy berkata: “Ia
shaduq9
d. Abdul Malik bin Al-Rabi’ bin Sabrah
Nama lengkapnya adalah Abdul Malik bin Al-Rabi’ bin
Sabrah bin Ma’bad Al-Juhaniy.
Ia meriwayatkan Hadits dari Ayahnya Al-Rabi’ bin Sabrah
bin Ma’bad Al-Juhaniy. Sedangkan orang yang meriwayatkan hadits
dari dia adalah kedua keponakannya yang bernama Sabrah dan
9Al-Mazzi, Tahdzi Al-Kamal… juz 1 hal. 353-349
44
Harmalah, juga dua orang anak Abdul Aziz, Ibrahim bin Sa’ad, Zaid
bin Al-Hubbab, Ya’qub bin Ibrahim bin Sa’ad, dan Al-Waqidi.
* Pujian ulama terhadap kredibilitasnya:
Al-Ijliy menganggap ia adalah orang yang tsiqah.
Abu Khaitsamah berkata: “ Yahya bin Main ditanya tentang
beberapa hadits Abdul Malik bin Al-Rabi’ yang diriwayatkan dari
ayahnya diriwayatkan dari kakeknya, Yahya bin Main menjawab:
“Dli’Afun”. Ibn Al-Jauzi menceritakan dari Ibn Main berkata: “Abdul
Malik dla’if”.
Abu Al-Hasan Ibn Al-Qaththan menjelaskan bahwa keadilan
Abdul Malik tidak tetap. Al-Hasan juga menjelaskan bahwa Muslim
mengambil satu Hadits dari Abdul Malik tentang Mut’ah (nikah
mut’ah). 10
e. Al-Rabi’ bin Sabrah
Nama lengkapnya adalah Al-Rabi’ bin Sabrah bin Ma’bad,
dikatakan pula namanya Ibn ‘Ausajah Al-Juhaniy Al-Madiniy. Ia dalah
ayah dari Abdul Aziz bin Al-Rabi’ bin Sabrah dan Abdul Malik bin
bin Al-Rabi’ bin Sabrah.
Ia meriwayatkan Hadits dari ayahnya Sabrah bin Ma’bad,
Umar bin Abdul Aziz, Amr bin Murrah Al-Juhaniy, dan Yahya bin
Sa’id bin Al-‘Ash.
Sedangkan haditsnya diriwayatkan oleh kedua putranya yang
bernama Abdul Aziz bin Al-Rabi’ bin Sabrah dan Abdul Malik bin bin
Al-Rabi’ bin Sabrah, Abdullah bin Luhai’ah, Abdul Aziz bin Umar
bin Abdul Aziz, Umarah bin Ghaziyyah Al-Anshari, Umar bin Abdul
Aziz, Amr bin Al-Harits Al-Mishriy, Amr bin Abi Amr Maula Al-
Muthallib, Al-Laits bin Sa’ad, Muhammad bin Muslim bin Syihab Al-
Zuhri, Yazid bin Habib Al-Mishriy, dan Yunus bin Abdullah bin Abi
Faurah Al-Syami.
10Al-Asqalani, Tahdzib Al-Tahdzib, juz 6 hal. 349-350
45
* Penilaian ulama berkaitan dengan dirinya:
Ahmad bin Abdullah Al-‘Ijliy berkata: “ Al-Rabi’ bin Sabrah
adalah penduduk Hijaz juga golongan tabi’in yang terpercaya
(tsiqah)”.
An-Nasa’I mengatakan bahwa ia adalah orang yang tsiqah.
Ibn Hibban dalam kitabnya yang bernama “Al-Tsiqah” menyebutkan
ia sebagai orang yang tsiqah.11
f. Sabrah
Nama lengkapnya adalah Sabrah bin Ma’bad, dikatakan
bahwa namanya adalah Sabrah bin ‘Ausajah. Dikatakan pula nama
lengkapnya adalah Sabrah bin Ma’bad bin ‘Ausajah bin Harmalah bin
Sabrah bin Khadij bin Malik bin Amr Dzahal bin Tsa’labah bin
Rifa’ah bin Nasr bin Sa’ad bin Dzubyan bin Risydan bin Qais bin
Juhainah Al-Juhaniy Abu Tsuraiyah. Ia bertempat tinggal di Madinah
dan meninngal pada masa pemerintahan Muawiyah.
Ia meriwayatkan Hadits dari Nabi Muhammad saw., dan Amr
bin Murrah Al-Juhaniy. Sedangkan Haditsnya diriwayatkan oleh
putranya yang bernama Al-Rabi’ bin Sabrah Al-Juhaniy. 12
Dari paparan diatas, sanad Hadits ini bersambung (ittishal).
Kebersambungan tersebut setidak-tidaknya bisa dilihat dari tiga hal,
yaitu:
Pertama, dari segi usia. Usia perawi pertama, Sabrah bin
Ma’bad, yang menerima Hadits tersebut langsung dari Nabi
Muhammad saw. hingga Abu Daud secara hirarkis bersambung.
Artinya, secara usia, para perawi dapat mendengar langsung Hadits
tentang perintah menyuruh anak melakukan shalat ini dari gurunya
masing-masing.
Kedua, pengakuan guru dan murid. Semua perawi yang ada
dalam Hadits ini memiliki hubungan guru dan murid yang jelas. Sebab
11Al-Mazzi, Tahdzi Al-Kamal… Juz 1 hal. 138 Lihat juga Al-Asqalani, Tahdzib Al-Tahdzib,
(Bairut Libanon :Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1994), juz 3 hal. 212
12Al-Mazzi, Tahdzib Al-Kamal… juz 7 hal. 50
46
semua perawi disini disebutkan diantara nama-nama para guru atau
murid mereka. Artinya, hadits yang mereka riwayatkan memang
benar-benar berasal dari guru mereka. Namun yang jelas pengakuan
guru atau murid disini harus diselaraskan dengan kesamaan masa
hidup. Taruhlah perawi A, yang lahir tahun 2000, mengklaim bahwa ia
pernah berguru pada perawi B yang meninggal dunia setahun
sebelumnya, 1999. Jelas klaim ini tertolak, sebab dari sisi usia mereka
tidak mungkin dan tidak akan pernah mungkin terjadi hubungan guru
dan murid. Sebab, ketika perawi A baru lahir, perawi B sudah
meninggal dunia.
Ketiga, masing-masing periwayat dalam hadits ini
menggunakan kata-kata penghubung (sighat tahamul) yang sudah
disepakati ulama, yaitu: 1) Abu Daud, menggunakan kata
“haddatsana”, 2) Muhammad bin Isa, menggunakan kata
“haddatsana”, 3) Ibrahim bin Sa’ad dengan kata “’an”, 4) Abdul
Malik bin Al-Rabi’ bin Sabrah menggunakan kata “’an”, 5) Al-Rabi’
bin Sabrah dengan kata “’an”, 6) Sabrah bin Ma’bad menggunakan
“qala”,
Ditinjau dari segi kualitas Rijal al-Hadits, penilaian para
kritikus Hadits terhadap periwayatan Hadits di atas adalah memiliki
kualitas pribadi dan kapasitas intelektual yang tinggi, yaitu bersifat
Dhabith (kuat hafalannya dan cerdas) dan Tsiqah (terpercaya).
Berdasarkan alasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
sangat kecil kemungkinan bahwa Hadits ini mengandung syadz
(janggal) dan ‘illat (cacat). Karena jika sanadnya muttashil
(bersambung) dan para perawinya tsiqah dan dhabith, maka hal ini
telah mencukupi syarat yang telah ditetapkan ulama Hadits. Oleh
karena itu dapatlah dikatakan bahwa hadits tersebut dapat diterima dan
dapat dijadikan hujjah serta berkualitas Shahih.
47
3. Kajian Hadits Lain
Untuk memperkuat hadits di atas, maka perlu kiranya
membandingkan dengan Hadits lain yang secara sanad dan matan tidak
diragukan, sehingga penelitian Hadits ini tidak terkesan parsial, yang
terbatas pada satu Hadits dari satu jalur periwayatan Hadits.
حدثناوكيع حدثناسواربن داود عن عمروبن شعيب عن أبيه عن جده قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم مروا صبيانكم بالصلاة إذابلغوا سبعا
واضربوهم عليها إذابلغوا عشرا وفرقوا بينهم في المضاجع قال أبي وقال
الطفاوي محمد بن عبدالرحمن في هذا الحديث سوار أبو حمزة وأخطأ فيه(رواه
احمد)
Kami mendapatkan hadits dari Waki’ dari Sawwar bin daud dari Umar bin
Syu’aib dari bapaknya dari kakaknya mengatakan bahwa Rasulullah
pernah bersabda:” perintahkan anak-nakmu mengerjakan shalat ketika
berumur 7 tahun dan pukullah mereka karena tidak mengerjakannya ketika
berumur 10 tahun dan pisahkanlah diantara mereka dari tempat
tidurnya”.(H.R. Ahmad)
* Mengenai Bagan Sanadnya:
رسول الله
عبدالله
شعيب بن محمد
عمروبن شعيب
48
سوار
وآيع
إمام أحمد
Adapun untuk mengetahui bagaimana kualitas Hadits tersebut dari
segi matan maupun sanadnya, di bawah ini akan dijelaskan bagaimana
para kritikus Hadits menilai tentang ke-tsiqah-an, ke-adil-an, serta kedlabit-
an sehingga terhindar dari ’illat dan syadz.
a. Waki’.
Nama lengkapnya adalah Waki’ bin al- Jarrah bin Malih. Ia
lahir di Kufah dan wafat di ’Ainul Wardah. Ia termasuk tabi’in kecil,
yang mempunyai nama panggilan Abu Sufyan.
Semasa hidupnya kecintaan terhadap ilmu sangat luar
biasa,terutama dalam ilmu Hadits.Hal tersebut dibuktikan, ia pernah
berguru kepada Sawwar bin Daud dan Sufyan bin ‘Uyainah. Di
samping sibuk dengan pengembaraan intelektualnya, ia juga
menyebarkan ilmu yang diperolehnya. Di antara muridnya adalah
Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin As’ad serta
anaknya sendiri yaitu Sufyan bin Waki’ bin al-Jarrah.
b. Sawwar bin Hamzah.
Nama lengkapnya adalah Sawwar bin Daud, tanggal dan
tempat kelahirannya tidak diketahui pasti. Demikian juga dengan
tanggal wafatnya, akan tetapi sebagai tempat disemayamkan jasadnya
adalah di Basrah. Ia termasuk pembesar dari para tabi’in. Ia
mempunyai nama panggilan Abu Hamzah. Di samping nama
panggilan ia juga mendapatkan julukan Shahibul Huliy. Dibidang
49
ilmu pengetahuan, terutama ilmu Hadits, ia pernah berguru pada ‘Amr
bin Syu’aib bin Muhammad bin Abdillah bin ‘Amr.
Di samping aktif menuntut ilmu, ia juga menyebarkan ilmunya
kepada para muridnya. Di antara muridnya adalah Ismail bin Ibrahim
bin Muqsam. Ia termasuk perawi yang Shaduq.hal tersebut
berdasarkan pada analisa dari kritikus Hadits yang menyatakan bahwa
ia adalah perawi yang dapat dipertanggung jawabkan apa yang
disampaikannya.
Di antara kritikus Hadits yang berpendapat tentang karakter
dirinya adalah Ahmad bin Hanbal, ia menyatakan bahwa Sawwar
adalah perawi yang tidak ada kecacatan pada dirinya. Hal tersebut
diperkuat oleh Yahya bin main yang menyatakan bahwa ia adalah
perawi yang tsiqah.
c. ‘Amr bin Syau’aib.
Ia lahir di Moro Roudz, sedangkan wafatnya pada tahun 118 H.
Nama lengkapnya adalah ‘Amr bin Syu’aib bin Muhammad bin
Abdillah bin ‘Amr. Ia termasuk tabi’in kecil, yang mempunyai nama
panggilan Abu Ibrahim. Dibidang intelektual, ia banyak belajar dari
ayahnya yaitu Syu’aib bin Muhammad bin Abdillah bin Amr bin a-
Ash.
Di samping sibuk mencari ilmu ia juga aktif mengajar,di antara
muridnya adalah Sawwar bin Daud. Namanya termasuk salah satu di
antara deretan perawi yang shaduq. Hal tersebut berdasarkan dari
analisa para kritikus.
Dan antara para kritikus Hadits yang mengungkap karakter
dirinya dalam hal periwayatan Hadits adalah Yahya bin Said a-Qathan
yang menyatakan bahwa dirinya adalah perawi yang tsiqah, karena apa
yang telah diriwayatkan adalah dapat dipercaya.hal senada juga
disampaikan oleh Yahya bin Ma’in yang mengatakan bahwa dia
termasuk rawi yang tsiqah. Demikian juga Yahya bin Ma’in yang
menyebutkan dirinya sebagai perawi yang tsiqah, sehingga apa yang
50
menjadi tulisannya adalah benar adanya.(mempunyai tingkat validitas
yang tinggi).
51
d. Ayahnya ‘Amr bin Syu’aib
Nama lengkap ayahnya Amr bin Syu’aib adalah Syu’aib bin
Muhammad bin Abdillah bin ‘Amr bin ‘Ash. Dia di lahirkan di Hijaz,
akan tetapi tahun kapan dilahirkannya tidak diketahui pasti. Demikian
juga kapan tahun tempat wafatnya tidak juga diketahui dengan jelas. Ia
termasuk generasi tabi’in pertengahan.
Dalam bidang ilmu pengetahuan, terutama bidang Hadits, ia
banyak mendapatkan dari kakaknya, yaitu ‘Amr bin ‘Ash bin Wa’il
bin Hasyim. Sedangkan orang yang pernah mengenyam ilmu darinya
adalah anaknya sendiri, yaitu ‘Amr bin Syu’aib bin Muhammad bin
Abdillah bin ‘Amr. Oleh karenanya ia termasuk rawi yang shaduq.
Hal tersebut berdasarkan dari pengamatan dan analisa kritikus
Hadits yang menobatkannya sebagai perawi dengan validitas tinggi.
diantaranya adalah Ibnu Hibban yang menyatakan bahwa ia adalah
perawi yang tsiqah.Hal tersebut juga disampaikan oleh adz-Dzahabi,
bahwa dia merupakan perawi yang shaduq.
e. Kakeknya Syu’aib
Nama lengkapnya adalah Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash bin
Wail.Ia dilahirkan di Moro dan wafat di Thaif pada tahun 63 H.Ia
termasuk bagian dari sejumlah sahabat. Dia mempunyai nama
panggilan Abu Muhammad. Walaupun ia termasuk sahabat besar ,
akan tetapi ia juga pernah berguru pada Ali bin Abi Thalib, Umar bin
khattab serta ayahnya sendiri yaitu ‘Amr bin ‘Ash bin Wail bin
Hasyim.
Dengan demikian antara perawi tingkat pertama dengan tingkat
terakhir adalah ada ketersambungan sanad (ittishal as-sanad). Hal
tersebut disandarkan pada analisa bahwa kakeknya Syu’aib adalah
generasi shahabat yang dapat dipastikan bertemu langsung kepada
Rasulullah, sedangkan ayahnya ‘Amr hingga Muammal bin Hisyam
juga ada ketersambungan antara perawi satu dengan perawi lainnya
dimasing-masing tingkatan.
52
Di samping itu juga, hasil dari pengamatan dan analisa para
kritikus Hadits juga mengatakan bahwa masing-masing perawi
disemua tingkatan tidak terdapat cacat (‘illat) atau kejanggalan (Syadz)
berkenaan dengan keberadaan serta karakteristik para perawi.
Dengan demikian kualitas Hadits tersebut adalah valid atau
shahih, artinya marfu’ ila Rasulullah, yang dapat dijadikan hujah untuk
bersandar hukum.13
Dari kedua Hadits tersebut, yaitu dari sanad Abu Daud serta
Imam Ahmad, maka dapat disimpulkan bahwa Hadits tersebut adalah
shahih, karena kedua Hadits tersebut saling menguatkan secara isi dan
secara makna, tidak ada yang janggal dan dari segi sanad tidak ada
yang cacat.
Dengan demikian, ketika dilihat dari matan atau isi Hadits
tersebut ternyata mencakup makna yang luas, di antaranya:
Pertama, pembahasan tentang kedudukan ibadah dan
pengaruhnya sangat besar terhadap pendidikan.
Kedua, Memberi petunjuk dan mengandung hikmah serta
tujuan yang sangat dalam
Secara rasional, ibadah berupa shalat, puasa maupun yang
lainnya, berperan mendidik pribadi manusia, hingga kesadaran dan
pikirannya terus menerus berfungsi dalam semua pekerjaan, Artinya
secara sosial, ibadah dapat mendidik manusia agar memiliki solidaritas
dan kepedulian sosial yang tinggi dan selalu merasa bahwa dirinya ada
keterikatan dengan sesama muslim.Rasa ukhuwah bisa tumbuh
berkembang dalam hatinya, kapan pun dan di manapun. Sebagian
besar ibadah yang dilakukan secara rutin, didirikan secara berjama’ah
dan teratur, dalam suasana yang penuh kecintaan dan kasih sayang
adalah mempunyai satu tujuan, yakni memperkuat ukhuwah serta
memperkokoh persatuan dan kesatuan di antara mereka.
13Global Islamic Software Company, Mausu’ah al-Hadits al-Syarif, Global Islamic
Software Company, t.tp., 2000.
53
Oleh karena itu ketika agama memerintahkan untuk memukul
anak ketika tidak melakukan shalat, itu adalah benar. secara sekilas
perintah tersebut memang kejam dan bertentangan dengan kebiasaan
yang berlaku dalam dunia pendidikan, sehingga cara atau metode
tersebut dinggap bertolak belakang dengan cara mendidik yang halus
dan dapat memikat hati.14
D. Asbab Al –Wurudz
Selain sanad dan matan, komponen yang terpenting dalam hadits Nabi
adalah asbabul wurudz yaitu merupakan bentuk dari sebab-sebab
disampaikannya Hadits atau dalam hal ini mengacu pada kajian historis Hadits
sehingga setting sosial akan jelas bagaimana kondisi sosial dan lingkungan
pada waktu Hadits disampaikan, apakah masih relevan dengan keadaan sosial
pada waktu sekarang, sehingga memungkinkan Hadits untuk dijadikan sebagai
referensi dari sebuah hukum.
Dari semua Hadits yang ada, tidak semua Hadits mempunyai asbabul
wurudz pada waktu Hadits disampaikan.Seperti yang disampaikan oleh
Nuruddin ITR bahwa kadang-kadang sebab-sebab itu tidak disebutkan dalam
Hadits yang bersangkutan, namun dijelaskan pada sebagian jalurnya15 Hal
yang sama diungkapkan oleh Munzeir Suparto bahwa Asbabul Wurudz
mempunyai beberapa faedah diantaranya adalah dapat mentakhsis arti yang
umum, mambatasi arti yang mutlak, menunjukkan perincian arti yang mujmal,
menjelaskan kemusykilan dan menunjukkan illat suatu hukum Maka dengan
memahami asbabul wurudz Hadits dengan mudah memahami apa yang
dimaksud atau yang dikandung oleh suatu Hadits.16
Sejauh penelusuran penulis dalam kitab-kitab yang membahas tentang
Hadits batasan usia anak diperintahkan shalat tidak ada kitab asbabal Wurudz
yang membahasnya. Namun Hadits ini sudah masyhur dikalangan masyarakat
terutama dalam melaksanakan pendidikan terhadap anak-anaknya dan
digunakan sebagai cara orang tua dalam mendidik anak.
14Abi Firdaus al-Halwani, Malahirkan Anak Shalih Kajian Psikologi dan Agama,
(Yogyakarta: al-Mahali Press,1995),hlm.102-103.
15Nuruddin, Ulum Hadits, (Bandung: Remaja Rosda Karya,1994), hlm.110.
16Munzier Suparto, Ilmu Hadits, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm.40

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook