Monday, August 11, 2014

MARAH DAN MEMUKUL ANAK, SERING KITA PAKAI SEBAGAI PELAMPIASAN EMOSI DAN TEKANAN PERASAAN.



MARAH  DAN  MEMUKUL ANAK,  SERING KITA PAKAI SEBAGAI PELAMPIASAN EMOSI DAN TEKANAN PERASAAN.
 
M.Rakib LPMP Riau Indonesia.2014

            Menurut Ketua Komnas Perlindungan Anak, Seto Mulyadi: Kekerasan[1] pada anak juga dipengaruhi oleh tayangan televisi yang marak akhir-akhir ini, namun semua itu harus disikapi bijaksana oleh para orangtua, seperti mengingatkan agar anak tidak banyak menonton sinetron televisi yang menayangkan kekerasan.            Kekerasan terhadap anak dibagi dalam 4 bagian utama, yaitu kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan karena diabaikan dan kekerasan emosi. Kekerasan fisik adalah apabila anak-anak disiksa secara fisik dan terdapat cedera yang terlihat pada badan anak akibat adanya kekerasan itu. Kekerasan ini dilakukan dengan sengaja terhadap badan anak. Kekerasan seksual adalah apabila anak disiksa diperlakukan secara seksual dan juga terlibat atau ambil bagian atau melihat aktivitas yang bersifat seks dengan tujuan pornografi, gerakan badan, film, atau sesuatu yang bertujuan mengeksploitasi seks di mana seseorang memuaskan nafsu seksnya kepada orang lain. Tentang hal ini, anak-anak wajib dilindungi, baik menurut UU RI No.23 Tahun 2002, maupun menurut Hukum Islam, yang saat ini penulis buat perbandingan. Adapun perbandingan yang penulis lakukan ialah:
1.      Bagaimana konsep pelarangan hukuman fisik terhadap anak-anak menurut Hukum Islam dan  Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002.
2.      Apa ukuran anak-anak dan  dewasa, menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002.
3.      Apa maqashid al-syari’ah yang terkait dengan hukuman fisik, bagi anak-anak?.
           Hasil penelitian ini, diharapkan  untuk  mengisi hal-hal yang   diperlukan oleh masyarakat. Kemudian dibatasi, pada yang berkaitan dengan hukuman fisik terhadap anak-anak di dunia pendidikan,[2] maka penulis membuat spesikasi masalahnya, dalam ruang lingkup konsep  dan  paradigma pelarangan hukuman fisik menurut hukum Islam dan  Undang-Undang Perlindungan anak yang  berlaku di Indonesia. Hal yang harus ditemukan adalah  hal yang melanggar hak asasi, bagaimana  memberikan solusi masalah hukuman fisik menjadi sesuatu yang dilematis.[3]
              Di samping pelacakan terhadap masalah pokok ini, penulis juga ingin melacak nilai-nilai sosiologis dan psikologis dan maqashid al-syari’ yang berada di balik hal-hal yang tersebunyi di balik fakta hukuman fisik. Apakah  dapat diketahui maqashid al-syari'ah  yang terkandung di dalamnya seoptimal mungkin, dengan memakai kaedah-kaedah ilmiah dan teori-teori serta analisis yang dapat dipertanggung jawabkan secara akademis.
      
          C. Signifikansi Penelitian
                       Pentingnya  penelitian tentang  hukuman fisik bagi anak-anak, adalah agar ditemukan solusi,[4] dari malapeka yang ditimbulkannya, baik  di lingkungan madrasah dan pesntren, yang terus berlangsung. Akibatnya  para ustadz, bisa dilaporkan kepada polisi dan dimasukkan ke penjara. Itu menurut UU No.23 Tahun 2002, sedangkan  hukum Islam menyatakan lain.[5] Tidak ada subyek yang lebih penting bagi pelajar Islam selain dari apa yang bisa disebut “hukum Islam”.[6] Hal ini karena hukum Islam merupakan salah satu ruang ekspresi pengalaman agama yang amat penting dalam kehidupan orang Muslim. Suatu norma hukum tidak bisa lepas dari konteks  dan pengetahuan masyarakat setempat (local knowledge). [7] Di Indonesia, pernyataan ini telah dibuktikan oleh sejarah dimana hukum Islam telah sejak lama menjadi salah satu sistem yang mengatur kehidupan masyarakat Muslim.[8]     
            Sejarah mencatat bahwa perdebatan hangat, bahkan panas, selalu menyertai setiap isu yang berkaitan dengan usaha penerapan hukum Islam.[9] Kompleksitas ini tampaknya berkait erat dengan karakter hukum Islam sendiri yang diyakini sebagai hukum yang memiliki watak ketuhanan (divinely ordained law). Karena itu penelitian ini dimaksudkan untuk menelusuri sekaligus mengurai problem penerapan sebahagian hukum Islam di Indonesia dan cara pandang umat Islam dalam mengaktualisasikan hukum Islam, sehingga dapat memudahkannya menjadi hukum nasional. Hukum[10] adalah aturan-aturan normatif yang mengatur pola prilaku manusia. Hukum tidaklah muncul di ruang vakum, melainkan tumbuh dari kesadaran masyarakat yang membutuhkan adanya suatu aturan bersama. Oleh karena itu, hukum  berkembang dan  dapat mengadopsi nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, termasuk nilai adat, tradisi, dan agama. Agama Islam memiliki potensi globalitas maupun lokalitas.
           Secara normatif-teologis, Al-Qur’an sendiri menyatakan bahwa Islam sebagai rahmatan lil-‘alamin, [11] merupakan pernyataan simbolik dari dimensi globalitas Islam, sementara dalam ayat yang lain Al-Qur’an juga mengakui adanya pluralitas-lokalitas-kesukuan (etnisitas) maupun kebangsaan (nasionalitas).[12]  Islam berdimensi universal dan  partikular (lokal dan temporal). Tidak ada problem ketika Islam harus berdialektika dengan paradigma paradoksal di atas (kecenderungan global sekaligus lokal). Dalam khazanah hukum Islam klasik, salah satu teori menyatakan bahwa “al-adah muhakkamah” (tradisi lokal itu bisa dijadikan acuan hukum).[13] Teori lainnya yang juga dikenal di kalangan juris Islam adalah “al-hukm yaduru ‘ala ‘illatihi” (hukum itu berlaku menurut kausalitasnya). Secara teoritik dan historik, khazanah keilmuan klasik telah sukses dalam mengakomodasi kecenderungan lokal tanpa harus mengabaikan wilayah Islam yang global. Dengan kata lain, setiap produk hukum harus dilihat sebagai produk zamannya yang sulit melepaskan diri dari berbagai pengaruh yang melingkupi kelahirannya, baik itu pengaruh sosio-kultural maupun pengaruh sosio-politis. Sebagai produk sosial dan kultural, bahkan juga produk politik yang bernuansa ideologi, hukum (Islam) idealnya selalu bersifat kontekstual. Al-Qur’an lebih mementingkan tindakan nyata (deed) ketimbang semata-mata gagasan idealistik-rasionalistik.[14] Hal senada juga ditegaskan oleh Muhammad Marmaduke Pickhall,dalam bukunya Cultural Side of Islam ia menegaskan:

                Baik-tidaknya seseorang dan berhasil tidaknya satu pemikiran atau konsep, didasarkan atas perbuatan nyata. Perbuatan baik akan melahirkan hasil yang baik, dan perbuatan jahat melahirkan kejahatan, baik untuk individu maupun masyarakat. Inilah salah satu inti ajaran Islam, yang dalam sejarah justeru menentukan bangkit dan runtuhnya peradaban Islam itu sendiri [15].

                 Marah, sering kita orang tua pakai pukulan  sebagai pelampiasan emosi dan tekanan perasaan. Sayangnya, kita kerap kurang kontrol ketika meluapkan kemarahan. Misalnya kepada anak. Akibatnya, anak merasa terpukul serta kecewa. Bagaimana cara yang baik memarahi anak?

Kegusaran, berang, amarah, diwujudkan melalui berbagai cara dan bentuk. Ada yang sekadar cemberut dan melakukan aksi diam. Sebagian orang melakukannya dengan suara yang tinggi sambil mencak-mencak. Ada pula yang marah sambil ringan tangan mencubit, menampar bahkan memukul orang yang menjadi sasaran amarahnya.

Bukan rahasia lagi, orangtua kerap memukul anaknya dalam melampiaskan amarahnya. Ulah sang anak yang menjengkelkan menjadi alasan mereka menampar atau memukul. Terlebih lagi bila orangtua menghadapi masalah di kantor, emosi tinggi yang muncul terkadang dilampiaskan kepada anak di rumah.

Pakar psikologi anak remaja DR. Seto Mulyadi. Mengatakan, sudah waktunya para oran tua meninggalkan metode marah primitif dalam mengungkapkan kekesalan kepada putra/putrinya. "Meski marah adalah sifat manusiawi, caranya janganlah sampai merugikan atau menyakitkan hati orang lain. Terlebih lagi sampai menghambat pertumbuhan anak-anak,"

Ibarat Kaca
Adalah manusiawi pula bila anak tidak suka ditekan atau disudutkan. Karenanya, mengungkapkan kemarahan dengan cara itu, bukan hanya tak efektif dan sampai pada sasaran, tetapi juga dapat menimbulkan sakit hati pada anak.

"Nah, kalau hendak , mengungkapkan kemarahan, sampaikanlah dengan mempergunakan dengan konsep pesan diri. Jangan sampai murusdk kumunikasi. Karena, pada dasarnya anak tidak ingin divonis dan tidak dihargai.

Pesan diri yang dimaksud adalah mengungkap perasaan atau sikap yang timbul akibat perbuatan anak. Dalam hal ini orang tua menyampaikan kepada putra/putrinya bahwa mereka terganggu dengan perbuatan mereka. Dengan komunikasi yang baik, usahakan anak mengerti persoalan maupun keberatan Anda akibat perilaku mereka. Jangan lagi hanya menuduh, menjelek-jelekkan atau bahkan sampai memukul.

Dengan begitu, lanjut Seto, anak akan mengerti bahwa perilakunya telah menggusarkan dan mengecewakan orang tua. Metode seperti ini secara otomatis akan diserap dan dipraktekkan pula oleh anak kepada setiap orang yang mengganggunya, termasuk orangtua sendiri.

“Anak itu ibarat kaca. Mereka memantulkan apa yang mereka terima dan alami dari orangtuanya. Nah, bukankah lebih baik memberikan 'cahaya' yang baik dan berguna?! Bila mereka menerima bahwa marah tidak identik dengan kekerasan, nantinya mereka akan menerapkan hal tersebut dalam kehidupannya.

Peraih penghargaan The Outstanding Young Persons of the World dari Jaycess International ini memberikan tip yang baik ketika melampiaskan rasa marah. Ketika marah, ujarnya, usahakan agar emosi positif lebih besar daripada emosi negatif. Perbandingannya 75:25.

"Perkembangan emosi seseorang akan sehat bila emosi positifnya lebih besar daripada emosi negatif. Marah memang boleh dan wajar, tapi jangan hanya marah melulu. Tentunya tidak baik bila anak menerima emosi negatif terlalu banyak," papar Seto lagi.

Jangan keburu menyalahkan remaja Anda yang sering tawuran di sekolah, bila Anda sendiri sering memukulnya ketika kesal atau marah. Ketidaksenangannya akan ditampilkan dengan perilaku negatif, seperti berkelahi atau semacamnya. Hal ini is pelajari dari perlakuan orangtuanya kepada dirinya.

Kepada kaum ibu, Seto menekankan pentingnya pemahaman bahwa metode pendidikan anak yang terbaik adalah pendekatan bahasa ibu. Dalam lima tahun pertama usia anak, peran ibu sangatlah besar. Dapat dibayangkan kemungkinan yang terjadi, bila pada usia itu anak sering merigalami luapan emosi negatif dari sang ibu.

Jauhi Kekerasan
Seto juga melihat pentingnya mensimbolisasikan amarah. Artinya, marah tidak harus dengan memukul meja, membanting pintu atau semacamnya. "orangtua harus mengganti kebiasaan itu dengan sikap yang lebih tenang. Dengan diam, misalnya," katanya.

Ketika Anda berdiam kata sambil memandang anak dengan tajam, maka anak akan sadar bahwa perilakunya telah mengganggu atau membuat Anda marah. Sikap seperti ini, menurut Seto, lebih sehat, efektif dan dapat diterima.

Kalaupun hendak memberikan hukuman kepada anak, saran Seto, berikanlah hukuman yang jauh dari kekasaran. Seperti menunda hadiah yang dijanjikan pada anak, bila mereka masih berperilaku tidak sehat. Atau mengurangi/menghentikan uang jajan untuk beberapa waktu.

"Lupakanlah sikap marah yang primitif. Seperti mengyebrak meja, membanting pintu hingga memukul anak. Marah jangan diidentikkan dengan kekasaran," ujar Seto lagi.

Sebaliknya, mulailah marah yang berbudaya, halus dan bernilai seni. Adalah suatu seni tersendiri dapat mengungkapkan amarah tanpa menyakiti hati orang lain. Kunci keberhasilan marah, menurut Seto, adalah keefektifannya. "Bila dengan berdiam diri, tanpa banyak kata, ternyata anak mau mengubah perilaku jeleknya, bukankah itu lebih baik. "Jangan sampai merusak komunikasi."

Jika orangtua sering memukul anak ketika marah, menurut Seto, itu akan mengganggu perkembangan yang sehat dari si anak. "Selain is menjadi anak yang agresif dan sering berperilaku di luar kontrol kewajaran, mereka juga menjadi pribadi yang labil. Karena itulah, kenapa harus memakai kekerasan bila kekerasan itu sendiri tidak akan pernah menyelesaikan masalah, tapi justru menimbulkan masalah baru," paparnya.

Memarahi anak secara primitif, kata Seto, berarti juga membuat anak kehilangan harga dirinya. Akibatnya, akan timbul reaksi atau pemberontakan dari sang anak. Mereka belajar memecahkan masalah dengan marah dan kekerasan, dari orangtuanya. Lalu, timbullah masalah-masalah baru dalam kehidupannya. la selalu berpikir dan bertahya-tanya, Mengapa saya susah sekali menyelesaikan suatu masalah?

Memasuki masa dewasanya nanti, pola-pola pengasuhan dengan kekerasan semakin mempengaruhi daya pikir dan sistem kerjanya. Seto mencontohkan Hitler, seorang pemimpin yang dibesarkan di lingkungan keluarga yang kurang kasih sayang dan kelemahlembutan.

Memang, menurutnya, tidak selamanya anak-anak yang dibesarkan dengan kekerasan akan bermasalah. Pada suatu saat, is dapat saja sadar dan menjauh dari kekerasan. Pengalaman pribadinya dijadikan cambuk untuk tidak meneruskan penderitaan itu kepada orang lain.

Tetapi Seto mengatakan, tentunya perubahan sikap itu turut dipengaruhi oleh lingkungan dan pergaulan si anak. Pelajaran-pelajaran hidup yang diterima anak sangat mempengaruhinya melewati titik kehidupan tersebut. "Itulah sebabnya, orang-orang di sekitar anak, terutama orangtua, sangat berpengaruh bagi perkembangan mereka," jelasnya lagi.

Berbahayanya, bila di lingkungan luar keluarga pun is mendapati banyaknya kekerasan dan emosiemosi yang negatif. Anak yang tadinya berperilaku seperti cermin, dapat berubah menjadi kaca pembesar. Kaca yang dapat meneruskan panas hingga mampu membakar, akibat menerima panas pada titik yang pas. Intinya, anak kemungkinan malah melebihi kebiasaan orangtuanya dalam memandang konsep sejauh mana dan bagaimana amarah boleh diluapkan.

Meskipun marah ala primitif dihindari, namun menurut Seto orangtua jangan pula berlagak malaikat, seolah semuanya berjalan dengan baik. "orangtua cukup berlaku wajar dan manusiawi. Jangan terlalu menerapkan harus begini, harus begitu. Bila harus marah, marahlah apa adanya. Hanya, diarahkan sebagai pesan diri," lanjutnya.

Dengan sering berdiskusi, Anda pun dapat meminta anak sebagai pengontrol emosi Anda ketika sedang marah. "Kalau perlu, minta maaf kepada anak karena Anda telah memarahinya. Putera-puteri Anda pun akhirnya dapat belajar untuk meminta maaf kepada Anda maupun orang lain.

Mungkin sulit dilakukan, sehabis marah Anda meminta maaf pada anak. "Tapi orangtua harus berani berbuat itu. Tidak ada salahnya memulai demi kebaikan bersama. Di situlah letak kemanusiawian kita," jelas Dekan Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara, Jakarta. Nah, kenapa tidak Anda mulai dari Sekarang.

Di kutip dari:
Majalah Higina

           Masalah hadhonah dan perlindungan terhadap anak, begitu lengkap di dalam Hukum Islam[16] karena menjadi manifestasi kehendak Syari’ dalam realitas kehidupan manusia menuntut terjadinya dialektika antara teks dan realitas. Karena itu, para fuqaha’ berusaha menemukan inovasi dan progresifitas, untuk mewujudkan kemashlahatan universal manusia dunia  akhirat. Karakter Hukum Islam tidak saja ma’qûl sekaligus  ma’mûl.[17] Sebagai upaya menjadikan hukum Islam  inovatif  progresif. Berbagai langkah ditempuh agar hukum Islam tidak menjadi  asing, pada lingkungan yang mengitarinya.[18]

            Hukum Islam, tidak hanya   eksis pada ranah normatif (law in book)  juga   riil (law in action)  historis kritis, memperjuangkan nasib anak-anak dan  emansipasi dengan melepaskan tradisi perbudakan dalam budaya Arab melalui sanksi memerdekakan budak. Tidak bisa dipisahkan dengan lingkungan hidup masyarakatnya. Hukum Islam  dituntut berdialektika, sesuai dengan tingkat berfikir masyarakat dan lingkungan  sosial, budaya maupun politik,[19]secara simultant dan continue. Kemandekan pada salah satu sisinya akan menjadikan pincang dan problematik dalam segala sisi kehidupan sosial maupun kebangsaan.[20] Berdasarkan kajian segala segi Hukum Islam, sudah  banyak dilakukan oleh para ulama, dapat menjadi bahan kajian yang dinamis. Dalam kehidupan manusia, tidak ada ide hukum yang bersifat final, maka kesinambungan kajian tentang pemikiran yang berkembang,  menjadi suatu keniscayaan dan  sebagai bagian dari sunnatullah di alam ini. Formulasi pemikiran yang sistematis dan benar tentunya sangat membutuhkan akan artikulasi dan kontribusi yang dialogis. Dengan demikian prospek dan perspektif hukum Islam yang akomodatif-transformatif akan bisa terwujud secara sistematis, jelas dan komprehensif. [21]
             Indonesia sebagai negara hukum, memiliki hukum nasional sendiri, dimaksudkan sebagai pedoman untuk melaksanakan sistem pemerintahan. Dalam membentuk hukum nasional, bangsa Indonesia mengambil dari tiga sumber hukum, yaitu  hukum adat, hukum Islam dan hukum eks-Barat. Masyarakat Indonesia yang mayoritas menganut  agama Islam, tentu harus senantiasa melaksanakan ajaran ajaran itu. Namun sebagai bangsa yang berpalsafahkan Pancasila juga harus dapat mengakomodir seluruh kepentingan komponen bangsa, di antaranya kepentingan umat beragama.[22]

Pengertian hadhanah
Kata hadhanah adalah bentuk mashdar dari kata hadhnu ash-shabiy, atau mengasuh atau memelihara anak. Mengasuh (hadhn) dalam pengertian ini tidak dimaksudkan dengan menggendongnya dibagian samping dan dada atau lengan.
Secara terminologis, hadhanah adalah menjaga anak yang belum bisa mengatur dan merawat dirinya sendiri, serta belum mampu menjaga dirinya dari hal-hal yang dapat membahayakan dirinya. Hukum hadhanah inihanya dilaksanakan ketika pasangan suami istri bercerai dan memiliki anak yang belum cukup umur untuk berpisah dari ibunya. Hal ini diseabkan karena sianak masih perlu penjagaan, pengasuhan, pendidikan, perawatan dan melakukan berbagai hal demi kemaslahatannya. Inilah yang dimaksu dengan perwalian (wilayah).

Hukum Hadhanah
Hadhanah (pengasuhan anak) hukumnya wajib, karena anak yang masih memerlukan pengasuhan ini akan mendapatkan bahaya jika tidak mendapatkan pengasuhan dan perawatan, sehingga anak harus dijaga agar tidak sampai membahayakan. Selain itu ia juga harus tetap diberi nafkah dan diselamatkan dari segala hal yang dapat merusaknya.
Hadhanah sangat terkait dengan tiga hak:
  1. Hak wanita yang mengasuh.
  2. Hak anak yang diasuh.
  3. Hak ayah atau orang yang menempati posisinya.
Jika masing-masing hak ini dapat disatukan, maka itulah jalan yang terbaik dan harus ditempuh. Jika masing-masing hak saling bertentangan, maka hak anak harus didahulukan daripada yang lainnya. Terkait dengan hal ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
pertama, pihak ibu terpaksa harus mengasuh anak jika kondisinya memang memaksa demikian karena tidak ada orang lain selain dirinya yang dipandang pantas untuk menasuh anak.
kedua, si ibu tidak boleh dipaksa mengasuh anak jika kondisinya memang tidak mengharuskan demikian. sebab mengasuh anak itu adalah haknya dan tidak ada mudharat yang dimungkinkan akan menimpa sianak karena adanya mahram lain selain ibunya.
ketiga, seorang ayah tidak berhak merampas anak dari orang yang lebih berhak mengasuhnya (baca: ibu) lalu memberikannya kepada wanita lain kecuali ada alsan syar’i yang memperbolehkannya.
keempat, jika ada wanita yang bersedia menyusui selain ibu si anak, maka ia harus menyusui bersama (tinggal serumah) dengan si ibu hingga tidak kehilangan haknya mengasuh anak.

Urutan Orang yang Berhak Mengasuh Anak.
Mengingat bahwa wanita lebih memahami dan lebih mampu mendidik, disamping lebih sabar, lebih lembut, lebih leluasa dan lebih sering berada bersama anak, maka ia lebih berhak mendidik dan mengasuh anak dibandingkan laki-laki. Hal ini berlangsung hanya pada usia-usia tertentu, namun pada fase-fase berikutnya laki-laki yang lebih mampu mendidik dan mengasuh anak dibandingkan wanita.

Ibu adalah wanita yang paling berhak mengasuh anak
Jika wanita lebih berhak mendidik dan mengasuh anak daripada laki-laki, maka -sesuai ijma ulama- ibu kandung sianak tentu lebih berhak mengasuh anaknya setelah terjadi perpisahan (antara suami dan istrinya), baik karena talak, meninggalnya suami atau suami menikah dengan wanita lain, karena ibu jauh memiliki kelembutan dan kasih sayang, kecuali jika ada penghalang yang menghapuskan hak si ibu untuk mengasuh anak.
Diriwayatkan dari Amr bin Syu’aib dengan menukil dari ayahnya, dari : “rkakeknya bahwa ada seorang wanita yang mengadu kepada Rasulullah Wahai RAsulullah, anak ini dulu pernah menjadikan perutku sebagai wadahnya, payudaraku sebagai sumber minumnya dan kamarku sebagai rumahnya. Kini ayahnya telah menceraikanku dan ingin merampasnya dariku. bersabdar” Rasulullah  kepada wanita ini “Kamu lebih berhak terhadapnya selama kamu belum menikah lagi“. (hasan HR Abu Daud, Ahmad dan Al-Baihaqi)

Urutan orang yang berhak mengasuh anak setelah ibu kandung
Ulama berbeda pendapat siapa yang paling berhak mengasuh anak setelah ibu kandung atau urutan hak asuh anak jika ternyata ada penyebab yang menghalangi ibu kandung untuk mendapatkan hak asuhnya. Perbedaan pendapat ini disebabkan tidak adanya dalil qath’i yang secara tegas membahas masalah ini. Hanya saja ke-empat imam madzhab lebih mendahulukan kalangan kerabat dari pihak ibu dibandingkan dari kalangan kerabat dari pihak ayah dalam tingkat kerabatan yang sama (misalnya mendahulukan nenek dari pihak ibu dari pada nenek pihak ayah).
Kalangan Madzhab Hanafi berpendapat bahwa orang yang palin berhak mengasuh anak adalah:
1.      Ibu kandungnya sendiri
2.      Nenek dari pihak ibu
3.      nenek dari pihak ayah
4.      saudara perempuan (kakak perempuan)
5.      bibi dari pihak ibu
6.      anak perempuan saudara perempuan
7.      anak perempuan saudara laki-laki
8.      bibi dari pihak ayah
Kalangan Madzhab Maliki berpendapat bahwa urutan hak anak asuh dimulai dari:
1.      Ibu kandung
2.      nenek dari pihak ibu
3.      bibi dari pihak ibu
4.      nenek dari pihak ayah
5.      saudara perempuan
6.      bibi dari pihak ayah
7.      anak perempuan dari saudara laki-laki
8.      penerima wasiat
9.      dan kerabat lain (ashabah) yang lebih utama
Kalangan Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa hak anak asuh dimulai dari:
1.      Ibu kandung
2.      nenek dari pihak ibu
3.      nenek dari pihak ayah
4.      saudara perempuan
5.      bibi dari pihak ibu
6.      anak perempuan dari saudara laki-laki
7.      anak perempuan dari saudara perempuan
8.      bibi dari pihak ayah
9.      dan kerabat yang masih menjadi mahram bagi sianak yang mendapatkan bagian warisan ashabah sesuai dengan urutan pembagian harta warisan. Pendapat Madzhab Syafi’i sama dengan pendapat madzhab Hanafi.
Kalangan Madzhab Hanbali
1.      ibu kandung
2.      nenek dari pihak ibu
3.      kakek dan ibu kakek
4.      bibi dari kedua orang tua
5.      saudara perempuan se ibu
6.      saudara perempuan seayah
7.      bibi dari ibu kedua orangtua
8.      bibinya ibu
9.      bibinya ayah
10.  bibinya ibu dari jalur ibu
11.  bibinya ayah dari jalur ibu
12.  bibinya ayah dari pihak ayah
13.  anak perempuan dari saudara laki-laki
14.  anak perempuan dari paman ayah dari pihak ayah
15.  kemudian kalangan kerabat dari urutan yang paling dekat.

SYARAT MENDAPATKAN HAK ASUH ANAK (HADHANAH)
Kalangan ahli fiqih menyebutkan sejumlah syarat untuk mendapatkan hak asuh anak yang harus dipenuhi. Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka hak asuh anak hilang, syarat-syarat tersebut adalah:
Syarat pertama dan kedua, berakal dan telah baligh, sebab kelompok ini masih memerlukan orang yang dapat menjadi wali atau bahkan mengasuh mereka. Jika mereka masih membutuhkan wali dan membutuhkan pengasuha, maka merekpun tidak pantas untuk menjadi pengasuh untuk orang lain.
Syarat kedua, Agama yang mengasuh haruslah sama dengan agama anak yang diasuh, sehingga orang kafir tidak berhak mengasuh anak Muslim. Hal ini didasarkan pada dua hal:
  1. Orang yang mengasuh pasti sangat ingin anak yang diasuhnya sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. dan ini adalah bahaya terbesar yang dialami sianak. Dan telah dijelaskan dalam :“rsabda Rasulullah Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah (suci), maka kedua orangtuanyalah yang menjadikan dia sebagai Yahudi, Nashrani atau Majusi.” (HR Bukhari dan Muslim) Hadits ini menunjukkan bahwa agama anak tidak aman jika diasuh oleh orang kafir.
  2. Hak asuh anak itu sama dengan perwalian.  berfirman :IAllah
    dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS Ani-Nisaa’:141)
Syarat ke empat, mampu mendidik, sehingga orang yang buta, sakit, terbelenggu dan hal-hal lain yang dapat membahayakan atau anak disia-siakan maka tidak berhak mengasuh anak.
Syarat kelima, ibu kandung belum menikah lagi dengan lelaki yang lain, berdasarkan sabda rNabi  : “Kamu lebih berhak dengannya selama kamu belum menikah lagi” (hasan. ditakhrij oleh Abud Dawud 2244 dan An-Nasa’i 3495)

Berakhirnya Masa Pengasuhan dan Konsekuensinya.
Jika si anak sudah tidak lagi memerlukan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan pribadinya sehari-hari, telah mencapai usia mumayyiz dan sudah dapat memenuhi kebutuhandasarnya seperti makan, minum memakai pakaian dan lain-lainnya, maka masa pengasuhan telah selesai.
Manakala masa pengasuhan ini telah berakhir, apakah yang harus dilakukan si anak ? Jika kedua orang tua sepakat untuk mengikutkan anak tinggal bersama salah seorang dari kedua orang tua, maka kesepakatan ini dapat dilaksanakan. tetapi jika kedua orangtua masih berselisih, maka ada duahal yang harus diperhatikan:
Pertama, anak yang diasuh adalah laki-laki. Terkait dengan anak laki-laki yang telah selesai masa pengasuhannya, muncul tiga pendapat dikalangan ulama:
  1. Madzhab Hanafi, Ayah lebih berhak mengasuh si anak. dengan alasan bahwa jika seorang anak laki-laki sudah bisa memnuhi kebutuhan dasarnya, maka yang ia butuhkan adalah pendidikan dan perilaku seorang laki-laki. Dalam hal ini si ayah lebih mampu dan lebih tepat.
  2. Madzhab Maliki, Ibu lebih berhak selama si anak belum baligh.
  3. Madzhab Asy-syafi’i dan Ahmad, Anak diberi kesempatan untuk memilih salah satu diantara keduanya, berdasrkan hadits Abu Hurairah: Seorang perempuan datang menghadap  dan berkata, “rNabi Wahai Rasulullah. suamiku ingin membawaserta anakku dan anakku telah meminumiku dari sumur Abu Inabah serta memberi manfaat padaku. bersabda: “r” Rasulullah Berundilah kalian berdua untuknya.” Si suami menukas “Siapa yang lebih berhak daripada aku terhadap anakku? bersabda pada sianak agar memilih, “r” Nabi Ini ayahmu dan ini Ibumu. Ambillah tangan salah satu dari keduanya yang kamu suka” Ia meraih tangan ibunya, dan lantas si ibupun pergi dan mebawanya. (Haduts shahih, ditakhrij oleh Abu Dawud 2277, An-Nasa’i 3496 dan At-Tirmidzi 1357). Dari hadits diatas diketahui bahwa konsep pengundian (qur’ah) harus didahulukan daripada memberikan kesempatan memilih. Akan tetapi dengan melihat apa yang dilakukan oleh para khalifah, memberikan kesempatan memilih lebih didhalukan daripada cara pengundian. Diriwayatkan bahwa ada orang yang mengadukan perselisihan . Ia menjawab, “tmasalah anak kepada Umar Ia sebaiknya tinggal bersama ibunya sampai ia pandai berbicara, kemudian ia diberi kesempatan untuk memilih.“(Sanad shahih, ditakhrij oleh Abdurrazaq 12606 dan Sa’id bin Manshur 2263).
Diriwayatkan  telah memberikan kesempatantjuga dari Imarah bin Ru’aibah bahwasannya Ali  kepadanya untuk memilih antara (ikut) dengan ibunya atau pamannya. Imarah lebih memilih ikut ibunya. Ali berkata “Kamu dapat hidup bersama ibumu. Nanti jika saudaramu (baca:adikmu) telah mencapai usia seperti usiamu saat ini, maka berikanlah kesempatan kepadanya untuk memilih seperti yang kau lakukan ini.” Imarah berkata, “Ketika itu saya sudah beranjak remaja (ghulam).” (Sanadnya Dha’if ditakhrij oleh Abdurrazaq 12609, Sa’id bin Manshur 2265 dan al-Baihaqi 8/4).
Ibnu Qayyim menyebutkan bahwa memberi kesempatan memilih dan mengundi hanya dapat dilakukan apabila kedua cara ini memberikan kemaslahatan bagi si anak. Kalau memang ibu dipandang lebih dapat melindungi anak dan lebih bermanfaat dibanding ayahnya, maka dalam kasus ini merawat anak harus didahulukan tanpa harus mempertimbangkan cara mengundi dan memilih.
Kedua, anak yang diasuh adalah anak perempuan. Para Ulama berbeda pendapat, Kalangan       Madzhab Maliki berpendapat bahwa anak tetaptinggal bersama ibunya hingga anaka perempuan tersebut menikah dan telah berhubungan intim dengan suaminya. Dengan mengacu padapendapat Imam Ahmad, kalangan madzhab Hanafi berpendapat bahwa manakala telah mengalami menstruasi anak perempuan diserahkan kepada ayahnya. Kalangan Madzhab Hanbali berpendapat bahwa anak diserahkan kepada ayahnya apabila telah mencapai usia 7 tahun.
Ketiga Imam madzhab sepakat bahwa anak ini tidak diberi kesempatan untuk menentukan pilihan. Sementara itu Syafi’i berpendapat bahwa perempuan diberi kesempatan menentukan pilihan seperti anak laki-laki dan dia berhak untuk hidup bersama orang yang menjadi pilihannya (ayahnya atau ibunya).
Ibnu Taimiyyah lebih memilih berpendapat bahwa anak perempuan tidak diberi kesempatan memilih. Ia bisa hidup bersama salah satu dari keduanya  apabila orangtua yang ia ikuti ini taat kepada Allah dalam mendidik anak. (Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah) (Dalam abiyazid.wordpres: syarat mendapatkan hak asuh anak hadhanah)

http://www.blogger.com/img/icon18_email.gif



           [1] Kekerasan (Bullying) menurut Komisi Perlindungan Anak (KPAI) adalah kekerasan fisik dan psikologis berjangka panjang yang dilakukan seseorang atau kelompok terhadap seseorang yang tidak mampu mempertahankan diri dalam situasi dimana ada hasrat untuk melukai atau menakuti orang atau membuat orang tertekan, trauma/depresi dan tidak berdaya. Bandingkan, Nabil Kazim Muhammad, Mendidik Anak Tanpa Keklerasan, ( terj.Abdi Parmi),( Jakarta Timur, Pustaka Al-Kautsar,  : 2008), 81

              [2] Penulis ingin memberikan jawaban dan menyumbangkan suatu solusi dari sebuah malapetaka kekerasan, terhadap anak-anak. Peristiwa yang lebih baru dan yang lebih menohok HAM dan peradaban  adalah adanya peristiwa pembunuhan anak yang dilakukan orang tuanya sendiri. Di Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, gadis usia tujuh tahun yang sering dianiaya, dibunuh ibu tirinya setelah diperkosa pamannya sendiri (Kompas, 3/1/2006).
               [3] Setelah mendengar vonis majelis hakim di Pengadilan Tinggi Takengon atas dakwaan terhadap rekannya Syaiful, terkait tuduhan pelanggaran pidana pasal 80 ayat 1 Undang-undang nomor 23 tahun 2002, ribuan guru mendatangi kantor Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Tengah dengan berjalan kaki dari kantor pengadilan dan sempat berorasi di lapangan Musara Alun Takengen menunggu kedatagan ribuan guru dari kabupaten Bener Meriah, mereka menuntut di-qanunkan perlindungan terhadap guru. Kamis (7/4/2009)
               [4] Makna “penting”; ,benar, tidak didasarkan secara kebetulan. Nilai signifikansi dari suatu hipotesis adalah nilai kebenaran dari hipotesis yang diterima atau ditolak. Hasil penelitian dapat benar tapi tidak penting. Signifikansi/probabilitas/α memberikan gambaran mengenai bagaimana hasil penelitian itu mempunyai kesempatan untuk benar. Jika kita memilih signifikansi sebesar 0,01, maka artinya kita menentukan hasil penelitian nanti mempunyai kesempatan untuk benar sebesar 99% dan untuk salah sebesar 1%..Lihat Listia Laode Arham Lian Gogali, op.cit.,131.
               [5] G.H. Bousquet dan Joseph Schacht (eds.), Selected Works of C. Snouck Hurgronje (Leiden: E.J. Brill, 1957), 48. lihat juga Charles J. Adams, “The Islamic Relegious Tradition,” dalam Religion and Man: An Introduction, ed. W. Richard Comstock (New York: Harper & Row Publishers, 1971), 577.
               [6] Lihat Charles J. Adams (ed.), A Reader’s Guide to the Great Religions (New York: The Free Press, 1965), 316.
               [7] Konskuensi lebih jauh dari pandangan ini adalah bahwa kehendak hukum ideal menjadi tidak mudah dikembangkan bila tidak disertai dengan institusi sosial di mana hukum itu dapat direalisasikan. Dalam bahasa sehari-hari, suatu peraturan material tidak akan dapat diterapkan bilamana tidak disertai dengan hukum formalnya. Bagaimana suatu hukum dibuat dan diterapkan dan proses hukum mana pula akan menjadi pilihan masyarakat dalam menyelesaikan perkara. Lihat Jawahir Thontowi, Pesan Perdamaian Islam (Yogyakarta: Madyan Press, 2001), 133.
               [8] Perhatikan kembali catatan sejarah tentang pro-kontra yang mengiringi lahirnya UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan atau UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Hal yang sama, barangkali akan terjadi pada rencana mengangkat Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjadi Undang-Undang sebagai hukum materiil di lingkungan Peradilan Agama yang sat ini masih belum memadai.
         4.Sekedar agar tidak menjadi ahistoris bahwa dalam sejarah hukum dan social bangsa Indonesia keberadaan dan pelaksanaan hukum Islam di Indonesia bukan sebatas romantisme atau nostalgia belaka dari pelaksanaannya pada era Madinah, melainkan telah menjadi living law jauh sebelum masuknya hokum Belanda. Hukum Islam berikut pendidikannya mulai dibangun dan menjadi bagian kehidupan masyarakat Indonesia sejak abad 14. Lihat Nbil Kazhim Muhammad, op.cit., 58


          [10] Sampai saat ini, belum ada kesepakatan ahli hukum Barat, tentang definisi hukum, karena memang kesepakatan mengenai definisi itu merupakan utopia. Para ahli mengemukakan beragam definisi tentang hukum sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Keragaman tersebut sebenarnya lebih banyak disebabkan oleh perbedaan cara melihat hukum itu sendiri dari pada perbedaan pandanagn tentang apa yang dimaksud hukum. Seperti disinggung oleh Hart, orang yang bergerak dalam bidang hukum umumnya mengetahui apa hukum tersebut, tetapi ia sering mendapat kesulitan untuk menerangkannya kepada orang lain dalam bentuk sebuah definisi yang tegas. Lihat H.L.A. Hart, The Concept of Law, 2nd Edition (New York: Oxford University Press, 1994), 13-14.
            [11] Lihat QS.Al-Anbiyâ’,(21) :107.
            [12] Lihat QS.Al-Hujarat, (49) :13.
            [13] Peran actual adat dalam penciptaan hukum senantiasa terbukti lebih penting dari pada apa yang kita duga. Dalam banyak hal, adapt terbukti dipakai tidak hanya dalam kasus-kasus yang tidak terdapat jawaban konkretnya dalam al-Qur’an maupun hadits. Lebih dari itu, fakta menunjukkan bahwa sejak masa awal pembentukan hukum Islam, kreteria adat lokal justru cukup kuat untuk mengalahkan praktek hukum yang dikabarkan berasal dari Nabi sendiri. Lihat N.J. Coulson, “Muslim Customs and Case-Law”, dalam The World of Islam, 6/1-2 (1959), 14; juga Joseph Scacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford: The Clarendon Press, 1975), 64.  Bandingkan Abd. Al-Wahhab al-Khallaf, ‘Ilm Usul al-Fiqh (Kuwait: Dar al-Kuwaytiyyah, 1968), 90. dan Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (New Delhi: Kitab Bhavan, 1981), 146.
                [14] M.Iqbal, The Reconstruction…, iv
              [15] Muhammad Marmaduke Pickthall, Cultural Side of Islam (Lahore: SH. Muhammad Ashraf, 1969), 45. Lihat juga Maulana Muhammad Ali, The Religion of Islam (Columbus: Ahmadiyyah Anjuman Isha’at Islam, 1990), 572
           [16] Istilah hukum Islam terdiri dari dua kata: hukum dan Islam, dan secara mendasar tidak terlalu salah jika dikatakan bahwa kedua kata tersebut berasal dari bahasa Arab yang kemudian telah meng-Indonesia. Dalam bahasa Latin lainnya, hukum Islam itu dikenal dengan Islamic law (Inggris), droit musulman  (Prancis),  Islam-recht (Belanda), Lihat Akh. Minhaji, Hukum Islam: Antara Sakralitas dan Profanitas (Perspektif Sejarah Sosial),Pidato Pengukuhan Guru Besar Sejarah Sosial Pemikiran Hukum Islam Pada Fakultas Shari’ah Tanggal 25 September (Yogyakarta: UIN, 2004) , 30.
             [17] Kajian tentang  ma’qûl (sensible) sekaligus  ma’mûl (applicable) yang komprehensif, baca misalnya Sayyid Shalih, Athar AL-‘Urf fi al-Tashri’ al-Islami (Cairo: Dar al-Kitab al-Jami’, t.t.).
             [18] Yayan Sopyan, Tarkh Tasyari’, Sejarah Pembentukan Hukum Islam. Lihat juga Joseph Scacht, An Introduction to Islamic Law (London: Clarendon Press, 1996), 1. Pernyataan senada, yang menunjukkan arti penting hukum bagi orang Muslim, juga dilontarkan oleh Frederick M. Denny, “Islamic Theology in the New World, Some Issues and Prospects,” dalam Journal of the American Academy of Religion, Vol. LXII, No. 4 (1994), 1069; Liebesny, The Law of the Near and Midle East, Readings, Cases, and Materials (New York: State University of New York Press, 1975), 3; J.N.D. Anderson, Law Reform in the Muslim World (London: The Clarendone Press, 1976), 1; dan H.R. Gibb, Mohammedanism  (Oxford: Oxford University Press, 1967), 7.
             [19] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), 240.
             [20] Untuk kajian tentang masyarakat Madani (civil society), baca beberapa tulisan misalnya, Nurcholis Madjid, “Menuju Masyarakat Madani,” dalam Ulumul Qur’an, No. 2/VII (1996), 51-55; Muhammad AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society ((Jakarta: LP3ES, 1999); Dawam Rahardjo, “Masyarakat Madani di Indonesia: Sebuah Penjajakan Awal,”; Bahtiar Effendy, “Wawasan al-Qur’an tentang Masyarakat Madani: Menuju Terbentuknya Negara-Bangsa yang Modern,” dan Muhammad AS Hikam, “Wacana Intelektual tentang civil Society di Indonesia, “ dalam Jurnal Pemikiran Paramadina, Vol.1, No.2 (1999), 7-87; Ahmad Syafi’i Ma’arif, Universalisme Nilai-Nilai Politik Islam Menuju Masyaakat Madani,” dalam Profetika, Vol. 1, No.2 (1999), 165-176; Ahmad Basho, Civil Society Versus Masyarakat Madani: Arkeologi Pemikiran “Civil Society” dalam Islam Indonesia(Bandung: Pustaka Hidayah, 1999),
                [21] Mahfud MD, “Politik Hukum,(Jakarta, Gramedia : 1999), 31-36.
          [22] Hairul Sani,  Peranan hukum Islam dalam pembinaan hukum nasional, Undergraduate es Dissertation from LAPTIAIN / 2002-06-21 10:00:00IAIN Raden Intan Bandar Lampung
 2001-05-31, dengan 1 file. Internet. Lihat juga Muhammad Khubairi, Kecerdasan Fuqaha’dan Kecerdikan Khulafa’(terj), (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2007), 91.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook