Friday, January 24, 2014

HUMOR PORNO UNTUK MENGHILANGKAN MENGANTUK DALAM PELATIHAN



           HUMOR PORNO UNTUK MENGHILANGKAN MENGANTUK
 Drs.H.M.RAKIB, S.H.,M.Ag

        Para penatar guru-guru itu, biasanya teman-teman penulis berjabatan widyaiswara, instruktur, dan dosen-dosen.  Menurut pengamatan penulis di PBG dan LPMP Riau,2014, ada saja penatarnya melanggar moral, seenaknya menyajikan humor pornografy. Berdasarkan penelitian empiris yang dilakukan Kohlberg  pada tahun 1958, sekaligus menjadi disertasi doktornya dengan judul The Developmental of Model of Moral Think and Choice in the Years 10 to 16, seperti tertuang dalam buku Tahap-tahap Perkembangan Moral (1995), tahap-tahap perkembangan moral dapat dibagi sebagai  berikut:
  1. Tingkat Pra Konvensional  Pada tingkat ini anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan terhadap ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Akan tetapi hal ini semata ditafsirkan dari segi sebab akibat fisik atau kenikmatan perbuatan (hukuman, keuntungan, pertukaran dan kebaikan). Tingkatan  ini dapat dibagi menjadi dua tahap:
  1. a.     Tahap 1 : Orientasi hukuman dan kepatuhan  Akibat-akibat fisik suatu perbuatan menentukan baik buruknya, tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya semata-mata menghindarkan hukuman dan tunduk kepada kekuasaan tanpa mempersoalkannya. Jika ia berbuat “baik’, hal itu karena anak menilai tindakannya sebagai hal yang bernilai dalam dirinya sendiri dan bukan karena rasa hormat terhadap tatanan moral yang melandasi dan yang didukung oleh hukuman dan otoritas
  2. b.     Tahap 2 : Orientasi Relativis-instrumental  Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antar manusia dipandang seperti hubungan di pasar (jual-beli). Terdapat elemen kewajaran tindakan yang bersifat resiprositas (timbal-balik) dan pembagian sama rata, tetapi ditafsirkan secara fisik dan pragmatis. Resiprositas ini tercermin dalam bentuk: “jika engkau menggaruk punggungku, nanti juga aku akan menggaruk punggungmu”. Jadi perbuatan baik tidaklah didasarkan karena loyalitas, terima kasih atau pun keadilan.

  1. Tingkat Konvensional  Pada tingkat ini anak hanya menuruti harapan keluarga, kelompok atau bangsa. Anak memandang bahwa hal tersebut bernilai bagi dirinya sendiri, tanpa mengindahkan akibat yang segera dan nyata. Sikapnya bukan hanya konformitas terhadap harapan pribadi dan tata tertib sosial, melainkan juga loyal (setia) terhadapnya dan secara aktif mempertahankan, mendukung dan membenarkan seluruh tata-tertib atau norma-norma tersebut serta mengidentifikasikan diri dengan orang tua atau kelompok yang terlibat di dalamnya. Tingkatan ini memiliki dua tahap :
  1. a.     Tahap 3 : Orientasi kesepakatan antara pribadi atau orientasi “anak manis”  Perilaku yang baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang lain serta yang disetujui oleh mereka. Pada tahap ini terdapat banyak konformitas terhadap gambaran stereotip mengenai apa itu perilaku mayoritas atau “alamiah”. Perilaku sering dinilai menurut niatnya, ungkapan “dia bermaksud baik” untuk pertama kalinya menjadi penting. Orang mendapatkan persetujuan dengan menjadi “baik”.
  2. b.     Tahap 4 : Orientasi hukuman dan ketertiban  Terdapat orientasi  terhadap otoritas, aturan yang tetap dan penjagaan tata tertib/norma-norma sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan kewajiban sendiri, menghormati otoritas dan menjaga tata tertib sosial yang ada, sebagai yang bernilai dalam dirinya sendiri.
  1. Tingkat Pasca-Konvensional (Otonom / Berlandaskan Prinsip)  Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan, terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu dan terlepas pula dari identifikasi individu sendiri dengan kelompok tersebut. Ada dua tahap pada tingkat ini:
  1. a.     Tahap 5 : Orientasi kontrak sosial Legalitas  Pada umumnya tahap ini amat bernada semangat utilitarian. Perbuatan yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran individual umum yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh seluruh masyarakat. Terdapat kesadaran yang jelas mengenai relativitas nilai dan pendapat pribadi sesuai dengannya. Terlepas dari apa yang telah disepakati secara konstitusional dan demokratis, hak adalah soal “nilai” dan “pendapat” pribadi. Hasilnya adalah penekanan pada sudut pandangan legal, tetapi dengan penekanan pada kemungkinan untuk mengubah hukum berdasarkan pertimbangan rasional mengenai manfaat sosial (jadi bukan membekukan hukum itu sesuai dengan tata tertib gaya seperti yang terjadi pada tahap 4). Di luar bidang hukum yang disepakati, maka berlaku persetujuan bebas atau pun kontrak. Inilah “ moralitas resmi” dari pemerintah dan perundang-undangan yang berlaku di setiap negara.
  2. b.     Tahap 6 : Orientasi Prinsip Etika Universal  Hak ditentukan oleh keputusan suara batin, sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu pada komprehensivitas logis, universalitas, konsistensi logis. Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis (kaidah emas imperatif kategoris) dan mereka tidak merupakan peraturan moral konkret. Pada hakikat inilah prinsip-prinsip universal keadilan, resiprositas dan persamaan hak asasi manusia serta rasa hormat terhadap manusia sebagai pribadi individual.
Berdasarkan penelitian empirisnya tersebut, secara kreatif Kohlberg menggabungkan berbagai gagasan dari Dewey dan Piaget, bahkan berhasil melampaui gagasan-gagasan mereka. Dengan kata lain ia berhasil mengkoreksi gagasan Piaget mengenai tahap perkembangan moral yang dianggap terlalu sederhana. Kohlberg secara tentatif menguraikan sendiri tahap-tahap 4, 5 dan 6 yang ditambahkan pada tiga tahap awal yang telah dikembangkan oleh Piaget. Dewey pernah membagi proses perkembangan moral atas tiga tahap : tahap pramoral, tahap konvensional dan tahap otonom. Selanjutnya Piaget berhasil melukiskan dan menggolongkan seluruh pemikiran moral anak seperti kerangka pemikiran Dewey, : (1) pada tahap pramoral anak belum menyadari keterikatannya pada aturan; (1) tahap konvensional dicirikan dengan ketaatan pada kekuasaan; (3) tahap otonom bersifat terikat pada aturan yang didasarkan pada resiprositas (hubungan timbal balik). Berkat pandangan Dewey dan Piaget maka Kohlberg berhasil memperlihatkan 6 tahap pertimbangan moral anak dan orang muda seperti yang tertera di atas.
Hubungan antara tahap-tahap tersebut bersifat hirarkis, yaitu tiap tahap berikutnya berlandaskan tahap-tahap sebelumnya, yang lebih terdiferensiasi lagi dan operasi-operasinya terintegrasi dalam struktur baru. Oleh karena itu, rangkaian tahap membentuk satu urutan dari struktur yang semakin dibeda-bedakan dan diintegrasikan untuk dapat memenuhi fungsi yang sama, yakni menciptakan pertimbangan moral menjadi semakin memadai terhadap dilema moral. Tahap-tahap yang lebih rendah dilampaui dan diintegrasikan kembali oleh tahap yang lebih tinggi. Reintegrasi ini berarti bahwa pribadi yang berada pada tahap moral yang lebih tinggi, mengerti pribadi pada tahap moral yang lebih rendah.
Selanjutnya penelitian lintas budaya yang dilakukan  di Turki, Israel, Kanada, Inggris, Malaysia, Taiwan, dan Meksiko memberikan kesan kuat bahwa urutan tahap yang tetap dan tidak dapat dibalik itu juga bersifat universal, yakni berlaku untuk semua orang dalam periode historis atau kebudayaan apa pun.
Menurut Kohlberg penelitian empirisnya memperlihatkan bahwa tidak setiap individu akan mencapai tahap tertinggi, melainkan hanya minoritas saja, yaitu hanya 5 sampai 10 persen dari seluruh penduduk, bahkan angka inipun masih diragukan kemudian. Diakuinya pula bahwa untuk sementara waktu orang dapat jatuh kembali pada tahap moral yang lebih rendah, yang disebut sebagai “regresi fungsional”.
Beberapa faktor yang dapat menurunkan moral dikalangan para remaja.
  1. Kurangnya perhatian dan pendidikan agama oleh keluarga. Orang tua adalah tokoh percontohan oleh anak-anak termasuk didalam aspek kehidupan sehari-hari tetapi didalam soal keagamaan hal itu seakan-akan terabaikan. Sehingga akan lahir generasi baru yang bertindak tidak sesuai ajaran agama dan bersikap materialistik.
  2. Pengaruh lingkungan yang tidak baik. Kebanyakan remaja yang tinggal di kota besar menjalankan kehidupan yang individualistik dan materialistik. Sehingga kadang kala didalam mengejar kemewahan tersebut mereka sanggup berbuat apa saja tanpa menghiraukan hal itu bertentangan dengan agama atau tidak, baik atau buruk.
  3. Tekanan psikologi yang dialami remaja. Beberapa remaja mengalami tekanan psikologi ketika di rumah diakibatkan adanya perceraian atau pertengkaran orang tua yang menyebabkan si anak tidak betah di rumah dan menyebabkan dia mencari pelampiasan.
  4. Gagal dalam studi/pendidikan. Remaja yang gagal dalam pendidikan atau tidak mendapat pendidikan, mempunyai waktu senggang yang banyak, jika waktu itu tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya, bisa menjadi hal yang buruk ketika dia berkenalan dengan hal-hal yang tidak baik untuk mengisi kekosongan waktunya.
  5. Peranan Media Massa. Remaja adalah kelompok atau golongan yang mudah dipengaruhi, karena remaja sedang mencari identitas diri sehingga mereka dengan mudah untuk meniru atau mencontoh apa yang dia lihat, seperti pada film atau berita yang sifatnya kekerasan, dan sebagainya.
  6. Perkembangan teknologi modern. Dengan perkembangan teknologi modern saat ini seperti mengakses informasi dengan cepat, mudah dan tanpa batas juga memudahkan remaja untuk mendapatkan hiburan yang tidak sesuai dengan mereka.
Tinjauan Teori Moral mengenai Pengaruh Video Porno Terhadap Perkembangan Moral Remaja
Melihat gencarnya media masa dalam menampilkan tayangan video porno ariel dan cut tari dan respon masyarakat yang sedemikian luar biasa,  seolah-olah Ariel Peterpan dan lahan-lahan tidur garapannya itulah sumber utama masalah moralitas di negara ini, seolah-olah Ariel-lah sosok yang paling bersalah dalam permasalahan moralitas generasi muda di negara ini, seolah-olah gara-gara Ariel lah moralitas anak muda negeri ini yang sebelumnya begitu putih dan suci menjadi terkontaminasi.
Jika masyarakat mau jujur dan sedikit membuka mata, mereka akan menyaksikan sendiri jauh sebelum video Ariel ini beredar moralitas generasi muda di negara ini (dilihat dari perilaku seksual) kalau itu dikaitkan dengan standar moralitas baku yang berlaku dalam agama yang dipahami dengan penafsiran standar  sebenarnya moralitas orang Indonesia ini sudah rusak sejak lama.
Sebelum Ariel, Cut Tari dan Luna Maya lahir pun dulu sudah marak cerita tentang mahasiswa yang hobi kumpul kebo di Jogja. Mahasiswa-mahasiswa yang kos di Banda Aceh juga sudah sejak lama terbiasa dengan kehidupan seksual yang bebas seperti ini. Soal video juga demikian, sejak VCD dan Internet belum ada, orang-orang di negara ini sudah begitu terbiasa dengan video semacam itu.
Di Banda Aceh misalnya, di tahun 80-an dan 90-an, sudah jadi rahasia umum kalau warung-warung kopi di rel (sebutan untuk bekas stasiun kereta api) yang terletak tepat berhadapan dengan Mesjid Raya Baiturrahman, biasa memutar film-film penggugah syahwat semacam ini untuk menarik pelanggannya. Di Lhokseumawe juga ada beberapa warung kopi yang biasa memutar film yang sama.

PENDAHULUAN
           Sang penatar menyajikan humor porno kepada guru-guru yang ditatarnya, dengan alasan, “mengajar orang dewasa”. Kejadian ini sangat janggal, bagi guru-guru sang penegak moral. Kata-kata “dewasa”  inilah yang membelokkan otaknya tertuju kepada cerita porno. Alasan lainnya, karena peserta mengantuk. Kalau diberi humor porno, matanya akan terbuka. Penulis menjawab, banyak caara yang dapat dilakukan, mengapa harus menyajikan yang  porno? Yang tidak porno bukankah melimpah? Misalnya:
1.       Dia papaku.
Marwan ; "Hei anak baru, loe tahu gak guru terkejam disekolah ini?
Mawar ; "Gak?!

Marwan ; "Loe harus hati-hati dengan Killer yg atu ini, kamu bisa di makan!! namanya aja Hari, tambahin ajja MAU

Mawar ; "itu kan Papaku "

Marwan ; ":amazed4:  Mawar, Maafin Marwan ya..."
2.       Teringat belum punya anak isteri
             Amir yang medengar kabar bahwa istri dan anaknya tewas mengenaskan,  langsung memilih bunuh diri dengan loncat dari Lt. 30 karena tak tahan menderita. Tapi di Lt. 20 dia sadar kalau belum punya anak dan ketika di Lt. 10 dia juga tersadar kalau belum nikah.
3.       Matahari Cuma satu
            Seorang anak Irian bertanya pada gurunya:
"Bu, kenapa matahari cuma ada satu?" Dijawab gurunya: "Satu aja elu udah item, apalagi dua !"
4.       Meludahi sup dan serbet.
Dalam sebuah restoran, seorang pria memesan sup, tetapi segera setelah tiba, ia harus pergi ke kamar mandi. Untuk memastikan bahwa tidak ada yang menyentuh sup ketika pergi,  dia menulis di atas serbet: "Aku telah meludahi sup ini".  Ketika kembali, ia menemukan pesan lain pada serbet: "Saya juga".

         Jauhi humor porno.., terutama bagi guru=guru yang akan berhadapan dengan anak remaja. Beberapa faktor yang dapat menurunkan moral di kalangan para remaja.
  1. Kurangnya perhatian dan pendidikan agama oleh keluarga.
Orang tua  dan guru, adalah tokoh percontohan oleh anak-anak termasuk didalam aspek kehidupan sehari-hari tetapi didalam soal keagamaan hal itu seakan-akan terabaikan. Sehingga akan lahir generasi baru yang bertindak tidak sesuai ajaran agama dan bersikap materialistik.
  1. Pengaruh lingkungan yang tidak baik. Kebanyakan remaja yang tinggal di kota besar menjalankan kehidupan yang individualistik dan materialistik. Sehingga kadang kala didalam mengejar kemewahan tersebut mereka sanggup berbuat apa saja tanpa menghiraukan hal itu bertentangan dengan agama atau tidak, baik atau buruk.
  2. Tekanan psikologi yang dialami remaja. Beberapa remaja mengalami tekanan psikologi ketika di rumah diakibatkan adanya perceraian atau pertengkaran orang tua yang menyebabkan si anak tidak betah di rumah dan menyebabkan dia mencari pelampiasan.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook