Monday, August 11, 2014

Gara-gara Tidak Bisa Membaca ,seorang murid SD di Ranai-Natuna dihukum dengan dipaksa meminum air liur di depan kelas. -Tindakan JS, guru SD Negeri 04 Desa Seluan,



           [1] Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab فلسفة, yang juga diambil dari bahasa Yunani; Φιλοσοφία philosophia. Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta.) dan (sophia = "kebijaksanaan"). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta kebijaksanaan”.Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut "filsuf".

                          [1]  Sijori, Batam, Selasa, 03 November 2009 . Gara-gara Tidak Bisa Membaca ,seorang murid SD di Ranai-Natuna dihukum dengan dipaksa meminum  air liur di depan kelas. -Tindakan JS, guru SD Negeri 04 Desa Seluan, Kecamatan Bunguran Utara, Kabupaten Natuna tidak pantas dilakukan seorang pendidik. Hanya gara-gara tidak bisa membaca, dia tega memaksa salah seorang muridnya, AI (9 tahun), meminum air ludah 13 teman sekelasnya.  Akibat perbuatan tidak mendidik tersebut, JS yang lulusan SMK itu diberi sanksi berupa pemotongan gaji sebesar Rp200 ribu dan skors tidak boleh mengajar selama tiga bulan. Guru honor tersebut juga diturunkan pangkatnya menjadi penjaga sekolah.  Peristiwa memalukan ini terungkap saat ayah korban, Aspediyansah, melapor ke Dinas Pendidikan Nasional (Diknas) Natuna, Senin (2/11). Aspediyansah menuturkan,  kejadian ini bermula saat JS sedang mengajar di kelas 4 SDN 04 Desa Seluan, Senin (12/10/2009) .

                [1] Batas-batas kekerasan menurut Undang-undang perlindungan anak nomor 23 tahun 2002 ini, tindakan yang bisa melukai secara fisik maupun psikis yang berakibat lama, di mana akan menyebabkan trauma pada anak atau kecacatan fisik akibat dari perlakuan itu. Dengan mengacu pada defenisi, segala tindakan apapun yang seakan-akan harus dibatasi, dan anak-anak harus dibiarkan berkembang sesuai dengan hak-hak yang dimilikinya (Hak Asasi Anak), hak anak untuk menentukan nasib sendiri tanpa intervensi dari orang lain. Lihat pasal 64 ayat (2),Sinar Grafika Jakarta, 2008, 23
            [1] Bagai makan buah simalakama: gambaran suatu keadaan yang serba salah. Biasanya digunakan untuk orang yang sedang menghadapi dua pilihan, dan kedua-duanya akan menyebabkan orang tersebut mengalami hal yang buruk.  Pengambil keputusan akan berada di antara dua sisi mata uang yang sangat mustahil untuk di pilih tetapi ketika kita menyadarinya bahwa keduanya perlahan - lahan membunuh kita secara menyakitkan. Buah Simalakama ikhtisar dari kejadian Baginda Nabi Adam Alaihissalam beserta istri beliau Siti Hawa tatkala beliau memakan buah kuldi terlena dengan kalam - kalam syaitan buah ini terlalu indah untuk dilihat, terlalu nikmat untuk dimakan, terlalu sempurna untuk dimiliki, ketika manusia telah menguasai buah tersebut sesungguhnya secara perlahan-lahan buah ini telah menyiksanya hingga tanpa sadar akan terasa menyedihkan di akhirnya.

        [1] Terjadi kontak fisik dari guru terhadap siswa, misalnya memukul, menampar, menendang, menempeleng, teriakan, bentakan, sikap tidak peduli, pemberian label negative, dan perilaku sejenis lain, yang bertujuan untuk menyakiti siswa. Persoalannya, banyak guru yang belum menyadari kalau selama ini mereka sedang berada dalam kondisi yang tidak pada tempatnya tersebut. Berdasarkan data dari Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPA), sepanjang paruh pertama tahun 2009, kekerasan guru terhadap siswa mengalami peningkatan tajam, yakni 39 persen dari 95 kasus kekerasan terhadap anak, atau paling tinggi dibandingkan dengan pelaku-pelaku kekerasan anak lainnya.  
      [1] Hakekatnya, siswa di sekolah akan membentuk pertahanan diri apabila diserang, di mana pertahanan itu berupa ,balas membentak apabila dimarahi, melawan dengan fisik kalau disakiti, lari bila dia merasa tidak mempunyai kemampuan membalas, atau melaporkan kepada orangtuanya di rumah atas peristiwa yang dialaminya. Cara pendidikan dengan kekerasan, ibaratnya digambarkan sebagai sebuah pilihan bagi seorang guru pendidik yang melihat kesalahan seorang siswa, apakah dia akan menyalahkannya, menggunakan kekerasan untuk memaksa siswa memperbaiki kesalahan itu atau sekedar menasehati siswa tanpa kekerasan.
             [1]   Fenomena, atau masalah, atau gejala adalah segala sesuatu yang dapat kita lihat, atau alami, atau rasakan. Suatu kejadian adalah suatu fenomena. Suatu benda merupakan suatu  fenomena, karena merupakan sesuatu yang dapat kita lihat. Adanya suatu benda juga menciptakan keadaan ataupun perasaan, yang tercipta karena keberadaannya.Istilah masalah yang dijadikan padanan dari istilah fenomena harus dibedakan dari persoalan. Masalah mempunyai pengertian netral, sedangkan persoalan mengandung pengertian memihak. Suatu persoalan juga merupakan suatu masalah atau gejala, dan karenanya juga merupakan suatu fenomena. Persoalan merupakan suatu fenomena yang kehadirannya tak dikehendaki. Penyelesaian terhadap suatu persoalan pada hakekatnya  adalah suatu usaha dan tindakan untuk meniadakan persoalan tersebut.
          [1] Para peneliti menyimpulkan bahwa penerapan kekerasan yang berlebihan bisa menumbuhkan kesan buruk. Si bocah bisa berasumsi bahwa sekolah sebagai tempat yang tidak bersahabat dan menakutkan. Akibatnya proses pembelajaran di sekolah tidak berjalan dengan baik, demikian para peneliti. Selain itu disimpulkan pula bahwa “Hukuman fisik tidak akan merubah kebiasaan buruk anak, tapi malah memicu kekerasan”. Lihat kata pengantar UU RI No.23 Th.2002, h v

         [1] Wael B. Hallaq, A. History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Ushul Fiqh (Cambridge: Cambridge University Press, 1997),  231.

        [1] Agus Moh. Najib, “Nalar Burhani dalam Hukum Islam (Sebuah Penelusuran Awal)”, dalam Jurnal Hermenia, Vol.2  No.2 Juli-Desember 2003, 217-218.

          [1] Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Bunyah al- Aql al-‘Arabi: Dirasah Tahliliyyah Naqdiyyah li Nuzum al-Ma ‘rifah fi as-Saqafah al-‘Arabiyyah (Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-‘Arabiyyah, 1990), him. 514. Lihat juga al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, terj. Ahmad Baso (Yogyakarta:LKiS, 2000),  118-132 dan 162-171.

          [1] Berbicara tentang hukum Islam tentu tidak bisa dilepaskan dari ushul fiqih karena ilmu inilah yang menjadi kerangka dasar dalam penetapan hukum Islam selama ini. Ilmu ushul fiqih merupakan metodologi terpenting yang ditemukan oleh dunia pemikiran Islam dan tidak dimiliki oleh umat lain. Al-‘Alwani mengungkapkan bahwa ushul fiqih merupakan “the most important method of research ever devised by Muslim thought” Thaha Jabir al-‘Alwani, Ushul al-Fiqh al-Islami (Virginia; International Institute of Islamic thought, 1990), xi     



                [1] Dalam menjelaskan idenya tentang revolusi ilmu pengetahuan (scientific revolution), Kuhn menggunakan beberapa istilah kunci yang tidak pernah ia defenisikan secara ketat dalam karyanya tersebut. Beberapa istilah kunci yang digunakan ialah, pertama scientific revolution (revolusi Ilmiah)  yaitu perkembangan sains secara radikal di mana normal science (nature science) yang lama digantikan oleh normal sains yang baru. Pergantian ini terjadi karena paradigma lama yang menyangga  old normal science sudah tidak mampu menjawab problem-problem ilmiah yang baru. Pergantian semacam ini oleh Kuhn disebut dengan paradigm shif (pergeseran paradigm) yaitu pergantian secara radikal paradigma lama dengan paradigma baru karena paradigma lama sudah tidak mampu menjawab problem-problem ilmiah yang muncul kemudian. Kedua paradigm yaitu teori-teori, metode-metode, fakta-fakta, eskperimen-eksperimen yang telah disepakati bersama dan menjadi pegangan bagi aktifitas ilmiah para ilmuwan. Ketiga, normal science yaitu ilmu yang telah mencapai consensus akan dasar-dasar ilmu ini. Konsensus itu berupa kesepakatan yang akan dipakainya satu paradigma sebagai penyangga ilmu yang bersangkutan, keempat, anomaly yaitu problem-problem Ilmiah yang tidak bias dijawab oleh paradigma lama. Problem-problem tersebut setelah menumpuk menimbulkan sebuah krisis, dan kelima, crisis yaitu suatu fase dimana paradigma lama  telah dianggap using karena begitu banyaknya anomali-anomali yang muncul, sedangkan paradigma baru belum terbentuk. Thomas Kuhn, The Structure of Science Revolutions (London: The University of Chicago Press.Ltd, 1970), hlm.11-18 buku ini sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia. Lihat Thomas Kuhn, Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains, terj. Tjun Surjaman (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002).
                [1] Secara umum al-Jabiri sebagaimana dikutip oleh Muhyar Fanani, membagi epistemologi Islam pada tiga ranah pemikiran yaitu bayani, irfani, dan burhani. Epistemologi bayani adalah epistemologi yang beranggapan bahwa sumber ilmu adalah teks (nas) atau penalaran dari teks. Epistemologi irfani adalah epistemologi yang beranggapan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah ilham. Epistemologi ini memiliki metode yang khas dalam mendapatkan pengetahuan yakni metode kasf, sebuah metode yang unique karena selamanya tidak bisa dirasionalkan, diverifikasi atau diperdebatkan. Epistemologi burhani adalah epistemologi yang berpandangan bahwa sumber pengetahuan adalah akal. Biasanya epistemologi ini disebut epistemologi falsafah karena merujuk pada tradisi intelektual Yunani. Muhyar Fanani, “Menelusuri Epistemologi Ilmu Ushul Fiqh”, dalam Jurnal Mukaddimah, No. 9 Th.VI/2000, 27-28.

[1] Istilah klasik sendiri penulis batasi setelah tahun 300-an Hijrah. Hal ini disebabkan karena beberapa alasan yaitu, pertama, pada masa Nabi dan sahabat, hukum Islam cendrung empiris dan tidak literalis, bahkan Joseph Schacht mengungkapkan bahwa hukum Islam pada masa awal tidak menggunakan al-Qur'an sebagai sumber pengetahuan. Sekalipun ushul fikih baru muncul pada awal abad ke III H, namun sebagai teori istinbat sudah muncul sejak era kenabian karena banyak sekali peristiwa pada masa kenabian yang menunjukkan adanya aktifitas ijtihad baik oleh Nabi sendiri maupun sahabatnya. Jika kemudian ijtihad Nabi salah, maka akan mendapat teguran dari Allah-melalui wahyu. Rasulullah juga mengizinkan para sahabatnya untuk berijtihad bila solusi hukum belum ditetapkan dalam al-Qur'an dan Sunnah. Eksplorasi ini memperlihatkan, betapa hukum Islam pada masa awal begitu dinamis dan tidak terpaku pada teks. Kedua, pada era 300-an Hijriah, telah terjadi pergolakan politik yang merembet ke dalam wilayah hukum dan teologi.

[1] Adapun karakteristik dari epistemologi bayani antara lain, pertama, epistemologi ini selalu berpijak pada asal (pokok) yang berupa nass (teks), baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam ilmu ushul fikih yang dimaksud dengan nas adalah al-Qur’an, Hadis dan Ijma’. Sedangkan dalam bahasa Arab yang dimaksud dengan nas adalah perkataan orang Arab. Kedua, epistemologi ini selalu menaruh perhatian secermat-cermatnya pada proses transmisi naql (teks) dari generasi ke generasi. Menurut epistemologi ini, apabila proses transmisi teks itu benar, maka isi nas itu pasti benar, karena nas itu masih murni dari Allah atau nabi. Tetapi jika teks tersebut proses transmisinya sudah tidak bisa dipertanggung jawabkan, maka nas itupun tidak bisa dipertanggung jawabkan isinya. Dengan kata lain epistemologi ini sesungguhnya senantiasa berpijak pada riwayah (nagl). Sebagai bukti dari ciri kedua ini adalah begitu banyaknya pembahasan yang dilakukan oleh para ulama tentang riwayah yang ingin menjaga orisinalitas khabar (dalam hal ini berupa nas atau teks). Ibid, hlm. 31.

[1] e-Bina Anak 215-Mendisiplinkan dengan pemberian hukuman, sebaiknya cara terakhir yang digunakan dalam mendisiplinkan anak. Dewasa ini, hampir semua pendidik barat menentang pemberian hukuman secara fisik sebab tindakan itu hanya menyelesaikan masalah sementara waktu saja dan member akibat sampingan yang tidak baik. Tidak semua penggunaan hukuman atau hukuman fisik itu tidak berfaedah. Alkitab mengajarkan, “Siapa tidak menggunakan tonngkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya menghajar dia pada waktunya” (Amsal 13:24), dan juga, “Jangan menolak didikan dari anakmu, ia tidak akan mati kalau engkau memukulnya dengan rotan. Engkau memukulnya dengan rotan, tetapi engkau menyelamatkan nyawanya dari dunia orang mati” (Amsal 23:13). Tetapi bukan berarti bahwa orang tua atau guru boleh dengan semena-mena menggunakan haknya untuk memukul anak.   
        [1] Defenisi anak menurut Undang-Undang Perlindungan Anak No 23 tahun 2002; Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak dalam kandungan. Defenisi undang-undang ini mencakup janin, bayi, anak-anak sampai berumur 18 tahun. Undang-undang ini juga mengatur tanggung jawab sosial anak dan tanggung jawab anak dimuka hukum.

       [1] Kekerasan (Bullying) menurut Komisi Perlindungan Anak (KPAI) adalah kekerasan fisik dan psikologis berjangka panjang yang dilakukan seseorang atau kelompok terhadap seseorang yang tidak mampu mempertahankan diri dalam situasi di mana ada hasrat untuk melukai atau menakuti orang atau membuat orang tertekan, trauma/depresi dan tidak berdaya. 

             [1] Isteri yang nusyuz menurut at-Qur'an boleh diberikan sanksi. Sanksi yang dikenakan terhadap isteri yang nusyuz, menurut makna tekstual ayat di atas adalah dinasehati, dibiarkan sendirian di tempat tidurnya dan dipukul. Tiga cara ini dilakukan secara bertahap sesuai urutannya. Berdasarkan ayat al-Qur’an di atas, para ahli tafsir kemudian mengemukakan pandangan yang beragam. Pernyataan paling menggelisahkan perempuan tentang soal ini dikemukakan oleh ahli tafsir terkemuka; Abu Hayyan at Andalusi dalam tafsirnya Al Bahr at Muhith. Ia mengatakan: “(Dalam menghadapi isteri yang nusyuz) suami pertama kali menasehatinya dengan lembut, jika tidak efektif boleh dengan kata-kata yang kasar, dan (jika tidak efektif) membiarkannya sendirian tanpa digauli, kemudian (jika tidak juga efektif) memukulnya dengan ringan atau dengan cara lain yang membuatnya merasa tidak berharga, bisa juga dengan cambuk atau sejenisnya yang membuatnya jera akibat sakit, asal tidak mematahkan tulang dan berdarah. Dan jika cara-cara tersebut masih juga tidak efektif menghentikan ketidaktaatannya, maka suami boleh mengikat tangan isteri dan memaksanya berhubungan seksual, karena itu hak suami.(Abu Hayyan al Andalusi, Tafsir at Bahr at Muhith. Dar al Kutub al Ilmiyyah, Beirut, Juz III, h. 252).

                 [1] Hadits Riwayat Bukhari no. 6160  dan Muslim  no.1322
               [1] Hadits Riwayat al-Tirmizi  no.2478
                            [1] Hadits Riwayat Bukhari no.6064 dan Hadits Muslim no.2559, dalam Ensiklopedi           Anak,(Darussunnah, Jakarta 2007) hlm 790
               [1] Definisi 'sabda' 1. kata; perkataan (bagi Tuhan, nabi, raja.): renungkan -- Rasulullah mengenai kasih sayang sesama umat manusia;
ber·sab·da v berkata; bertitah: raja telah - agar para menterinya selalu berbuat adil;
me·nyab·da·kan v mengatakan; mengucapkan; menitahkan: raja yang adil tidak akan - sesuatu yang merugikan rakyatnya

                 [1] Ibid  hlm 701
                          [1]  Hadits Riwayat Ahmad ini, menurut Al-Bani adalah shahih al-jami'I al-Shaghir, no.5744, dikatakan lagi bahwa hadits ini hasan.
[1] Akh. Minhaji membagi model pendekatan ushul fikih menjadi 2, pertama, teologis normative deduktif dan kedua, empiris historis induktif Lihat Akh. Minhaji, “Reorientasi Kajian Ushul Fiqih”, dalam Jurnal al-Jami ‘ah No. 63/VI/1999, h1m. 16. lihat juga tulisannya Hukum Islam Antara Sakralitas dan Profanitas (Perspektif Sejarah Sosial), Pidato Pengukuhan Guru Besar Sejarah Sosial Pemikiran Hukum Islam, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2004, h. 40-46.

[1] Ibid., 40-41. Begitu rigidnya paradigma literalistik, sehingga menurut Fazlur Rahman ada tiga kelemahan dari metode studi Islam klasik dan pertengahan yaitu, pertama, pemahaman yang terpotong-potong. Kedua, kurang memperhatikan unsur sejarah, dan ketiga, terlalu tekstual. Rahman menyebut kajian Islam klasik dan pertengahan dengan studi yang atomistis, ahistoris, dan literalistis. Senada dengan Rahman, Arkoun juga melancarkan kritik terhadap para pemikir hukum Islam yang masih menyandarkan pendapatnya kepada sistem pemikiran epsitemik Zaman Tengah dengan ciri, pertama, mencampurkan antara mitos dan sejarah, kedua, menekankan keunggulan teologis orang Muslim atas non-Muslim, ketiga, pensucian bahasa, keempat, univokalisasi makna yang diwahyukan Tuhan, kelima, anggapan tentang nalar pribadi yang transhistoris, dan keenam, diktum hukum diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas. Fazlur Rahman, “Islam: Challenges and Opportunities”, dalam Islam: Past Influence and Present Challenge, diedit oleh Alford T. Welch dan Pierre Cachia (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1979), h. 319-327. Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman (Bandung: Mizan, 1993), h. 186. Arkoun, “Ke Arah Islamologi Terapan”, alih bahasa Syamsul Anwar, Al-Jami’ah, No. 53 (1993), 72.

[1] Syamsul Anwar, Membangun Good Governance dalam Penyelenggaraan Birokrasi Publik di Indonesia: Tinjauan dari Perspektif Syari'ah dengan Pendekatan Ushul Fiqih, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Usul Fikih, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2005, hlm. 4-5. Mengenai teori pertingkatan norma, secara sederhana dapat dijelaskan bahwa teori pertingkatan norma adalah teori yang mencoba menemukan hukum lewat tiga penjenjangan norma, yaitu,
pertama, norma-norma dasar atau nilai-nilai filosofis (al-giyam al-asasiyyah) seperti kemaslahatan, keadilan, kesetaraan. Norma-norma tersebut sebahagian sudah ada berdasarkan fakta-fakta dan sudah diakui.
Kedua, norma-norma tengah berupa doktrin-doktrin umum hukum Islam yaitu al-nazariyyah al fiqhiyyah dan al-qawa ‘id al-fiqhiyyah.
Ketiga, peraturan-peraturan hukum kongkret (al-ahkam al far ‘iyyah). Ketiga lapisan norma ini tersusun secara hierarkis dimana norma yang paling abstrak dikongkritisasi menjadi norma yang lebih kongkret. Contoh; nilai dasar kemaslahatan dikonkretisasi dalam norma tengah (doktrin umum) berupa kaidah fighiyyah yaitu “kesukaran memberi kemudahan”. Norma tengah ini dikonkretisasi lagi dalam bentuk peraturan hukum konkret misalnya hukum boleh berbuka puasa bagi musafir. Teori ini mungkin bisa dijadikan sebagai salah satu pendekatan dalam pengembangan paradigma hukum Islam yaitu paradigma historis ilmiah yang nanti akan penulis jadikan sebagai paradigma alternatif dengan mengkombinasikannya dengan metode holistik ( teori induktif/integratit) Fazlur Rahman sebagai salah satujalan dalam mengoperasionalkan paradigma tersebut. Mengenai teori pertingkatan norma lihat Syamsul Anwar, “Pengembangan Metode Penelitian Hukum Islam”, dalam Ainurrafiq (ed.), Mazhab Jogja;Menggagas Paradigma Ushul Fiqih Kontemporer (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002), hlm. 147-162.

[1] Al- Syatibi sendiri mengungkapkan bahwa ia memang berupaya menjadikan ushul fiqih sebagai ilmu burhani yang qat’i sehingga dapat mendatangkan dan menghasilkan pengetahuan hukum Islam yang valid secara ilmiah. Abu Ishaq asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, edisi Abdullah Darraz (Mesir: tnp., t.t), I, hlm. 29-34.

            [1]  Suatu tinjauan pustaka mempunyai kegunaan untuk : 1) Mengungkapkan penelitian-penelitian yang serupa dengan penelitian yang (akan) kita lakukan; dalam hal ini, diperlihatkan pula cara penelitian-penelitian tersebut menjawab permasalahan dan merancang metode penelitiannya;2) Membantu memberi gambaran tentang metoda dan teknik yang dipakai dalam penelitian yang mempunyai permasalahan serupa atau mirip penelitian yang dihadapi; 3) Mengungkapkan sumber-sumber data (atau judul -judul pustaka yang berkaitan) yang mungkin belum kita ketahui sebelumnya; 4) Mengenal peneliti -peneliti yang karyanya penting dalam permasalahan yang dihadapi (yang mungkin dapat dijadikan nara sumber atau dapat ditelusuri karya-karya tulisnya yang lain yang mungkin terkait; 5) Memperlihatkan kedudukan penelitian yang (akan) kita lakukan dalam sejarah perkembangan dan konteks ilmu pengetahuan atau teori tempat penelitian ini berada;  6) Mengungkapkan ide-ide dan pendekatan-pendekatan yang mungkin belum kita kenal sebelumya; 7) Membuktikan keaslian penelitian (bahwa penelitian yang kita lakukan berbeda dengan penelitian -penelitian sebelumnya); 

          [1] Akhir-akhir ini masyarakat dihebohkan dengan maraknya pemberitaan kekerasan terhadap anak-anak di media. Dalam berbagai berita kekerasan terhadap anak dalam segala bentuk dan kualitasnya telah lama terjadi di komunitas kita. Berita-berita tersebut makin marak karena semakin baiknya kinerja wartawan. Kalau dulu ada Arie Hanggara, sekarang muncul kasus-kasus yang sama. Bukan lagi dilakukan oleh bapak/ibu tiri saja tetapi justru dilakukan oleh orang tua kandung. Bentuk kekerasan bisa berupa korban kekerasan, penelantaran, eksploitasi, perlakuan salah, diskriminasi, dan perlakuan tidak manusiawi. Semua tindakan kekerasan kepada anak-anak direkam dalam bawah sadar mereka dan dibawa sampai kepada masa dewasa, dan terus sepanjang hidupnya. Tindakan-tindakan di atas dapat dikategorikan sebagai child abuse atau perlakuan kejam terhadap anak-anak. Child abuse itu sendiri berkisar sejak pengabaian anak sampai kepada perkosaan dan pembunuhan. Ada 4 macam  child abuse, yaituemotional abuse, terjadi ketika orang tua setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, mengabaikan anak itu. Si ibu membiarkan anak basah atau lapar karena ibu terlalu sibuk atau tidak ingin diganggu pada waktu itu. Si ibu boleh jadi mengabaikan kebutuhan anak untuk dipeluk atau dilindungi. Anak akan mengingat semua kekerasan emosional jika kekerasan emosional  itu berlangsung konsisten. Verbal abuse, terjadi ketika si ibu, setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, menyuruh anak itu untuk “diam” atau “jangan  menangis”. Jika si anak mulai berbicara, ibu terus-menerus menggunakan  kekerasan verbal seperti, “kamu bodoh”, “kamu cerewet”, “kamu kurang ajar”, dan seterusnya. Physical abuse, terjadi ketika si ibu memukul anak (ketika  anak sebenarnya membutuhkan perhatian). Memukul anak dengan tangan atau  kayu, kulit atau logam akan diingat anak itu. Sexual abuse, biasanya tidak  terjadi selama delapan belas bulan pertama dalam kehidupan anak. Walaupun  ada beberapa kasus ketika anak perempuan menderita kekerasan seksual dalam  usia enam bulan. Center for Tourism Research & Development Universitas Gadjah  Mada, mengekspos penelitiam tentang child abuseyang terjadi dari tahun 1992–2002 di 7 kota besar yaitu, Medan, Palembang, Jakarta, Semarang, Surabaya, UjungPandang dan Kupang, ditemukan bahwa ada 3969 kasus, dengan rincian sexual abuse 65.8%, physical abuse 19.6%, emotional abuse 6.3%, dan child neglect 8.3%. Berdasarkan kategori usia korban: 1. Kasus sexual abuse: persentase tertinggi usia 6-12 tahun (33%) dan terendah usia 0-5 tahun (7,7%). 2. Kasus physical abuse: persentase tertinggi usia 0-5 tahun (32.3%) dan terendah usia 13-15 tahun (16.2%). 3. Kasus emotional abuse: persentase tertinggi usia 6-12 tahun (28.8%) dan terendah usia 16-18 tahun (0.9%). Tindakan Kekerasan pada Anak dalam Keluarga  4. Kasus child neglect: persentase teringgi usia 0-5 tahun (74.7%) dan terendah usia 16-18 tahun (6.0%). Berdasarkan tempat terjadinya kekerasan : 1. Kasus sexual abuse: rumah (48.7%), sekolah (4.6%), tempat umum (6.1%), tempat kerja (3.0%), dan tempat lainnya-di antaranya motel, hotel dll (37.6%). 2. Kasus physical abuse: rumah (25.5%), sekolah (10.0%), tempat umum (22.0%), tempat kerja (5.8%), dan tempat lainnya (36.6%). 3. Kasus emotional abuse: rumah (30.1%), sekolah (13.0%), tempat umum (16.1%), tempat kerja (2.1%), dan tempat lainnya (38.9%). 4. Kasus child neglect: rumah (18.8%), sekolah (1.9%), tempat umum (33.8%), tempat kerja (1.9%), dan tempat lainnya (43.5%). Data tersebut menunjukkan bahwa tiada tempat yang "aman" bagi anak. “Orang-orang yang mengasihi maka dia akan di-Kasihi oleh Allah swt Dzat Maha Pengasih.” Anak-anak termasuk juga hamba Allah, mereka memiliki hak untuk dikasihi dan dicintai. Kyai Fuad menerangkan, pernah terjadi, pada saat Nabi saw mendirikan shalat dan sedang sujud datanglah Sayyidina Hasan ra dan Sayyidina Husein ra. Keduanya naik ke atas punggung beliau laksana mengendarai tunggangan. Nabi saw lalu memperlama sujudnya. Seusai shalat Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya cucu-cucuku tadi jadikanku sebagai tunggangan. Dan aku tidak hendak bangkit dari sujud sampai mereka selesai melampiaskan keinginannya.” Aduhai, betapa lembut dan kasihnya Nabi saw kepada anak-anak kecil. Hadist Riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Abu Hurairah ra di atas terdapat dalil bahwa manusia mesti menggunakan kasih sayang dalam menggauli anak-anaknya.  Hadis maupun Qur'an menunjukkan bahwa kekerasan bisa diatasi melalui peran keluarga, terutama pasangan suami dan istri.


[1] Syamsul Anwar, Membangun Good Governance dalam Penyelenggaraan Birokrasi Publik di Indonesia: Tinjauan dari Perspektif Syari'ah dengan Pendekatan Ushul Fiqih, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Usul Fikih, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2005, hlm. 4-5. Mengenai teori pertingkatan norma, secara sederhana dapat dijelaskan bahwa teori pertingkatan norma adalah teori yang mencoba menemukan hukum lewat tiga penjenjangan norma, yaitu,
pertama, norma-norma dasar atau nilai-nilai filosofis (al-qiyam al-asasiyyah) seperti kemaslahatan, keadilan, kesetaraan. Norma-norma tersebut sebahagian sudah ada berdasarkan fakta-fakta dan sudah diakui.
Kedua, norma-norma tengah berupa doktrin-doktrin umum hukum Islam yaitu al-nazariyyah al fiqhiyyah dan al-qawa ‘id al-fiqhiyyah.
Ketiga, peraturan-peraturan hukum kongkret (al-ahkam al far ‘iyyah). Ketiga lapisan norma ini tersusun secara hierarkis dimana norma yang paling abstrak dikongkritisasi menjadi norma yang lebih kongkret. Contoh; nilai dasar kemaslahatan dikonkretisasi dalam norma tengah (doktrin umum) berupa kaidah fighiyyah yaitu “kesukaran memberi kemudahan”. Norma tengah ini dikonkretisasi lagi dalam bentuk peraturan hukum konkret misalnya hukum boleh berbuka puasa bagi musafir. Teori ini mungkin bisa dijadikan sebagai salah satu pendekatan dalam pengembangan paradigma hukum Islam yaitu paradigma historis ilmiah yang nanti akan penulis jadikan sebagai paradigma alternatif dengan mengkombinasikannya dengan metode holistik ( teori induktif/integratit) Fazlur Rahman sebagai salah satujalan dalam mengoperasionalkan paradigma tersebut. Mengenai teori pertingkatan norma lihat Syamsul Anwar, “Pengembangan Metode Penelitian Hukum Islam”, dalam Ainurrafiq (ed.), Mazhab Jogja;Menggagas Paradigma Ushul Fiqih Kontemporer (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002),  147-162.

    [1] Al- Syatibi sendiri mengungkapkan bahwa ia memang berupaya menjadikan ushul fiqih sebagai ilmu burhani yang qat’i sehingga dapat mendatangkan dan menghasilkan pengetahuan hukum Islam yang valid secara ilmiah. Abu Ishaq asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, edisi Abdullah Darraz (Mesir: tnp., t.t), I,29-34.

                 [1] Hadits Riwayat Bukhari no. 6160  dan Muslim  no.1322
                          [1] Hadits Riwayat al-Tirmizi  no.2478
                          [1] Hadits Riwayat Bukhari no.6064 dan Hadits Muslim no.2559, dalam Ensiklopedi           Anak,(Darussunnah, Jakarta 2007) hlm 790
               [1] Ibid  hlm 701
                          [1]  Hadits Riwayat Ahmad ini, menurut Al-Bani adalah shahih al-jami'I al-Shaghir, no.5744, dikatakan lagi bahwa hadits ini hasan.
        [1] Teori merupakan salah satu konsep dasar penelitian. Teori adalah seperangkat konsep/konstruk, defenisi dan proposisi yang berusaha menjelaskan hubungan sistimatis suatu fenomena, dengan cara memerinci hubungan  sebab-akibat yang terjadi. Erwan dan Dyah (2007) teori menurut  adalah serangkaian konsep yang memiliki hubungan sistematis untuk menjelaskan suatu fenomena sosial tertentu. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa teori merupakan salah satu hal yang paling fundamental yang harus dipahami seorang peneliti ketika ia melakukan penelitian karena dari teori-teori yang ada peneliti dapat menemukan dan merumuskan permasalahan sosial yang diamatinya secara sistematis untuk selanjutnya dikembangkan dalam bentuk hipotesis-hipotesis penelitian.
 
               [1] Murid yang mengalami hukuman fisik akan memakai kekerasan di keluarganya nanti, sehingga siklus kekerasan makin kuat. Gershoff, yang meneliti kasus ini selama 60 tahun sejak 1938, menemukan sejumlah perilaku negatif akibat dari kekerasan, seperti perilaku bermasalah dalam agresi, anti-sosial, dan gangguan kesehatan mental. Kekerasan tidak mengajar murid untuk bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, dan tidak menghentikan perilaku keliru jika mereka ada di luar pantauan orangtua dan guru Ad hoc Corporal Punishment Committee (2003)

         [1] Jumlah kasus kekerasan pada anak di Indonesia terus meningkat. Data dari Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat, pada 2007 jumlah pelanggaran hak anak yang terpantau sebanyak 40.398.625 kasus. Jumlah itu melonjak drastis jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 13.447.921 kasus. Data tersebut berdasarkan laporan yang masuk kelembaga tersebut, yang tersebar di 30 provinsi.Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak Seto Mulyadi menjelaskan, kasus pelanggaran hak anak meliputi kekerasan, penelantaran, eksploitasi, perdagangan anak, dan penculikan.












           [1] Menurut Kamus Bahasa Indonesia karangan S.Wojowasito, hukuman berarti siksaan atau pembalasan kejahatan (kesalahan dosa). Dalam bahasa Arab hukuman disebut dengan iqab dan uqubah, yang pada dasarnya mempunyai pengertian yang sama. Abdul Qadir Audah memberikan definisi hukuman sebagai berikut: Hukuman adalah pembalasan atas pelanggaran perintah syara’ yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat.” Dari definisi tersebut, dapat kita kemukakan bahwa hukuman merupakan balasan yang setimpal atas perbuatan pelaku kejahatan yang mengakibatkan orang lain menjadi korban akibat perbuatannya. Dalam ungkapan lain, hukuman merupakan penimpaan derita dan kesengsaraan bagi pelaku kejahatan sebagai balasan dari apa yang telah diperbuatnya kepada orang lain atau balasan yang diterima si pelaku akibat pelanggaran (maksiat) perintah syara.
Uqubah atau sanksi hukuman dalam sistem hukum pidana Islam terbagi kepada tiga kategori utama yaitu uqubah hudud, uqubah qisas dan diat dan uqubah ta’zir.
Uqubah hudud dan uqubah qisas serta diat adalah untuk menjaga tujuan-tujuan utama dari syara’ (maqasid syariah). Uqubah al-riddah (orang-orang murtad) adalah untuk menjaga agama. Uqubah qisas, diat dan sebagaian dari uqubah perompakan (uqubat had al-hirabah) adalah untuk menjaga diri dan lainnya. Uqubah zina dan qazaf adalah untuk menjaga keturunan. Uqubah mencuri (Uqubah al-sariqah) dan sebagian dari uqubah perompakan adalah untuk menjaga harta manakala uqubah mabuk (uqubah al-Shurb) adalah untuk menjaga akal.

         [1] Lihat Mohammad Asrori, Psikologi Pembelajaran (Bandung, 2008),  37-38

           [1]  Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam, terj. Salman Harun (Bandung, 1993), 341

         [1]  Khalid, Ushul Al Tarbiyah Al Islamiyah, 400

             [1]  JP. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, terj.  Kartini Kartono (Jakarta,  2006), hal. 410

            [1]   Lisan Al ‘Arab, I:619

            [1]  Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2006), h. 206

            [1]  M. Arifin, Ilmu Pendidikan Suatu Tinjauan Teoretis dan Praktis (Bumi Aksara: Bandung, 2006), 175-176

           [1]  Ushul Al Tarbiyyah Al Islamiyyah, hal. 401
           [1]  Depag, Al-Qur’an dan Terjemahannya
        [1] Adapun dasar hukum dera atau cambuk seratus kali adalah firman Allah dalam surah an-Nur ayat 2: sedangkan menurut istilah, Pezina perempuan dan laki-laki hendaklah disebat seratus kali dan janganlah merasa belas kasihan kepada kedua-duanya sehingga mencegah kamu dalam menjalankan hukum Allah, hal ini jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan hendaklah dalam menjatuhkan hukuman (memukul) mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman..Sedangkan dasar penetapan undang-undang rejam adalah hadis Nabi:
Terimalah dariku! Terimalah dariku! Sungguh Allah telah memberi jalan kepada mereka. Bujangan yang berzina dengan gadis dijilid seratus kali dan diasingkan selama satu tahun. Dan orang yang telah berkahwin yang berzina didera seratus kali dan direjam.

        [1] QS An Nur: 2

        [1]  Ahmad Fuad, hal 143

             [1]  ibid

            [1]  Al Qabisy dalam Ahmad Fuad Ahwany, At Tarbiyah fi Al Islam, hal 141.

             [1]  Ahmad Fuad Al Ahwany, Al Tarbiyah fi al Islam, hal. 131.

             [1]  Khalid, Ushul Al Tarbiyah Al Islamiyah, hal. 403

              [1]  Ibnu Mandzur, Lisan Al Arab, juz 5: 250

                 [1]  Ibnu Hajar, Fath al Baary, 10: 492

         [1]  An Nisa: 34

            [1]  Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, (CD kitab Sembilan Imam), no. 418
          [1]  Bukhori, Al Adab Al Mufrod, no. 883, hal. 295

          [1]  Ibnu Muflih, Al Adab Al Syar’iyyah, no. 1451

             [1]  ibid. no. 451
             [1]  Bukhori, Shahih Bukhori, no. 6342

             [1]  Ibnu Hajar, Fath al Bary, (Beirut, 1994), juz 12, hal 178

          [1]  Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, terj. Jamaludin Miri (Jakarta, 1994), hal. 325-327

            [1] Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?.” (QS. Al Maidah: 50)
      [1] http://www.indokado.com/ http://www.balita-anda.com
               [1] "Karya Lengkap" Driyarkara, 2006 : 422

            [1]  Kompas, 27 Oktober 2007 - kolom Humaniora

          [1] Undergraduate Theses from digilib-uinsuka / 2009-11-24 11:50:17
Oleh : Siti Toyibah, Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta .Dibuat : 2009-11-24, dengan 1 file, dengan judul: Efektifitas, Hukuman, disiplin, Santri, Pondok Pesantren.

             [1] Konsep adalah generaliasasi dari sekelompok fenomena tertentu, sehingga dapat dipakai untuk menggambarkan berbagai fenomena dengan ciri atau kekhasan yang sama. Jadi konsep harus merupakan atribut dari berbagai kesamaan fenomena yang diamati. Jika orang berbeda pendapat mengenai rubrik- rubrik yang dibaca di koran, ada yang suka berita politik, olaharaga atau rubrik hiburan, pada dasarnya semua perbedaan kebiasaan membaca tersebut dapat dikonsepkan sebagai “kegemaran membaca koran”. Karena terdapat perbedaan- perbedaan dalam skala abtraksinya maka konsep memiliki tingkat generalisasi yang berbeda-beda. Sebagai contoh konsep kepuasan pegawai akan lebih mudah diukur dibanding dengan konsep kesejahteraan pegawai. Konsep tingkat intensitas menonton televisi akan lebih mudah diukur dibanding dengan konsep kepuasaan menonton televisi. Konsep yang bersifat sangat abstrak disebut denganconstruct, sementara konsep yang empiris (yang dapat diamati, diukur) disebut dengan konsep.

             [1] Psikologi Hukum mencakupi sub-sub bidang: (a) Psychology of Law, (b) Psychology in Law, (c) Psychology and Law, (d) Legal Forensik dan (e) Neuro Science. Oleh karena itu, dalam Pengantar bukunya yang berjudul "Applying Psychology to Criminal Justice", editor buku itu, David Carson, et.al, memulai dengan kalimat: "Few things should go together better than psychology and law. Both are concerned with human behaviour: analyzing it, predicting it, understanding it and, sometimes, controlling it. Lawyers may, in the absence of empirical research, have made assumptions about human behaviour; for example that people who know they are dying will tell the truth (an exception to the rule against hearsay evidence). Judges had to make decisions to settle the dispute before them. But now there is research which can inform the law".
             Ada kemiripan objek antara ilmu hukum dan psikologi. Baik hukum maupun psikologi, keduanya menaruh minat terhadap perilaku manusia; menganalisis perilaku itu, memprediksinya, memahaminya dan, kadang-kadang mengendalikan perilaku tersebut. Pakar Psikologi Hukum yang paling terkenal adalah Lawrence S Wrightsman, dari University of Kansas. Di antara buku-buku paling populer karya Wrightsman: Psychology and the Legal-System (1988) yang saking larisnya sekarang sudah terbit edisi keenam; Judicial Decision Making, Is Psychology Relevant? (1999).

                       [1] Hermeneutika dapat didefinisikan secara longgar sebagai suatu teori atau filsafat interpretasi  makna.  Kesadaran  bahwa  ekspresi-ekspresi  manusia  berisi  sebuah komponen penuh makna, yang harus disadari sedemikian rupa oleh subjek dan yangdiubah menjadi system nilai dan maknanya sendiri, telah memunculkan persoalan-persoalan hermeneutika. Dalam pandangan klasik, hermeneutik mengingatkan kepada apa yang ditulis Aristoteles dalam Peri Hermeneias atau  De Interpretatione.Yaitu bahwa kata-kata yang di ucapkan adalah simbol dari pengalaman mental pribadi sendiri,  dan kata-kata yang ditulis adalah simbol dari kata-kata yang diucapkan itu.Bahasa tidak boleh dipikirkan sebagai yang mengalami perubahan. Menurut Gadamer bahasa harus dipahami sebagai sesuatu yang memiliki ketertujuan(teleologi di dalam dirinya. Karena kata-kata ataupun ungkapan mempunyai tujuantelos tersendiri atau penuh dengan maksud, demikian dikatakan Wilhelm Dilthey.Setiap kata tidak pernah tidak bermakna.

                           [1] Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat PT.GrafindoPersada,(Jakarta,2006) hlm 29, ditambahkan bahwa, bahan / sumber primer juga, laporan penelitian,majalah, disertasi atau tesis, paten dan buku-buku.
           [1] Ibid, berisikan informsi tentang bahan primer, menakup : Abstrak, Index, Bibliografi, Penerbitan Pemerintah dan bahan acuan lainnya.Lihat Amiruddin dan Zainal Hakim, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta,Raja Grafindo,2004) 97
            [1] Ibid, h. 71
               [1] Muhammad Abed al-Jabiri,  Bun-yah al-‘Aql al’-‘Arabi, 20.

                [1] Muhammad Abed al-Jabiri, Takwin al Aql al- ‘Arabi (Beirut al-Markaz as-Saqafi al-‘Arabi, 1993), hlm. 96-98. Lihat juga kutipan Muhyar Fanani terhadap pemikiran al-Jabiri ini dalam Muhyar Fanani, Menelusuri Epistemologi, h 29.

[1] Al-Juwayni, al-Burhan fi Ushul al-Fiqh, cet. 4, Editor, Abdul Adzim Mahmud ad-Dib (Manshurah, Mesir: al-Wafa, 1418),I, hlm. 130.

[1] Muhyar Fanani, Pemikiran Muhammad Syahrur dalam Ilmu Ushul Fikih: Teori Hudud sebagai Alternatif Pengembangan Ilmu Ushul Fikih, Disertasi, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, him. 438.

[1] Syamsul Anwar, Epistemologi Hukum Islam dalam al-Musytasyfa min `Ilm al-Ushul Karya al-Ghazali (450-505/1058-1111), Disertasi, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, hlm. 163.

[1] Khaled Abou el-Fadl sendiri mengungkapkan bahwa “Islam mendefenisikan dirinya dengan merujuk kepada sebuah kitab, dengan demikian, mendefenisikan diri dengan merujuk kepada suatu teks... karena itu, kerangka rujukan paling dasar dalam Islam adalah teks. Teks itu dengan sendirinya memiliki tingkat otoritas dan reabilitas yang jelas. Oleh karena itu peradaban Islam ditandai dengan produksi literer yang bersifat massif terutama dibidang al-Shari’ah (hukum Islam). Ada banyak faktor yang turut mendukung proses produksi ini, tetapi sudah pasti bahwa teks memainkan peran penting dalam penyusunan kerangka dasar referensi keagamaan dan otoritas hukum dalam Islam”. Khaled M. Abou el-Fadl, Melawan “Tentara Tuhan”; yang berwenang dan sewenang-wenang dalam wacana Islam, terj. Kurniawan Abdullah (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003), hlm. 54.

[1] Akh. Minhaji membagi model pendekatan ushul fikih menjadi 2, pertama, teologis normative deduktif dan kedua, empiris historis induktif Lihat Akh. Minhaji, “Reorientasi Kajian Ushul Fiqih”, dalam Jurnal al-Jami ‘ah No. 63/VI/1999, h1m. 16. lihat juga tulisannya Hukum Islam Antara Sakralitas dan Profanitas (Perspektif Sejarah Sosial), Pidato Pengukuhan Guru Besar Sejarah Sosial Pemikiran Hukum Islam, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2004, hlm. 40-46.

[1] Ibid., 40-41. Begitu rigidnya paradigma literalistik, sehingga menurut Fazlur Rahman ada tiga kelemahan dari metode studi Islam klasik dan pertengahan yaitu, pertama, pemahaman yang terpotong-potong. Kedua, kurang memperhatikan unsur sejarah, dan ketiga, terlalu tekstual. Rahman menyebut kajian Islam klasik dan pertengahan dengan studi yang atomistis, ahistoris, dan literalistis. Senada dengan Rahman, Arkoun juga melancarkan kritik terhadap para pemikir hukum Islam yang masih menyandarkan pendapatnya kepada sistem pemikiran epsitemik Zaman Tengah dengan ciri, pertama, mencampurkan antara mitos dan sejarah, kedua, menekankan keunggulan teologis orang Muslim atas non-Muslim, ketiga, pensucian bahasa, keempat, univokalisasi makna yang diwahyukan Tuhan, kelima, anggapan tentang nalar pribadi yang transhistoris, dan keenam, diktum hukum diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas. Fazlur Rahman, “Islam: Challenges and Opportunities”, dalam Islam: Past Influence and Present Challenge, diedit oleh Alford T. Welch dan Pierre Cachia (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1979), h 319-327. Taufik Adnan
Amal, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman (Bandung: Mizan, 1993), h1m. 186. Arkoun, “Ke Arah Islamologi Terapan”, alih bahasa Syamsul Anwar, Al-Jami’ah, No. 53 (1993), hlm. 72.

[1] Syamsul Anwar, Membangun Good Governance dalam Penyelenggaraan Birokrasi Publik di Indonesia: Tinjauan dari Perspektif Syari'ah dengan Pendekatan Ushul Fiqih, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Usul Fikih, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2005, hlm. 4-5. Mengenai teori pertingkatan norma, secara sederhana dapat dijelaskan bahwa teori pertingkatan norma adalah teori yang mencoba menemukan hukum lewat tiga penjenjangan norma, yaitu,
pertama, norma-norma dasar atau nilai-nilai filosofis (al-giyam al-asasiyyah) seperti kemaslahatan, keadilan, kesetaraan. Norma-norma tersebut sebahagian sudah ada berdasarkan fakta-fakta dan sudah diakui.
Kedua, norma-norma tengah berupa doktrin-doktrin umum hukum Islam yaitu an-nazariyyah al fiqhiyyah dan al-qawa ‘id al-fiqhiyyah.
Ketiga, peraturan-peraturan hukum kongkret (al-ahkam al far ‘iyyah). Ketiga lapisan norma ini tersusun secara hierarkis dimana norma yang paling abstrak dikongkritisasi menjadi norma yang lebih kongkret. Contoh; nilai dasar kemaslahatan dikonkretisasi dalam norma tengah (doktrin umum) berupa kaidah fighiyyah yaitu “kesukaran memberi kemudahan”. Norma tengah ini dikonkretisasi lagi dalam bentuk peraturan hukum konkret misalnya hukum boleh berbuka puasa bagi musafir. Teori ini mungkin bisa dijadikan sebagai salah satu pendekatan dalam pengembangan paradigma hukum Islam yaitu paradigma historis ilmiah yang nanti akan penulis jadikan sebagai paradigma alternatif dengan mengkombinasikannya dengan metode holistik ( teori induktif/integratit) Fazlur Rahman sebagai salah satujalan dalam mengoperasionalkan paradigma tersebut. Mengenai teori pertingkatan norma lihat Syamsul Anwar, “Pengembangan Metode Penelitian Hukum Islam”, dalam Ainurrafiq (ed.), Mazhab Jogja;Menggagas Paradigma Ushul Fiqih Kontemporer (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002), h. 147-162.

[1] Asy Syatibi sendiri mengungkapkan bahwa ia memang berupaya menjadikan ushul fiqih sebagai ilmu burhani yang qat’i sehingga dapat mendatangkan dan menghasilkan pengetahuan hukum Islam yang valid secara ilmiah. Abu Ishaq asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, edisi Abdullah Darraz (Mesir: tnp., t.t), I, h. 29-34.

          [1] Pada Penelitian Kuantitatif: Strategi Pendekatannya Deduktif-Verifikatif. Peneliti bertolak dari konsep-konsep tertentu dan landasan-landasan teori tertentu. Konsep-konsep tersebut diberi batasan-batasan operasional, termasuk memecahnya kedalam variabel-variabel, juga dirumuskan hipotesis-hipotesis. Atas dasar hipotesis (kesimpulan logis-deduktif) dan batasan konsep/ variabel yang telah dirumuskan, kemudian dikembangkan alat-alat ukur untuk mendapatkan  ukuran dalam kenyataan empiris sekiranya hipotesis itu benar atau sekiranya hipotesis itu salah.
           [1]Al Qawa’id al-Fiqhiyyah (القواعد الفقهيّة) Syaikh ‘Abdurrahman Ibn Nashir As Sa’diy rahimahullah وضِدُّه تزاحُم المَفاسِد       يُرْتكَبُ الأدْنَي مِن المَفاسِد .Sebaliknya, bila sejumlah mafsadat berbenturan maka diutamakan yang paling ringan mafsadatnya. Mafasid (kerusakan) : bisa haram atau makruh. Apabila seseorang dihadapkan pada dua pilihan yang jelek, maka diambil yang paling ringan kerusakannya. Apabila salah satunya haram dan yang lainnya makruh, maka dikerjakan yang makruh. Maka memakan sesuatu yang masih diragukan keharamannya lebih didahulukan daripada memakan sesuatu yang pasti haramnya. Apabila keduanya haram atau keduanya makruh, maka yang dikerjakan adalah yang paling ringan keharamannya atau kemakruhannya. Kondisi di atas semuanya hanya dalam kondisi darurat !!
          [1] English to English,dictionary noun: 1. state of uncertainty or perplexity especially as requiring a choice between equally unfavorable options 2. An argument which presents an antagonist with two or more alternatives, but is equally conclusive against him, whichever alternative he chooses. 

               [1]  http://www.samarindacity.com/node/749

              [1]  Ibnu Hazm (994-1064 M), salah satu tokoh ulama dari mazhab Zahiri, bahkan menulis satu pembahasan khusus untuk menolak metode sadd adz-dzari’ah dalam kitabnya al-Ahkam fi Ushul al-Ihkam. Ia menempatkan sub pembahasan tentang penolakannya terhadap sadd adz-dzari’ah dalam pembahasan tentang al-ihtiyath (kehati-hatian dalam beragama). Sadd adz-dzari’ah lebih merupakan anjuran untuk bersikap warga dan menjaga kehormatan agama dan jiwa agar tidak tergelincir pada hal-hal yang dilarang.
              [1]  Terkait dengan kedudukan sadd al-dzari’ah, Elliwarti Maliki, seorang doktor wanita pertama asal Indonesia lulusan al-Azhar, Kairo, menganggap bahwa sadd al-dzari’ah merupakan metode istinbath hukum yang mengakibatkan kecenderungan sikap defensif (mempertahankan diri) di kalangan umat Islam. Pada gilirannya, hal ini bisa menimbulkan ketidakberanian umat untuk berbuat sesuatu karena takut terjerumus dalam mafsadah. Di samping itu, produk-produk fikih dengan berdasarkan sadd al-dzari’ah cenderung menjadi bias gender.
           [1] Departemen  Agama RI QS. 4:34
              [1]  Ibnul ‘Arobi berkata, “Atho’ berkata, “Janganlah sang suami memukul istrinya, meskipun jika ia memerintah istrinya dan melarangnya ia tidak taat, akan tetapi hendaknya ia marah kepada istrinya” [Ahkamul Qur’an I/536]

Berkata Al-Qodhi, “Ini di antara fakihnya ‘Atho’…ia mengetahui bahwasanya perintah untuk memukul dalam ayat ini adalah untuk menjelaskan bahwa hukumnya adalah dibolehkan (bukan diwajibkan)” [Ahkamul Qur’an I/536
             [1] HR Abi Dawud II/245 no 2146, Ibnu Majah no 1985 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani, dari hadits sahabat Abdullah bin Abi Dzubab]

Dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam bersabda, لَنْ يَضْرِبَ خِيَارُكُمْ “Orang-orang terbaik diantara kalian tidak akan memukul” [HR Al-Hakim dalam Al-Mustadrok II/208 no 2775, Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Baihaqi Al-Kubro VII/304 no 14553 dari Shohabiah Ummu Kultsum binti Abu Bakar As-Shiddiq. 

Imam Asy-Syafi’I berkata, “Sabda Nabi shallallahu 'alihi wa sallam “Orang-orang terbaik diantara kalian tidak akan memukul” merupakan dalil bahwa memukul wanita hukumnya adalah mubah (dibolehkan) dan tidak wajib mereka dipukul. Dan kami memilih apa yang telah dipilih oleh Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam, maka kami suka jika seorang suami tidak memukul istrinya tatkala mulut istrinya lancang kepadanya atau yang semisalnya” Al-Umm V/194
           [1] Aunul Ma’bud VI/129
 
           [1] Berkata Ibnu Hajar, “Jika sang suami mencukupkan dengan ancaman (tanpa memukul) maka lebih afdhol. Dan jika masih memungkinkan untuk mencapai tujuan dengan isyarat (perkataan keras) maka janganlah ia berpindah pada tindakan (pemukulan) karena hal itu menyebabkan rasa saling menjauh yang bertentangan dengan sikap mempergauli istri dengan baik” Fathul Bari IX/304
             [1]  Berkata Ibnu Hajar, “Jika sang suami mencukupkan dengan ancaman (tanpa memukul) maka lebih afdhol. Dan jika masih memungkinkan untuk mencapai tujuan dengan isyarat (perkataan keras) maka janganlah ia berpindah pada tindakan (pemukulan) karena hal itu menyebabkan rasa saling menjauh yang bertentangan dengan sikap mempergauli istri dengan baik” [Fathul Bari IX/304
             [1] Ibid
             [1] Lihat Al-Mughni VII/242
           [1]  Loc Cit,  Al-Mughni VII/243
              [1] HR Muslim III/1673 no 2116
              [1] Al-Minhaj syarh Shahih Muslim XIV/97
          [1] Ada yang mengatakan maksudnya adalah tidak mengatakan “Wajahmu jelek” atau mengatakan, “Semoga Allah menjelekkan wajahmu”. Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan, “Maksudnya adalah janganlah sang suami mensifati sang istri dengan keburukan. Dan zhohir hadits menunjukan bahwa sang suami tidak mensifati istrinya dengan keburukan baik yang berkaitan dengan tubuhnya ataupun dengan akhlaknya. Yang berkaitan dengan tubuhnya misalnya ia mensifati kejelekan di matanya atau hidungnya atau telinganya atau tingginya atau pendeknya. Yang berkaitan dengan akhlaknya misalnya ia mengatakan kepada istrinya, “Kamu goblok”, “Kamu gila” dan yang semisalnya. Karena jika sang suami mensifatai istrinya dengan keburukan maka hal ini akan menjadikan sang istri terus mengingat celaannya tersebut hingga waktu yang lama” (Syarah Bulughul Maram kaset no 12)

[1] HR Abu Dawud no 2142 dan Ibnu Majah no 1850 dari hadits Mu’awiyah bin Haidah.Ibnu Hajar menyatakan hadits ini bisa dijadikan hujjah, Al-Fath IX/301
             [1] HR Muslim II/890 no 1218
             [1] Asy-Syarhul Mumti’ XII/444
            [1] Ahkamul Qur’an I/535
             [1] Berkata Ibnu Hajar, “(yaitu) kemungkinan jauhnya terjadi hal ini (digabungkannya) dua perkara dari seorang yang memiliki akal, yaitu memukul istri dengan keras kemudian menjimaknya di akhir harinya atau akhir malam. Padahal jimak hanyalah baik jika disertai kecondongan hati dan keinginan untuk berhubungan, dan biasanya orang yang dicambuk lari dari orang yang mencambuknya…dan jika harus memukul maka hendaknya dengan pukulan yang ringan dimana tidak menimbulkan pada sang istri rasa yang amat sangat untuk lari (menjauh), maka janganlah ia berlebih-lebihan dalam memukul dan jangan juga kurang dalam memberi pelajaran bagi sang istri” [Fathul Bari IX/303, lihat juga HR Al-Bukhari V/2009]  Barangsiapa yang berbuat aniaya dengan memukul istrinya padahal istrinya telah taat kepadanya, atau dia memukul istrinya karena merasa tinggi dan ingin merendahkan istrinya maka sesungguhnya Allah lebih tinggi darinya dan akan membalasnya.   Allah berfirman

فَإِنْ
 أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُواْ عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيّاً كَبِيراً

Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
(QS. 4:34)

         [1] HR Al-Bukhari V/1997 no 4908 dan Muslim IV/2191 no 2855 dari hadits Abdullah bin Zam’ah
[1] Nur Hidayati, dkk. 2007. Memperkecil Kekerasan Terhadap anak-anak di Madrasah Ibtidaiyah. Jakarta: Departemen Agama. 24.

[1] Lihat Office of the High Commisioner for Human Rights, Convention on the Eliminationof all Forms of Discrmination againts Women, (Geneva: OHCHR, 1979), h. 1-12. Hasil konvensi ini ditandatangani dan diratifikasi oleh resolusi Sidang Umum PBB No. 34 /180 tertanggal 18 Desember 1979, dan diberlakukan sejak 3 September 1981. Hasil konvensi ini memuat 30 pasal yang sebagian besar berisikan perlindungan bagi hak-hak kaum perempuan.

[1] Lihat Office of The High Commissioner for Human Rights. Declaration on the Elimination or All Form of Intolerance and of Discrmination Based on Religion or Belief, (Geneva: OHCHR)

              [1]  KHA pasal 2 ayat (1).
           [1] UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 2

              [1] Corporate punishment terbagi atas tiga buah tipe utama:
- Parental Corporate punishment,
merupakan kekerasan dalam lingkup keluarga
School Corporate punishment, misalnya perilaku kekerasan dari guru terhadap murid di sekolah
Judicial Corporate punishment, misalnya pemukulan atau pencambukan baik orang muda maupun dewasa dalam koridor hokum. Sekretaris Jenderal Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Arist Merdeka Sirait memyatakan kekerasan di dunia pendidikan cukup banyak terjadi. Dari 1926 kasus yang dilaporkan sepanjang 2008, 28 persennya terjadi di lingkungan sekolah, sisanya terjadi di lingkungan keluarga, sosial, dan pekerjaan.
[1] Daniel Goleman, Emotional Intelligence, (New York Bantam, 1995), h 97. lihat juga Jeanne. Seagai, “Raising Your Emotional Intelligence” dalam Ary Nilandari (terj.), Melejitkan Kepekaan Emosional, (Bandung: Kaifa, 1997), h. 138

[1] Ibid., h. 140-141.

             [1] Lihat KHA pasal 12 (1) dan penjelasan pasal 2 Undang Undang  Nomor 23  Tahun 2002. tentang Perlindungan Anak. 
         [1]  Di sisi lain, landasan HAM adalah 4 kebebasan: kebebasan beraqidah, kebebasan memiliki, kebebasan pribadi (berperilaku) dan kebebasan berpendapat. Melalui dalih kebebasan ini setiap orang bebas berpindah-pindah  dalam menganut agama, siapapun boleh memiliki apapun dengan cara apapun tanpa lagi memandang apakah yang dimilikinya itu tergolong pemilikan individu, umum, atau pemilikan negara. Melalui HAM itu pula legal bagi siapa saja untuk berbuat apapun selama tidak mengganggu orang lain, dan boleh berpendapat apapun sekalipun menentang, menghina, dan mengolok-olok hukum Allah SWT karena dijamin oleh kebebasan berpendapat. Padahal, dalam ajaran Islam, seluruh perbuatan manusia tidaklah bebas, melainkan harus senantiasa terikat dengan aturan dan hukum dari Allah SWT. Karenanya, dari bebagai dalil dalam Al Quran maupun As Sunnah para ulama menegaskan satu kaidah ushul yang berbunyi:
Hukum pokok dari setiap perbuatan adalah terikat dengan hukum syaraâ.”
Ditinjau dari segi politis, slogan HAM merupakan upaya negara-negara imperialis pimpinan Amerika untuk menutup-nutupi kebobrokan mereka sekaligus sebagai sarana untuk mencampurbauri urusan dalam negeri negara lain. Seperti diketahui, persoalan lingkungan hidup, HAM, dan demokrasi di dunia merupakan salah satu kebijakan politik luar negeri Amerika. Dengan demikian, tidak mengherankan bila mereka hendak mengintervensi Indonesia lewat permasalahan Maluku dengan dalih HAM.
Berdasar hal tersebut, berharap kepada Barat dengan konsep HAM-nya untuk menyelesaikan masalah umat Islam hanyalah akan mendatangkan malapetaka dan murka Allah SWT saja.
             [1] Departemen Agama RI, terjemahan QS Adz Dzariyat [51] : 56
           [1] HR. Muslim
          [1] Dengan diterapkannya hukum-hukum Islam. Bukan hanya umat Islam yang menikmatinya, melainkan juga non muslim yang menjadi kafir dzimmi dalam pemerintahan Islam. Sebab, hak-hak tadi bukan hanya diperuntukkan bagi kaum muslimin saja melainkan juga bagi non muslim yang menjadi warga negara. Nampaklah, ketidakberdayaan, ketertindasan, dan tercerabutnya hak-hak umat Islam di tengah belantara sekularisme ini hanya akan berhenti dengan ditegakkannya hukum Islam. Inilah langkah strategis yang mutlak terus diperjuangkan. Namun, tentu saja langkah-langkah praktis untuk menyelesaikan masalah kekinian perlu diusahakan. Sebab itu, muslim yang berharta meninfakkan hartanya untuk membantu saudaranya yang tengah terusir dan haknya dirampas. Mereka yang punya kekuasaan gunakanlah kekuasaannya untuk menghentikan kezhaliman atas kaum muslimin. Setiap muslim penting dan wajib mencurahkan kemampuannya untuk menolong saudaranya. Dan doâ kepada Allah SWT demi ketinggian Islam dan kaum muslimin tidak layak terputus.
  [1] Secara terminologis, taqnin al-ahkam berarti mengumpulkan hukum-hukum dan kaidah-kaidah penetapan hukum (tasyri’) yang berkaitan dengan masalah hubungan sosial, menyusunnya secara sistematis, serta mengungkapkannya dengan kalimat-kalimat yang tegas, ringkas, dan jelas dalam bentuk bab, pasal, dan atau ayat yang memiliki nomor secara berurutan, kemudian menetapkannya sebagai undang-undang atau peraturan, lantas disahkan oleh pemerintah, sehingga wajib para penegak hukum menerapkannya di tengah masyarakat. Sejarah Awal Taqnin al-Ahkam
Menurut hemat penulis, taqnin al-ahkam juga bisa dirunut jauh ke masa Rasulullah SAW. Artinya, taqnin bukanlah sesuatu yang betul-betul baru sebagaimana dituduhkan oleh para ulama Wahabi Arab Saudi. Sebagaimana diketahui oleh sejarah, Nabi Muhammad pernah menetapkan Piagam Madinah yang mengatur kehidupan masyarakat, baik antara sesama muslim maupun dengan non muslim. Piagam Madinah tersebut merupakan salah satu bentuk taqnin yang pernah dilakukan oleh pemerintahan Rasulullah SAW saat itu. Namun meski ada upaya taqnin tersebut, Rasulullah juga masih membuka peluang perbedaan pendapat di kalangan para sahabatnya. Sikap akomodatif Rasulullah terhadap perbedaan pendapat bisa banyak ditemukan dalam sejarah hukum Islam.

              [1]  Departemen Agama RI Al-Qur’an dan Terjemahannya. QS 5:44.

           [1] Departemen Agama RI QS 6;164
           [1]  Abdullahi Ahmed An-Na’im, Towards an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights, and International Law (Syracuse: Syracuse University Press, 1996) hal. 3-4

           [1] Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam and Human Rights: Beyond The Universality Debate (Washington: The American Society of International Law, 2000) hal. 95. Bandingkan dengan David Littman, Universal Human Rights and Human Rights in Islam  (New York: Journal Midstream, 1999) p. 1.

          [1] Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights: Traditions and Politics (Colorado: West View Press, 1999) hal. 35.

           [1]  Stufentheory diperkenalkan oleh Carl Schmith dan Adolph Merkel. Keduanya pengikut ajaran hukum murni Hans Kelsen. Teori ini banyak menjelaskan teori hukum tentang konstitusi. Lihat dalam Lili M. Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum (Bandung: Alumni, 1985) hal. 43-44.

        [1] Didalam banyak peristiwa, fakta menunjukkan bahwa ketika umat Islam tertindas, mulai dari lembaga-lembaga lokal yang mengklaim sebagai ‘pembela’ HAM sampai lembaga internasional diam seribu bahasa. Sebaliknya, teriakan mereka demikian lantang bila hal yang sekalipun jauh lebih kecil menimpa umat lain. Lantas, perlukah umat Islam berharap kepada slogan HAM yang digembar-gemborkan Barat? Bagaimanakah Islam mensikapi hal ini? HAM Memang Bukan Untuk Umat Islam
Banyak peristiwa meyakinkan bahwa HAM bukanlah diperuntukkan bagi umat Islam. Kondisi terakhir pemilihan presiden Turki, Kasus FIS yang diberangus atas nama demokrasi, embargo ekonomi terhadap Irak, dan kasus Bosnia Herzegovina merupakan secuil contoh standar ganda HAM. Demikian pula di dalam negeri, hal ini ditunjukkan dengan amat jelas dalam banyak peristiwa seperti peristiwa Doulos, penyelidikan kasus Tanjung Priok, dan peristiwa Maluku. Jelas, dilihat dari segi penerapannya, sesuatu termasuk HAM atau tidak tergantung kepada lembaga yang berwenang memberikan penilaian. Dan secara umum, memang HAM bukan diperuntukkan bagi umat Islam, melainkan bagi Barat imperialis dan para pengikutnya.

        [1]Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights: Traditions and Politics (Colorado: West View Press, 1999) hal. 35.

[1] Psikologi hukum tergolong psikologi khusus, yaitu psikologi yang menyelidiki dan mempelajari  segi-segi kekhususan dari aktifitas  psikis manusia.Berdasarkan hal tersebut   menurut Ishaq (2008:241) dalam psikologi hukum akan dipelajari  sikap tindak/ perikelakuan.      sikap tindak perikelakuan hukum yang normal, yang menyebabkan seorang akan mematuhi hukum. (Soerjono Soekanto 1989:17-18).


              [1]  Fungsi dan Kegunaan Ushul Fiqh a. Sebagai alat, sarana dan metode untuk mendapatkan hukum-hukum  syara’ dari  Alquran dan hadits baik dalam masalahaqidah, ibadah, muamalah, uqubah (hukuman-hukuman)ma upun akhlak  b.Memelihara agama dari penyimpangan dan penyalahgunaan dalil. Dengan berpedoman  kepada Ushul Fiqih, hukum yang dihasilkan melalui ijtihad tetap diakui syara’.  c.Memberikan pengertian dasar tentang kaedah-kaedah dan metodologi ulamamujtahid dalam menggali hukum  d.Dengan mempelajari ilmu ushul fiqh dapat diketahui qaidah-qaidah, prinsip-prinsip umum syariat Islam, cara memahami suatu dalil dan penerapannya dalam kehidupan  manusia e.Mengetahui keunggulan dan kelemahan para mujtahid, sejalan dengan dalil yang mereka gunakan. Dengan demikian, para peminat hukum Islam (yang belum mampu berijtihad) dapat memilih pendapat mereka yang terkuat disertai alas an-alasan yang tepat  f.Dengan mempelajri ushul fiqh dapat diketahui persyaratan yang harus dimiliki seorang mujtahid, sehingga orang-orang yang tidak memenuhi syarat, tidak patut dirujuk fatwanya /pendapatnya.

         [1] Di antara hukum wadh’i ialah Mani' dan penjelasannya. Kerapkali syara' menetapkan suatu keadaan atau suatu pekerjaan menjadi mani' (penghalang) atas sesuatu hukum atau atas sebab sesuatu hukum. Mani' (penghalang hukum) ialah: "Suatu keadaan yang menghalangi terlaksananya suatu perintah atau tidak dilaksanakannya suatu hukum yang sudah ditetapkan". Seperti sifat kebapakan dalam hal qishash. Ayah itu menjadi sebab adanya anaknya, maka tidak patut si anak dijadikan sebab bagi binasanya ayah. Yakni bila ayah membunuh anaknya, tidak boleh kita menuntut qishash bagi ayah yang membunuh anaknya itu, karena ayah itu menjadi sebab adanya anak, maka tidak boleh kematian anak itu menjadi sebab dibunuhnya ayah.
Adapun contoh mani' yang menghalangi sebab hukum, ialah tentang hutang. Apabila seseorang mempunyai harta dan mempunyai hutang sebanyak hartanya, maka tidaklah wajib dia membayar zakat harta tersebut. Dalam hal ini hutang menjadi mani' bagi sebab wajib zakat.  Para ulama ushul Hanafiyah membagi mani' ini menjadi lima macam, yaitu:
  1. Mani' yang menghalangi sahnya sebab, umpamanya (yang klasik) menjual orang merdeka. Tidak sah menjual orang merdeka, karena orang merdeka itu bukan harta, bukan sesuatu (barang) yang boleh diperjualbelikan. Menjual itu menjadi sebab berpindah milik, dan membeli itu menjadi sebab boleh menguasai dan mengambil manfaatnya.
  2. Mani' yang menghalangi sempurnanya sebab terhadap orang yang tidak melakukan akad dan menghalangi sebab bagi yang melakukan akad. Umpamanya si A menjual barang si B tanpa setahu si B. Maka penjualan itu tidak sah jika tidak dibenarkan oleh si B karena ada mani', yaitu menjual bukan haknya.
  3. Mani' yang menghalangi berlakunya hukum, umpamanya khiyar syarat oleh si penjual. Khiyar itu menghalangi si pembeli melakukan kekuasaannya atas barang pembelian dimaksud, si A menjual barangnya kepada si B (pembeli): "Barang ini saya jual kepadamu tetapi dengan syarat saya dibolehkan berfikir selama tiga hari, jika dalam tiga hari ini saya berubah pendirian maka jual beli ini tidak jadi". Syarat yang dibuat oleh si penjual ini disebut khiyar syarat, selama belum lewat tiga hari, syarat itu menghalangi si pembeli melakukan kehendaknya terhadap barang yang dibelinya.
  4. Mani' yang menghalangi sempurnanya hukum, umpamanya dalam khiyar ru'yah. Khiyar ini tidak menghalangi memiliki barang, hanya saja milik itu belum sempurna sebelum melihat barang itu oleh si pembeli walaupun sudah diterima. Apabila seseorang menjual barang kepada seseorang, sedang barang tidak tersedia di tempat jual beli, maka penjualan itu dibolehkan dengan mengadakan khiyar ru'yah. Dalam hal ini setelah pembeli melihat barang yang dibelinya boleh merusakkan pembelian dengan mengurungkannya, tanpa meminta persetujuan penjual.
  5. Mani' yang menghalangi kelaziman (kepastian) hukum, seperti khiyar aib. Si pembeli boleh melakukan kekuasaannya terhadap barang yang dibelinya, sebelum dia periksa barang itu baik atau ada cacatnya. Jika ia mendapatkan cacat pada barang yang dibelinya itu ia berhak membatalkan pembelian, ia kembalikan barang itu kepada penjual melalui perantaraan hakim atau atas kerelaan penjual. Tempo masa khiyar aib ialah tiga hari lamanya.

         [1]  Qur’an Surat Al-An’am ayat 57   
            [1] Amien Rais, 1988:23-24). Dalam bukunya yang lain, yaitu Islamic Law and Constitution, 1962:138-139
            [1] Al-Imam Al-Khomeini, “Al-Wilayah At-Takwiniyah”, Al-Hukumah Al-Islamiyah, h. 52. 
           [1] Karena itulah, pada tahun 1990, negara-negara Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) menghasilkan ”Deklarasi Kairo” (The Cairo Declaration on Human Rights in Islam), sebagai ”tandingan” dari DUHAM yang dikeluarkan di San Francisco pada 24 Oktober 1948.  Pasal 25  Deklarasi Kairo menegaskan: ”The Islamic Syariah is the only source of reference for the explanation or clarification of any of the articles of this Declaration.”  (Syariat Islam adalah satu-satunya penjelasan atau klarifikasi dari semua artikel dalam Deklarasi Kairo ini). Jadi, dalam Deklarasi Kairo, negara-negara Islam telah sepakat untuk meletakkan syariat Islam di atas HAM. Bukan sebaliknya: meletakkan Islam di bawah HAM. Karena itulah, ada sejumlah pasal Deklarasi Kairo yang merupakan koreksi terhadap DUHAM. Sebagai contoh, dalam konsep perkawinan. DUHAM pasal 16 menyatakan: ”Men and women of full age, without any limitation due to race, nationality or religion, have the right to marry and to found a family. They are entitled to equal rights as to marriage, during marriage and at its dissolution.”  (Laki-laki dan wanita yang telah dewasa, tanpa dibatasi faktor ras, kebangsaan atau agama, memiliki hak untuk menikah dan membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama terhadap pernikahan, selama pernikahan, dan saat perceraian).

           [1] Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya. QS al-Mujadilah:22
             [1] Mengapa pasal 16 dan 18 DUHAM ditolak oleh Hamka? “Sebab saya orang Islam. Yang menyebabkan saya tidak  dapat menerimanya ialah karena saya jadi orang Islam, bukanlah Islam statistic. Saya seorang Islam yang sadar, dan Islam saya pelajari dari sumbernya; al-Qur’an dan al-Hadits. Dan saya berpendapat bahwa saya baru dapat menerimanya kalau Islam ini saya tinggalkan, atau saya akui saja sebagai orang Islam, tetapi syari’atnya tidak saya jalankan atau saya bekukan,” demikian Hamka.Demikianlah, memang ada yang sangat bermasalah dalam  konsep HAM yang tertera dalam DUHAM. Karena itu, konsep HAM justru perlu diletakkan dalam kacamata Islam. Itulah yang dilakukan Prof. Hamka, dan juga OKI, sehingga sampai muncul Deklrasi Kairo. Sayangnya, buku Al-Islam dan Kemuhammadiyahan produksi Maarif Institute ini tidak mengklarifikasi soal HAM terlebih dulu, tetapi justru mencarikan legitimasinya dalam ajaran Islam. Cara pandang semacam ini keliru. 
           [1] Lihat, Siswanto Masruri, Ki Bagus Hadikusumo, Yogya: Pilar Media, 2005). Tentang  meneladani pemimpin kita yang tidak rela membungkuk kepada “penjajah”.  [Jakarta, 30 Oktober 2008/www.hidayatullah.com.
           [1] Ibid

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook